![]() |
Sumber gambar: islami.co |
“Menjumpai Ramadan tanpa menyentuh
puasa dan Alquran bagaikan keindahan malam tanpa kehadiran sinar rembulan.
Mengejar Ramadan tanpa menyentuh puasa dan Alquran bagaikan sepasang kekasih
menikah tanpa berbulan madu. Keindahan khayali (khayalan) akan
menyilaukan keindahan hakiki (sebenarnya) bagi mereka yang sekedar
beribadah secara formalitas saja tanpa memaknainya, menghayatiya, dan
mengamalkannya”
Tema
puasa dan ramadan―dalam kajian-kajian Islam―tidak pernah habis, walau tahun
terus silih berganti. Sebagai bagian dari rukun Islam, puasa memancarkan pesona
siapa saja. Ia sebuah hidangan yang diberikan-Nya kepada orang-orang beriman.
Disematkan kata beriman, sebab banyak Muslim yang tidak memiliki kemampuan
untuk melaksanakannya. Hadiah dari orang yang beriman itu, manakala dia
berpuasa, dia akan naik pangkat menjadi muttaqîn (orang-orang bertakwa).
Takwa ini dambaan setiap Muslim, dan menjadi orang muttaqîn sungguh sulit,
namun bukan berarti tidak bisa.
Orang
muttaqîn haruslah orang-orang yang mampu menfaktakan keimanan dalam
segala ruang dan kondisi. Sindiran Qur’an―sebagai salah satu makna dan
tafsirannya―bahwa turunnya surah Al-Mâ’un dikarenakan ada seorang yang baik dan
mengerjakan hal positif, tetapi kebaikannya hanya untuk pribadinya. Kesalihan
pribadi tidak tembus menjadi kesalihan sosial. Allah menyebut orang yang tidak
sampai itu dengan orang yang berdusta (terhadap agamanya dan ajaran-Nya).
Dalam
khazanah Islam, ritual yang diiringi dengan berpuasa akan memiliki kegunaan
yang luar biasa. Tidak mengherankan, jika tradisi puasa, tidak saja dikenal
dalam kehidupan Muslim. Semua agama mengajarkan puasa―sesuai peraturan
masing-masing. Sejak Nabi Adam sampai saat ini, puasa tetap lestari. Pelarangan
mendekati buah Khuldi oleh Allah kepada Adam adalah salah satu wujud puasa kala
itu. Menahan untuk tidak melakukan hal-hal yang dilarang adalah satu dari
sekian esensi puasa.
Dalam
Qur’an, ayat berpuasa didahului dengan panggilan untuk orang-orang yang beriman
dan ditutup dengan kata takwa. Ini menunjukkan bahwa puasa memiliki makna
syariat sekaligus hakikat; fisik sekaligus non-fisik. Gabungan keduanya
merupakan gerak jauh ke atas menuju keridhaan Ilahi Rabbi. Puasa jenis ini
telah dicontohkan dalam Al-Qur’an melalui shiyam-nya Siti Maryam.
Perpaduan
orientasi teosentris dan antroposentris ini akan menghidupkan hati dan membuka
tabir-tabir makrifat. Tradisi sufi kuat dalam beribadah sebagai wadah
menghidupkan hati, salah satunya mengamalkan hadis Nabi, “Tidak ada bejana yang
diisi oleh manusia yang lebih buruk dari perutnya. Maka, cukup baginya memakan
beberapa suapan sekadar untuk menegakkan tulang punggungnya (memberikan tenaga).
Jika tidak sanggup, maka dia dapat memenuhi perutnya dengan sepertiga makanan,
sepertiga minuman, dan sepertiga untuk nafasnya.” Sepertiga dalam hadis itu
sebagai kontrol dalam menekan syahwat kebinatangan dan mempersempit jalan setan
dalam darah manusia. Seperti ungkapan hadis Nabi Saw, “Sesungguhnya setan itu
menyusup dalam aliran darah manusia, karena itu persempitlah jalan masuknya
dengan lapar (puasa).
Bulan
Ramadhan seakan mengajak kita kembali bercengkrama untuk memahami pesan
terindah dalam berpuasa, yang ujungnya adalah memfaktakan iman ke dalam prilaku
sehari-hari. Puasa bukan semata-mata ritual formalitas dalam Islam untuk
menggugurkan kewajiban, tapi tangga untuk menggapai ketakwaan, yang membedakan
satu dengan lainnya. Bekal takwa inilah yang kita bawa kelak hari akhir.
