 |
Diambil dari spotwisata.com |
Sejarawan Perancis, Lucien
Febvre, dalam mengkritik pendekatan Toynbee yang terlalu disederhanakan,
memberikan tamsil. Seorang raja pada menit terakhir sebelum maut datang
menjemput, meminta wazir istana menceritakan keseluruhan sejarah dari dahulu
sampai sekarang. "Baginda," kata wazir yang bijaksana itu,
"manusia-manusia itu lahir, mencintai, dan meninggal."
Begitu
naifnya pendekatan sejarah semacam itu, seakan-akan orang (termasuk raja) tidak
butuh makan dan minum, tidak perlu busana, kecuali lahir-kawin-mati. Memang
dapat dimengerti sikap wazir tersebut, sang raja sedang sekarat, tidak
punya waktu lagi untuk mendengar sejarah yang berpanjang lebar. Namun dalam
keadaan normal yang dibutuhkan adalah sejarah total. Sejarah yang tidak hanya
terpaku kepada raja dan lingkungan istana. Tidak terbatas kepada persoalan
politik dan perang, tetapi menyangkut semua aspek kehidupan, dengan kata lain
berdimensi multidispliner.
Buku
yang ditulis oleh Anthony Reid ini termasuk dalam jenis sejarah total, bahkan
termasuk yang pertama mengenai Asia Tenggara yang memakai pendekatan tersebut.
Buku ini terdiri dari dua jilid. Jilid pertama (terbit tahun 1988) telah
diterjemahkan oleh Mochtar Pabottingi ke dalam bahasa Indonesia tahun 1992 dengan judul Asia
Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680, jilid l· Tanah di Bawah Angin (dengan
kata pengantar dari Onghokham). Sedangkan jilid II terbit tahun 1993 dan
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia tahun ini (1999).
Kedua
volume pernah diterbitkan dalam satu buku oleh Silkworm Press (Chiang Mai,
1995) dengan tujuan memberikan kesempatan untuk menilai sumbangan buku ini bagi
studi Asia Tenggara. Tidak
diragukan lagi bahwa kajian Reid yang ambisius dan berlingkup luas telah
menarik perhatian ilmuwan Asia Tenggara bahkan yang berada di luar wilayah ini.
Ini menjadi pendorong untuk membuat studi lanjutan tentang wilayah ini pada
periode yang lain.
Menurut
Norman G. Owen, sejarah Asia Tenggara dapat dibagi menjadi tiga periode
panjang. Pertama, era klasik yang menghasilkan candi besar seperti Borobudur,
Angkor, dan Pagan. Kedua, zaman modem yang ditandai dengan kolonialisme dan
pascakolonialisme. Terjepit di tengah adalah masa tradisional, dari abad ke-13
sampai ke-18. Periode ini cenderung tampil statis, kontras dengan masa
pembangunan monumen pada negara klasik dan dinamika perdagangan dari kolonialis
modern.
Namun
kesimpulan kita akan berubah dengan munculnya buku Reid. Jilid 1, The Landt;
Below the Wmds, dilengkapi dengan rincian tentang kehidupan sehari-hari dari
makanan sampai minuman, perbudakan serta praktik seksual di kerajaan-kerajaan
dengan bahasa, agama, dan adat yang berlainan. Jilid II lebih ambisius. Reid
mencoba menggambarkan kurun niaga yang disertai urbanisasi, revolusi keagamaan
dan kebangkitan monarki absolut yang berkembang abad ke-15 dan runtuh abad
ke-17 di kawasan ini. Jilid I ibarat gambar (lukisan) sedangkan jilid II adalah
kisah.
Buku
ini memiliki berbagai kelebihan. Mengumpulkan data saja dari masyarakat
berbagai negara di Asia Tenggara sudah merupakan pekerjaan luar biasa.
Kepustakaannya terdiri 500 sumber dari lebih 20 bahasa Eropa dan Asia. Juga
disertakan peta dan ilustrasi (kapal, senjata, tanaman rempah dan benteng,
raja, saudagar, kuil, dan masjid).
Pendekatan
komparatif sering memperjelas sesuatu yang tampak kabur bila dilihat dalam
konteks terbatas pada satu negara: kejayaan alat tukar perak, "revolusi
kemiliteran" (senjata api dan perahu bermeriam), kebangkitan dan kejatuhan
komunitas pedagang asing, kecenderungan penguasa memeras warganya (dengan
meminta sepersepuluh sampai sepertiga dari seluruh hasil tanah mereka). Reid juga
menengarai kesejajaran di antara agama-agama baru dalam hubungannya dengan
kesejahteraan, keberanian berperang, tulisan, dan penyembuhan.
Upaya
untuk mencocokkan pengembangan khas lokal dengan pola umum regional tentu
menimbulkan berbagai pertanyaan, tetapi di sinilah terletak kekuatan buku Reid,
bukan kelemahannya. Sebagaimana halnya karya Fernand Braudel La Mediterranee
et le monde mediterran een a /' epoque de Philippe (Mediterania dan Dunia
Mediterania pada Masa Philip II) menjadi sebuah model bagi satu generasi
sejarawan Eropa, Asia Tenggara dalam Kurun Niaga, berdasar model Braudel, untuk
tahun-tahun mendatang, menjadi titik tolak kajian sejarah total kawasan ini.
