![]() |
Diambil dari nu.or.id |
Para
Indonesianis maupun orang-orang Indonesia benar-benar kehilangan atas wafatnya
antropolog dan humanis Cliford Geertz pada akhir Oktober 2006. Geertz telah
melanglang buana melampaui Jawa dan Bali serta menggeluti cakrawala yang jauh
lebih luas sehingga ada perasaan di kalangan para Indonesianis bahwa, entah
sepakat atau tidak dengan gagasan-gagasannya, dia adalah salah seorang dari
kita. Tak syak lagi dia sudah memberikan banyak hal untuk dipertimbangkan pada
bidang kajian ini. Dalam berbagai kontribusi seperti Agricultural Involution
(1963), Islam Observed (1968), dan Negara (1980), kesemuanya dibangun atas
reputasi yang dibentuk oleh Religion of Java-nya yang sangat berpengaruh sejak
1960, gagasan-gagasan Geertz tak pernah gagal membangkitkan gairah.
Semasa
hidup hingga lama setelah wafatnya, Geertz kerap dibandingkan seorang
cendekiawan lain yang kontribusinya menurut saya sangat memengaruhi cara
pandang orang terhadap Indonesia. Sebuah majalah Indonesia ternama bahkan
menyebut mereka sebagai dua dari delapan orang asing dalam daftar seratus
“tokoh Indonesia abad kedua puluh”. Tokoh kedua (atau lebih tepat, pertama)
adalah Christiaan Snouck Hurgronje (1857–1936); seorang orientalis Belanda,
muslim pura-pura, penjajah. Berbeda dari Geertz yang disambut hangat oleh
orang-orang Indonesia yang menulis biografnya dalam edisi majalah tersebut,
Munawar Khalil menyatakan si orang Belanda ini sebagai “tikus air yang menyusup
ke dalam masyarakat Muslim untuk mencuri ‘rahasia’ perlawanan rakyat terhadap
pemerintah kolonial”.
Meski
buku ini bukanlah sebuah kritik terhadap Geertz maupun pembelaan untuk Snouck,
berbagai sumbangan penting Snouck bagi pembentukan kajian Indonesia akan
dibicarakan seiring buku ini menyelami tema-tema utamanya, yaitu: Apa yang
dianggap sebagai unsur-unsur Islam Indonesia? Dan, siapa yang bisa kita sebut
telah membuatnya? Seperti yang akan saya perlihatkan, proses, atau tepatnya
proses-proses, yang memberikan fondasi bagi sebuah konsensus mengenai
pertanyaan-pertanyaan ini digerakkan oleh keeratan hubungan Muslim Asia Tenggara
dengan sesama pemeluk Islam di Tanah Air dan di luar negeri, baik sebelum
maupun di bawah kolonialisme Belanda yang menjadikan mereka bangsa Indonesia.
Jauh melampaui sekadar fakta hegemoni latar belakang, keterlibatan langsung
para penasihat orientalis seperti Snouck, yang bertindak atas nama negara
kolonial dan berpura-pura menguntungkan umat Islam, merupakan sebuah alur utama
yang memperumit kisah tersebut.
SUFISME
DAN YANG MODERN
Berbekal
pengetahuan akan masa lalu, kita bisa dengan mudah menyatakan bahwa skeptisisme
yang digemari Geertz mengenai vitalitas jangka panjang proses Islamisasi, yang
diungkapkan dalam Islam Observed-nya, barangkali sekarang tampak keliru. Namun,
kita juga bisa menantang penggambarannya terhadap sejarah Islam Indonesia
sebagai “hingga belakangan ini, sangat lentur, tentatif, sinkretis, dan, yang
paling penting, multisuara”. Jika, bagi Geertz, watak multisuara Islam
Indonesia adalah yang paling penting, dengan menengok ke sekitar empat dekade
kemudian, kita bisa menyatakan bahwa syarat “hingga belakangan ini” itulah yang
sebenarnya merupakan pengamatan paling relevan. Bisa dibilang bahwa Geertz
membaca bidang-bidang kajiannya dengan memperhatikan kecendekiawanan modernis
dan penjelasan para informan yang tampaknya merupakan pencela banyak praktik
lokal yang dia dokumentasikan. Sebagaimana akan kita lihat, para informan
semacam itu dan juru bicara mereka dari Barat memiliki sejarah yang
berkelindan.