Sepotong Taman Surga
Dalam
sepotong surga, ditampakkan pula sepotong kolam yang berair tenang, sehingga
semua manusia melihat dirinya secara jelas tanpa sekat dan tirai. Di situ, semua
dosa-dosa kita tampak jelas. Baik perbuatan dosa yang melahirkan kegelisahan;
perbuatan dosa yang melahirkan malu tapi tidak gelisah; perbuatan dosa yang
tanpa rasa malu, baik kepada Allah maupun manusia; dan perbuatan dosa yang
bangga dengan dosanya. Semuanya tak kuasa menghapus kecuali atas izin-Nya.
Kekurangan dan kealpaan tampak jelas pula, layaknya kita sedang berada di depan
cermin yang bersih. Tempat itu, tempat paling jernih dan suci.
Dia
adalah Ramadan yang kehadirannya dinanti-nantikan penduduk bumi. Satu-satunya
bulan yang namanya tertulis dalam Qur’an. Memang, Alquran menginformasikan
bahwa setahun terdapat 12 bulan (inna ‘iddata al-syuhur ‘indallahi istna ‘asyara
syahran) yang empat bulannya dimuliakan (minha arba’atun hurum) tapi
tidak disebutkan kecuali Ramadan (Qs. Al-Baqarah [2]: 185). Di sinilah, siapa
saja yang menjumpai, maka sapalah ia dengan wajah penuh kegembiraan; Siapa saja
yang merengkuhnya, maka akan direngkuh olehnya; siapa saja yang bercinta
dengannya, maka kucuran pahala tiada henti akan menghampirinya.
Sepotong
tamang surga yang diteteskan Allah ke muka bumi ini, mensyaratkan tiga hal:
Ramadan, puasa dan (membaca) Alquran. Menjumpai Ramadan tanpa menyentuh puasa
dan al-Qur’an bagaikan keindahan malam tanpa kehadiran sinar rembulan. Mengejar
Ramadhan tanpa menyentuh puasa dan Alquran bagaikan sepasang kekasih menikah
tanpa berbulan madu. Keindahan khayali (khayalan) akan menyilaukan
keindahan hakiki (sebenarnya) bagi mereka yang sekedar beribadah secara
formalitas saja tanpa memaknainya, menghayatiya, dan mengamalkannya.
Pada
bulan ini, Allah tak mengizinkan malaikatnya untuk mencatat layaknya aktivitas
ibadah di luar Ramadhan. Sebab, “puasa itu untuk Allah (al-shaum li )”.
Di sinilah penghambaan sejati terasa. Menanggalkan segala macam individualisme
yang mengakar pada egoisme (keakuan) menuju kebersamaan. Tak ada kekuatan dan
daya untuk melawan ke-Mahakuasaan-Nya. Ketersingkapan tabir ini pulalah membuat
manusia berkesempatan menyucikan jiwanya sebersih-bersihnya dan keluar dari
Ramadan penuh sukacita. Semua bekal yang didapatkan pada bulan Ramadan membuat
seseorang salih secara spiritual, tapi kesalihan spiritual itu harus tembus
menjadi kesalihan sosial.
Menembus
sampai menjadi kesalihan sosial itu, harus melewati pemaknaan mendalam akan
sebuah ayat dalam Alquran (Qs. Al-Ahzâb [33]: 35), sebagai bentuk
penggemblengan sejati selama Ramadan dan keluar menjadi manusia pemenang.
Sesungguhnya
laki-laki dan perempuan yang Muslim ” dalam berpuasa—di bulan Ramadan—harus
menunjukkan ibadah yang maksimal (kâffah). Pelatihan otentik seorang
manusia yang langsung dipantau Allah dan Allah sendiri yang menilainya. Dalam
hal ibadah muamalah, seseorang harus menjadi pribadi yang berbuat baik tanpa
memperlihatkan kebaikan itu pada orang lain. Dalam hal ibadah wajib, (misalnya)
beribadah wajib sehari lima tanpa memangkasnya menjadi lima hari sekali.
Tidak
ada agama dan kepercayaan, tanpa adanya sebuah kewajiban kepada pemeluknya
untuk beribadah. Baik ibadah yang sudah ditetapkan langsung oleh Allah melalui
lisan Nabi Muhammad, maupun ibadah tambahan yang dibuat oleh manusia—yang tidak
bertentangan dengan syari’at Nabi Muhammad SAW tersebut. Sesuai dengan
perjanjian antara Nabi Adam dengan keturunannya, bahwa manusia mampu mengemban
amanah sebagai pemakmur bumi, dan mengendalikan pelbagai kekacauan yang akan
terjadinya, meretas kebobrokan akhlak dan meningkatkan spitualitas kepada Allah
SWT.
Segala
perbuatan amal telah ditetapkan oleh-Nya dan tertulis dalam buku tebal (Qs.
