![]() |
Diambil dari Islamlib.com |
Membaca,
secara filosofis, adalah salah satu langkah dalam proses pembangunan kesadaran,
baik kesadaran personal maupun kesadaran sosial, kesadaran internal maupun
kesadaran eksternal. Mengapa? Karena membaca adalah memahami. Dalam konteks
ini, aktivitas membaca bukan hanya melantunkan, melainkan mengkaji, menndalami, mengidentifikasi, dan
menginterpretasi dalam orientasi praksis. Untuk itu, terdapat relasionalitas
antara pembaca dan yang dibaca dalam orientasi realitas sehingga tidak ada
kesenjangan antara teks dan konteks, subjek dan objek. Dengan demikian, membaca
adalah menakar dan menafsir yang merupakan refleksi kritis subjek terhadap
objek dengan sentuhan orientasi perubahan.
Bahkan,
membaca adalah tanggung jawab moral subjek terhadap realitas yang mengelilinginya.
Oleh karena itu, seorang pembaca dalam pembacaannya akan senantiasa
mempertimbangkan kesadaran historis, kesadaran spekulatif, dan kesadaran
praksis atas realitas yang melingkupinya, yang merupakan triangle lingkaran
hermeneutis. Proses membaca yang demikian itu akan berimplikasi pada
terciptanya pola dialog interaktif, bebas dominasi, dan inklusif. Implikasi
selanjutnya adalah terciptanya alternatif solusi-solusi kreatif yang signifikan
dengan problematika yang sedang menyelimuti realitas. Sebab, filsafat bukan
semata-mata pikiran yang a-historis, a-sosial, dan a-kultural, melainkan
merupakan sistem pemikiran yang tumbuh dan berkembang dalam suatu masa tertentu,
dibangun oleh suatu generasi bangsa tertentu, dan melayani komunitas sosial
tertentu serta mengekspresikan peradaban.
Filsuf
adalah orang yang memiliki sikap kebudayaan dengan mengambil sikap terhadap
tradisi klasik dan mengambil sikap kritis terhadapnya sehingga ia dapat
menyingkap selubung persepsi klasik dalam rangka proses teoretisasi lain dengan
menggunakan ratio (nalar) dan nature (alam) sebagai dua poros
utama ilmu pengetahuan baru. Selain itu, ia juga mengambil sikap kritis
terhadap tradisi Barat dengan mereduksikannya ke dalam batas-batas lokalnya.
Dengan kata lain, seorang filsuf selalu melakukan internalisasi nilai untuk diproyeksikan
pada wilayah praksis. Ia adalah orang yang cenderung pada bendanya sendiri,
sebagai orang yang melepaskan diri dari al-manqûl menuju al-ma’qûl melalui
observasi, sensasi, dan pengalaman empirik.
Sudah
saatnya sekarang ini kita (baca: masyarakat muslim) mengeksplorasi perjalanan
sejarah, beralih dari merujuk ke masa lampau menuju masa depan dengan berpijak
pada pencapaian solusi-solusi
yang telah ditawarkan untuk mengatasi problematika masa kini. Peralihan itu
bukan berarti mencerabut kehendak masa kini dan mengabaikan tendensi atau
kompensasi non-kesadaran dan melarikan kesadaran dari krisis-krisis zaman. Kembali
pada masa lampau ataupun berorientasi menuju masa depan kadang merupakan sikap
yang menyenangkan apabila di dalam sikap itu mengabaikan masa kini, desersi,
tenang, melupakan dan mengompensasikannya. Bahkan sikap kembali pada masa
lampau itu merupakan sikap yang tepat apabila bertujuan untuk membahas
akar-akar sejarah krisis-krisis
zaman sampai pada pencapaian solusi secara mendasar atau planning ke
masa depan dan mempersiapkannya sehingga tidak terjebak dalam chaos,
anarkisme yang membabi buta, dan kebimbangan.
Perspektif
yang demikian ini bukan semata-mata berrtujuan mengetahui
peristiwa-peristiwa masa lalu dan akumulasi informasi dari dokumen-dokumen,
prasasti-prasasti, manuskrip-manuskrip,
dan sumber-sumber pokok sebagaimana yang terdapat dalam aliran historisisme yang
dominan di Barat pada abad yang lampau dan dalam Historical Reductionism
yang mulai dijauhi oleh kajian sejarah kontemporer. Sebab, model ini hanya
mengamati peristiwa satu persatu tanpa memberikan makna, signifikansi ataupun
hukum (sejarah), lebih mengedepankan ruang daripada waktu, discontinuance daripada
continuation. Ia bukan sekadar mengamati berbagai peristiwa seolah-olah
kita berada dalam museum, melainkan merupakan intensi, kesadaran kolektif yang
dituangkan ke dalam kesadaran individual. Sejarah merupakan akar dan dasar bagi
kesadaran. Ia bukan sekadar memori masa lalu, melainkan alur dan hukum,
semangat sejarah. Tujuannya adalah mengembangkan dan memperdalam kesadaran
sejarah sebagai sarana untuk memperdalam kesadaran nasional yang memberikan
pengalaman-pengalaman sejarah masa lampau untuk melihat masa kini dan beberapa
faktor pembentuknya.
