![]() |
Sumber gambar: ussfeed.com |
Ramadhan 1441 H ini dijalani umat
Islam di seluruh dunia dengan suasana yang hening. Pandemi COVID-19 benar-benar
meruntuhkan di segala lini kehidupan.. Bahkan masjid paling agung dan paling
suci bagi umat Islam, yaitu Masjidil Haram dan Masjid Nabawi, pun sempat
ditutup untuk umum guna mencegah persebaran Corona.
Maka sesungguhnya puasa merupakan
ibadah untuk menahan diri. Ia diwajibkan bagi setiap muslim yang telah mencapai
akil baligh, berakal, mampu (sehat) dan sedang tidak berpergian. Adapun dalil
yang menerangkan tentang kewajiban berpuasa ialah firman Allah pada surat al-Baqoroh
ayat 183, “Wahai orang-orang yang beriman telah diwajibkan atas kamu berpuasa
sebagaimana telah diwajibkan (puasa) atas orang-orang sebelum kamu agar kamu
bertakwa”.
Imam
Thabari (838-923 M) dalam tafsirnya yang masyhur dengan nama Tafsir at-Thabary
menukil perkataan Abu Ja’far bahwa perintah berpuasa diserukan kepada
orang-orang yang beriman. Menurut Abu Ja’far orang-orang yang beriman adalah
orang yang meyakini Allah sebagai Tuhannya, Nabi Muhammad sebagai utusannya,
membenarkan keduanya dan mengikrarkannya baik di lisan (syahadat) maupun
di dalam hati. Artinya, bagi siapapun dari seorang muslim yang telah meyakini
ketuhanan Allah dan kenabian Nabi Muhammad, maka ia diwajibkan untuk berpuasa.
Kata puasa di sini merujuk pada puasa di bulan Ramadan24. Masih di ayat yang
sama, berpuasa diwajibkan oleh Allah kepada orang-orang yang beriman agar
mereka bertakwa. Bagaimana bisa ibadah puasa mengantarkan seseorang kepada
takwa? Apa pengertian takwa?
Al-Baghawi
dalam tafsir karyanya mendifinisikan kata muttaqin yang disebutkan dalam surat
al-Baqarah ayat 2. Ia menukil perkataan Ibnu Abbas, “orang yang bertakwa adalah
seseorang yang takut melakukan syirik, dosa besar dan perbuatan keji. Lafaz al-muttaqin
merupakan bentuk fa’il (subjek) dari kata al-ittiqa, yang juga
memiliki arti pembatas antara dua hal”. Begitu juga dalam sebuah hadis yang
diriwiyatkan oleh Muslim dalam kitab al-Jihad wa as-Sair pada bab
“Perang Hunain”:
كنا
إذا احمر البأس اتفينا برسول الله
Artinya:
“Apabila kami telah berada dalam keadaan perang yang berkecamuk, maka kami
menjadikan Rasulullah sebagai pembatas (antara kami dan musuh)”.
Dalam
hal ini al-Baghawi menganalogikan bahwa ketakwaan dengan menjalankan perintah
Allah dan menjauhi larangannya adalah pembatas antara diri seorang hamba dengan
azab.
Pengertian
takwa yang telah dikemukakan oleh para ahli tafsir memberi penjelasan kepada
kita bahwa takwa menjadi hal yang paling puncak untuk dicapai oleh seorang
mukmin. Maka pencapaian tersebut akan berhasil bila seorang mukmin mampu
melalui prosesnya. Takwa adalah tujuan, sedangkan puasa adalah salah satu
perantara menuju takwa.
Puasa
yang menjadi kewajiban seorang mukmin dan sudah dijelaskan sebelumnya menurut
pengertian terminologi ialah menahan. Sedangkan menurut syariat, puasa ialah
menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa disertai dengan niat dan
syarat-syarat tertentu. Setelah melihat definisi dari puasa, maka kita sudah
bisa mengaitkannya dengan proses menuju takwa. Puasa ialah menahan, sebuah
perintah dari Allah untuk menahan hal-hal yang telah ditentukan selama
berpuasa. Jika ia berhasil, maka ia masuk dalam kategori bertakwa. Bagaiamana
puasa bisa mengantarkan seseorang menjadi hamba yang bertakwa?.
Fakhruddin
ar-Razi (1149-1209 M) seorang ulama yang ahli di bidang teologi dan filsafat
Islam juga mengarang kitab tafsir yang terkenal dengan nama Tafsir ar-Razi
menyebutkan beberapa hal mengapa puasa mampu mengantarkan seorang hamba menuju
takwa:
Pertama,
puasa mampu mengantarkan seorang hamba kepada takwa karena ia mampu
mengendalikan hawa nafsu dan meredamkan kesombongan, perbuatan keji dan
keinginan-keinginan duniawi. Puasa juga mampu mengendalikan nafsu perut dan
kelamin. Karena nafsu terbesar manusia berasal dari dua hal ini.
Kedua,
puasa menjadi tameng bagi seorang muslim dari hawa nafsu. Dengan memiliki
tameng, seorang muslim mampu bertahan untuk menuju ketakwaan.
Ketiga,
hal yang paling disenangi manusia biasanya paling berat untuk ditinggalkan.
Makan dan menikah adalah sesuatu yang paling disenangi. Apabila manusia mampu
meninggalkan hal yang paling dicintainya tersebut untuk menuju ketakwaan, maka
ia akan lebih mudah untuk meninggalkan selain keduanya dalam rangka ketakwaan.
Keempat,
mengabaikan dan tidak menuruti hawa nafsu adalah hal yang begitu besar
derajatnya di sisi Allah.
Kelima,
karena puasa adalah simbolnya orang-orang yang bertakwa. Ia menjadi ibadah yang
biasa dilakukan oleh orang-orang yang bertakwa.
Begitulah
hubungan antara puasa dengan takwa yang telah dikemukakan oleh para ulama
dengan berlandaskan dalil Alquran dan Hadis. Sudah jelaslah bahwa dengan
berpuasa, seorang hamba mampu mencapai predikat orang yang bertakwa. Puasa yang
tidak sekadar menahan makan dan minum, melainkan juga perbuatan-perbuatan keji
yang dilarang seperti berbohong, ghibah dan sebagainya. Semoga kita semua
dimudahkan dalam proses menuju takwa. Aamiin.
Dikutip
dari Buku 30 hari Menuju Takwa.
Agar
Pembaca dapat mengulas tema di atas lebih dalam, kami lampirkan versi luring
(offline) pdf pada link di bawah ini.
0 komentar:
Posting Komentar