Reid
melontarkan ide bahwa Asia Tenggara yang miskin, rural, dan inward-looking
yang dihadapi oleh para kolonialis Eropa abad XIX adalah produk dari defisit budaya yang
inheren. Padahal sebelurnnya, Asia Tenggara relatif sejahtera, dengan tingkat
urbanisasi yang tinggi dan terbuka terhadap serangkaian ide dan teknologi yang
menjanjikan peningkatan kebutuhan material dan spiritual. Jauh dari kekurangan
etos ekonomi seperti diklaim belakangan oleh kolonialis: seorang Jawa, seperti
dikatakan oleh seorang penjabat Belanda tahun 1600, "mau menjual ayahnya
sendiri untuk mendapatkan sedikit uang."
Era
kesejahteraan yang berlandaskan perdagangan ternyata tidak berumur
panjang. Kurun Niaga Asia Tenggara yang pertama dihancurkan oleh krisis abad
XVII yang disebabkan oleh alasan yang sekarang cukup familiar: pemerintah yang
lebih kuat dan lebih boros memeras sampai mati para saudagar yang telah berjasa
membangun ekonomi negara; penurunan secara umum dalam perdagangan dunia, yang
berkaitan dengan krisis moneter internasional; dan upaya penciptaan monopoli
regional dan perubahan iklim global.
Tidak
ada buku sebelum ini yang begitu memerhatikan kehidupan sehari-hari orang biasa
di Asia Tenggara. Jilid dua dapat dibaca tersendiri sebagai penjelasan tentang
apa makna abad perdagangan itu sebagai suatu periode bagi Asia Tenggara. Tetapi
bersamaan dengan jilid pertama, The Lands Below the Winds tujuannya
adalah menyampaikan sebuah "sejarah total" yang di dalamnya
peperangan, dinasti kerajaan dan pedagang asing tidak lagi menjadi prioritas
melebihi masalah makanan, kesehatan, dan hiburan bagi orang awam.
Anthony
Reid berkeyakinan bahwa memandang Asia Tenggara sebagai suatu kesatuan,
memungkinkan kita untuk menerangkan sejumlah bidang ke hidupan yang, jika tidak, akan
tetap tinggal kabur. Ini lantaran, untuk setiap bidang budaya, sumber-sumbernya
sangat fragmentaris. Jika kita menelaahnya bersama-sama, suatu gambaran yang
padu tentang gaya hidup di kawasan tersebut secara keseluruhan mulai muncul.
Sekalipun sangat beragam dalam ha! bahasa dan kebudayaan, kawasan ini
berhadapan dengan keadaan cuaca, lingkungan dan perdagangan yang sama, dan
karena itu mengembangkan seperang· kat kebudayaan material yang sangat mirip.
Tujuan
studi ini ialah untuk menunjukkan bagaimana sejarah total dapat menampilkan
masalah-masalah yang penting selama dua abad sebelum tegaknya hegemoni niaga
Belanda di Asia Tenggara. Sejauh dimungkinkan oleh ketersediaan sumber,
penulisnya telah memusatkan perhatian pada hal-hal dan perubahan-perubahan yang
paling memengaruhi penduduk secara luas. Jadi perhatian bukan lagi ditujukan
semata-mata kepada para penguasa atau tokoh-tokoh asing sebagaimana dalam
buku sejarah Asia Tenggara lazimnya.
Buku
jilid II ini menjelaskan proses keterlibatan Asia Tenggara dalam pe.rdagangan
intemasional pada bab pertama. Fokus bah kedua adalah kota-kota maritim dan pelaksanaan
perdagangan di bawah perlindungan raja. Bab ketiga menguraikan interaksi
kompleks antara lingkungan ekonomi dengan agama dunia (terutama Islam dan
Kristen), dan bagaimana peningkatan "rasionalisasi" kepercayaan lokal
dapat membantu semangat dagang. Bab keempat mendiskusikan implikasi
keberhasilan ekonomi tersebut. Penguasa absolut yang menguasai pelabuhan besar
menjadi kuat karena kemampuan mereka memonopoli perdagangan lokal dan akses
mereka terhadap teknologi militer Eropa. Meskipun demikian, penguasa kerajaan
itu meninggalkan persoalan mendasar, karena kurun niaga "gagal menciptakan model yang
memuaskan bagaimana pemerintah dapat kuat dan sekaligus mematuhi hukum."
Bab
lima membahas asal-usul kemiskinan di Asia Tenggara. Kemiskinan yang berasal
dari kontrol Eropa terhadap kota-kota yang dominan di pesisir Asia Tenggara,
kemunduran politik, pola musim yang tidak menguntungkan, penarikan diri dari
perdagangan internasional, membantu menciptakan "krisis abad ke-17"
yang dari situ dapat ditelusuri "keterbelakangan" (underdevelopment)
Asia Tenggara yang masih tersisa sampai hari ini.
Tesis
dasar dari buku jilid dua adalah perubahan dalam ekonomi maritim internasional
mulai tahun 1450 mendorong kesejahteraan perdagangan yang sebelumnya tidak
memiliki preseden, bersama-sama dengan kosmopolitan isme kultural clan suatu
kecenderungan menuju politik yang tersentralisasi di seluruh Asia Tenggara yang
berlanjut sampai penurunan ekonomi medio abad ke-17. (Victor Lieberman, 1995,
halaman 797)
Reid
memulai buku ini dengan menggambarkan pertumbuhan permintaan Eropa, Lautan
India, clan Cina terhadap produk Asia Tenggara. Stimulus perdagangan maritim
disajikan sebagai penggerak utama perubahan. Dengan mempergunakan sumber primer
clan sekunder dari 5-6 bahasa yang berbeda, Reid secara kuantitatif
menggambarkan perdagangan lada, rempah-rempah, tekstil, dan perdagangan
intraregional. Kemudian ia secara sistematis menganalisis dampak dari ekspansi
perdagangan terhadap monetisasi lokal, kredit clan struktur pasar, organisasi
pedagang, kehidupan perkotaan, praktik agama.
