 |
Sumber: politik.rmol.id |
Asia,
termasuk Asia Tenggara dengan penduduk Muslim mayoritas berjumlah besar di
Indonesia dan Malaysia hari ini dan ke depan memiliki potensi besar untuk
kembali menjadi pusat peradaban dunia. Berbagai indikator mendukung optimisme
tersebut. Sementara AS dan Eropa mengalami ‘kemunduran’ dan bahkan krisis
ekonomi yang berkelanjutan, berbagai negara Asia yang sudah developed, seperti
Jepang dan Korea Selatan, tetap bertahan—jika tidak kian meningkat. Pada saat
yang sama, sejumlah negara Asia tengah bangkit (emerging) sejak dari China,
India, Indonesia, Malaysia, Iran, Singapura dan Thailand. Kemajuan ekonomi yang
cukup fenomenal negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim Indonesia dan
Malaysia telah mendorong peningkatan kualitas pendidikan, ilmu pengetahuan dan
teknologi, dan living condition masyarakat. Di masa silam, ketika kegelapan
masih menyelimuti Eropa, Amerika, dan Afrika, Asia menjadi pusat peradaban
dunia.
Hampir
seluruh agama besar dunia lahir dan berkembang di Asia, sejak dari Hindu,
Budha, Shinto, Zoroaster, Konghucu, Yahudi, Kristianitas dan Islam sampai
Sikhism dan Baha’i. Agama-agama menjadi salah satu faktor penting dalam
pertumbuhan peradaban Asia, baik politik, sosial, budaya, ekonomi, yang pada
gilirannya memberikan warisan (legacy) yang tidak ternilai. Peradaban
China, India, Persia, dan kemudian Muslim—yang membentuk sintesa distingtif
dalam berbagai lapangan ilmu pengetahuan dan teknologi—pada abad pertengahan
memberikan kontribusi penting bagi kebangkitan peradaban Eropa. Disintegrasi
politik dan kemunduran ekonomi memberikan jalan lebar bagi kekuatan-kekuatan Eropa sejak abad 16
menguasai banyak bagian Asia. Kolonialisme jelas membuat terjadinya retardasi
peradaban Asia. Dan, sekitar 60an tahun pasca-Perang Dunia II, Asia kembali
menunjukkan tanda-tanda bangkit kembali sebagai pusat peradaban.
THE
DECLINE OF WESTERN CIVILIZATION
Wacana
tentang ‘kemerosotan peradaban Barat’ (the decline of Western civilization)—yang
secara implisit memberi peluang bagi kebangkitan kembali peradaban Asia—bukan
sesuatu hal baru. Sejarawan terkemuka Oswald Spengler pada usia 38 tahun
menerbitkan karya dua jilid The Decline of the West; jilid pertama diterbitkan
pada 1918 dan jilid kedua pada 1922. Dalam buku ini dia melacak asal usul dan
perjalanan peradaban Barat dalam perspektif memudarnya peradaban klasik Eropa.
Dia berargumen lebih lanjut, bahwa kemunduran peradaban Barat bahkan sudah
bermula sejak abad 20. Memang
terjadi perdebatan sengit di antara para sarjana dan ahli Barat tentang apa
yang dimaksudkan Spengler dengan istilah ‘kemunduran’ (decline), yang
semula menggunakan istilah Jerman ‘untergang’, yang lebih tepat berarti ‘kejatuhan’
(downfall). Spengler sendiri menjelaskan kemudian, yang dia maksud bukan
kejatuhan katastropik, tetapi kemunduran atau kejatuhan berselang-seling.
Lepas
dari perdebatan peristilahan dan realitas perjalanan sejarahnya, wacana tentang
kemunduran dan kejatuhan peradaban atau kekuatan-kekuatan besar, khususnya di
Dunia Barat, kembali menemukan momentumnya ketika sejarawan Paul Kennedy
menerbitkan karyanya yang kini sudah menjadi klasik, The Rise and Fall of
the Great Powers (1987). Penerbitan buku empat tahun sebelum runtuhnya Uni
Soviet seolah menjadi prophesy bagi Soviet, sehingga meninggalkan AS sebagai
satu-satunya kekuatan adidaya yang didukung sekutu-sekutu Baratnya dalam
percaturan politik, ekonomi, militer dan budaya global tidak hanya terhadap
Dunia Islam, tetapi juga atas kawasan maju lainnya, khususnya Eropa Barat.
