![]() |
Sumber gambar: nu.or.id |
Tumbangnya
pemerintahan otoritarian Orde Baru pada Mei 1998 telah membuka keran kebebasan
dan partisipasi politik serta transformasi sosial yang barangkali tidak pernah
terbayangkan sebelumnya. Demokratisasi yang menjadi tuntutan utama gerakan
reformasi telah membuka ruang-ruang publik dan menyediakan panggung terbuka
bagi aktor-aktor politik, sosial dan keagamaan untuk turut membincangkan
kembali formulasi kemaslahatan bangsa yang sedang menghadapi krisis ekonomi dan
politik hebat dalam sejarahnya. Salah satu aktor penting dalam kontestasi ini
adalah ulama dan tokoh agama. Mereka turut aktif mengonseptualisasikan
kemaslahatan bangsa Indonesia dalam kerangka berpikir agama dalam spektrum yang
beragam. Wacana keislaman dan keulamaan yang sebelumnya menghiasi wilayah
periferal dalam isu-isu kebangsaan dan kenegaraan mulai bergerak ke tengah dan
menjadi idiom penting dalam perdebatan sosial politik, terutama ketika politik
identitas mulai banyak menghiasi kontestasi dan perebutan otoritas politik dan
keagamaan, baik pada level nasional maupun regional.
Buku
ini mengulas isu-isu sentral terkait persepsi ulama Indonesia terhadap gagasan
negara-bangsa dan konsepkonsep turunannya. Menguatnya peran dan wacana ulama
dalam perdebatan politik mendorong para peneliti kami untuk melakukan telaah
serius guna membaca masa depan bangsa dan politik Islam di Indonesia. Survei
tentang persepsi ulama terhadap negara-nangsa menjadi langkah awal untuk
melihat level keberterimaan ulama akan konsep tersebut serta dimensi dan
karakternya. Memang terdapat sebagian (kecil) ulama yang terindikasi menolak
gagasan negara-bangsa, namun penolakan ini perlu dibaca dengan seksama. Tidak
semua penolakan tersebut didasari oleh penolakan total terhadap gagasan
negarabangsa. Pendalaman hasil survei menemukan apa yang disebut “reservasi”
ulama terhadap negara-bangsa yang dilatari tidak hanya oleh aspek ideologis
namun juga pemahaman tradisi yang ketat dan dimensi lokalitas yang berbalut
etnisitas.
Majelis
Ulama Indonesia (MUI) menjadi entri penting dalam membaca pergeseran orientasi
ulama yang terafiliasi dengan negara dari paradigma “pelayan pemerintah”
menjadi “pelayan umat”. Di luar MUI, demokratisasi menyediakan panggung terbuka
bagi ulama dari beragam latar belakang pendidikan dan afiliasi sosial-politik
untuk memperluas pengaruhnya dengan melakukan politik ortodoksi. Demokratisasi
dan revolusi media komunikasi akhir-akhir ini meniscayakan fragmentasi otoritas
politik dan keagamaan. Salah satu konsekuensinya, muncul otoritas baru yang
bergerak dalam logika populisme dan kapitalisme yang banyak digandrungi oleh
masyarakat Muslim kelas menengah kota. Aktor-aktor ini memperkenalkan wacana
keislaman yang ber-style populis dan tidak hirarkis, namun kontennya rigid dan
dogmatik. Wacana keislaman moderat-konservatif yang cukup dominan di ruang
publik menarik untuk ditelaah lebih mendalam. Ulama tidak lagi hanya terlibat
dalam produksi wacana namun juga mendorong aksi-aksi yang menegaskan
‘ortodoksi’ di ruang publik. Fenomena ini membawa dampak kurang menyenangkan
bagi kelompok minoritas sosial dan keagamaan, dan kelompok pengusung emansipasi
perempuan. Hal ini tidak hanya dirasakan dalam kontestasi di wilayah sosial
politik saja, namun juga wilayah hukum, terutama ketika hukum syariah menjadi
bagian negosiasi politik di tingkat nasional dan lokal.
Buku
ini adalah buku kedua yang diolah dan dikembangkan dari survei dan penelitian
tentang persepsi ulama tentang negara-bangsa yang dilakukan oleh para peneliti
dari Pusat Pengkajian Islam Demokrasi dan Perdamaian (PusPIDeP) dan Pascasarjana
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Penelitian ini merupakan bagian dari Program
CONVEY Indonesia tahun 2018 yang digagas oleh Pusat Pengkajian Islam dan
Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta bekerja sama dengan United
Nations Development Programme (UNDP) Indonesia.