Berbeda
dengan periode sesudahnya, antara tahun 1450..1630, pedagang clan pelaut Asia
Tenggara (orang Melayu, Mon, clan Pesisir Utara) menjadi aktor utama, bersaing
dengan Portugis clan India. Urbanisasi memperlihatkan vitalitas yang belum
pernah terjadi sebelumnya. Tahun 1650 sekitar sejuta penduduk atau 5 O/o dari
keseluruhan populasi di wilayah ini, tinggal di kota yang berpenduduk 30.000 orang
atau lebih, sebuah proporsi yang jauh lebih besar dari Eropa Utara.
Kemudian,
di Nusantara, kota-kota baru dan pasar menciptakan jaringan untuk penyebaran
Islam clan Kristen yang disebut Reid sebagai revolusi agama. Animisme yang
selama ini menjadi agama Asia Tenggara berhadapan dengan agama kitab suci. Reid
menggambarkan bagaimana konversi agama ini terjadi dari animisme menjadi Islam
atau Kristen.
Perubahan
clan Kesinambungan
Kurun
niaga telah mengubah Asia Tenggara clan memungkinkannya menjadi pemeran penting
dalam perdagangan dunia. Cengkih, pala, lada, clan kayu cendana yang
dihasilkannya merupakan komoditas utama dalam perdagangan antarbenua:
geografinya memungkinkan banyak terlibat dalam perdagangan maritim, sistem
politiknya sangat terbuka bagi pengaruh dari luar. Melonjaknya jumlah
rempah-rempah Maluku di Laut Tengah, sangat banyaknya armada Cina yang dikirim
ke Asia Tenggara dan ekspor lada secara besar-besar, tampaknya berawal di
sekitar tahun 1400. Puncak perdagangan yang sangat menguntungkan itu
berlangsung dalam tahun 1570-1630.
Setelah itu mulai berlangsung penurunan yang mencapai titik bawahnya pada tahun
1680.
Braudel
mengatakan dengan tanpa mengecilkan peranan dari individu dan keadaan, ia yakin
bahwa masa pertumbuhan ekonomi selama abad ke-15 dan ke-16 menciptakan situasi yang
senantiasa bermanfaat bagi negara-negara yang besar dan kecil. Dalam kurun
niaga terjadi perubahan besar, kota-kota bermunculan dan menjadi makmur, daerah
tertentu di Asia Tenggara beralih menganut agama besar yang universal dan
sebagian besar penduduknya bergantung kepada perdagangan internasional untuk
sumber hidup, pakaian bahkan makanan.
Kurun
niaga ditandai oleh inovasi berkesinambungan, oleh penggunaan dan penerimaan
secara terus-menerus gagasan-gagasan baru. Kota-kota berpasar yang multietnik
itu menentukan derap perubahan dan menyebabkan orang-orang Asia Tenggara terlibat
dalam perdagangan dunia.
Baik
kaum Marxis maupun nasionalis generasi masa lalu, sama-sama percaya bahwa
pernah ada evolusi yang "wajar" dari masyarakat-masyarakat Asia ke
arah kapitalisme namun kemudian terhalang di sekitar masa modern karena
distorsi kolonialisme. Untungnya, kini makin sedikit pendapat bahwa kapitalisme
merupakan tahapan yang harus dilalui setiap masyarakat dalam perkembangannya.
Dipisahkan dari feodalisme Eropa dan sosialisme seperti diramalkan Marxisme,
maka kapitalisme kehilangan sebagian besar manfaatnya sebagai suatu kategori.
Seperti dikemukakan Braudel, kapitalisme (istilah yang tidak pernah digunakan
oleh Karl Marx) tidak ada dalam masyarakat praindustri kecuali sebagai
"sesuatu yang terpisah, yang berbeda dan sesungguhnya asing dari konteks
sosial dan ekonomi yang mengitarinya."
Namun
dalam kenyataannya, kata sifat itu banyak manfaatnya. Di Asia Tenggara sedikit
banyaknya terdapat pelaku-pelaku kapitalis (khususnya dalam perdagangan
antarbenua), institusi-institusi kapitalis dan metode-metode kapitalis, seperti
juga di Eropa dan tempat-tempat lain. Bahkan kawasan ini dalam puncak kurun
niaga telah berkembang lebih jauh dibanding dengan bagian dunia lain yang juga
bertumpu pada perdagangan maritim, hanya saja kurang berkembang ke arah
akumulasi dan mobilisasi modal milik pribadi dan perusahaan-perusahaan.
Sementara
itu, institusi kapitalis yang paling berhasil di Asia Tenggara (dan mungkin di
seluruh dunia) dalam abad ke-17 adalah voe (Vereenigde Oost Jndische
Compagnie). Permintaan dunia akan rempah-rempah yang telah mendorong
komersialisasi sepanjang kurun niaga itu, menjadi sebab mengapa kekuatan dunia
kapitalis yang pertama itu mendirikan pusatnya di Jawa.