Secara
kolektif, AS beserta negara-negara Eropa Barat maju seperti Jerman, Prancis,
dan Inggris yang merupakan inti (core) peradaban Barat, suka atau tidak,
tetap menduduki posisi dominan dan hegemonik terhadap bagian-bagian dunia lain,
termasuk khususnya Dunia Muslim. Meski terdapat negara-negara Muslim yang
mencapai kemajuan ekonomi dan politik secara signifikan, mereka belum mampu
melepaskan diri dari dominasi dan hegemoni Barat. Bahkan sampai sekarang ini,
umumnya negara-negara Muslim/Islam di Timur Tengah, sejak dari Mesir, Arab
Saudi, Irak sampai negara-negara Teluk, hampir sepenuhnya tergantung kepada AS
dalam bidang ekonomi, politik dan militer. Situasi ini relatif berbeda dengan
Indonesia yang tidak memiliki ketergantungan apa-apa pada AS— meski hegemoni
ekonomi dan politik AS sulit dihindari rejim penguasa Indonesia.
Amerika
Serikat, sekali lagi, merupakan kekuatan Barat yang sangat dominan dan
hegemonik selama kebanyakan abad 20—mengatasi Eropa yang sebelumnya melalui
kolonialisme dan imperialisme menguasai banyak wilayah Asia. Sejak masa
pasca-Perang Dunia II, AS menduduki posisi puncak aliansi kekuatan Barat
kapitalis dalam menghadapi Blok Timur sosialis di bawah komando Uni Soviet.
Runtuhnya Uni Soviet pada 1990 hanyalah memberikan peluang besar bagi AS dan
Dunia Barat secara keseluruhan untuk kian menegaskan dominasi dan hegemoni
mereka.
Meski
demikian, kian banyak ahli—bahkan orang Amerika sekalipun—berbicara tentang The
Decline and Fall of the American Empire, seperti judul karya James Quinn
(2009) atau sebelumnya Jim M Hanson (1993) dan Gore Vidal (1992) dengan judul
yang sama. Bahkan masa jaya Amerika seolah-olah telah lewat sebagaimana
terkesan dalam judul buku Fareed Zakaria The Post American World (2008).
Judul-judul dan substansi buku itu bisa jadi menyesatkan sementara orang Asia
yang mengharapkan kejatuhan Amerika. Memang jelas, terlihat kemunduran, atau
sedikitnya, bahwa AS jalan di tempat, sementara negara-negara lain seperti
Jepang, Korea Selatan dan China kian menanjak. Tetapi juga jelas, seperti
argumen Fareed Zakaria dalam The Post American World dan kolom-kolomnya
di majalah Newsweek, Amerika masih tetap memegang supremasi dalam ilmu
pengetahuan dan sains-teknologi.
Persepsi
tentang ‘kemerosotan’ Amerika itu bisa bertambah kuat belaka, ketika dunia
menyaksikan kebangkitan China dalam bidang ekonomi, sains dan teknologi. China
bahkan dengan segera mengalahkan Jepang sebagai salah satu ekonomi terbesar di
dunia. Kebangkitan China seolah merupakan sebuah ‘miracle’ (mukjizat),
yang membuat Dunia Barat, khususnya AS sangat nervous. Tekanan-tekanan AS agar
China membuka pasarnya, membebaskan mata uangnya, dan menghormati HAM dan
demokrasi terbukti lebih sering diabaikan begitu saja oleh para penguasa China.
Hal ini, tidak lain terutama karena kian menguatnya ‘ketergantungan’ AS pada
China dalam ekonomi dan devisa.
Dikutip
dari Buku “Makalah Prof Azyumardi Azra yang berjudul Nusantara
untuk Kebangkitan Peradaban”.
Agar
Pembaca dapat mengulas tema di atas lebih dalam, kami lampirkan versi luring (offline)
pdf pada link di bawah ini.
Nusantara untuk Kebangkitan Peradaban pdf