Ulama dan Negara Bangsa
Buku
ini berasal dari penelitian yang dilakukan di lima belas kota Indonesia dan
bertujuan memberikan gambaran tentang persepsi dan pandangan ulama Indonesia
masa kini terhadap format dan sistem negara-bangsa. Signifikansi penelitian ini
bukan saja untuk memahami bagaimana posisi ulama Indonesia masa kini berhadapan
dengan negara-bangsa, tetapi juga membaca arah dan tantangan yang dihadapi
Indonesia dalam konteks menguatnya pengaruh Islam politik di negeri berpenduduk
mayoritas Muslim ini. Perlu diketahui bahwa ulama merupakan aktor penting yang
mewarnai dinamika keagamaan, sosial, politik, dan kebangsaan Indonesia dari
masa ke masa. Sejak zaman kolonial, mereka sudah berperan aktif dalam
memperkenalkan wacana keagamaan, modernitas dan gagasan-gagasan kebangsaan
(Azra 2004; Laffan 2004). Menjelang kemerdekaan mereka bahkan tampil sebagai
soko guru dan peletak dasar ideologi kebangsaan Indonesia.
Tokoh-tokoh penting
seperti K.H. Wahid Hasyim (NU), Ki Bagus Hadikusumo (Muhammadiyah) dan Kasman Singodimejo
(Masyumi), untuk menyebut beberapa, terlibat dalam sidangsidang Badan
Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang mendorong terjadinya negosiasi yang
akhirnya mengantarkan Pancasila dikukuhkan sebagai dasar negara Indonesia. Ulama
sekaligus mempunyai pengaruh penting dalam pengembangan pendidikan di
Indonesia. Mereka mendirikan ribuan pesantren tradisional dengan kurikulum,
tradisi keagamaan serta relasi guru dan murid yang khas sejak abad ke17
(Dhofier 1999). Ulama beraliran modernis ikut memberikan warna penting sejak
penghujung abad ke-19. Mereka menjadi tokoh sentral dalam pengelolaan lembaga
pendidikan Islam bercorak modern yang juga tersebar luas di berbagai kota di Indonesia.
Belakangan terutama sejak 1980-an, ulama Salafi yang mempopulerkan pendekatan
skripturalis terhadap teksteks keagamaan Islam juga mulai aktif membangun
jaringan pendidikan. Mereka mendirikan pesantren-pesantren Salafi yang berupaya
menghidupkan tradisi pengajaran Islam bercorak Wahabi (Hasan 2010, 2018; Wahid 2014). Di era
Reformasi, muncul ulama-ulama Tarbawi yang menawarkan pendidikan Islam Terpadu
(IT) yang sangat populer di kalangan kelas menengah Muslim perkotaan yang
berhasrat mengekspresikan identitas keagamaan sambil memperlihatkan status,
kelas, dan selera sosial mereka sebagai Muslim yang salih, modern dan
globalized. Diilhami ideologi Ikhwanul Muslimin, mereka mendirikan
sekolah-sekolah Islam terpadu dari jenjang TK sampai SMA yang juga tersebar
luas di seluruh Indonesia (Hasan 2012).
Memang
tidak semua ulama terlibat langsung dalam penyelenggaraan pendidikan. Di antara
mereka ada yang menanamkan pemikiran dan pengaruh ke lembaga pendidikan melalui
beragam media, terutama penulisan dan penerbitan literatur keagamaan Islam yang
dikonsumsi secara luas oleh guru, dosen, siswa, mahasiswa dan masyarakat luas
(Hasan 20018, Ikhwan 2018). Ulama lain mempopulerkan gagasan-gagasan dan
pemikiran mereka dengan kemasan yang lebih trendy dan popular, melalui media
TV, Internet, smartphone dan beragam jenis media sosial. Terbentuk antara lain
oleh persentuhan mereka dengan gagasan-gagasan dan pemikiran ulama yang hadir
pervasive, corak pemikiran, gagasan dan aspirasi generasi muda masa kini, yang
kerap disebut sebagai generasi milenial, karenanya tidak bisa dipisahkan lagi
dari persepsi dan pandangan ulama dalam memahami berbagai persoalan, termasuk
isu-isu seputar negara-bangsa.