Para
pedagang maritim Asia Tenggara bukan satu-satunya yang dirugikan oleh
perdagangan Belanda yang kaya dan solid itu dalam paruh pertama abad ke-17;
nasib yang sama juga menimpa sebagian orang Eropa. Namun kerugian yang diderita
orang Asia Tenggara jauh lebih parah.
Kota-kota
di Asia Tenggara juga berkepentingan atas pasar yang baik fungsinya, keamanan
hak milik, pemerintahan berdasar hukum, tetapi heterogenitas menyebabkan
mereka lebih sulit mewujudkan hal-hal itu. Mereka tidak sanggup bertahan
menghadapi persaingan ketat dalam abad ke-17, kecuali bila mereka bersatu dalam
sebuah negara yang kuat demi kepentingan-kepentingan mereka yang berbeda. Kurun
niaga berakhir dalarn krisis abad ke-17, ketika kota-kota dagang yang
diperintah orang-orang Asia kehilangan tempatnya baik dalam perdagangan dunia
maupun dalam masyarakatnya sendiri. Krisis itu lebih permanen di Asia Tenggara
dan mungkin di seluruh Asia, dibandingkan dengan Eropa. Pernah diperkirakan
bahwa peranan Asia Tenggara dalam perdagangan antarbenua jatuh baik abad ke-17
maupun abad ke-18 sementara Eropa hanya terhambat dalam abad ke-17 saja dan
naik lagi dalam abad ke-18 (Wallerstein II: 17-18).
Narnun
pergeseran yang paling penting dalam jangka panjang bukannya
menurunnya perdagangan secara mutlak, melainkan berkurangnya kepen[1]tingan
perdagangan, para pedagang, kota-kota dan kosmopolitanisme dalam kehidupan
masyarakat Asia Tenggara. Abad ke-17 tidak saja ditandai dengan pengunduran
diri dari ketergantungan pada pasar internasional namun juga meningkatnya
kebencian atas gagasan-gagasan asing. Negara-negara absolut yang terbentuk
dalam persaingan perdagangan, perang dan tenaga kerja, makin banyak beralih
pada penonjolan simbolis keunggulannya dalam bidang-bidang yang tidak
memerlukan persaingan keras.
Perubahan
yang paling nyata tetapi juga paling mendasar dalam kurun niaga adalah bidang
agama dan budaya masyarakat (mentalitas). Orang Islam dan Kristen seperti
halnya orang Yahudi dan pengikut agama Cina, pada mulanya berada dalam keadaan
yang di Afrika dinamakan "status karantina," diterima sebagai
minoritas pedagang tetapi tidak diharapkan akan mengubah agama penduduk
setempat atau menerima mereka. Keberhasilan utama Islam di wilayah bawah angin
terjadi antara tahun 1400 dan 1650. Periode islamisasi dan kristenisasi yang
paling kuat bertepatan dengan puncak kurun niaga yaitu masa membanjirnya perak
tahun 1570-1630.
Perubahan-perubahan
dalam loyalitas keagamaan sedikit banyaknya ber· sifat permanen. Masyarakat
Islam, Kristen, Budha T heravada, Konfusius tetap tidak berubah dan pada satu
pihak identitas-identitas itu memisahkan Asia Tenggara dan di pihak lain
menyatukannya dengan umat agama yang sama di belahan bumi lain. Namun bila
diperhatikan ciri-ciri kebiasaan-kebiasaan yang menyangkut kepercayaan
masyarakat, tampak bahwa dalam kurun niaga muncul sikap menolak pada dunia
nyata (material), jarak yang makin besar antara manusia dan yang suci dan
bangkitnya ukuran-ukuran lahiriah mengenai moralitas personal, di samping
persekutuan yang makin jelas antara negara-negara yang makin besar dan
norma·norma lahiriah dari agama.
Dalam
permasalahan pemahaman mengenai manusia yang demikian rumit itu, seperti halnya
mengenai dimensi luar di mana perdagangan dan kekuasaan saling menyilang, krisis abad
ke-17 menandai perubahan ke arah yang tidak pernah diubah lagi hingga munculnya
krisis lain dalam pertengahan abad ke-20. Kalau dimulai dengan daerah-daerah
yang lebih jelas ukurannya, maka tampak bahwa kota·kota dagang kosmopolitan
mendominasi kehidupan orang· orang Asia Tenggara baik dalam hal demografis,
ekonomis, maupun kultural antara akhir abad ke-17 dan pertengahan abad ke20.
Pulihnya
kekuasaan negara·negara pribumi atas berbagai sumber daya utama dan jalur-jalur
niaga di kawasan ini tidak dicapai tanpa melalui pergolakan di daerah-daerah
yang sangat besar yang terjadi dalam masa hidup kita, namun hal itu akhirnya
berakibat pada berulangnya pertumbuhan ekonomi yang pesat, pertumbuhan kota-kota, sentralisasi negara dan
perubahan-perubahan dalam kehidupan dan mentalitas.
Perubahan-perubahan
dalam soal agama dan nilai-nilai dalam masa kita, sekalipun terjadi dalam wadah
loyalitas-loyalitas agama yang telah mapan, tidaklah kurang mendasar
dibandingkan dengan yang terjadi dalam kurun niaga. Sekali lagi norma-norma
lahirilah mengenai moralitas personal kembali menentukan dibandingkan dunia
spiritual yang mengagumkan itu, negara yang berkembang kini kembali telah
menciptakan persekutuan dengan norma-norma lahiriah-bukan saja dengan
agama-agama kitab suci, melainkan juga dengan modernitas, ilmu pengetahuan,
kesehatan, pembangunan, nasionalisme-untuk menghasilkan identitas yang beraneka
ragam.