Masa
kini merupakan akumulasi dari masa lampau. Kendatipun berbagai peristiwa
terjadi dalam rangkaian waktu, diachronism, namun hal itu mempunyai struktur,
synchronism. Masa kini memberikan pencerahan pada masa lampau melalui pemilihan
objek dan penarikan kesimpulan. Relasionalitas masa lampau dengan masa kini terjadi
hanya dalam satu kesadaran nasional untuk memanifestasikan kontinuitas dalam
kepribadian sejarah, untuk mengeksplorasi dan mengamati fase-fase dan alur-alur
perkembangannya dalam sejarah. Masa lampau juga dapat membaca masa kini karena
masa lampau sebenarnya merupakan faktor pembentuk masa kini. Masa lampau bisa
jadi lebih partisipatif pada masa kini daripada masa kini itu sendiri. Manusia
ada dalam sejarah dan hidup di dalamnya sedemikian rupa sehingga kesadaran
sejarah yang merupakan kesadaran atas masa lampau mendominasi kesadaran atas
masa kini dan kesadaran atas masa depan. Oleh karena itu, muncul
gerakan-gerakan konservatif yang menyerukan kembali ke masa lampau sebagai
satu-satunya jalan menuju kebangkitan masa kini dan mengejar masa depan. Pembacaan
masa kini terhadap masa lampau dan pembacaan masa lampau terhadap masa kini
merupakan dua gerakan yang tidak dapat dipisahkan dan saling berhubungan secara
berkelindan. Keduanya merupakan dua orientasi untuk satu gerak: “bolak-balik”.
Hassan
Hanafi, seorang filsuf kelahiran Mesir 13 Februari 1935 M., selalu menjadikan
karya tulisnya sebagai persaksian atas dinamika zamannya. Ia selalu mengalunkan
nada dekonstruksi-rekonstruksi terhadap realitas yang dibangun berdasarkan atas
sikap kritis pada ‘diri’ (baca: tradisi intelektual Islam), sikap kritis
terhadap ‘yang lain’ (baca: Barat), dan sikap kritis terhadap realitas. Untuk
itu, ia selalu melakukan dialektika ‘diri’ dan ‘yang lain’ dalam orientasi
praksis pada realitas aktualnya melalui analisis fungsional-efektif. Tujuannya
adalah menyandingkan “tradisi” dan “modernitas” dalam gerak sejarah.
Sekarang
ini, yang menjadi persoalan utama di dunia Islam bukanlah tajdîd at-turâts
(memperbarui tradisi) atau at-turâts wa at-tajdîd (tradisi dan pembaruan), sebab yang
menjadi starting point (pijakan) adalah ‘tradisi’. Pembaruan dilakukan
dalam rangka kontinuitas kebudayaan nasional, peletakan landasan bagi masa
kini, motivasi menuju kemajuan, dan keterlibatan dalam perubahan sosial.
Tradisi adalah titik awal sebagai tanggung jawab budaya-kebangsaan, sedangkan
pembaruan merupakan reinterpretasi terhadap tradisi sesuai dengan tuntutan zaman.
Yang lama mendahului yang baru, dan otentisitas menjadi landasan bagi konteks
masa kini. Tradisi bukan merupakan fakta tunggal, melainkan ia adalah berbagai
kecenderungan dan aliran yang mengekspresikan sikap, kekuatan sosial, ideologi-ideologi, dan berbagai macam
pandangan. Untuk itu, tradisi tidak mempunyai eksistensi yang independen,
terlepas dari realitas yang dinamis dan selalu berubah, yang mengekspresikan
semangat zaman, dan pembentukan generasi dan fase perkembangan sejarah. Ia
merupakan kumpulan interpretasi yang diberikan oleh masing-masing generasi
sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan zamannya. Lebih-lebih, bahwa landasan
primer yang menjadi sumber kemunculan tradisi itu memungkinkan bagi munculnya
kemajemukan (pluralitas). Sebab, yang menjadi landasan dasarnya adalah
realitas. Tradisi bukanlah kumpulan akidah yang bersifat teoretis-statis dan
fakta-fakta mati yang
tidak menerima perubahan, melainkan ia adalah sejumlah realisasi dari banyak
teori yang muncul dalam situasi tertentu, dalam kondisi sejarah tertentu, dan
dalam kelompok masyarakat tertentu yang memberikan pandangan mereka tentang
alam. Tradisi adalah potensi yang tersembunyi dalam psikologi public.
Seorang
pemikir harus memiliki jiwa nasionalis dan tidak banci. Itulah pernyataan yang
sering kali diucapkan oleh Hassan Hanafi dalam berbagai kesempatan. Dalam
konteks inilah dia, yang sejak kecil dirisaukan oleh realitas dunia Islam,
khususnya Mesir, yang stagnan dan berada dalam ketidakberdayaan, berusaha
mengembangkan kesadaran, baik kesadaran keagamaan maupun kesadaran filosofis.
