![]() |
Sumber gambar: thecolumnist.id |
Jika kita mau
menengok kembali perjalanan sejarah umat manusia, kita akan mendapati
banyak sekali pergolakan, pertentangan, dan perebutan (atas nama) “kebenaran”.
Kebenaran seolah-olah tidak cukup hanya untuk dipeluk dan diyakini, melainkan
harus dipertaruhkan, dikukuhkan, dikontestasikan, dan selanjutnya dijadikan
alat kekuasaan. Sehingga
seringkali “atas nama” kebenaran segalanya harus dibayar dengan darah, nyawa,
bahkan tidak jarang berakhir dengan perang terbuka. Al-Hallaj, seorang sufi
dari Persia, harus rela mati di tiang gantungan hanya untuk mempertahankan
doktrin hulul (bersemayamnya lahut di dalam nasut). Syekh Siti Jenar diadili dan dieksekusi mati Wali Songo
gara-gara mengajarkan doktrin wihdat al-wujud (manunggaling kawula ing gusti) yang dianggap “sesat” dan
“menyesatkan”.
Ini adalah fakta
sejarah betapa “kebenaran” bisa tampil dalam berbagai warna dan bentuk.
Bergantung pada siapa dan demi kepentingan apa ia (di) hadir (kan). Pada
kenyataannya, kebenaran tidaklah bebas dari kepentingan dan kekuasaan. Ia akan
selamanya dipertaruhkan dan diperebutkan umat manusia. Pertaruhan dan perebutan itu
tidak selamanya terjadi dalam medan terbuka. Terkadang ia muncul dan
bergolak dalam ruang batin atau psikologi seseorang.
Salah satunya
pernah dialami Imam al- Ghazali. Beliau pernah menderita semacam “gejolak
kejiwaan” pada saat beliau mencoba menelusuri “hakikat kebenaran” (hakikah
al-umur) dan “kebenaran sejati” (al-ilm al-yaqin). Dalam
pencariannya itu al-Ghazali mempelajari, mengkaji dan memverifikasi segenap
ilmu pengetahuan yang ada pada saat itu, seperti ilmu kalam (teologi), fiqh,
filsafat, dan tasawuf, berikut cabang-cabangnya.
Pengalaman
eksistensial al-Ghazali dalam mencari dan mnyusuri “kebenaran” terekam jelas di
dalam kitabnya “al-Munqidz min al-Dhalal”. Dari awal-awal tulisannya
itu, kita sudah bisa mencium aroma kegelisahan al-Ghazali. Yang pasti, kata al-
Ghazali, kebenaran harus dicari, dan terus dicari sampai dalam waktu yang tak
berbatas. Kebenaran sejati tidak tersaji dalam tulisan, ucapan atau pendapat
orang. Kebenaran bersifat pribadi (subjektif), sehingga harus didekati secara
pribadi pula.
Selayang
Pandang Al-Ghazali
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali lahir di Thus, salah
satu
daerah di Khurosan, Iran pada 450 H/1058 M. Sejak
kecil ia belajar ilmu fiqh pada Imam Ahmad bin Muhammad al-Radzikani, kemudian pindah
ke Jurjan untuk nyantri
pada Imam Abi Nasr al-Isma’ily.
Setelah itu, al-Ghazali pindah ke Naisabur,
belajar pada Imam Haramain al-Juwaini. Di sini ia
mulai mengenal tasawuf dan filsafat. Setelah Juwaini
tutup usia pada 477, tujuh tahun berikutnya al-Ghazali pergi ke Irak, mengajar di Madrasah Nidzamiyyah. Di madrasah
milik
Wazir Nidzam al-Mulk (1018-1018 M) inilah popularitas dan kapasitas
keilmuan al-Ghazali
mulai diperhitungkan banyak orang.
(Ihya, juz 1/3)
Karir intelektual
al-Ghazali semakin menunjukkan kematangannya setelah ia banyak menulis tentang
fiqh, teologi, filsafat dan tasawuf. Ia tergolong ulama yang sangat
produktif. Menurut Ibnu Qadli Syuhbah al-Dimsyiqi, pengarang
kitab “Thabaqat al-syafiiyyah”, ada sekitar 60 kitab yang ditulis
al-Ghazali. Sementara Imam Zubaidi menyebut ada sekitar 80 kitab dan risalah
yang dikarang al-Ghazali.
Ketika usianya mulai beranjak
senja, Al-Ghazali pulang ke tanah kelahirannya, sampai beliau wafat pada 505 H/1111 M.
