![]() |
Diambil dari nasional.kompas.com |
Istilah “Fikih Kebinekaan” merefleksikan semangat dan karakter fikih itu sendiri; meniscayakan kekayaan perspektif dan memberi ruang perbedaan pemahaman dalam mendialogkan teks-teks keagamaan (Al-Quran dan Hadis) dengan realitas masyarakat yang berbeda-beda. Tradisi menghargai perbedaan pendapat dan pilihan praktik dalam konteks hubungan sosial dan politik telah mengakar kuat dalam kajian-kajian fikih klasik. Meskipun tak jarang kepentingan hegemoni politik penguasa dimana mazhab fikih itu berkembang meminggirkan bahkan memberangus pemikiran-pemikiran lain yang dianggap menyimpang. Tragedi semacam ini dikenal dalam sejarah sebagai mihnah (inkuisisi), biasanya diikuti oleh pelarangan dan penghancuran buku-buku yang dituduh membahayakan (bibliosida).
M.
Hasbi Ash Shiddieqy (1904-1975), ulama terkemuka kelahiran Aceh, pernah
menggagas istilah yang seayun dengan Fikih Kebinekaan, yaitu Fikih Indonesia.
Pemahaman fikih sangat dinamis, utamanya dalam ranah sosial-kemasyarakatan (mu’âmalah) dan
politik (siyâsah). Hasbi menggarisbawahi pentingnya ketetapan fikih
mempertimbangkan kecocokan dan kebutuhan masyarakat Indonesia agar produk fikih
tidak tercerabut dari konteksnya. Menurutnya, hukum Islam harus mampu menjawab
persoalan-persoalan baru yang belum terjawab sehingga tanggap terhadap
perubahan sosial-politik
(Suhirman, Al-Mawarid, 2010). Buku ini membahas tiga topik utama yang menjadi
bagian penting dalam kajian fikih mu’âmalah dan fikih siyâsah kontemporer,
yaitu konsep ummah (citizenship) yang lebih terbuka dan egaliter, hubungan
mayoritas-minoritas dalam relasi setara tanpa diskriminasi, dan kepemimpinan
dalam masyarakat majemuk yang menempatkan minoritas punya hak politik yang sama
dengan mayoritas. Pembahasan ketiga topik tersebut berangkat dari perspektif
Islam dengan mempertimbangkan konteks kekinian dalam kerangka negara-bangsa. Di
sini, Fikih Kebinekaan mengkaji ulang konsep kewarganegaraan, hubungan sosial
antar-kelompok, dan kepemimpinan politik dengan mengacu pada prinsip kesetaraan
dan keadilan.
Dari
sudut pandang diskursus keagamaan, kehadiran buku ini memiliki makna penting
bagi proses pendewasaan demokratisasi politik yang bergulir pasca Orde Baru
karena memberikan jawaban atas isu-isu krusial: konsep kewarganegaraan, relasi
sosial antar kelompok yang majemuk, dan kepemimpinan politik. Kajian fikih
klasik mainstream menjadikan agama sebagai basis legitimasi hak-hak politik.
Orang yang berbeda agama tidak berhak mendapat pengakuan dan perlakuan politik
yang sama. Kerangka Fikih Kebinekaan membuka tafsir baru atas persoalan
tersebut dijiwai kesadaran kebangsaan yang inklusif, sejalan dengan tujuan
negara menurut Al-Quran dan Hadis. Fikih Kebinekaan juga menjadi antitesis dari
ancaman gejala intoleransi dan sektarianisme yang menguat dalam beberapa tahun
terakhir ini. Kekerasan dan konflik sektarianisme di Timur Tengah yang belum
terlihat surut harus menjadi cermin bagi Indonesia agar tidak terjerumus ke
lubang yang sama. Membudayakan pemahaman keagamaan yang terbuka dan
non-diskriminatif, terutama di lingkungan pendidikan dan generasi muda, akan
membendung gejala penyesatan (takfirisme) yang kian mencemaskan. Singkat kata,
Fikih Kebinekaan merupakan upaya ijtihadi Islam berkemajuan dalam kerangka
keindonesiaan dan kemanusiaan.
Dikutip dari Buku Fikih Kebinekaan.
Agar
Pembaca dapat mengulas tema di atas lebih dalam, kami lampirkan versi luring
pdf pada link di bawah ini.
0 komentar:
Posting Komentar