Ia sangat gerah terhadap kaum intelektual yang hanya berkutat dan berhenti pada
teks dan warisan masa lampau. Di sini ia tidak berhenti pada analisis historis
dalam pengertian kembali ke masa lampau maupun analisis epistemologis,
melainkan berlanjut pada analisis fungsional-praksis. Ia mempunyai sense of
reality yang sangat kuat sebagaimana yang dituangkan dalam karya-karyanya,
seperti Ad-Dîn wa ats-Tsaurah (terdiri atas 8 jilid), Min al-Aqîdah
ila ats-Tsaurah (terdiri atas 5 jilid), Qadhâya Mu’âshirah (terdiri
atas 2 jilid), dan yang lainnya. Ia sangat konsen pada persoalan-persoalan riil
masyarakat muslim, seperti ketidakadilan, kemiskinan, kebodohan, penindasan,
dan perampasan hak-hak dasar manusia yang banyak terjadi di dunia Islam. Ia
sangat risih dengan sistem pelajaran dan pengajaran di sekolah-sekolah dan
universitas-universitas yang tidak beranjak dari hafalan dan penumpukan materi
klasik tanpa adanya inovasi-kreatif
dan penghadapan pada tantangan realitas kontemporer. Bagi Hassan Hanafi, sebuah
pemikiran, bahkan risalah keagamaan, tidak ada artinya, bahkan bukan merupakan
pemikiran, jika tidak bersentuhan dengan realitas dalam semangat perubahan.
Dengan pernyataan tersebut, Hassan Hanafi menunjukkan dirinya tidak hanya
sebagai pemikir muslim progresif garda depan, melainkan juga sebagai seorang
pengusung strategi kebudayaan yang sangat kritis. Inilah yang membedakannya
dari pemikir-pemikir muslim kontemporer lain, seperti Fazlur Rahman yang lebih
terfokus pada pencarian metodologi memahami Al-Qur’an dan penyelidikan sejarah
intelektual muslim masa
Nabi hingga Abad Pertengahan, Muhammad Arkoun dan Muhammad ‘Abed al-Jabiri yang
sangat kompeten pada kritik dekonstruktif terhadap nalar Islam klasik; bahkan
Nasr Hamid Abu Zaid yang belum banyak beranjak dari posisinya sebagai pengamat
pemikiran Islam.
Sejak
semula Hassan Hanafi selalu mencurahkan perhatiannya pada realitas masyarakat
muslim yang stagnan dan terbelakang. Perkembangan pemikiran kritisnya
berbarengan dengan perkembangan pemikiran kritis Eropa, terutama Inggris,
Prancis, dan Jerman.
Kesadaran
Hassan Hanafi atas realitas kehidupan terbangun sejak kecil, yakni sejak masih
dalam usia bermain di sekolah dasar. Dari sini, perhatian utamanya adalah seni,
tulisan formal, dan pada masa berikutnya adalah musik, yakni ketika ia berada
di madrasah tsanawiyah. Kesadaran religius, yakni kesadaran atas hidup, muncul
ketika ia berhubungan dengan gerakan Ikhwanul Muslimin. Tulisan Sayyid Quthb
yang bertitel Al-Islâm Harkah Ibdâ’iyyah fî al-Fann wa al-Hayah adalah
tulisan yang mengekspresikan totalitas gejolak jiwanya. Barangkali kekagumannya
terhadap Iqbal, Bergson, Guyau, Nietzsche, dan setelah itu Dilthey, Driesch,
dan Husserl hanyalah karena mereka adalah filsuf-filsuf kehidupan. Inilah yang
pada akhirnya membangun hermeneutika Hassan Hanafi yang berangkat dari
pengalaman yang dinamis dan kekaguman terhadap kaum romantisme Jerman, yaitu
orang-orang yang keluar dari dan sekaligus melawan Hegel, seperti
Schleiermacher dan Kierkegaard, dan seluruh peletak hermeneutika kontemporer.
Hassan Hanafi tenggelam dalam sejarah filsafat. Dia sangat gandrung kepada
tokoh-tokoh “murtad”, seperti Spinoza dan Kierkegaard.
Kesadaran
(pemikiran) filosofis Hassan Hanafi sudah dimulai sejak ia berkenalan dengan
Idealisme Jerman, terutama Fichte, filsafat perlawanan dan ego yang menempatkan
subjek ego berlawanan dengan non-ego dan pelajaran tentang petunjuk yang
simetris antara subjek, objek, dan intensionalitas dalam pandangan Husserl.
Idelisme-tran[1]sendentalisme
Jerman dijadikan sebagai titik permulaan filsafat Barat bersama-sama dengan
filsafat esensialisme Iqbal. Diskursus tentang kesadaran adalah diskursus hati
ke hati. Pada tahap ini, Hassan Hanafi adalah penganut idealisme-esensialisme.
Itulah yang pada masa berikutnya menjadi domain kesadaran dalam proyek At-Turâts
wa at-Tajdîdâh
(Tradisi dan Modernitas).
Namun
demikian, konstruksi kesadaran pemikiran filosofis Hassan Hanafi pada dasarnya
ditemukan dan dibentuk di Prancis pada paro akhir tahun 1950-an. Pada tahun
1960-an, Paris menjadi pusat utama pemikiran filsafat kontemporer di dunia. Di
sinilah tempat pemikiran-pemikiran yang dominan pada era 1970-an diformulasikan.
