![]() |
Sumber: kompas.com |
Walaupun sudah banyak literatur yang membahas tentang keselarasan antara Islam dan HAM, perdebatan di seputar HAM dan kaitannya dengan Islam masih terus bergulir dalam perbincangan umat Islam. Perdebatan ini melibatkan dua corak pembacaan yang menonjol, yaitu pembacaan literalis dan progresif. Corak pembacaan literalis menekankan kesenjangan yang tajam dan nyaris tidak bisa didamaikan antara norma-norma Al-Qur’an dan hadis dan standar HAM yang diakui secara internasional. Mereka berkeyakinan keduanya secara inheren memiliki nilai-nilai yang berbeda dan bahkan saling bertentangan.
Sebaliknya,
corak pembacaan progresif meyakini bahwa Al-Qur’an dan hadis memiliki
norma-norma dan nilai-nilai
yang secara substantif selaras dengan HAM. Ayat-ayat Al-Qur’an yang menyatakan
kemuliaan semua keturunan Adam, atau kesamaan derajat setiap orang, laki-laki
dan perempuan yang hanya berbeda di hadapan Tuhan karena derajat ketakwaan
masing-masing, menjadi dalil yang mereka jadikan untuk mendukung keyakinan
tersebut. Juga hadis-hadis Nabi, misalnya yang disampaikan pada saat khutbah
perpisahan, yang menyatakan bahwa semua manusia sama belaka di hadapan
Tuhan—orang-orang Arab tidak lebih hebat dibandingkan non-Arab atau orang-orang
non-Arab tidak lebih istimewa dibandingkan orang-orang Arab, demikian halnya
orang-orang berkulit putih tidak lebih tinggi derajatnya dibanding orang-orang
berkulit hitam dan begitu juga sebaliknya—ditunjukkan sebagai bukti komitmen
nyata Nabi Muhammad terhadap HAM.
Ada dua
hal yang paling sering diperdebatkan dalam kaitan ini, yaitu status perempuan
dan kebebasan beragama. Ketika sejumlah pemikir yang mengadopsi corak pembacaan
progresif mempertanyakan ulang makna ayat-ayat tertentu dalam Al-Quran yang
mengartikulasikan posisi perempuan dalam masyarakat, institusi perkawinan dan
kewarisan, misalnya, pemikir-pemikir literalis justru bersikeras tentang
sempitnya ruang bagi reinterpretasi makna ayat-ayat tersebut. Bagi mereka,
al-Quran jelas memberi tempat istimewa dan dominan bagi laki-laki, yang
diyakini sebagai pemimpin yang dapat berpikir lebih rasional dalam mengatur
rumah tangga dan masyarakat- Lagi pula, ayat-ayat tersebut—mereka tegaskan—telah
menjadi dasar yang kukuh bagi wacana perempuan dalam fikih yang harus menerima
posisi sebagai subordinat laki-laki. Sebagai salah satu konsekuensi dari
kuatnya pengaruh corak pembacaan ini, kesan bahwa Islam memperlakukan perempuan
secara diskriminatif dan tidak adil agak sulit dihindari.
Persoalannya
semakin serius ketika menyangkut isu kebebasan beragama dalam Islam. Dalam
corak pembacaan literalis, konversi agama merupakan hal yang sangat serius dan
dikutuk sebagai bentuk kemurtadan. Ditekankan bahwa fikih menetapkan ancaman
hukuman yang sangat berat bagi pelakunya, yaitu hukuman mati. Hukuman seberat
itu dianggap layak karena beratnya derajat kesalahan orang yang berpindah
agama. Bagi pemikir progresif yang berdiri di depan sebagai penganjur HAM,
doktrin ini jelas merupakan pelanggaran langsung terhadap hak hidup seseorang
yang merupakan hak
paling dasar dalam pandangan HAM. Menurut keyakinan mereka, nyawa merupakan hak
eksklusif Allah yang tidak boleh dihilangkan oleh siapapun dan dengan alasan
apapun. Apalagi Al-Qur’an menyatakan bahwa tidak ada paksaan dalam beragama4
—doktrin yang dipahami sebagai prinsip dasar dalam Islam. Contoh lain bisa
ditambahkan terkait posisi non-Muslim sebagai dzimmi yang harus membayar jizyah
(pajak kepala) jika ingin diterima hidup berdampingan dengan Muslim. Bagi para
penganjur HAM, hal ini haruslah dipahami secara kontekstual, terutama terkait
kebutuhan pengaturan sosial saat masa-masa awal Islam. Prinsip dasar Islam
adalah memperlakukan warganya setara di hadapan hukum, sebagaimana terefleksi
dari isi Piagam Madinah yang merupakan tonggak pembangunan peradaban Islam.
Dikutip dari Noorhaidi Hasan dalam Fikih Humanis;
Meneguhkan Keragaman.
Agar
Pembaca dapat mengulas tema di atas lebih dalam, kami lampirkan versi luring (offline)
pdf pada link di bawah ini.
Fikih Humanis; Meneguhkan Keragaman pdf