 |
Sumber gambar: sindonews.com |
Buku ini membahas kemunculan baru tradisi pemujaan wali di Indonesia
kontemporer dan ziarah Muslim ke Bali melalui lensa tradisi perjalanan dan
studi ziarah dan sebagian menyentuh aspek ekonomi agama. Para ulama secara
khusus melihat tradisi travelling melalui perspektif budaya travelling di dunia
Muslim, sirkulasi teks, masyarakat mobile, jaringan, teknologi, dan komoditas.
Secara lebih luas, buku ini mengkaji tradisi travelling di cahaya mobilitas
translokal budaya dan orang, dan ziarah Muslim dari perspektif geografi budaya
multifaset, batas-batas, dan pertemuan. Ini juga melihat bagaimana transfer dan
adaptasi, sebagai konsekuensi dari mobilitas budaya dan agensi, merangsang
pertanyaan tentang otoritas dan keaslian serta peran 'ekonomi agama' dalam
relokasi budaya.
Dengan demikian, buku ini berfokus pada adaptasi dari pemujaan suci
berakar kuat di Jawa Islam di lingkungan Hindu yang dominan di Bali, dan
pasarnya, produk keagamaan, dan pengusaha serta meneliti pelanggaran
batas-batas multifaset melalui perjalanan keagamaan. Buku ini menawarkan cahaya
baru tentang Bali dan melihat pulau itu sebagai tempat gerak budaya yang
mengangkangi Islam dan Hindu dengan kompleksitas figurasi lokal, keterikatan,
dan milik ‘Muslim Bal’. Perjalanan religi, menurut buku ini, memungkinkan kita
untuk melihat lalu lintas budaya di lokalitas, pertukaran, komodifikasi,
persaingan dan kontestasi yang dibingkai dalam setting sosiokultural translokal
tetapi dibentuk oleh kekhususan lokal dari identitas spasial dan budaya.
Perjalanan religi merupakan salah satu unsur utama pembentuk Islam dan
merupakan bagian dari tradisi mobilitas umat Islam, seperti haji (ziarah ke
Mekkah), hijrah (hijrah), dan rihlah (perjalanan untuk tujuan belajar) Islam
menganjurkan bahkan mewajibkan bentuk perjalanan keagamaan tertentu dan yang
paling terkenal adalah haji yang berlangsung setiap tahun. Haji adalah bentuk
perjalanan keagamaan yang paling penting dan dianggap sebagai salah satu rukun
Islam ('arkan al-'Islam), bersama dengan kesaksian iman (syahadat), sholat
wajib harian (shalat), sedekah (zakat), dan puasa selama bulan Ramadhan.
Semua Muslim yang mampu melakukan perjalanan wajib melakukan haji
setidaknya sekali seumur hidup mereka. Yang kurang penting dari haji adalah
umrah, di mana para peziarah Muslim melakukan perjalanan ke Mekkah dan Madinah
dan berdoa di berbagai tempat suci yang terletak di kedua kota tersebut. Sangat
dianjurkan (sunnah mu'akkad) bagi umat Islam untuk melakukan umrah jika mereka
mampu melakukannya secara finansial dan fisik. Umat Islam dapat melakukan
umrah sepanjang tahun, tetapi haji hanya dilakukan di bulan dzulhijjah, bulan
terakhir dari kalender lunar Muslim.
Selain haji dan umrah, Islam juga mengenal praktik perjalanan agama ke
tempat-tempat suci atau ziarah. Ziarah berarti 'mengunjungi' atau memuliakan
orang suci dengan mengunjungi makamnya. Itu juga diberi label 'haji kecil'
karena memberikan manfaat agama yang sama dengan melakukan haji atau umrah.
Ziarah ke makam para wali adalah fenomena yang sangat penting di seluruh dunia
Muslim.
James Fox mengamati bahwa “di seluruh dunia Islam, kunjungan ke makam
para wali dan orang suci Islam adalah tindakan kesalehan yang diterima. Di
Jawa, dan juga di tempat lain di Indonesia, kunjungan ke makam suci semacam itu
adalah praktik yang mapan.”
Yang penting, ziarah ke makam para wali di Indonesia kontemporer adalah
salah satu tradisi keagamaan yang dinamis yang menunjukkan hubungan dekat
dengan kebangkitan agama. pasar dan pariwisata. Ini melibatkan ribuan situs dan
ratusan ribu peziarah.11 Namun demikian, di Indonesia dan di tempat lain di
dunia Muslim, ziarah berfungsi sebagai indikator penting perbedaan antara
Muslim tradisionalis dan reformis. Para reformis tanpa kompromi mengutuk
pemujaan wali dan ziarah ke tempat suci yang dipandang sebagai ritual yang
melanggar hukum bahkan lebih buruk daripada tindakan penyembahan berhala
(syirik), berbeda dengan kaum tradisionalis yang mendorong umat Islam untuk
berziarah ke tempat suci para wali Muslim.