Pintu
Kegundahan Al-Ghazali
Kitab al-Munqiz min al-Dhalal merekam jelas kegelisahan al-Ghazali selama
pengembaraan intelektualnya. Dalam kitab ini, al-Ghazali menceritakan dengan
jujur bahwa proses pencarian “kebenaran” tidaklah semudah
apa yang dibayangkan orang. Ia butuh
pengorbanan, keberanian, kejujuran serta kesungguhan.
Sedari kecil al-Ghazali selalu gelisah dan sering
mempertanyakan segala sesuatu. Sampai-sampai ia harus melepaskan segenap
belenggu taklid (budaya mem-bebek) dan meremukkan benteng keyakinan (aqidah)
yang ia terima sejak kecil.
Kesadaran seperti
ini timbul setelah ia sama sekali tidak melihat perubahan apa-apa pada anak-anak orang Nasrani maupun Yahudi. Mereka akan selamanya tumbuh menjadi Nasrani
maupun Yahudi, dan seterusnya. Sebagaimana yang disetir oleh hadits Nabi SAW:
“Setiap anak terlahir dalam keadaan fitrah. Orang tuanyalah (Bapak) yang telah
menjadikan ia Yahudi, Nasrani dan Majusi”.
Oleh karena itu,
tergerak dalam hati al-Ghazali
untuk melakukan lompatan-lompatan dan pilihan-pilihan sendiri; berdasarkan
pencarian dan upaya pribadi. Al-Ghazali pernah menceburkan diri menjadi
pengikut batiniyyah (salah satu sekte syiah paling ektrem dan radikal), menjadi
seorang teolog (mutakallimun),
mempelajari segenap ilmu-ilmu filsafat, dan pada akhirnya kepincut dengan
tasawuf.
Epistemologi
Al-Ghazali
Sebelum kita
menelisik lebih jauh isi kitab al-Munqidz
min al-Dhalal, alangkah baiknya kita paparkan terlebih dahulu epistemologi
al-Ghazali. Ini penting, sebab epistemologi ibarat pintu masuk untuk
mengetahui paradigma berpikir (gugusan pemikiran) seseorang. Dengan menyusuri
epistemologi seseorang, kita akan lebih mudah membaca alur pikir atau
sistematika pemikiran orang dari awal sampai akhir.
Epistemologi berasal dari kata episteme (pengetahuan, ilmu pengetahuan) dan logos
(informasi). Secara sederhana epistemologi berarti “teori pengetahuan”
atau
“pengetahuan tentang pengetahuan”. (Lorens
Bagus,
Kamus
Filsafat, hal. 212).
Epistemologi
melahirkan beragam metode dan
pendekatan. Yang paling masyhur adalah empirisme dan rasionalisme. Selain kedua pendekatan itu, dalam
filsafat Islam ditambahkan lagi dengan pendekatan intuitif (irfani).
Yang terakhir inilah yang digunakan oleh al-Ghazali.
Seperti yang
dituturkan sendiri oleh al-Ghazali, pada awalnya ia mendasarkan pengetahuannya
pada empirisme (hissiyyat). Ia sebetulnya ragu dengan metode ini: apakah
dengan bersandarkan pada empirisme ia akan memperoleh keyakinan? Dari sini
al-Ghazali mulai melakukan pengujian.
Pertama-tama ia
menguji validitas data-data indrawai (data-data empirikal). Semisal, data yang
diterima mata. Mata kita seringkali melihat bintang- bintang di atas langit.
Menurut penglihatan kita, bintang-bintang itu terlihat kecil, sekecil uang
logam. Tetapi, berdasarkan ilmu geometri, ternyata bintang- bintang itu jauh
lebih besar dibanding bumi.
Ternyata, pada
faktanya, data-data yang diterima oleh indera sering kali menipu, bertolak
belakang dengan fakta sesungguhnya, sebagaimana pada contoh di atas. Dari sini
al-Ghazali berpindah pada pendekatan rasionalisme. Menurut penganut
rasionalisme, satu-satunya pengetahuan yang absah dan dapat dipercaya adalah
pengetahuan yang dihasilkan akal (rasional).
Contohnya, bilangan 10 pasti lebih besar dari bilangan
3. Ada dan tiada
tidak mungkin
bertemu
dalam satu waktu, begitu juga qadim (lampau/kekal)
dan
hadits
(baru)
tidak mungkin
dilekatkan pada sesuatu dalam waktu bersamaan, dan seterusnya. Ini adalah contoh-contoh pengetahuan yang didapatkan oleh akal. Bukankan pengetahuan rasional lebih
diterima
daripada pengetahuan
empiris?
