![]() |
Sumber: tafsiralquran.id |
Secara etimologis, gabungan kata Ma‘nā-cum-Maghzā terdiri dari tiga kata: ma‘nā, maghzā (keduanya dari Bahasa Arab) dan cum (dari Bahasa Latin). Ibn Manẓūr dalam Lisān al-‘Arab mengatakan, ‘anaytu fulānan ‘anyan itu berarti: qaṣadtuhu (‘saya memaksudkan atau menunjuk pada dia’). Jadi, secara leksikal, kata ma‘nā berarti ‘maksud’ atau ‘arti’. Secara terminologis, istilah al-ma‘nā dimaksudkan: mā yadullu ‘a;ayhi l-lafẓu (‘apa yang ditunjukkan atau dimaksudkan oleh lafal/kata’).
Berdasarkan
hal ini, dalam Bahasa Indonesia, kata ini sering diterjemahkan dengan: makna,
arti atau maksud lafal/kata. Istilah al-ma‘nā ini dibagi dalam dua
kategori: (1)
al-manṭūq dengan definisi: mā yadullu ‘alayhi l-lafẓu fī maḥall al-nuṭq
(‘apa yang dimaksudkan oleh lafal/ kata secara eksplisit’), dan (2) al-mafhūm
yang berarti: mā yadullu ‘alayhi l-lafẓu lā fī maḥall al-nuṭq (‘apa yang
dimaksudkan oleh lafal/kata secara implisit’). Adapun kata al-maghzā
memiliki akar kata: ghayn, zay dan waw. Kata ghazā itu memiliki
kemiripan arti dengan kata qaṣada (memaksudkan). Ibn Manẓūr menjelaskan,
“ghazā al-syay’a ghazwan” itu berarti: qaṣadahu wa ṭalabahu (‘Dia
memaksudkan sesuatu dan mencarinya’). Dia juga menjelaskan, “maghzā al-kalām
itu berarti maqṣiduhu (‘maksud kalimat’). Adapun kata cum itu
berarti ‘bersama’. Hal ini menunjukkan bahwa ma‘nā dan maghzā
harus diperhatikan dalam proses penafsiran Al-Qur’an.
Pendekatan
ma‘nā-cum-maghzā adalah pendekatan di mana seseorang menggali atau
merekonstruksi makna dan pesan utama historis, yakni makna (ma‘nā) dan
pesan utama/signifikansi (maghzā) yang mungkin dimaksud oleh pengarang
teks atau dipahami oleh audiens historis, dan kemudian mengembangkan
signifikansi teks tersebut untuk konteks kekinian dan kedisinian. Dengan
demikian, ada tiga hal penting yang akan dicari oleh seorang penafsir yang
menggunakan pendekatan ini, yakni (1) makna historis (al-ma‘nā al-tārīkhī),
(2) signifikansi fenomenal historis (al-maghzā al-tārikhī), dan (3)
signifikansi fenomenal dinamis kontemporer (al-maghzā al-mutaḥarrik al-mu‘āṣir)
dari teks Al-Qur’an yang ditafsirkan.
Setiap
ayat atau kumpulan ayat Al-Qur’an itu memiliki tiga hal tersebut secara
sekaligus. Makna historis ayat (al-ma‘nā al-tārīkhī) adalah makna bahsa/
literal yang mungkin dimaksudkan oleh Allah Swt pada masa diturunkannya ayat
tersebut kepada Nabi Muhammad Saw, dan atau yang dipahami oleh beliau dan para
sahabatnya sebagai audiens pertama Al-Qur’an (al-mukhāṭabūn al-awwalūn).
Sedangkan signifikansi historis ayat (al-maghzā al-tārikhī) adalah
maksud atau pesan utama yang ingin disampaikan oleh Allah kepada Nabi Muhammad
dan para sahabatnya, baik itu berupa maqāṣid syar‘iyyah (maksud-maksud
utama penetapat hukum), ‘illat al-ḥukm (alasan penetapan hukum tertentu)
maupun ‘ibrah (pelajaran moral). Adapun signifikansi dinamis kontemporer
(al-maghzā al-mutaḥarrik al-mu‘āṣir) itu hasil ijtihad/penafsiran
seorang penafsir dalam mengembangkan al-maghzā al-tārikhī dengan cara
mereaktualisasikannya, mendefinisikannya kembali dan mengimplementasikannya
dalam konteks dimana penafsiran itu dilakukan pada ruang dan waktu tertentu.
Dengan
pendekatan ini diharapkan bahwa para penafsir dapat melakukan, paling tidak,
dua hal berikut ini.
Pertama, mereka mampu melakukan penafsiran yang kontekstualis. Mereka
tidak hanya terpaku pada makna literal ayat saja, tetapi juga memperhatikan pesan
utamanya. Dengan demikian, mereka dapat mengaktualisasikan pesan-pesan
Al-Qur’an dalam ruang dan waktu secara dinamis. Dalam hal ini, dari satu sisi
mereka memperhatikan aspek linguistik ayat, tetapi juga di sisi lain
memperhatikan konteks tekstual dan konteks sosial historis pada masa pewahyuan
Al-Qur’an serta konteks sosial pada masa kontemporer (ketika teks ditafsirkan).
Karena memperhatikan hal-hal tersebut, pendekatan ma‘nā-cum-maghzā
merupakan pendekatan yang seimbang (balanced approach).
Kedua, para penafsir mampu
menunjukkan bahwa Al-Qur’an itu ṣāliḥ li-kull zaman wa makān (sesuai
dengan segala waktu dan tempat). Ketika mereka hanya memperhatikan aspek
kebahasaan Al-Qur’an semata, maka mereka tidak akan merasakan ṣalāḥiyyat
(kesesuaian) Al-Qur’an dengan berbagai macam situasi dan kondisi masyarakat
yang bervariasi dalam hal pola pikir, cara pandang, budaya, ekonomi,
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta aspek-aspek lainnya.
Dikutip
Dari Orasi Ilmiah Prof. Dr.phil. Sahiron Syamsudin, M.A,
dalam Pendekatan ma‘nā-cum-maghzā
atas Al-Quran.
Agar
Pembaca dapat mengulas tema di atas lebih dalam, kami lampirkan versi luring (offline)
pdf pada link di bawah ini.
Pendekatan ma‘nā-cum-maghzā atas Al-Quran pdf
New Trends in Quranic Studies pdf
0 komentar:
Posting Komentar