Buku ini secara khusus mengkaji ziarah ke makam Wali Pitu (Tujuh Wali)
yang baru ditemukan. Wali Pitu mengacu pada tujuh wali muslim di Bali, yaitu
Habib Umar Bin Maulana Yusuf Al-Maghribi, Habib Ali bin Abu Bakar al-Khamid,
Habib Ali bin Zainal Abidin al-Idrus, Habib Ali bin Umar Bafaqih, Syekh Yusuf
al- Baghdi, The Kwan Lie atau Syaikh Abdul Qadir Muhammad dan Mas Sepuh atau
Raden Amangkuningrat. Empat anggota Wali Pitu menyandang gelar kehormatan
'habib', gelar yang setara dengan sayyid (laki-laki keturunan Nabi Muhammad),
sedangkan dua lainnya bergelar 'syaikh' terutama merujuk pada keturunan Arab
non-sayyid, dan bergelar ' raden' menunjuk keluarga bangsawan bangsawan di
Jawa. Kiai Toyyib Zaen Arifin (1925-2001) dari Jawa pertama kali mencetuskan
konsep Wali Pitu pada tahun 1992. Ia menemukan makam Wali Pitu di Bali dan,
bersama dengan murid-murid Jawanya yang tergabung dalam kelompok sufi semu
Al-Jamali yang tinggal di Bali mempopulerkan tradisi pemujaan Wali Pitu.
Ia juga aktif terlibat dalam pemasaran dan penyelenggaraan ziarah ke
makam-makam Wali Pitu yang tersebar di Bali untuk letak geografis makam-makam
tersebut). Akibat penemuannya, makam Wali Pitu telah disulap menjadi situs
ziarah yang menggiurkan, khususnya bagi umat Islam Jawa yang berkunjung ke Bali
untuk wisata religi.
Terlepas dari ketenaran Bali yang cukup besar sebagai tujuan wisata yang
terkenal, umat Islam Indonesia tidak menerima gagasan untuk berziarah ke Bali
sampai baru-baru ini. Bahkan saat ini, istilah 'Wali Pitu' masih terdengar
asing di telinga banyak umat Islam Indonesia karena konsep wali di Indonesia
selama beberapa dekade secara eksklusif terkait dengan Wali Sanga, sembilan
wali di Jawa. Untuk waktu yang lama, berziarah ke makam para wali (ziarah wali)
menyiratkan ziarah Muslim ke makam sembilan wali ini.
Selain itu, Jawa biasanya dikaitkan dengan sejarah orang-orang suci
Muslim di Indonesia, sedangkan Bali yang bertetangga sebagian besar dianggap
sebagai pulau Hindu. Pulau ini sering disebut ‘pulau dengan seribu pura’ (pulau
seribu pura) dan ‘pulau para dewa’ (pulau dewata), dan merupakan rumah bagi
banyak tujuan wisata yang terkenal - bukan ziarah -. Berkat kemunculan Wali
Pitu, Bali tidak lagi dipandang hanya sebagai tujuan wisata tetapi telah
menjelma menjadi sebuah pulau tempat umat Islam dapat berziarah, yang
memfasilitasi perluasan ruang bisnis wisata religi yang berkembang pesat di
Jawa.
Menelisik kemunculan Wali Pitu dan ziarah Muslim di Bali, pertanyaan
utama dalam buku ini adalah bagaimana Wali Pitu ditemukan dan bagaimana
pemasaran, pengalaman, dan persaingannya? Pembahasan tentang 'penemuan' ini
terutama berpusat pada pertanyaan yang lebih rinci tentang orang yang menemukan
tradisi Wali Pitu, bagaimana dia menciptakannya, dan apa premis terpenting dari
tradisi ini. Istilah ‘dipasarkan’ secara khusus mengacu pada keterikatan antara
tradisi agama dan pasar. Ia mencoba menangkap bagaimana tradisi pemujaan orang
suci menuntut konsumsi religius dan bagaimana hal itu terkait dengan kemunculan
pasar religi di Indonesia kontemporer. Mengenai pengertian ‘pengalaman’, buku
ini akan melihat aspek subyektif dari mereka yang terlibat dalam perjalanan
haji, terutama dengan mengkaji para peziarah dan praktik ziarah di Bali.
Terakhir, dengan menggunakan istilah ‘contested’, kajian ini mengkaji dinamika
situs-situs ziarah dalam konteks sosiokulturalnya.
Masalah penelitian yang diteliti memang cukup menggugah, terutama karena
kurangnya studi tentang Islam di Bali dan hampir tidak ada studi tentang
pemujaan wali di pulau itu. Karya antropologi secara eksklusif mendefinisikan
Bali sebagai pulau Hindu di negara mayoritas Muslim, Indonesia. Untuk studi
sejarah Islam di Bali, artikel Adrian Vickers (1987) mungkin bisa menjadi batu
loncatan. Melengkapi artikel Vickers adalah dua artikel Jean Couteau tentang
sejarah dan dinamika kontemporer umat Islam di Bali,16 dan artikel Brigitta Hauser-Schäublin
yang mengkaji interaksi antara Islam dan penduduk asli Hindu-Bali 'Bali Aga' di
Bali utara. Dua studi etnografi telah dilakukan oleh Fredrick Barth (1993) dan
Erni Budiwanti (1995) dan mereka melingkupi komunitas Muslim di desa Pagetapan/Pegayaman
di Bali utara. Dua artikel mencerahkan oleh Lene Pedersen (2008) dan Meike
Rieger (2014) mengkaji dinamika Muslim dan Hindu di desa campuran Hindu-Muslim
di Bali tengah dan timur. Namun, studi ini tidak memperhitungkan masalah
pemujaan orang suci di pulau itu.
Dikutip dari Syaifudin Zuhri dalam Wali Pitu and Muslim Pilgrimage
in Bali, Indonesia.
Agar
Pembaca dapat mengulas tema di atas lebih dalam, kami lampirkan versi luring pdf
pada link di bawah ini.
Wali
Pitu and Muslim Pilgrimage in Bali, Indonesia pdf