Namun, penganut
empirisme pasti akan menyangkal lagi dan mencoba memberikan keyakinan:
berdasarkan alasan apa sehingga kita merasa yakin bahwa akal lebih valid
dibanding pengalaman? Bukankan apa-apa yang kita cerap dari indera jauh lebih
riil dan nyata dibanding pengetahuan akal yang masih bersifat abstrak?
Empirisme dan
rasionalisme selamanya akan berperang dan saling menyalahkan. Keduanya tidak
dapat bertemu dan dipertemukan. Nah, pada saat terjadi kebuntuan antara pilihan
rasional dan empirikal, al-Ghazali justru berpaling dari keduanya dan menaruh
kepercayaan pada pengetahuan intuitif (mukasyafah). Menurut
al-Ghazali, dengan pengetahuan intuitif seseorang akan sampai kepada “kebenaran
sejati”.
Untuk meyakinkan bahwa pengetahuan intuitif benar-benar ada al-Ghazali
mengilustrasikan dengan pengalaman mimpi. Ketika kita bermimpi, kata al-Ghazali, kita betul-betul merasakan, meyakini, dan mengimajinasikan sebuah
kenyataan (kejadian) di luar
kenyataan indrawi.
Namun, begitu
kita terjaga, pengalaman mimpi itu lenyap begitu saja, tanpa kita jumpai lagi dalam alam
sadar. Dengan kata lain, pengalaman-pengalaman bawah sadar /ketidaksadaran itu
tidak berkorespondensi (berkesesuaian) dengan akal maupun pengalaman indrawi.
Kendatipun demikian, mimpi itu riil dan keberadaannya sulit dibantah.
Ini juga
sebetulnya sering dialami oleh kita, baik dalam keadaan sadar sekalipun. Coba
bayangkan, apakah Anda yakin bahwa apapun yang Anda lakukan saat ini memiliki
landasan rasional maupun empirikal? Semisal, ketika Anda duduk dan membaca,
apakah Anda betul-betul sedang duduk dan membaca? Bisa jadi Anda sebetulnya
sedang bermimpi,
menggigau, atau dalam keadaan terjaga tetapi
pikiran Anda melayang
kemana-mana sehingga Anda
sendiri tidak tahu apa sebetulnya yang Anda kerjakan saat ini?
Berangkat dari
pendekatan intuitif inilah al- Ghazali
membangun segenap gagasan dan pemikirannya. Sehingga, tak pelak lagi,
al-Ghazali membombardir teologi, penganut aliran Batiniyyah, filsafat. Karena
kesemuanya bersendikan pada rasionalisme atau empirisme. Nah, di dalam kitabnya
ini (al-Munqidz min al-Dhalal) al-Ghazali mengkritik habis-habisan
Teologi, Madzhab Ta’limy (aliran Batiniyyah), dan Filsafat.
Teologi (Ilmu
Tauhid)
Al-Ghazali sebetulnya
tertarik dengan disiplin ilmu ini. Bahkan ia sendiri sempat menulis buku
tentang Teologi. Namun, sebagaimana pengakuan al- Ghazali sendiri,
bahwa ia tidak mendapatkan manfaat apa-apa dari Teologi, kecuali
manfaat itu kembali pada teologi itu sendiri.
Sebab, pada perkembangan
selanjutnya, disiplin ilmu Teologi sudah tidak lagi terfokus pada wilayah kajiannya;
pembahasannya terlalu melebar kemana-mana; dan mulai melenceng dari tujuan.
Padahal, kata al-Ghazali,
tujuan ilmu Teologi adalah menjaga dan membentengi akidah
ahlussunah wal jama’ah dari pengaruh ahli bid’ah (hifdzu aqidah
ahlussunah wa hirasatuha an tasywisi ahli al-bid’ah). Sebab, Allah SWT
melalui lisan rasul sudah menyampaikan akidah yang benar demi kemaslahatan
dunia maupun akhirat (agama). Hanya saja, akidah itu kemudian tercemari oleh
kehadiran ahli bid’ah. Dalam konteks ini, Teologi muncul untuk memurnikan kembali
akidah yang sudah
tercemar itu, mengembalikan
pada asalnya.
