![]() |
Sumber: news.detik.com |
Dilihat dari rentang waktu, ilmuwan sosial baru tertarik kepada isu politik identitas pada 1970-an, bermula dari Amerika Serikat ketika menghadapi masalah minoritas, gender, feminisme, ras, etnisitas, dan kelompok-kelompok sosial lainnya yang merasa terpinggirkan, merasa teraniaya. Dalam perkembangan berikutnya, cakupan politik identitas ini meluas kepada sektor agama, kepercayaan, dan simpul-simpul kultural yang beragam.
Di Indonesia, politik identitas lebih terkait dengan
masalah etnisitas, agama, ideologi dan lokalitas kepentingan yang dipresentasikan
pada umumnya oleh para elit negeri ini dengan bualan artikulasinya yang tampak
mempesona dan visioner. Gerakan pemekaran daerah, dalam pandangan Ahmad Syafii
Maarif, dapat dipandang sebagai salah satu wujud dari politik identitas itu.
Isu-isu tentang keadilan dan pembangunan daerah menjadi sangat sentral dalam wacana
politik mereka, tetapi apakah semuanya sejati atau lebih banyak dipengaruhi
oleh ambisi para elit lokal untuk tampil sebagai pemimpin merupakan masalah
yang tidak mudah untuk dieksplanasikan.
Pertanyaannya kemudian, apakah politik identitas ini
akan membahayakan posisi nasionalisme dan pluralisme Indonesia di masa depan? Jika
berbahaya, kira-kira dalam bentuk apa, dan bagaimana cara memitigasinya?
Politik Identitas Berkedok Agama
Penggunaan agama di sini merujuk pada semua agama,
tidak hanya Islam. Namun, dalam hal ini, Islam menjadi perhatian peneliti dan
menarik atensi politisi untuk memperalatnya untuk kepentingan tertentu. Pada
saat dunia Islam terpecah, ia sedang berada di buritan peradaban sejak beberapa
abad yang lalu, dalam pandangan Ahmad Syafii Maarif, akan sangat sulit
menemukan pribadi-pribadi Muslim yang mampu secara psiko-kultural bersikap lebih
tenang, objektif, dan realistik, kecuali mereka yang terdidik dan tercerahkan. Frasa
tercerahkan di sini menempati posisi sentral sebab tidak semua yang terdidik
akan tercerahkan, begitupun sebaliknya tidak semua yang tidak terdidik tidak
tercerahkan. Fenomena ini terutama terlihat di kalangan mereka yang merantau ke
negara-negara Barat yang jumlah mereka semakin membengkak dari tahun ke tahun.
Di negara-negara Uni Eropa, misalnya, sejak beberapa
dekade terakhir, jumlah Muslim telah mencapai 20 juta, sebuah angka yang cukup fantastis
bukan! Begitupun di Amerika, penduduk Muslimnya berkisar antara 6-8 juta, baik
yang berasal dari imigran maupun konversi. Sekarang ini, orang sudah mulai
berbincang tentang Islam and the West, sebagai balancing dari steriotipe
Islam and the West sebagai kelanjutan dari konsep klasik Darul Islam
dan Darul Harbi, yang sudah usang dan tidak relevan lagi dengan
perkembangan dunia mutakhir.
Sayangnya, Muslim perantauan baik di belahan bumi Barat
maupun Timur, masih ada saja yang terpasung oleh konsep klasik Islam nan indah
itu. Implikasinya, perasaan keterasingan – atau tidak membumi (down to earth)
– acapkali menghantui mereka di tanah air baru itu. Akan pulang kampung situasi
politik, ekonomi, sosial juga tidak memberi harapan, selain harus berhadap-hadapan
dengan rezim-rezim despotik yang korup tidak jarang dilegitimasi oleh agama
baik dari ulama partisan maupun intelektual opportunis. Munculnya kelompok
ekstremisme umumnya berasal dari mereka yang merasa terasing ini. Ini adalah di
antara tragedi diaspora Muslim di awal abad ke-21 yang tidak jarang menggunakan
jubah Islam sebagai politik identitasnya.
Politik Identitas dan Masa Depan Pluralisme di
Indonesia
Penggunaan politik identitas di Indonesia dalam
rentang belakangan ini begitu mengkhawatirkan. Indonesia darurat politik
identitas. Pemilu DKI Jakarta tahun 2018 menjadi bukti untuk itu. Keterbelahan
arus masyarakat di akar rumput, tidak bisa tidak, telah berhasil memporak-porandakannya.
Mirisnya, penggunaan politik identitas menjadi preseden buruk bagi tumbuh-kembangnya
demokrasi Indonesia. Lihat saja, kasus Ahok yang menista agama, pilpres tahun
2019 menjadi bukti untuk itu. Akankah di Pilpres 2024 akan terulang lagi? Sebuah
jawaban yang membutuhkan renungan bagi kita semua. Masih relevankah menggunakan
agama atau mimbar khutbah untuk melanggengkan politik “adu jangkrik” semacam ini.
Semoga bangsa ini terus dewasa dalam mengarifi persoalan ini.
Modalitas bangsa ini sangat lebih dari memadai. Modalitas
sosial, ekonomi, politik, sumber daya manusia, tradisi & kebudayaan, dan
sumber daya alam yang melimpah sangat memadai untuk menuju Indonesia Emas di
tahun 2045. Tinggal bagaimana, elit bangsa ini – dan elit partai – dan kita
semua bijak dalam memanfaatkan modalitas ini. Jangan sampai kolonialisme jilid
2 kembali membabakbelurkan bangsa ini.
Disarikan dari Pendahuluan Buya Syafii
Maarif, dalam Politik
Identitas dan Masa Depan Pluralisme di Indonesia.
Agar
Pembaca dapat mengulas tema di atas lebih dalam, kami lampirkan versi luring (offline)
pdf pada link di bawah ini.
Politik Identitas dan Masa Depan Pluralisme di
Indonesia pdf
Islam di Ruang Publik: Politik Identitas dan Masa Depan Demokrasi di Indonesia pdf
0 komentar:
Posting Komentar