Di tempat ini Hassan Hanafi mengalami lompatan ideologis dari idealisme ke
realisme, pengalaman personal. Pada saat itu ia hanya bisa melakukan tindakan
yang mempunyai landasan teoretis. Ia berangkat dari dunia, sense, realitas,
manusia, dan benda-benda materiil setelah mengalami sejumlah benturan. Di sini
ia secara gradual tenggelam dalam filsafat-filsafat Zurück zu den Sachen
selbst (kembali pada benda-benda sendiri)-nya Bergson, Husserl, Heidegger,
penyatuan dengan benda untuk mencapai esensinya, hidup dengan benda-benda. Ia
menyelidiki kisi-kisi filsafat eksistensi: manusia di dunia, eksistensi
manusia, realitas manusia, tubuh, waktu, kehidupan, kesadaran, penemuan,
kegelisahan yang menggerakkan, gundah, dan keterbatasan. Buku Being and Time
(Ada dan Waktu) karya Heidegger membuat Hassan Hanafi menyadari dunia dan
metafisika yang ada (ontologi).
Namun
demikian, sebagaimana yang diakuinya sendiri, Hassan Hanafi sejak semula
(baca:kecil) cenderung lebih mengagumi Geist (spirit) dan idealisme
Jerman, dan penyatuan spirit dan fisik daripada yang lain. Makalah pertama yang
ditulis semasa di universitas adalah Al-Khashâ’ish al-Musytarikah bain
ar-Rûh al-‘Arâbiyyah wa ar-Rûh al-’Ilmâniyyah. Spiritualitas kedua
peradaban itu adalah seruan kepada ide, alam, potensi, nalar, otoritas, dan
sistem. Kekaguman itu terus berlangsung sampai sekarang. Oleh karena itu,
ketika ia memahami idealisme Jerman dengan sempurna maka ia menjadi
fenomenolog, menjadi “Fichte”, sang filsuf tanah yang handal, filsuf oposisi,
filsuf penggerak nasionalisme, dan menjadi Hegelian Kiri pasca neo-Kantian.
Demikian itu jika dikaitkan dengan kondisi objektif kehidupan bangsa Arab yang
didominasi oleh tradisi klasik. Artinya, Hassan Hanafi hendak
mentransformasikan agama ke dalam filsafat berdasarkan filsafat Hegel,
mentransformasikan filsafat ke dalam dunia berdasarkan filsafat Feuerbach.
Perhatian
Hassan Hanafi terhadap filsafat Islam sudah terbangun semenjak dia masih di
Mesir, sebelum berangkat ke Prancis. Di luar kampus ia membaca karya-karya
Hassan al-Banna, Sayyid Quthub, Abu al-Hassan an-Nadwi, Muhammad al-Ghazali dan
pemikir-pemikir muslim kontemporer ternama lainnya. Saat itulah ia merasakan
sesuatu terjadi dalam dirinya. Ia menyadari akan kebangkitan Islam dan umat
Islam, menyadari eksistensi, kehidupan, realitas, masyarakat, negara, masa
depan, dan misi kehidupannya. Dalam graduasi pengalaman kampus ia mendengar
pengetahuan tentang sepuluh akal, akal aktif, esensi dan atribut, dan fisika
Ibn Sina. Semua pengetahuan itu terasa asing dan seolah-olah bukan merupakan
bagian dari tradisi Islam. Jiwanya berada di tengah-tengah kaum pembaru, namun
nalar (rasio kritis)-nya berada di kampus yang kosong dari diskursus tentang
problematika dan tantangan yang dihadapi umat Islam dan dunia Islam. Kenyataan
seperti ini muncul akibat metode pengajaran di universitas yang menggunakan
sistem imla’ dan talqin. Saat itu ia mencabut diri dari filsafat Islam
sebagaimana ia melepaskan diri dari Ilmu Kalam yang semata-mata bersifat
teoretis dan tidak menyentuh realitas kehidupan umat Islam. Pengajaran hanya
diberikan untuk membaca dan menghafal masa lampau, sama sekali tidak ada
refleksi terhadap masa kini. Metode pengajaran dan materi kuliah tidak bersentuhan
sama sekali dengan realitas di luar kelas. Dalam konteks ini ia berada pada
posisi minoritas. Ketika mempelajari tasawuf, untuk yang pertama kalinya ia
menyadari urgensi kembali pada Al-Qur’an sebagai neraca utama, urgensi relasi
antara tauhid Islam dan wahdah asy-syuhûd wa wahdah al-wujûd sebagaimana
yang dinyatakan kaum Sufi.
Pada
tahun yang sama, yakni ketika Hassan Hanafi berada pada tingkat tiga, dia
mendengar Iqbal yang berbicara tentang makna hidup, penciptaan, inovasi,
potensi, jihad, esensialisme, dan masyarakat. Di situ ia menyadari bahwa
pemikiran Islam itu mengakumulasikan masa lampau dan masa kini, dan melakukan
konseptualisasi terhadap realitas umat Islam. Hal ini berbeda dengan
teori-teori sepuluh
akal, esensi dan atribut, serta maqâmât dan ahwâl. Inilah jenis
filsafat yang diinginkan Hassan Hanafi. Dia menempatkan Iqbal vis-a-vis
Kierkegaard, Sartre, Marcel dan kaum eksistensialis lainnya. Dari sini ia mulai
aktif untuk membuat sebuah paradigma Islam yang universal, yang didasarkan pada
nalar baik dan buruk, kesatuan kebenaran, kebaikan dan keindahan (estetika).