Reid
tidak bermaksud mengagung-agungkan kurun niaga itu atau meng· gambarkan masa
akhirnya sebagai kekalahan atau kegagalan. Bagaimanapun juga
hubungan yang kurang mendalam dengan sistem perdagangan dan intelektual dalam
abad ke-18 dan bahkan dalam abad ke-19 terlepas dari laporan kolonialnya,
menyebabkan keanekaragaman di Asia Tenggara tetap terpelihara.
Perbedaan
tingkat hidup antara Asia Tenggara dan Eropa baru tampak sejak abad ke-19.
Sebelum akhir abad ke-17 sudah jelas bahwa Asia Tenggara tidak akan menempuh
jalan yang ditempuh negara-negara kuat yang bersikeras menuntut bagiannya dalam
perdagangan dunia.
Karena
kini Asia Tenggara telah kembali pada jalan tersebut sekali lagi, apa pun
hasilnya, maka tahapan pertama kurun niaga kini menjadi lebih relevan.
Sementara orang-orang Asia Tenggara secara bersemangat sedang membentuk masa
kininya, maka mereka tidak perlu diusik oleh era kolonial, dengan kenangan
mengenai melemahnya kekuatan politik, stratifikasi sosial dan kekayaan ekonomi
yang terpaksa harus dilepas pada orang-orang lain. Zaman yang lebih awal lagi
membuktikan bahwa penduduk Asia Tenggara temyata telah memberikan tanggapan
yang kreatif terhadap perubahan ekonomi yang pesat, adanya beraneka ragam
bentuk sosial serta kemungkinan politik dan intelektual.
Asal-usul
Kemiskinan di Asia Tenggara
Reid
memulai bah mengenai asal-usul kemiskinan di Asia Tenggara dengan mengutip de
Rovere van Bruegel (1787: 350) "Kalau membandingkan Banten di masa lampau,
ketika bangsa-bangsa Eropa muncul di Asia, dengan keadaannya yang miskin
sekarang, maka orang harus pasrah pada Tuhan Yang Maha Kuasa yang menciptakan
kerajaan-kerajaan dan menghancurkannya lagi sekehendakNya, Pusat perdagangan yang
terbesar di Ttmur itu telah menjadi tempat orang-orang sial."
Uraian
pada bagian sebelumnya dari buku ini seharusnya sudah bisa menghilangkan kesan
bahwa dunia Timur tidak berubah sementara unsur-unsur dinamika pertumbuhan
kapitalis dan perkembangan teknologi hanya terpusat di Eropa. Perkembangan
pesat di Eropa abad ke-16 memang secara mendasar mengubah cara-cara interaksinya
dengan wilayah-wilayah lain di dunia, termasuk cara orang Eropa memandang
orang-orang Asia.
Pada
dasamya perubahan-perubahan yang terjadi di Asia Tenggara itu berupa interaksi
yang intensif dengan ekonomi global di abad ke 15 dan ke-16 dan pengunduran
diri dari ekonomi global di pertengahan abad ke-17. Kedua tahapan itu membawa dampak yang
sangat besar dalam setiap aspek kehidupan. Tahapan ekspansif yang dikemukakan
sebelumnya memiliki persamaan-persamaan maupun perbedaan dengan perkembangan di
Eropa.
Persarnaannya
antara lain integrasi dalam perdagangan global, komersialisasi produk dan
konsumsi, pertumbuhan kota-kota, spesialisasi dalam fungsi-fungsi ekonomi, monetisasi
perpajakan, perkembangan teknologi transportasi dan militer yang pesat dan
pertumbuhan negara absolut. Sebagai akibat dari pengaruh perdagangan global itu
Asia Tenggara memiliki persamaan yang lebih besar dengan Eropa Barat dan Jepang
dibandingkan sebagian besar dari daratan Asia.
Perbedaan
antara Asia Tenggara dengan wilayah lainnya di awal era modern ini tidak kurang
penting. Dibandingkan tidak saja dengan Eropa tetapi juga dengan bagian lain
dari Asia, di Asia Tenggara tidak terdapat perlindungan yang tegas terhadap
milik pribadi sehingga menghambat perkembangan lembaga-Iembaga keuangan dan
mencegah akumulasi modal tetap. Pada satu pihak perkembangan pasar yang pesat
dan kekuasaan raja pada pihak lain, justru menimbulkan ketegangan-ketegangan
dan bukan persekutuan antara keduanya. Dalam jangka pendek keadaan itu dapat
diatasi dengan berbagai cara, namun kelemahan penting yang terdapat di setiap
pusat perdagangan tersebut tidak memungkin untuk mengembangkan solusi-solusi
jangka pendek ke dalam jalur-jalur alternatif guna pertumbuhan ekonomi yang
berkesinambungan.
Apa
yang menyebabkan kemiskinan di Asia Tenggara dilihat dari hubungan antara
penguasa dan rakyat? Pada masa itu, di Campa, rakyat tidak bisa memiliki barang
berharga. Sedangkan orang Kamboja hanya bisa memiliki harta selama
diperkenankan Raja. Di Tongking, Vietnam Utara, sudah menjadi kebijakan lstana
untuk tidak membiarkan rakyat kaya karena dengan itu mereka akan sombong. ltulah
sebabnya rakyat di Cochin-china, Vietnam Selatan, ingin tampak lebih miskin
daripada yang sesungguhnya. Mereka menguburkan uang dan barang-barang berharga.