Dalam
skala yang lebih luas penelitian ini ingin melihat arah dan masa depan negara-bangsa
Indonesia. Sebagaimana disinggung di atas, ulama telah lama membuktikan diri
sebagai aktor penting yang berpengaruh secara politis, sosiologis dan kultural
terhadap dinamika historis masyarakat Indonesia. Mereka memelopori perjuangan
mendirikan negara-bangsa dan mengawal eksistensinya hingga hari ini. Namun dari
kalangan ulama jugalah, yang berbeda persepsi, pandangan dan pemahaman mengenai
negara-bangsa, ancaman kerap menghadang perjalanan bangsa Indonesia yang
berkomitmen menjalankan Pancasila dan UUD 1945. Mereka menjadi pelopor
gerakan-gerakan Islamis yang menyemai ide tentang keterpaduan agama dan
kekuasaan (dīn wa daulah), ḥākimiyyah, dan bahkan revitalisasi
khalifah. Sebagian mereka tampil sebagai ideolog-ideolog gerakan Islamis yang
memberikan warna menonjol dalam dinamika politik Indonesia, yang pengaruhnya
tampak menguat pasca-kejatuhan rezim Orde Baru. Mereka aktif menggelar
aksi-aksi menuntut penerapan syariah, melakukan razia atas café-café dan
diskotik yang dianggap sebagai sarang maksiat, dan juga menggelar aksi-aksi
jihad di berbagai kawasan konflik di Indonesia.
Trajektori Islam Politik
Sebagai
fenomena recurrent yang menghadirkan tantangan bagi negara-bangsa, Islam
politik perlu terlebih dahulu dipahami dalam hal trajektori dan konteks
perkembangannya yang lebih luas. Islam politik, atau Islamisme, bukanlah
gerakan kembali kepada tradisi yang berkembang di masa lalu, terutama terkait
hubungan Islam dan politik yang diformulasikan para fuqaha klasik. Islam
politik merupakan gagasan baru yang mengubah hubungan formalistik dan simbolik
antara Islam dan politik menjadi tak terpisahkan dan nyata. Dengan membalik
ciri hubungan tradisional antara agama dan politik, kaum Islamis berupaya
menjadikan politik tunduk pada agama, bukan sebaliknya sebagaimana terjadi
dalam sejarah. Lalu bagaimanakah sebenarnya hubungan agama dan politik itu
dalam tradisi Islam?.
Kesan
umum yang berkembang dalam lingkaran akademik Barat menganggap Islam memang
merupakan agama politik, didasari pemahaman bahwa Islam memantapkan
eksistensinya melalui penaklukan militer. Namun, anggapan ini tidak memiliki
landasan yang kuat. Sebagaimana disinggung di atas, sumber doktrinal Islam
menyinggung sedikit sekali tentang persoalan politik, menyangkut bagaimana
membentuk negara, menjalankan pemerintahan ataupun mengatur organisasi. Jika
para penguasa negara Islam historis juga merupakan pemimpin spiritual komunitas
mereka, ini bukan karena Islam menuntut pemimpin agama (imām) harus
menjadi penguasa politik. Sebaliknya, Islam tersebar di wilayah yang mode produksinya
cenderung berdasar kontrol yang ketat dari negara di mana negara selalu
memainkan peran yang penting dalam kegiatan ekonomi dan sosial masyarakat.
Kontrol atas agama selalu menjadi instrumen negara untuk menancapkan hegemoni
ideologisnya. Negara-negara Islam historis mewarisi tradisi ini.
Bisa
dimengerti jika perlawanan terhadap kekuasaan juga selalu diawali dengan upaya
merebut kontrol menyeluruh atas agama. Meski dibangun di atas argumen keagaman,
ideologi Ikhwanul Muslimin sebagai pelopor gerakan Islam politik, misalnya,
jelas sarat premis-premis politis. Dalam konteks menghadapi kekuatan
imprealisme Barat, Ikhwanul Muslimin menggelindingkan gagasan tentang
pembangunan kembali kekhalifahan Islam. Namun demikian, tauhid diletakkan
sebagai fakta dasar dan komponen utama kredo Islam. Penyerahan total kepada
Allah ditekankan sebagai makna sesungguhnya dari komitmen kebersyahadatan
seseorang. Sayyid Qutb, salah satu ideolog utama Ikhwanul Muslimin, meneruskan
prinsip ini dengan mengembangkan ḥākimiyyah sebagai doktrin kunci yang
mengajarkan tentang kedaulatan mutlak Tuhan. Baginya, satu-satunya penguasa,
legislator dan pengatur kehidupan yang berhak ditaati dan disembah hanyalah
Allah (Haddad 1983). Karena dominasi sistem sekular yang tidak bersumber dari Allah,
ia secara retoris menegaskan bahwa dunia saat ini adalah dunia yang terpasung
oleh budaya jahiliyyah. Komitmen Muslim dianggap mutlak untuk membebaskan dunia
dari pasungan ’jahiliyahisme’. Pemikirannya hitam-putih. Ia mengenakan label
kafir kepada semua yang tidak menyetujui jalan pikiran yang dikembangkannya
(Moussalli 1993).