Krisis
kehidupan intelektual di berbagai universitas di Mesir, penindasan terhadap
Ikhwanul Muslimin, dan krisis penelitian intelektual Islam yang dikombinasikan
dengan krisis diri Hassan Hanafi pada akhirnya memberi dukungan kepada dirinya
untuk berkonsentrasi pada proyek pembaruan Islam. Pada titik ini ia menyatakan:
“aku ke masjid Umar dan membaca
Al-Qur’an. Di sinilah untuk pertama kalinya aku merasakan intuisi filosofis
Al-Qur’an, urgensi dunia kesadaran dan kepekaan, dan tuntutan kontinuitas
perjuangan ...” “Tak ada waktu luang untuk musik maupun bermain biola. Ide
Islam kontemporer mulai berdengung di telingaku seperti sebuah melodi. Melodi
musik itu kosong tanpa muatan ide-intelektual. Aku tidak bisa tetap di Mesir.
Apa yang akan aku pelajari?”
Oleh
karena itu, di dalam diri Hassan Hanafi mengalir dua kesadaran, yakni cogito
rasionalisme dan ego eksistensialisme yang direpresentasikan dalam delapan
tahun masa hidupnya: idealisme[1]rasionalisme
(1956–1960) dan realisme-eksistensialisme (1961–1966). Namun demikian, dia
tetap menjaga optimisme idealisme dan mengabaikan pesimisme
eksistensialisme, menjaga peranan nalar (‘aql) dalam idealisme dan
meninggalkan irasionalitas dalam eksistensialisme, mempertahankan argumentasi
pragmatisme dalam idealisme dan menggusur ketidakbergunaan dalam
eksistensialisme. Menurutnya, nalar dan realitas sama-sama berorientasi pada
satu tindakan: praksis. Adapun yang membuatnya bahagia adalah ketika ia menemukan
pandangan tersebut di dalam salah satu bab dari buku Logische Untersuchungen
jilid I karya Husserl. Ketika ia melepaskan tradisi agama dari sumber wahyu,
maka sempurnalah kesatuan wahyu, nalar, dan realitas. Kesatuan ini menjadi
bagian terakhir dari karyanya yang
bertitel Manâhij at-Tafsîr (Les Méthodes d’Exégèse). Inilah yang
mendorong Hassan Hanafi melakukan penerjemahan karya-karya tentang “agama
rasional” (Kant) dan “agama natural” (Lessing). Pada saat itu, Hassan Hanafi
lebih dekat pada wahdah al-wujûd (unitas eksistensi) dalam pengertian
kehendak subjektif sebagaimana dalam pandangan Ficthe, bukan dalam pengertian
abstrak dalam pandangan Schelling, yang melakukan singkronisasi
idealisme-subjektif Fichte dan idealisme-objektif Hegel dalam membentuk
filsafat identitas. Dia membaca, hidup, berpikir, dan beraksi. Sampai sekarang,
baginya, romantisme adalah titik pertemuan antara idealisme dan eksistensialisme,
titik pertemuan antara kesadaran dan kehidupan. Di sini, proyek Hassan Hanafi
yang ingin menciptakan metodologi dan teologi Islam baru yang
universal-komprehensif terus berlanjut namun pendekatannya berubah.
Orang
yang memiliki andil besar dalam konstruk filosofis Hassan Hanafi adalah Jean
Guitton. Ia adalah murid Bergson yang menjadi Guru Besar Ilmu Filsafat di
Sorbonne University dan sebagai tokoh pentolan modernis Katolik Roma. Dialah
yang memandu Hassan Hanafi dalam membaca dan mengkaji filsafat Barat. Dia juga
yang memberikan panduan kepada Hassan Hanafi dalam hal-hal praktis, seperti
bagaimana memberikan kuliah umum dan metode-metode penelitian. Metode dan
perspektif umum Guitton sangat tepat bagi pengembangan pemahaman Hassan Hanafi
tentang pendekatan-pendekatan
untuk rekonsiliasi posisi-posisi yang berbeda. Hassan Hanafi banyak belajar
dari Guitton tentang urgensi starting point dalam filsafat. Filsafat
membutuhkan titik permulaan yang diperdalam oleh seorang filsuf dan setelah itu
digeneralisasikan sedemikian rupa sampai pada metafisika murni. Dialah yang
sangat berpengaruh bagi kesadaran Hassan Hanafi tentang kehidupan, transformasi
dari idealisme ke realisme, dan transformasi dari pikiran ke eksistensi. Dengan
demikian, relasi Hassan Hanafi dengan Guitton adalah seperti relasi Aristoteles
dengan Plato, Marx dengan Feuerbach, dan Feuerbach dengan Hegel. Dia
mengembangkannya dari idea ke realitas, dari spirit ke dunia, dari kesadaran personal
ke kesadaran sosial, dari kanan ke kiri, dari agama ke revolusi, dari Barat ke
Timur, dari Masehisme ke Islam.