Dalam
sebuah kritik mutakhir terhadap bidang kajian kolonial, Frederick Cooper
mempertanyakan kegunaan trinitas kudus “identitas”, “globalisasi”, dan
“modernitas”. Dia menuntut tingkat kespesifkan yang lebih tinggi dalam wacana
akademik dan menuntut kajian yang membaca kolonialisme bukan sebagai sebuah
kisah yang dituturkan dengan latar belakang bangkitnya modernitas, melainkan
lebih sebagai perjumpaan-perjumpaan tempat konsep-konsep seperti
“bangsa”, “yang modern”, dan “agama” diberi makna.3
Buku
ini sebagiannya dimaksudkan untuk mendorong tantangan ini. Sebelumnya saya
sudah berusaha menunjukkan kontribusi Islam terhadap terbentuknya Indonesia,
sekarang saya ingin beralih untuk menyelidiki bagaimana Islam ditafsirkan dan
dibentuk oleh beragam aktor di kawasan ini; termasuk orang-orang Kristen
Belanda. Yang sangat penting bagi penyelidikan saya adalah perdebatan mengenai
posisi praksis tarekat—berbagai ritual perenungan mistis yang diorganisasi di
bawah bimbingan seorang guru yang dikenal sebagai syekh—yang hanya mewakili
satu aspek dari Sufsme sebagai sebuah bidang pengetahuan Islami.
Dalam
perjalanannya, sebuah kisah yang jauh lebih luas dan kerap lebih politis harus
dituturkan, kisah yang secara implisit mempertanyakan pemahaman yang berlaku saat ini
bahwa Sufsme adalah bentuk Islam yang paling menerima terhadap kontak dengan
Barat. Dengan menyatakan semua itu, saya tidak sedang menawarkan sebuah narasi
mengenai bagaimana Sufsme dan anti-Sufsme dimainkan pada abad kedua puluh
secara keseluruhan, juga bukan mengenai bagaimana Islam dan politik saling
beririsan di Indonesia saat ini. Sebaliknya, ini akan tetap merupakan sebuah
kisah kolonial, meski sebuah kisah yang sesekali tampak tak terlalu berbeda
dari yang dimainkan dengan taruhan yang sangat tinggi hari ini.
KERANGKA
NARASI Dalam menyatakan bahwa seseorang atau sesuatu memiliki “bahan-bahan
pembuatan” dari sesuatu yang lain dan menyiratkan sebuah proses pembentukan
yang terus berlanjut, saya akan mengatakan bahwa Islam Indonesia merupakan
sebuah proyek nasional yang terus-menerus didefnisikan kembali oleh pemeluknya.
Namun, pada tingkat yang lebih jelas, judul buku ini menunjukkan bahwa terdapat
banyak proses yang bekerja dalam perjalanan menuju proklamasi kemerdekaan 17
Agustus 1945—di antara proses-proses itu, proyek reformis dan kolonial
barangkali adalah yang dinyatakan secara paling eksplisit. Meskipun proyek
kolonial mendominasi dalam buku ini, saya rasa penting untuk tidak mengawalinya
dengan mengistimewakan pengalaman Barat. Oleh karena itu, tiga bab pertama
(Bagian Satu) menggambarkan tren-tren
utama dalam pembentukan wacana Islam Asia Tenggara, berawal dari langkah
pertama ke arah Islamisasi kawasan ini pada 1200-an, dan berlanjut hingga
1880-an ketika Belanda akan membuat berbagai intervensi de jure yang lebih
eksplisit dalam Hukum Muslim. Latar belakang ini diperlukan untuk membuat
unsur-unsur dalam kisah kolonial berikutnya menjadi jelas.