Tiga
dekade kemudian, Abdullah Azzam berhasil mengontekstualisasikan gagasan
radikalisme Qutb —yakni meruntuhkan rezim ‘infidel’ yang berkuasa di negara
masingmasing (‘musuh dekat atay near enemy’)— dalam usahanya mendorong
jihad ofensif di seluruh dunia. Hal ini diyakini merupakan bagian integral dari
jihad melawan jahiliyahisme sebagai kewajiban yang melekat bagi setiap Muslim (fardhu
‘ain) demi mengukuhkan keutuhan wilayah Islam. Berasas gagasangagasan
Azzam, Ayman al-Zawahiri mengembangkan sebuah visi alternatif gerakan jihad:
perang melawan jahiliyyahisme harus langsung ke sumbernya, yakni kaum ‘Salabis’
yang identik dengan Amerika Serikat dan sekutu-sekutu Baratnya dan Zionis Israel.
Gagasan al-Zawahiri yang secara jelas menggeser fokus gerakan jihad dengan
sasaran utama ‘musuh jauh’ (far enemy) diadopsi oleh Al-Qaeda bentukan
Osama Bin Laden yang mendirikan Front Jihad Dunia Islam pada 1998 (Mandaville
2007).
Banyak
pengamat dan analis gagal melihat dengan baik kompleksitas Islam politik yang
berkembang sebagai hasil pertautan yang rumit antara agama, politik, dan
ekonomi. Sebagian kalangan melihat agama —atau lebih tepatnya teksteks agama—
sebagai faktor paling utama, kalau bukan satusatunya, di balik fenomena ini.
Lingkaran kekerasan yang terjadi diyakini bersumber dari pikiran radikal mereka
yang memahami teks-teks agama secara hitam-putih dan kaku. Dengan kata lain,
teks-teks agama ditekankan sebagai doxa paling menentukan di belakang aksi-aksi
kekerasan. Mengamini lingkaran intelektual dan media massa di Barat, mereka
memandang Islam sebagai akar permasalahan di dunia Muslim. Menurut mereka,
Islam adalah agama yang tidak memiliki konsep kewarganegaraan dan kebebasan
sipil. Hal ini terjadi karena adanya keyakinan tentang kedaulatan Tuhan yang
menghilangkan kekuatan rakyat. Diyakini secara esensial sebagai agama politis,
Islam muncul sebagai sebuah pandangan-dunia (worldview) di mana
kehidupan manusia tidak memiliki kesamaan nilai seperti yang terjadi di Barat;
sementara kebebasan, demokrasi, keterbukaan, dan kreativitas menjadi sesuatu
yang asing. Pandangan demikian dikuatkan oleh semakin banyaknya kelompok
Islamis yang muncul, dengan mengatasnamakan agama. Mereka mencurigai demokrasi
sebagai “konstruksi asing” dan menyingkirkan kehendak rakyat demi mengikuti
kedaulatan Tuhan.
Pandangan
semacam ini telah lama dibantah oleh mereka yang membela tesis tentang
“kesesuaian antara Islam dan demokrasi,” dengan menyajikan sebuah spirit Islam
yang secara inheren demokratis dan mengklaimnya sebagai sebuah agama yang
toleran, pluralis, adil, dan sejalan dengan Hakhak Asasi Manusia (HAM). John
Esposito dan James Piscatori (1991) menunjukkan fakta bahwa di dalam Alquran
terdapat konsep syūrā (musyawarah) yang menjadi landasan bagi umat Islam untuk
membangun praktik demokrasi mereka dalam berpolitik. Inheren di dalam konsep
syūrā adalah kebutuhan bagi penguasa untuk bermusyawarah dan meminta pendapat
khalayak ramai sebagai basis membangun konsensus dan membuat keputusan (decision-making).