Tetapi, yang terjadi justeru
tidak sesuai dengan apa yang diharapkan dan dicita-citakan. Wacana
yang dikembangkan dalam teologi
malah bertitik-tolak dari dasar pikiran/asumsi/hipotesis (muqaddimat) lawan. Disamping itu, para Teolog (mutakallimun)
lebih banyak berapologi menanggapi tuduhan-tuduhan lawan, ketimbang
membicarakan esensi Teologi itu sendiri.
Pada akhirnya para Teolog
tidak lagi membela sunnah, malah tenggelam pada pembahasan tentang dzat/substansi (al-jauhar),
sifat/aksiden (‘arad), dan sebagainya. Hal ini, kata
al-Ghazali, yang menyebabkan teologi melenceng jauh dari tujuan mulianya (ghayah
al-quswa). Dengan sangat kecewa al-Ghazali
akhirnya tidak begitu suka dengan ilmu ini. “falam yakun al-kalam fi haqqy
kaafiyan Wala lidaai alladzi kuntu asykuuhu syafiyan” (bagiku, ilmu kalam tidak mencukupi. Ia tidak dapat
menyembuhkan penyakit keragu-raguanku), kata
al-Ghazali.
Filsafat Sebagai
Nalar Kritis
Al-Ghazali belajar dan
mendalami filsafat kurang lebih selama dua tahun. Ia banyak membaca kitab-kitab
filsafat yang dikarang filsuf muslim pada waktu itu. Dari hasil bacaannya itu,
al-Ghazali menyimpulkan ada tiga madzhab besar
dalam filsafat: (1) al-dahriyyun,
(2) thabiiyyun, dan (3) ilahiyyun.
Pertama, al-dahriyyun
(atheisme). Ia merujuk pada aliran filsafat kuno yang tidak mempercayai adanya
Tuhan. Menurut aliran ini, kehidupan dunia ada dengan sendirinya melalui proses
alam. Manusia tercipta dari sperma, begitu juga sebaliknya. Proses alam akan terus berjalan
sesuai dengan hukumnya. Dan terus berjalan tanpa mengenal akhir.
Kedua, thabiiyyun (naturalisme).
Aliran filsafat yang lebih banyak membahas gejala dan perubahan materi;
fenomena alam berikut makhluk hidup dan tumbuh-tumbuhan. Objek penelitiannya
lebih banyak dicurahkan untuk memahami struktur tubuh mahkluk hidup. Aliran ini
masih percaya terhadap adanya Tuhan.
Mereka berpendapat bahwa
kekuatan yang dimiliki manusia dihasilkan oleh struktur tubuhnya, bukan disebabkan
sesuatu yang lain yang berada diluar tubuh. Mereka juga menolak adanya dualisme
jiwa dan badan. Jiwa tidak lain dari materi (badan)
itu sendiri. sehingga, ketika seseorang mati, maka jiwanya juga ikut
mati. Mereka tidak mempercayai adanya dunia adikodrati, seperti surga, neraka,
kiamat, hisab, dll.
Dan ketiga, ilahiyyun
(metafisika). Socrates, Plato, dan Aristoteles adalah sederetaan filsuf yang
masuk dalam kelompok ini. Plato adalah Murid Socrates, sedangkan Aristoteles
adalah murid Plato. Aristoteles dikenal sebagai pencetus ilmu mantiq (logika), banyak memberikan
ulasan, komentar, dan penyempurnaan terhadap pelbagai disiplin ilmu.
Aristoteles juga banyak mengkritik madzhab-madzhab filsafat sebelumnya,
seperti dahriyyun dan thabiyyun.
Secara garis besar, kajian
filsafat meliputi: matematika (riyadliyyah), logika (mantiqiyyah),
ilmu alam (thabiiyyah), metafisika (ilahiyyah), politik (siyasiyyah),
dan etika (khalqiyyah).
Pada prinsipnya, al-Ghazali
tidak begitu antipati terhadap filsafat. Sebab, menurutnya, filsafat sama
sekali tidak memiliki relasi dengan agama. Al-Ghazali termasuk pendukung
sekularisasi ilmu. Hanya saja, kata al-Ghazali, tidak sedikit paham/ajaran filsafat
yang dapat menimbulkan efek membahayakan (afat al-adzimah) bagi keimanan, dan bahkan bertentangan dengan ajaran
agama.