Bab 1
mendokumentasikan proses Islamisasi di seluruh Nusantara. Bab ini juga
menguraikan argumen bahwa pengetahuan kita saat ini sebagian besar dibentuk
oleh penerimaan terhadap pembingkaian dan validasi retrospektif atas
ajaran-ajaran Suf abad ketujuh belas. Ajaran-ajaran tersebut menekankan
hubungan mistis antara Nabi dan sekelompok elite terpelajar yang dilindungi
oleh otoritas kerajaan. Bab 2 meninjau bagaimana, pada abad kedelapan belas,
struktur pembelajaran yang lebih formal terbentuk di Nusantara ketika para
cendekiawan Asia Tenggara mulai lebih berpartisipasi dalam jaringan Timur
Tengah. Saya akan menyatakan bahwa saat itu terdapat sebuah upaya yang lebih
eksplisit dari pihak kerajaan untuk mengalihkan publik yang tengah mengalami
Islamisasi menjauh dari daya tarik Sufsme spekulatif dan menuju komitmen yang
lebih kuat terhadap hukum Islam (dan dengan demikian terhadap pemerintahan).
Selanjutnya, Bab 3 mengkaji kebangkitan, terutama pada abad kesembilan belas,
sebuah bentuk baru otoritas populis yang memperluas cakupan aktivitas Islami
melampaui jangkauan istana-istana yang semakin terpinggirkan. Secara khusus bab
ini memeriksa implikasi praktis penggunaan pers litografs oleh beberapa
persaudaraan mistis dengan koneksi Mekah yang lebih baru.
Bagian
kedua dari buku ini, sebaliknya, berkenaan dengan pengalaman paralel jangka
panjang Belanda (dan, hingga tingkat tertentu, Inggris) dengan Islam di Asia
Tenggara, dengan memberikan penekanan yang setara pada berbagai interaksi di
Hindia dan cara interaksi-interaksi ini dipahami di metropolis. Bab 4 berfokus
pada berbagai gagasan yang sangat kabur mengenai Islam yang terbentuk selama
pelayaran pertama pada 1590-an, dengan menekankan posisi Protestantisme dalam
mengembangkan pemahaman mengenai Islam dan hubungan problematisnya dengan VOC.
Dengan
menurunnya imperium-imperium perdagangan pada pengujung abad kedelapan belas,
Bab 5 mengkaji berbagai perubahan yang terbentuk pada abad kesembilan belas di
bawah pengaruh budaya ilmu pengetahuan yang baru dan konsep baru mengenai
imperium yang dikembangkan oleh pemerintah Den Haag dan Batavia. Berbagai
perkembangan intelektual ini mengakibatkan upaya yang kian aktif dari kalangan
orang-orang Barat dalam mengukur dan memahami bagaimana Islam diorganisasikan
di Nusantara. Mereka juga berusaha untuk mendidik para pejabat mereka untuk
mempelajari bidang Hukum Islam sebagai persiapan penempatan mereka di lapangan.
Usaha keras untuk menunjukkan pembingkaian yang paralel terhadap Hindia sebagai
sebuah ladang misi penting dalam membentuk dan kadang menantang upaya-upaya
kolonial ini dipaparkan di Bab 6.
Setelah
menjelaskan dua alur utama sejarah Indonesia—alur Islam dan Kolonial—buku ini
beralih ke per empat ketiga yang membicarakan berbagai implikasi berkelindannya
kecendekiawanan pribumi dan Belanda mengenai pertanyaan tentang agama. Di sini,
fokus kita adalah kepada Snouck Hurgronje serta jaringan sekutu dan
informannya. Kita akan menyelidiki aktivitas mereka secara mendetail dan dalam
periode waktu yang agak singkat karena berada dalam hitungan tahun, bukannya
dekade atau abad.