Al-Isra’ [17]: 13), termasuk perjanjian antara Allah dengan manusia, salah
satunya yakni ibadah. Dia memberikan syarat kepada hambanya, yaitu: ibadah
kepada-Nya (Qs. Al-Dzariyȃt [51]: 56). Tidak ada yang dapat membela dirinya
kecuali amal sebagai bekal kehidupan kelaknya. Setiap prilaku dan perbuatan
manusia selama di dunia sudah dicatat oleh malaikat-malaikat.
Di sini
hakikat “seakan-akan Aku (Allah) melihatmu” nyata terasa. Tak ada yang melihat
dan mengetahui seseorang berpuasa ataukah tidak; beribadah ataukah tidak,
kecuali Allah. Maka seyogyanya “ laki-laki dan perempuan yang mukmin ”
mendasari dirinya dengan ideologi yang “sehat”. Sebuah ideologi yang dengannya
seorang Mukmin tumbuh kembang dengan perdamaian, kelemah-lembutan dan menebar
pesanpesan sejuk. Sebab, banyak Muslim yang ibadahnya bagus, tetapi hubungan
sosialnya rusak ataupun sebaliknya.
Kesehatan
itu akan membuat seseorang taat kepada Allah walaupun berada di kesunyian dan
kegelapan malam. Menjadikan laki-laki dan perempuan baik hubungan sosialnya, tentu
mudah, tetapi menjadikan “laki - laki dan perempuan yang tetap dalam
ketaatannya dan dan perempuan yang memelihara kerhomatannya”, yang walaupun
seorang perempuan ditinggalkan suaminya sendiri di rumah, ia tetap bisa menjaga
kemaluan dan tangannya dari menahan segala macam godaan yang menerpanya. Begitu
pula laki-laki, yang keluar kota dan daerah tanpa seorang istri, ia bisa
menahan godaan nafsu yang telah memuncak sampai ia kembali ke hadapan istrinya.
Maka Allah mendidik bahwa menjadi manusia taat tidak mengenal waktu dan tempat.
Ketaatan
itu akan menghantarkan seseorang pula menjadi “ laki - laki dan perem puan yang
benar (jujur)”. Tugas manusia, ketika sudah jujur dalam merealisasikan
cita-cita dan jujur dalam bertindak, dituntut untuk mengerti maqam - maqam dan
tingakatan ruhaniyah, tangga-tangga makrifat. Kesemuannya, untuk pendidikan
yang sempurna. Sayyid Ahmad Al-Badawi, ketika ditanya perjalanan menuju Allah,
maka urutan pertama yang harus dilakukan adalah benar dan jujur, bersih hati,
menepati janji (tidak munafik), menanggung tugas dan derita, dan menjaga
kewajiban yang telah dan seharusnya dilakukan oleh manusia ketika di dunia. Kejujuran
yang sudah tumbuh menjadi karakter, maka akan menjadikan “laki - laki dan
perempuan yang sabar”.
Sabar
saja tidak cukup, sabar harus ditopang oleh keimanan dan ketakwaan. Seseorang
yang beriman, belum tentu bertakwa. Tapi, seseorang yang bertakwa, sudah pasti
beriman. Sabar yang ditopang oleh keimanan akan menghasilkan tindakan yang
memuaskan, sekaligus jadi wadah mendapatkan pahala. Sabar dalam ketaatan lebih
berat dalam praktek, daripada sabar dalam berbuat maksiat. Kemaksiatan selalu
menampilkan wajah-wajah yang selalu mempesona, terlebih manusia memiliki
kecenderungan untuk mencintai isi alam semesta (Qs. Ali Imran [3]: 146).
Sedangkan orang-orang yang sabar dalam ketaatan, selalu digoda oleh Allah SWT.
Misalnya, ketaatan untuk berinfak. Maka setan pun menggoda manusia dengan
berbagai cara, salah satu caranya dengan membuat manusia takut (Qs. Al-Baqarah
[2]: 268). Maka sabar yang tidak ditopang oleh keimanan yang kuat, maka akan
sangat mudah tergoda oleh rayuan setan.
Aspek-aspek
penting itu sebagai tahapan menjadi pribadi yang salih secara spiritual
dan salih secara sosial. Dan memanfaatkan puasa Ramadhan dengan maksimal bukan
ikut-ikutan semata yang tanpa meninggalkan bekas sama sekali.
Dikutip
dari Buku Ramadhan (Dari Kesalihan Pribadi Menuju Kesalihan Sosial) oleh Muhammad
Makmun Rasyid.
Agar
Pembaca dapat mengulas tema di atas lebih dalam, kami lampirkan versi luring
(offline) pdf pada link di bawah ini.
0 komentar:
Posting Komentar