Sebagaimana madzhab dahriyyun
yang mengingkari adanya Tuhan dan thabiiyyun yang tidak
mempercayai keberadaan “dunia lain”. Begitu juga ajaran ilahiyyun yang
ditransfer dari Ibnu Sina dan al-Farabi yang mengatakan bahwa jasad tidak akan
menerima nikmat maupun siksaan. Yang mendapatkan balasan di
akherat kelak hanyalah ruh. Mereka juga mengatakan bahwa alam bersifat qadim
dan abadi.
Madzhab al-Ta’limy
Pada masa al-Ghazali hidup,
madzhab ta’limiyyah atau aliran batiniyyah (underground) sedang
mengalami perkembangan yang cukup pesat. Ta’limiyyah adalah salah satu
aliran/sekte syiah ismailiyyah. Aliran ini berpendapat bahwa “setiap orang
butuh pengajaran (al-ta’lim) dan bimbingan mu’allim (guru) yang ma’shum,
suci; terlindungi dari dosa” (al-hajat ila al-ta’lim wa al-mua’allim. La
yashluhu kullu mu’allim bal la budda min mu’allim al- ma’shum)”.
Menurut sekte ini, keberadaan
mu’allim ma’shum mutlak diperlukan. Sebab, tanpa melalui kehadiran
mereka, seseorang tidak mungkin akan sampai pada “kebenaran”. Muallim ma’shum
yang dimaksudkan mereka adalah para imam (pemimpin) mereka.
Ajaran seperti ini mendapat
kritik keras dari al-Ghazali. Menurutnya, tidak seorang pun di dunia ini yang patut dikatakan ma’shum
kecuali Nabi Muhammad SAW. Setiap orang bebas melakukan ijtihad dalam mengambil keputusan
hukum (istinbath al-ahkam),
tidak harus menunggu wangsit dari imam ma’shum, tegas al-Ghazali.
Kita bisa belajar dari Mu’adz
bin Jabal ketika diutus Nabi ke Yaman. Mu’adz melakukan ijtihad sendiri ketika
menemukan persoalan-persoalan yang hukumnya tidak ditemukan di dalam nash
(hadits maupun al-Qur’an). Lebih lanjut, al-Ghazali mengatakan: “keterbatasan nash
tidak akan bisa mengikuti realitas yang terus mengalami perubahan (fainna
al-nushus al-mutanahiyah la tastau’ibu al- waqai’ al-ghaira al-mutanahiyyah)”.
Akhir Pendakian Al-Ghazali
Setelah al-Ghazali merasa
kecewa dengan ilmu-ilmu di atas, kemudian beliau berpaling pada tasawuf
(mistisisme). Untuk mengetahui hakikat tasawuf yang sesungguhnya, al-Ghazali
belajar dan membaca kitab-kitab yang dikarang ulama-ulama tasawuf terkemuka pada
waktu itu. Beliau membaca “Kut al-Qulub” milik Abi Thalib al-Makki, “Mutafarriqat al-Ma’tsurah”
karya al-Junaidi, kitab- kitab karya al-Syibli, Abu Yazid al-Bustami, Harits
al- Muhasibi dan masih banyak lagi.
Lagi-lagi al-Ghazali harus
menelan kekecewaan. Ternyata kitab-kitab yang ia baca hanya menyuguhkan wacana
tentang tasawuf. Menurut al-Ghazali, inti tasawuf bukan pada teorinya
(ilmu/wacana) melainkan pada aplikasinya (amaliyyah). Substansi tasawuf
terletak pada pengamalan (al-ahwal) dan rasa (al-dzauq).
Dari sini al-Ghazali
terangsang untuk mengamalkan ajaran-ajaran tasawuf, mengasingkan diri (uzlah)
dari satu tempat ke tempat lain, menyepi (khalwah) dan mengunci diri
selama sehari penuh di menara
masjid Dimsyik, tafakkur (kontemplasi)
di puncak Bait al-Muqaddas, melakukan ibadah Haji, dan ziarah ke makam
Rasulullah SAW. Sampai akhirnya beliau merasa bahwa dahaga intelektualnya
betul-betul hilang berkat mukasyafah dan dzauq. Sungguh, sebuah pergulatan
intelektual yang sangat menakjubkan! Wallahu
a’lam bi sawab []
Dikutip
dari Pengantar Penerjemah Pembebas dari Kesesatan (al-Munqidz min al-Dhalal
karya Imam al-Ghazali)
Agar
Pembaca dapat mengulas tema di atas lebih dalam, kami lampirkan versi luring
(offline) pdf pada link di bawah ini.
0 komentar:
Posting Komentar