Begitu pula di Siam (Thailand) penduduk berusaha menyembunyikan barang yang
bergerak. Di Birma pemerintah meng[1]hambat
rakyat jadi kaya dan di Aceh raja tidak memperkenakan rakyat kuat dan orang
kaya berusaha tidak menampakkan kekayaannya. Sebab itu di Mangindanao
(Filipina) rakyat tak pernah berusaha kaya kecuali mencari sesuap nasi.
Demikian kutipan dari kisah perjalanan orang Eropa yang berkunjung ke berbagai
tempat di Asia Tenggara.
Penduduk
Asia Tenggara kurang berminat mengalihkan hartanya menjadi "modal
terpasang" (fixed
capital),
seperti bangunan, kapal, barang dagangan, atau mesin. Harta biasanya dalam
bentuk permata dan pakaian indah yang mudah dibawa bila harus melarikan diri.
Kebiasaan membangun rumah panggung dari kayu-mudah hancur dan mudah dibangun
kembali-menghambat penumpukan harta dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Mundurnya
perdagangan Asia Tenggara dalam abad ke-17 biasanya dijelaskan sebagai
kemenangan militer dan ekonomi dari voe, kadangkala ditambahkan dengan
munculnya negara-negara pedalaman agraris yang tidak menaruh perhatian pada
perdagangan. Sejak itu Jawa ditandai dengan sikap penolakan atas pelayaran,
kelas pedagang yang lemah dan masyarakat yang hierarkis. Faktor ini tampaknya
spesifik untuk Asia Tenggara.
Yang
menarik dalam buku Reid ini adalah dimasukkannya unsur iklim sebagai penyebab
krisis ekonomi. la menjelaskan bahwa pada masa itu sifat global dari proses
pendinginan itu negatif terhadap panen dan jumlah produksi gandum. Faktor iklim
dapat memengaruhi angka ke.matian karena penyakit dan paceklik karena
kekeringan.
Namun
di tengah krisis itu terdapat satu kelompok yang masih bisa bertahan yaitu
etnis Cina. Mereka terkenal ulet dan gigih. Di Cina ada pepatah: "Pribumi
buta dalam soal dagang, Belanda punya mata satu, sedangkan orang Cina memiliki
dua mata."
Urbanisme
dan Kapitalisme
Kapitalisme
didukung oleh kelompok pedagang di perkotaan. Selain itu lembaga tertentu
seperti perbankan juga ikut menyokong. Kota-kota temama di Eropa telah
mengembangkan lembaga impersonal untuk membuat andil dan melindungi modal,
sesuatu yang tidak terdapat sama sekali di Asia Tenggara. Ini meliputi bank
yang fungsinya di Asia Tenggara masih dilakukan para tukang emas dan orang yang
meminjamkan uang. Bursa perdagangan, bank dan perusahaan berizin resmi di
Amsterdam, Antwerpen, London dan Paris memungkinkan mobilisasi tabungan bukan
hanya dimanfaatkan pangeran dan minoritas pedagang untuk tujuan yang produktif,
tetapi juga bagi penduduk kota dan elite pedesaan dalam strata yang luas.
Di
balik masalah teknik kapitalis ini terletak persoalan politik yang mendalam:
Keamanan pribadi dan hak milik, tidak dapat diukur dengan uang, perbedaan ini
sangat besar antara Asia Tenggara dengan Eropa.
Bagaimanapun
negara-kota meliputi pasar dan juga istana dan keduanya memiliki nilai-nilai
yang berbeda. Ketika pertumbuhan perdagangan sangat cepat, mungkin pasar
mendapat hasil yang lebih besar dari istana. Pendapat Johns tentang Hikayat
Bayan Budiman, pada abad ke-16, dengan cerita tentang seorang saudagar yang
pergi berdagang dan meninggalkan seekor burung beo untuk menjaga kesucian
istrinya, mungkin produk dari individualis yang baru muncul dan etos
merkantilisme.)
Pilihan
budaya dan strategi ekonomi selalu sating memengaruhi dan saling mendongkel.
Memang Asia tidak berbeda dengan Eropa dalam perkembangan evolusi tertentunya.
Tetapi ada perbedaan mencolok dalam hubungan erat antara kekuasaan dan
perdagangan. Di Asia Tenggara para penguasa dan menteri bergiat sepenuhnya
dalam perdagangan dan sastra. Mereka menghargai hat itu. Para pedagang
cenderung berhasil menjadi pemegang kekuasaan, baik dengan cara bersekutu
dengan kekuasaan yang sudah ada maupun dengan membentuk kekuasaan baru. Baik
Van Leur maupun Meilink Roelofsz mengemukakan bahwa tidak terdapatnya kelas
pedagang dengan etosnya sendiri yang membedakan dengan pihak istana adalah
hambatan ke arah perkembangan kapitalisme. Pada masyarakat India atau Eropa
Timur, pembedaan kasta pedagang atau minoritas agama dengan para pemegang
kekuasaan yang merendahkan mereka juga dianggap sebagai hambatan bagi
pertumbuhan yang berkelanjutan.
Perjumpaan
antara orang Barat dan Timur terjadi dalam situasi damai dan perang.
Orang-orang Portugis dan Eropa lainnya menyadari bahwa mereka memiliki
keunggulan tertentu dalam teknologi militer serta organisasi dan menggunakannya
untuk memperoleh mata dagangan yang tidak bisa mereka peroleh dengan cara lain.