Hassan
Hanafi menggunakan kritik negatif padahal Guitton ingin melestarikan
kaidah-kaidah keimanan. Dia mengonstruk Teologi Revolusi padahal Guitton takut
menjadi Marxisme dan bahwa ia takut kekerasan (violence) dan keimanan
akan dirasuki hal-hal yang bukan merupakan bagian dari iman. Karena itu,
aliran-aliran filsafat akan berkembang melalui kontradiksi dan akan mati dan
berakhir melalui keseragaman.
Hassan
Hanafi berangkat dengan metode dasar sosio-legal pemikiran Islam, memanfaatkan
perspektif yang mengakumulasikan perspektif-perspektif Islam tentang ta’wîl
(interpretasi esoteris) dan tafsîr (Quranic exegesis) dengan
pendekatan-pendekatan kontemporer, yakni dengan menggunakan analisis filsafat
dalam rangka membongkar kebekuan (stagnasi) generasi muslim. Untuk itu, ia
menulis karya monumental bertitel Les Méthodes d’Exégèse: essai sur La
Science des Fondements de la Compréhension “’Ilm Ushul al-Fiqh” (Metode
Penafsiran: Essai tentang Ilmu Pengetahuan Dasar-Dasar Pemahaman dalam Bidang
Ushul Fiqh). Karya ini merupakan upaya pertamanya merekonstruksi peradaban
Islam pada level kesadaran untuk mengeksplorasi diri-subjektif sehingga dapat
melakukan pemilihan kembali terhadaap sumber dan pusat peradaban dan
mentransformasikannya dari teosentris, yakni peradaban yang berpusat pada
Tuhan, ke antroposentris, yakni peradaban yang berpusat pada manusia.
Introduksi yang ditulis adalah permulaan bagi proyek At-Turâts wa at-Tajdîd tentang
kritik terhadap metode-metode kaum orientalis dan Islamisis dalam mengkaji
“tradisi”, pembuatan metode analisis pengalaman-pengalaman kesadaran, dan
deskripsi praksis-praksis pseudo-morfologi linguistik. Dalam hal ini ia tidak
hanya berkutat pada aras epistemologis, tetapi ia ingin melakukan pembebasan manusia
dari berbagai penindasan dan ketidakberdayaan. Inilah yang membedakannya dari
Arkoun maupun Al-Jabiri.
Hassan
Hanafi tidak menutup mata terhadap fenomena riil Dunia Islam yang tidak
terlepas dari pengaruh kebudayaan Barat. Oleh karena itu, ia melakukan kajian
terhadap perkembangan kesadaran filosofis Eropa dengan kacamata kesadaran
non-Eropa. Orientasinya adalah melihat kesadaran Eropa dengan kesadaran
distingtif yang netral-objektif. Hal
ini dilakukan setelah ia melakukan pembacaan kritis terhadap filsafat Eropa
yang bermula pada cogito-eksklusif Descartes dan berakhir pada cogito-inklusif
Husserl, dan mengkomparasikan rasionalisme dengan eksistensialisme. Ia ingin
mendeklarasikan akhir dari kesadaran Eropa dan permulaan kesadaran Dunia Ketiga
yang direpresentasikan oleh peradaban bangsa-bangsa non-Eropa: Mesir, Cina, dan
India. Pada saat itu Mesir telah mendominasi dunia dengan pembebasan dan
sosialismenya. Seluruh dunia berbicara tentang gerakan-gerakan pembebasan nasional
yang terjadi di Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Perang kemerdekaan nasional
Aljazair sangat dominan di Prancis dan dinamika Latin menjadi sumber revolusi
dunia.
Hassan
Hanafi merelasikan aliran-aliran filsafat Eropa dengan hukum aksi dan reaksi.
Untuk itu, konstruk kesadaran Eropa terdiri atas gelombang kesadaran imanen (nâzil)
yang direpresentasikan oleh empirisme dan gelombang transenden (shâ’id)
yang direpresentasikan oleh rasionalisme serta aliran-aliran filsafat kehidupan
dan filsafat ke[1]hendak
yang bergelayutan di antara empirisme dan rasionalisme. Di situlah terdapat
naturalisme, spiritualisme, dan eksistensialisme. Sumber utama evolusi
kesadaran Eropa adalah Yunani-Romawi dan Yahudi-Masehi. Di sini Hassan Hanafi
berkonsentrasi pada perkembangan pemahaman agama bangsa Eropa yang berawal dan
berakhir pada Kant (agama rasional) dan Kierkegaard (agama eksistensial).
Setelah
melakukan pembacaan atas Husserl, berkenalan dengan fenomenologi, dan permulaan
kesadaran personal-individual dan kesadaran peradaban, Hassan Hanafi melahirkan
karya yang bertitel L’Exégèse de la Phénoménologie, L’ Etat actuel de la
Méthode Phénoménologique et son application au phénomène religieux (Tafsir
Fenomenologi: Status Quo Metode Fenomenologi dan Implikasinya pada Fenomena
Agama). Di dalam karya ini ia menggunakan metode interpretasi untuk memahami
fenomenologi dan mentransformasikannya ke dalam fenomenologi implikatif-dinamis
dan menginterpretasikannya sebagai intuisi-religius-ideal. Rujukan implikasinya
adalah dalam fenomena agama, filsafat agama, filsafat mediasi, dan filsafat
konsepsi, dalam fenomenologi agama, fenomenologi objek, aksi, ataupun interpretasi.
