![]() |
Sumber gambar: bincangmuslimah.com |
Membincangkan
Arah Gerakan Feminisme Muslim di Indonesia penting dan relevan pada saat ini.
Ada sekurangnya tiga alasan yang Alimatul Qibtiyah ajukan. Pertama, adanya
kompleksitas wacana perempuan dalam berbagai upaya peningkatan kesadaran
perempuan dan persoalan yang dihadapi perempuan. Dalam kehidupan sehari-hari,
aspek perempuan setidaknya diperdebatkan dalam wacana seputar status, tubuh,
peran, dan pemikirannya. Status perempuan sering dipahami sebagai makhluk atau
jenis kelamin nomor dua (second sex). Tubuh perempuan, sering dihubungkan
dengan simbol kesucian, kesuburan, pemuas, hingga disebut sebagai sumber mala
petaka. Adapun, peran perempuan, dianggap mengurusi wilayah dapur, sumur,
kasur, mendidik anak, hingga sebagai penentu masa depan bangsa. Sehingga,
partisipasi perempuan dalam peran-peran tersebut, pada gilirannya juga
dikait-kaitkan dengan preferensi pemikiran perempuan yang membagi perempuan
dalam berbagai kelompok pemikiran
Alasan
kedua, kompleksitas wacana perempuan tersebut mengantarkan pada dinamika dan
sekaligus ketegangan mengenai pemahaman feminisme, baik di internal kelompok muslim, dan juga di antara
feminis muslim dengan pemahaman gerakan feminis lainnya (baca: Barat). Di
internal muslim sendiri terdapat perbedaan subtansial antara penafsiran
kelompok progresif, moderat dan konservatif. Oleh kelompok konservatif dan
mesoginis, misalnya, tafsir agama tentang tubuh dan peran perempuan diposisikan
sebagai mahluk lemah, sensitif dan penyayang. Sehingga, menurut mereka sudah
sewajarnya perempuan ditempatkan di rumah dengan peran mengurus anak. Para
feminis muslim yang cenderung dekat dengan tafsir moderat dan progresif menolak
tafsir ini karena justru bertentangan dengan semangat Islam memuliakan
perempuan di segala lini kehidupan, baik di dalam keluarga maupun di masyarakat.
Para
feminis muslim justru menggugat semangat beragama konservatif tidak sejalan
dengan ajaran Rosulullah SAW yang menempatkan perempuan seimbang dan setara
dengan laki[1]laki.1
Rosulullah diceritakan melakukan tugas domestik dan tidak menghalangi peran
publik perempuan. Data sejarah menunjukan jumlah ulama dan ilmuan perempuan
sangat banyak di zaman Rasulullah dan jumlahnya terus berkurang sejak beliau
wafat sampai abad ke-5 Hijriah, dan mulai terekam kembali keberadaannya semakin
bertambah setelah abad ke 6 Hijriah sampai sekarang.
Di
dalam literatur sejarah peradaban Islam juga disebutkan bahwa pendapat publik
perempuan berperan penting dalam proses
turunnya wahyu, seperti turunnya ayat 35 dari surat al-Ahzab yang diawali oleh
pertanyaan Ummul Mukminin Ummu Salamah ra tentang nilai-nilai kesetaraan
laki-laki dan perempuan. Selain itu, pernah 60-an sahabiyat (perempuan-perempuan sahabat Nabi SAW) mendatangi
Rosullullah SAW dan mengadukan kebiasaan suami mereka yang sering memukul
istrinya. Kedatangan mereka membuat Rosullullah mengecam suami yang suka
memukul isteri. Belum lagi peran penting Sayidina ‘Aisyah ra di dalam
meriwayatkan hadits yang sekaligus tercatat sebagai salah satu perawi hadist
terbanyak. Dalam urusan diplomasi politik, peran Ummul Mukminin Ummu Salamah ra
tak dapat dilupakan dalam menguatkan Perjanjian Hudaibiyah.
Data
tersebut mengindikasikan bahwa Islam sangat menjunjung tinggi peran publik
perempuan, sehingga ketika peran tersebut dimanipulasi oleh penafsiran
mesoginis, di situlah para feminis muslim bergerak melawan. Tak jarang gerakan
para feminis muslim ini dianggap berlebihan, sekular, dan dituduh dipengaruhi
pemikiran feminisme Barat. Padahal, oleh para feminis Barat, feminisme muslim
dianggap “kurang feminis” dan masih dibuai oleh budaya patriarkhi. Keterlibatan
para feminis muslim dalam memperjuangkan hak-hak asasi dalam rumah tangga,
kerap dipahami oleh feminis sekular sebagai seseorang yang tidak dapat lepas
dari bayang-bayang laki-laki. Kemampuannya menyuarakan pengalamannya, terkadang
masih diragukan apakah ia benar-benar dapat menyuarakan keinginannya atau
sebenarnya dia sedang menyuarakan keinginan patriarkhi sehingga feminis Barat dari
kalangan menengah merasa bahwa feminis lain membutuhkan suaranya dan
keterlibatannya (speaking for others).
Dengan
situasi ketegangan di atas, saya merasa penting mengajukan alasan ketiga, yakni
adanya kekhasan praktik feminis muslim dalam meramu dan mencari titik temu di
antara dinamika dan ketegangan tersebut. Feminis muslim mempunyai kepiawaian di
dalam meramu dan mencari titik temu antara agama dan feminisme. Di sini Alimatul
Qibtiyah hendak menegaskan bahwa menjadi feminis sekaligus menjadi muslim yang
“agamis” adalah hal yang sangat mungkin, walaupun dalam praktiknya keduanya
akan kerap bernegosiasi untuk menemukan titik temu pandangan yang sering
berbeda. Tidak dapat dipungkiri bahwa para feminis muslim memperdebatkan kata
“Islam” dan “feminisme” pada persoalan apakah feminisme sesuai dengan ajaran Islam
atau tidak; juga apakah seseorang bisa begitu saja mengaitkan keyakinannya
dengan posisi feminisme tertentu atau menggabungkannya secara bersamaan.
Perdebatan tersebut erat kaitannya dengan polemik antara dunia Barat dan Timur
dimana orang memandang feminisme sebagai Barat dan Islam memiliki dimensi
nilainya sendiri.
Dikutip dari Pidato Pengukuhan Guru Besar Alimatul
Qibtiyah.
Agar
Pembaca dapat mengulas tema di atas lebih dalam, kami lampirkan versi luring
pdf pada link di bawah ini.
Arah
Gerakan Feminis Muslim di Indonesia pdf