Keunggulan orang Eropa: a) senjata api yang lebih unggul terutama di
kapal-kapal, b) benteng yang hampir tidak tertembus, c) orang-orang Asia yang
menjadi sekutu-sekutunya.
Tahun
1629 sebagai titik balik kemunduran Asia Tenggara, pada waktu itu terjadi
kekalahan Aceh semasa Iskandar Muda dan kekalahan Mataram di bawah Sultan Agung
dari Belanda. Taktik yang paling disenangi VOC adalah menentukan seorang
"raja Kompeni" yang bisa dipaksa untuk menyerahkan hak tunggal pada voe untuk
mengekspor lada dengan harga yang rendah dan mengimpor tekstil India dengan
harga yang tinggi.
Akhirnya
penguasa nusantara itu dapat ditaklukkan oleh Belanda meskipun sebelumnya telah
menunjukkan perlawanan dan kemampuannya. Sultan Ageng dari Banten aqalah
perwujudan dari semangat independensi usaha perdagangan dan inovasi teknologi,
terutama sebelum dihancurkan oleh voe. Ageng menjadi pahlawan dalam tragedi
klasik Belanda yang ditulis pada tahun 1769. Tampaknya ia adalah orang Asia
Tenggara pertama yang mendapat kehormatan semacam itu (Lombard 1990: I: 401).
Masalah
Negara-Negara Absolut
"Raja-raja
ini, yang menguasai secara absolut keberuntungan dan hidup warganya, sangat
goyah kekuasaannya. Tidak seorang pun atau paling banyak hanya segelintir saja,
yang setia dan mencintai rajanya seperti halnya kami mencintai raja kami."
(La Loubere, 1691 ; 106)
Sanjungan
atas penguasa Asia Tenggara senantiasa bertentangan dengan lemahnya keadaan
mereka yang sesungguhnya. Kekuasaan penguasa atas rakyat demikian besar dan
raja memiliki kekuasaan langsung atas hidup dan mati warganya. Namun semua
negara berada dalam proses pembentukan koalisi di antara para penguasa lokal
seusai penaklukan. Hubungan antara penguasa dan vasal selalu dirundingkan
kembali. Dasar hukum dan birokrasi dari semua negara masih rapuh. Belum banyak
batas wilayah yang dinyatakan di antara berbagai penguasa yang penuh ambisi
itu. Negara-negara muncul dan hilang secara cepat.
Di
antara sesama negara absolut itu sendiri seakan terdapat perbedaan peringkat.
Semua negara di Asia Tenggara mengakui bahwa Cina lebih besar dan lebih kuat
dari mereka sendiri. Dalam abad ke-15 semua penguasa Asia Tenggara akan merasa
puas bila memegang surat pengakuan di mana nama negara mereka dicantumkan. Para
penguasa dari negara kecil tertentu bahkan pergi sendiri ke Cina untuk
menyatakan takluknya dan menerima status vasal dari sang Kaisar. Upeti adalah
cara satu-satunya untuk berdagang secara legal dan aman dengan Cina. Dan ternyata
cara itu sangat menguntungkan bagi penguasa tersebut dan juga bagi mereka yang
mengatur pengiriman-pengiriman tersebut.
Dalam
lingkungan Asia Tenggara, terdapat tiruan-tiruan dari sistern upeti seperti
itu, yang sering hanya merupakan suatu kesernpatan untuk berdagang di pelabuhan
yang lebih besar dengan irnbalan pengakuan sirnbolik atas supremasi pelabuhan
tersebut.
Raja-raja
dari negara absolut mernpunyai berbagai kekurangan. Terlepas dari kebesarannya,
secara pribadi Sultan Iskandar Muda merniliki kelemahan terhadap wanita
rnisalnya ia menginginkan perempuan kulit putih dan meminta dikirirni dua
perernpuan lnggris. "Kalau saya bisa mendapat anak dari salah satu dari
mereka dan ternyata anak itu laki-laki, saya akan menjadikannya raja Pariaman,
Pasaman dan pesisir yang menghasilkan lada yang kau bawa, sehingga
engkau tidak perlu lagi meminta lada pada saya, kecuali cukup pada raja
Inggrisrnu itu." (Copland 1614: 13). Selain itu, Sultan Iskandar Muda
mengambil perempuan sekehendaknya bagi harernnya, kalau suaminya keberatan,
maka ia rnemerintahkan kemaluan sang suami dipotong." (hal. 257). Meskipun
demikian ia telah berjasa meletakkan dasar hukurn. Iskandar Muda dapat dijuluki
sebagai "Bapak Pernbuat Undang-Undang Tertulis" dan undang-undang
tersebut dilaksanakan pada masanya dengan empat pengadilan: a) pengadilan
kriminal, b) pengadilan agarna, c) pengadilan untuk menyelesaikan soal utang,
d) pengadilan untuk masalah-masalah perdagangan.
Kelernahan
raja absolut lainnya terlihat di Matararn. Arnangkurat I mengembangkan monopoli kerajaan sedemikian rupa sehingga sangat destrukti£ la rnelarang
rakyatnya berdagang ke luar negeri, rnenutup pelabuhan untuk jangka waktu yang
lama dan tahun 1655 menyita atau menghancurkan perahu· perahu dagang dan perahu
nelayan milik penduduk pesisir. Seorang utusan VOC bercerita, "Saya pernah
nekad menasihati raja agar ia mengizinkan rakyatnya berlayar, menjadi
kaya". "Rakyatku tidak memiliki apa-apa seperti kalian, sernua
rniliknya adalah milik saya dan kalau tidak rnemerintah dengan keras saya tidak
bisa rnenjadi raja."(van Goens, 1656: 200-201). Sebelumnya, Arnangkurat
I mengumpulkan 2.000 ulama penting di Mataram dan menyuruh bunuh mereka tak
lama setelah ia naik tahta tahun 1646 karena ia mencurigai rnereka mendukung
pernberontakan.