Bagi Filaly-Ansary (1999), sekalipun tidak bisa diingkari bahwa mayoritas umat
Islam menerima kehendak Tuhan sebagai sesuatu yang paling utama dan hukum Tuhan
sebagai sesuatu yang tidak bisa diubah dan dibelokkan oleh kehendak dan
kepentingan manusia, kepentingan publik (mashlaḥah mursalah) yang
meniscayakan partisipasi masyarakat dalam pengambilan konsensus dan keputusan
merupakan sebuah prinsip dasar dalam praktik politik umat Islam.
Apakah
Islam lantas sejalan dengan demokrasi,
ketika demokrasi diasumsikan bebas dari ambiguitas? Jelas tidak ada satupun
yang bersifat intrinsik di dalam Islam —atau agama lainnya— yang membuatnya
secara inheren selaras ataukah tidak dengan demokrasi. Agen-agen sosial
menentukan kebenaran inklusif atau otoriter suatu agama, sebab agama bukanlah
apa-apa, melainkan pengertian kita tentang apa yang kita perbuat dan kita
pahami dari agama. Religion is a matter of interpretation. Penjelasan
antropologis tentang hubungan antara otoritas teks dan relasi-relasi kuasa
dalam sebuah proses literer kompleks yang membentuk formasi wacana (discursive
formation) menjelaskan signifikansi kritik sejumlah sarjana terhadap
kecenderungan nalar yang menghadapkan Islam dan demokrasi (Messick 1993).
Memahami
permasalahan di atas, Asef Bayat (2007) menganggap salah menghadapkan Islam dan
demokrasi. Baginya, pertanyaan yang lebih tepat adalah, dalam kondisi apakah
Muslim dapat membuat diri mereka beradaptasi dengan prinsip-prinsip utama yang
melekat dalam demokrasi: powersharing, partisipasi dalam decision-making,
egalitarianisme dan pembebasan. Lima puluh tahun yang lalu, para ilmuwan sosial
percaya bahwa Kristen dan demokrasi tidak berkesesuaian. Tetapi hari ini,
demokrasi mekar di daerah-daerah Kristen, bahkan juga di daerah di mana fasisme
muncul dan terkait dengan gereja. Memang, ideologi otoriter dan eksklusif
sebelumnya selalu disandingkan dengan Kristen. Sekte-sekte Kristen awal
mempromosikan kesetiaan kepada para penguasa otoriter, asalkan mereka tidak ateis
dan tidak membahayakan para penganutnya. Kepatuhan menjadi pokok pemikiran
politik Kristen yang didasarkan pada keyakinan bahwa kekuasaan yang lebih
tinggi diberikan oleh Tuhan.
Bayat
selanjutnya menyarankan lebih baik kita menguji kondisi-kondisi yang
memungkinkan kekuatan-kekuatan sosial mengubah teks-teks kitab suci menjadi
kekuatan hegemonik. Hal ini berkaitan erat dengan kapasitas kelompok untuk
memobilisasi konsensus di sekeliling “kebenaran” yang mereka bangun. Karena itu
merujuk semata pada kitab suci mungkin tidak akan berperan sebagai alat
analitis yang efektif, tetapi harus diarahkan pada inti pertarungan politik
dalam membangun wacana hegemonik. Pernyataan bahwa “pemerintahan Islam memiliki
karakter demokratis” mungkin naif secara analisis, tetapi ini merupakan sebuah ekspresi
dari perjuangan untuk membuat pemerintahan Islam yang demokratis.