Jika diasumsikan bahwa fenomenologi adalah teori tentang konsepsi kesadaran personal dan
kesadaran peradaban Eropa, terutama yang berkaitan dengan upaya peletakan kaidah-kidah
metodologi fenomenologi dalam tiga hal: penangguhan, pembangunan, dan penjelasan
nilai yang dahulu Bangsa Eropa hanya mengenal dua hal, maka ia membawa angin
baru. Dalam kerangka ini, filsafat Barat dalam pandangan Hassan Hanafi,
khususnya idealisme transendental, adalah reinkarnasi Khatbah di Atas Bukit-nya
Al-Masih, sedangkan Kant dan Fichte hanyalah neo-al-Masih.
Dengan
menggunakan kekuatan analisis fenomenologis Hassan Hanafi juga melahirkan karya
ilmiah yang ketiga dengan titel La Phénoménologie de L’Exégèse, Essai d’une
Herméneutique existentielle a partior du Nouveau Testament (Fenomenologi
Interpretasi: Upaya Penafsiran Eksistensialis yang Dimulai dari Perjanjian Baru).
Karya ini merupakan implikasi khusus dari metodologi fenomenologi dalam
fenomena agama. Ia menggunakan Perjanjian Baru sebagai starting point yang
disignifikansikan dengan tiga teori kesadaran, yakni historis, spekulatif, dan
praksis. dari situ kemudian lahirlah karya yang bertitel Pengantar Studi
Filsafat. Di sini, Hassan Hanafi mencoba menemukan korelasi teks dan realitas
dalam kasus Perjanjian Baru. Di sinilah ilmu kritik historis terhadap kitab
suci mulai dikenal di samping aneka ragam kritik, khususnya yang konservatif,
liberal, dan aliran sejarah bentuk sastra. Realitas adalah basis teks dan teks
berkembang mengikuti perkembangan realitas. Di samping itu, pengalaman manusia
juga berada di belakang teks. Bahkan sebenarnya, kalam Tuhan adalah kalam manusia
yang terbentuk oleh eksperimen dan pengalamannya. Jadi, eksistensi manusia,
baik personal maupun komunal, merupakan sumber kelahiran teks.
Proyek
untuk menyandingkan ‘tradisi’ dan ‘modernitas’ direalisasikan oleh Hassan
Hanafi dengan melakukan pembacaan kritis terhadap tradisi dengan landasan
analisis fungsional-efektif. Ia sangat menghindari generalisasi dan reduksi.
Sebab ia menyadari bahwa intensionalitas pembaca (al-qâri`) memberikan
peluang terhadap “relativitas sebab yang melahirkan pluralitas akibat”. Tekanan
pada intensionalitas subjek berakibat pada pengorbanan objektivitas teks demi
kepentingan subjek (al-qâri`). Subjek sangat dominan dalam menentukan makna teks. Dari
sinilah akan muncul pluralitas tafsir yang berarti juga pluralitas
intensionalitas dan prestasi. Akibatnya, aroma stagnasi pemikiran dan strategi
kebudayaan dapat dibongkar. Masyarakat tidak lagi berselimut dalam ketidakberdayaan,
melainkan akan selalu bergerak mewarnai gerak zaman dan berlomba menorehkan
tinta emas dalam sejarah.
Pemikiran
Hassan Hanafi senantiasa mempresentasikan hubungan dialektis antara subjek diri
(al-Ana, Self) dan yang lain (al-Akhar, Other) dalam proses
sejarah. Demikian itu adalah dalam rangka melakukan reinterpretasi terhadap
tradisi yang relevan dengan tuntutan kontemporer. Teori pengetahuan Hassan
Hanafi mempunyai paradigma kebenaran relatif dengan rasio sebagai sarana untuk
mencapai kebenaran. Untuk itu, terjadi sebuah relasi kesadaran subjek dengan
realitas objektif. Realitas dipandang sebagai objek sejauh ia dipersepsikan
subjek dengan kesadaran. Jadi, terdapat relasi-unifikatif di antara subjek,
objek, dan kesadaran.
Kesadaran
manusia terhadap apa yang dilakukan akan menghasilkan keabadian. Keabadian
merupakan perbuatan manusia dalam sejarah peradaban. Melalui perbuatan atau
tindakan, manusia dapat mengenali kesatuan antara yang faktual dan yang ideal,
dan dapat mentransformasikan kesatuan yang hanya merupakan proyeksi menjadi
kesatuan yang sebenarnya. Tauhid bukanlah sebuah fakta, realitas, ataupun
gagasan, melainkan merupakan sebuah proses yang tercipta melalui tindakan
manusia. Dalam hal ini, subjek merupakan pusat kesadaran; realitas dipandang
sebagai fenomena yang ditangkap sebagai data, dan data, bagi Hassan Hanafi,
merupakan dasar praksis manusia.
Kesadaran
tidak pernah bersifat pasif. Menyadari sesuatu berarti mengubah sesuatu.