Berbeda
dengan absolutisrne di Eropa di rnasa yang sama, absolutisme Asia Tenggara
tidak disertai dengan institusi-institusi atau teori-teori, yang membenarkan
adanya elernen-elemen lain dalam masyarakat untuk mernanfaatkan akurnulasi
kekuasaan yang baru. Karena raja-raja membuat intervensi secara langsung dalam pasar,
masyarakat tidak merasakan adanya kebutuhan bersekutu dengan kelas pedagang
guna menghancurkan kekuasaan-kekuasaan lokal, seperti yang terjadi di sejumlah
negara Eropa. Bila raja absolut itu mempunyai sekutu, maka mereka adalah orang
asing yang menurut definisi terpisah dari negara. Dan sekalipun pluralisme ada
di mana-mana dalam sejarah Asia Tenggara, hal itu kurang ditonjolkan dalam
literatur politik wilayah tersebut.
Meskipun
terbentuk negara absolut, para pemimpin setempat bukannya tidak memikirkan
metode mengatasi masalah ini agar kekuasaan tidak seluruhnya terpusat pada satu
tangan. Caranya bukan dengan menerapkan ideologi impor tetapi dengan
mempergunakan struktur asli seperti monarki dualis di Goa-Tallo Makassar. Di
Makassar ada keturunan raja yang jadi raja dan satu lagi menjabat perdana
menteri. Konsep raja kedua dikenal di negeri-negeri yang menganut Budha
Theravada di Asia Tenggara Daratan. Pada kerajaan-kerajaan di dunia melayu
terdapat raja dan raja muda. Di Minangkabau ada pemisahan (trias politika?):
raja alam, raja adat, dan raja ibadat.
Jenis
kelamin memang pernah dipersoalkan terhadap penguasa tertinggi kerajaan.
Eksperimen raja perempuan di Aceh dan Patani tahun 1584 dan 1641 terjadi karena
tidak tersedia raja pria. Kitab Tajussafatin (Mahkota Raja-Raja) sangat
menentang penguasa wanita tetapi bisa menerima sang putri menjadi raja guna
menghindari keadaan yang lebih parah, dengan syarat tidak adanya ahli waris
pria (Bukhari, 1603: 53-{)4). Kelemahan ratu di Aceh ada tiga; a) kekuasaannya
berkurang sehingga sang ratu tidak dapat menengahi pertengkaran di antara elite
politik dan ekonomi dalam negeri. b) ratu tidak begitu kuat menghadapi orang
asing, tidak sanggup mencegah voe menguasai daerah taklukannya yang kaya dengan
lada dan timah. c) pemerintahan ratu yang tidak pernah dianggap sah oleh para
ulama itu tidak menjadi model ideal bagi generasi berikutnya. Penentangan para
ulama Aceh terhadap ratu Aceh itu akhirnya berhasil setelah mereka menerima
surat dari Mekah yang menyatakan pemerintahan wanita bertentangan dengan agama.
Basis
kekuatan yang berdasarkan absolutisme mengalami kehancuran pada akhir kurun
niaga. Periode ini meninggalkan warisan undang-undang tertulis dan beberapa
teknik aturan birokrasi, tetapi gaga) menciptakan suatu model yang baik mengenai pemerintahan yang
kuat dan juga berdasarkan undang-undang, terpusat tetapi juga konstitusional.
Setelah itu pada masa berikutnya terdapat berbagai bentuk kekuasaan yang
praktis tetapi berbeda dengan kenangan tentang zaman kebesaran yang telah
lampau tersebut.
Ttdak
ada gading yang tidak retak. Ada satu dua kritik kecil yang dapat diajukan.
Pada buku asli halaman ii Alinea ke-3 dikatakan bahwa Cochin-China adalah
Vietnam Tengah, Anthony Reid keliru, seharusnya wilayah itu termasuk Vietnam
Selatan. Selain itu, terdapat berbagai kutipan yang berasal dari Bahasa Melayu.
Teks ini diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris dan kemudian dialihbahasakan Kembali
ke Bahasa Indonesia. Tentu dalam proses alih Bahasa yang bolak-balik ini ada yang
hilang bahkan janggal.
Namun terlepas dari kelemahan ringan tersebut, buku ini
dapat dianggap sebagai bacaan wajib bagi mahasiswa dan ilmuwan yang berminat
terhadap kajian Asia Tenggara untuk tahun-tahun mendatang. Bahkan, meminjam
istilah John N. Miksic dari National University of Singapore, “termasuk buku
klasik mengenai sejarah Asia Tenggara”. Bersama dengan Nusa Jawa karya Denys
Lombard, buku Anthony Reid ini telah mengawali penulisan sejarah total di Kawasan
Asia Tenggara.
Dikutip
dari Dr. Asvi Warman Adam dalam buku Asia Tenggara dalam Kurun Niaga
1450-1680 Jilid II.
Agar
Pembaca dapat mengulas tema di atas lebih dalam, kami lampirkan versi luring (offline)
pdf pada link di bawah ini.
Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 Jilid I:
Tanah di Bawah Angin pdf
Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 Jilid II pdf