Tidak
dapat diingkari, masih banyak masalah struktural yang menggelayuti perkembangan
dunia Islam. Masalahmasalah ini terentang dari isu kemiskinan, illiterasi,
akses pendidikan dan kesehatan yang tidak merata, kesenjangan sosial dan
ekonomi yang masih lebar, korupsi, nepotisme, otoritarianisme, radikalisme, dan
terorisme, yang kesemuanya berkontribusi terhadap rendahnya HDI (Human
Development Index) masyarakat Muslim. Dalam konteks inilah Islam politik
datang menawarkan alternatif. Dengan dukungan inti dari lapisan tengah yang
miskin, Islam politik telah sukses selama tiga dekade dalam menggerakkan
sejumlah besar masyarakat yang kecewa melalui ‘Islamisasi yang murah’: dengan
slogan bahasa kemurnian moral dan budaya, menuntut politik identitas, dan
melakukan kerja amal yang produktif. Namun demikian, menjelang pertengahan
1990-an Islam politik tidak bisa bergerak jauh ketika sampai pada Islamisasi
yang lebih menantang: mendirikan pemerintahan Islam. Akibatnya, kekuasaan Islam
politik menghadapi krisis yang besar di manapun ia dipraktikkan (seperti di
Iran, Sudan, dan Pakistan, misalnya). Pada saat bersamaan, strategi kekerasan
dan perjuangan bersenjata yang diadopsi oleh Islam politik yang mengambil garis
radikal (di Mesir dan Aljazair, misalnya) gagal mencapai targetnya. Berhadapan
dengan rezim otoritarian para aktornya banyak yang terpaksa meninggalkan
wacana-wacana yang menghancurkan atau metode-metode kekerasan. Mereka mulai
membangun sebuah visi yang lebih demokratis untuk proyek-proyek Islam politik
yang lebih kompromistis.
Bagi
Bayat, Islam politik kerap muncul sebagai bahasa penegasan diri untuk
memobilisasi masyarakat (kebanyakan kelas menengah) yang merasa termarginalkan
oleh proses-proses ekonomi, politik, atau budaya dominan dalam masyarakatnya;
masyarakat yang merasakan kegagalan modernitas kapitalistis maupun
utopis-sosialis yang kemudian membuat bahasa moralitas melalui agama sembari
menginginkan pergantian sistem politik. Bahkan menurutnya, Islam politik
kadangkadang bisa dibaca sebagai cara kelas menengah Muslim yang baru tumbuh
untuk berkata tidak terhadap apa yang mereka anggap sebagai pengaruh asing
—elite-elite nasional, pemerintah sekuler, dan sekutu-sekutu Barat pemerintah.
Mereka menolak keras “dominasi budaya Barat”, rasionalitas politik,
sensibilitas moral, dan simbol-simbol normatifnya, walaupun mereka sendiri
berbagi banyak fitur dengan yang serba asing itu —dasi, makanan, pendidikan,
dan teknologi.
Patut
dicatat, momentum perkembangan Islam politik berlangsung menyusul kekalahan
dunia Arab dari Israel pada Perang 1967. Kekalahan dalam perang ini menyadarkan
banyak kalangan akan kerapuhan rezim-rezim yang berkuasa di negaranegara
mereka. Sejak saat itulah slogan Islam is the solution mulai bergema
kencang di berbagai belahan dunia Islam (Ajami 1992; Esposito 1992). Pilihan
penggunaan kekerasan yang melekati radikalisme Islam berhubungan dengan
struktur kesempatan politik dan mobilisasi yang menopangnya (political
opportunity and mobilizing structures). Berkait erat dengan upaya
individu-individu yang termarginalisasi untuk meluapkan rasa kecewa yang
diakibatkan faktor-faktor sosial, ekonomi dan politik yang terjadi pada level
makro maupun frustrasi yang dipicu pengalaman-pengalaman mikro individual,
format aksi yang menyertai gelombang radikalisme Islam biasanya berkembang juga
seturut respon yang diberikan negara terhadap persoalan-persoalan yang mereka
dengungkan. Bila respon tidak memadai dan negara menjawab tantangan dengan
tindakan-tindakan represif —sebagai usaha menutupi kegagalannya melakukan
reformasi politik, hukum dan ekonomi, misalnya— gerakan Islam politik biasanya
terdorong menggunakan strategi kekerasan dan teror. Potensi ancaman semacam ini
akan semakin serius kala pemerintah dan aparat keamanan menerapkan
taktik-taktik represi tanpa pandang bulu (indiscriminate repression)
yang hanya akan menambah keabsahan kerangka anti sistem (anti-system frame)
yang dikembangkan kelompok-kelompok radikal (Hafez 2004).
Dikutip
Pengantar Prof. Noorhaidi Hasan, M.A., M.Phil., Ph.D (Guru Besar dan Direktur
Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta) dalam Ulama dan Negara Bangsa:
Membaca Masa Depan Islam Politik di Indonesia.
Agar
Pembaca dapat mengulas tema di atas lebih dalam, kami lampirkan versi luring
(offline) pdf pada link di bawah ini.
0 komentar:
Posting Komentar