Bab 7
bermula dengan berbagai intervensi Snouck Hurgronje dalam bidang kajian ini di
Belanda, berbagai kritiknya terhadap serangan yuridis dan misiologis atas
ortopraksi Islam di Hindia, serta persekutuannya dengan mereka yang dianggapnya
memiliki penafsiran yang lebih terdidik mengenai Islam. Oleh karena itu,
pandangan-pandangan tersebut disokongnya sebagai sesuatu yang menguntungkan
bagi kesejahteraan publik yang saat itu masih berupa Hindia Belanda. Secara
khusus bab ini akan membicarakan ketidaksukaan Snouck dan para sekutunya
terhadap beragam mistisisme populis yang oleh para guru muslim pesaing—yang
tidak terlalu peduli pada hukum—dapat digunakan untuk tujuan mereka sendiri.
Bab 8
menyelami hubungan-hubungan ini secara lebih mendalam, dengan mengikuti Snouck
ketika tiba di Batavia pada 1889 dan melakukan kerja lapangan di Jawa dan Aceh,
memeriksa posisinya baik dalam masyarakat Belanda maupun masyarakat pribumi.
Sementara oleh para atasannya dia dipandang sebagai seorang informan mengenai
kaum Muslim, orang-orang Muslim sendiri bisa melihatnya sebagai seorang
mediator bagi kepentingan mereka. Selanjutnya, Bab 9 menjelaskan posisi mereka
yang tidak begitu terpikat, dan yang menentang otoritas Snouck karena memandang
kebijakan-kebijakan
“etis”-nya (demikian berbagai kebijakan tersebut dikenal) untuk memodernisasi
Hindia Muslim sebagai bagian dari proyek Kristenisasi dalam jangka yang lebih
panjang.
Bagian
terakhir buku ini membahas hubungan antara para cendekiawan Belanda dan
pembaharu muslim pada paruh pertama abad kedua puluh dan konsensus mereka yang
nyata bahwa sebuah Islam baru sedang muncul di tanah Hindia. Bentuk baru inilah
yang akan menggantikan tradisi kuno mistisisme “India” di kawasan ini. Bab 10
melanjutkan apa yang terhenti di Bab 3, melacak perdebatan yang terus
berlangsung mengenai Sufsme dalam kaitannya dengan gagasan mengenai ortodoksi
yang terus berubah.
Sementara
itu, Bab 11 akan membicarakan cara para penerus Snouck, yang dididik dalam
sejarah Islam melalui penggunaan berbagai manuskrip yang telah dia kumpulkan,
mengunggulkan sebuah alur aktivisme muslim tertentu yang oleh orang-orang saat
itu semakin kerap disebut “Indonesia”. Bab ini juga akan menyelidiki bahwasanya
dukungan itu sebenarnya problematis bagi otoritas kolonial, bahkan meskipun
mereka mengandalkan hubungan yang terbentuk antara para penasihat dan pemimpin
keagamaan lokal untuk mengendalikan berbagai situasi yang berpotensi meledak.
Bab 12
menunjukkan bahwa dengan bangkitnya sebuah gerakan nasional yang dirumuskan
oleh sebagian aktornya dalam kerangka Islam, para penasihat dan reformis yang
menjadi teman sepemahaman mereka akan disalahkan dan dipinggirkan oleh sebuah
negara kolonial yang reaksioner, persis sebelum pendudukan Jepang.
Dikutip
dari Kata Pengantar dalam buku Sejarah Islam di
Nusantara.
Agar
Pembaca dapat mengulas tema di atas lebih dalam, kami lampirkan versi luring (offline)
pdf pada link di bawah ini.
Sejarah Islam di Nusantara pdf
Filsafat Islam: Dari Klasik Hingga Kontemporer pdf
0 komentar:
Posting Komentar