Sesuatu yang disadari dijadikan sebagai sesuatu yang-ada-bagi-saya. Kesadaran
tidak seperti cermin atau foto. Kesadaran merupakan praksis, tindakan. Untuk
itu terdapat interaksi antara tindakan kesadaran (noesis) dan objek
kesadaran (noema). Kendatipun demikian, interaksi ini tidak boleh
dianggap sebagai kerja sama antara dua unsur yang sama-sama penting karena pada
akhirnya yang tersisa hanya
kesadaran. Objek yang disadari (noema) hanyalah suatu ciptaan kesadaran.
Di sini tidak ada bipolaritas ‘kesadaran dan alam’, ‘subjek dan objek’ dan
mengatasi cogito Cartesian yang tertutup.
Berdasarkan
uraian di atas dapat diketahui bagaimana corak atau watak pemikiran Hassan
Hanafi yang hendak membawa dunia Islam bergerak menuju pencerahan yang
menyeluruh. Sebagai anak zaman, Dia merupakan sosok pemikir yang unik. Ia tidak
dapat dikategorikan sebagai pemikir tradisional dikarenakan ia membongkar dan
mengkritik pemikiran tradisional. Ia bukan modernis karena ia mengkritik
modernitas dan menjadikan wacana tradisional sebagai landasan pemikiran yang
diproyeksikan pada masa kini dan yang akan datang. Bahkan ia tidak termasuk
dalam kategori fundamentalis dikarenakan ia memakai analisis intelektual dengan
penekanan pada rasionalitas.
Hassan
Hanafi merupakan seorang reformis pemikiran Islam yang telah berusaha keras
untuk mengakumulasikan pemikiran fenomenologi dengan aplikasi metodologi
dialektika yang didasarkan pada kesadaran. Semua ini dilakukan dalam rangka
membebaskan masyarakat muslim dari keterbelakangan dan determinasi, baik
internal maupun eksternal. Sebagai pemikir yang menyadari urgensi historisitas,
dia senantiasa beranjak dari konteks sejarah dalam rangka menapaki kehidupan
kontemporer. Oleh karenanya, ia senantiasa berupaya melakukan rekonstruksi
terhadap tradisi yang merupakan fakta sejarah dalam menjawab problema
kontemporer. Inilah yang membuat corak pemikirannya berwatak dinamis dan
progresif yang dibingkai dalam proyek At-Turâts wa At-Tajdîd (Tradisi
dan Modernitas). Dengan demikian, ia adalah salah seorang pemikir post-tradisionalis yang berupaya
melakukan dekonstruksi dan sekaligus rekonstruksi terhadap tradisi.
Hassan
Hanafi memandang dirinya sebagai “penyulut obor” bagi zamannya dalam upaya
memberi pencerahan (at-tanwîr, aufklarung). Ia merupakan seorang pemikir
yang menggunakan rasionalitas di samping tetap menghargai dan tidak mengabaikan
aspek perasaan manusia. Rasionalitas yang digunakan bersama-sama dengan
kekuatan perasaan selalu diwarnai pertimbangan sejauh mana pemikiran itu mampu lebih aktual. Artinya, di
samping tuntutan relevansi dengan jalan pikiran manusia, ia sekaligus memberi
kemanfaatan dan kesejahteraan bagi manusia. Aspek rasio dan konteks tuntutan
umat harus menjadi starting point bagi sebuah pemikiran.
Buku
Studi Filsafat ini, yang diterjemahkan dari buku Dirâsât Falsafiyyah,
merupakan buku yang memuat eksplanasi dan eksplorasi tentang transformasi yang
terjadi dalam upaya mengarahkan cita-cita masyarakat pada tahun 80-an
tentang strategi kebudayaan maupun siklus-siklus keilmuan. Buku ini tidak
berisi tentang teori-teori
filsafat yang idealistik dan terkesan mengawang-awang, melainkan berisi tentang
filsafat Islam, terutama pemikiran Islam kontemporer dalam tema-tema pokok
tentang tradisi dan reformasi. Pada bagian ini Hassan Hanafi berbicara tentang
persoalan-persoalan tradisi, strategi kebudayaan, kebangkitan kebudayaan,
filsafat, politik, dan perubahan sosial yang didasarkan pada pengalaman Mesir.
Hassan Hanafi juga melengkapi tulisannya dengan mengupas persoalan tentang
Filsafat Barat Modern dalam pandangan Kant dan Vico serta Filsafat Barat
Kontemporer dalam pandangan Feuerbach dan Ortega. Dengan demikian, pembaca
diajak untuk melanglang buana dalam proses dialektika menuju identitas sebagai
pribadi-pribadi yang berpikiran sehat dan mempunyai kepedulian terhadap
persoalan-persoalan
yang sedang menyelimuti realitas yang mengelilinginya
Dikutip
dari Miftah Faqih dalam Pengantar Penerjemah buku Studi
Filsafat I; Pembacaan Atas Tradisi Islam Kontemporer.
Agar
Pembaca dapat mengulas tema di atas lebih dalam, kami lampirkan versi luring (offline)
pdf pada link di bawah ini.
Studi Filsafat I; Pembacaan Atas Tradisi Islam
Kontemporer pdf
0 komentar:
Posting Komentar