![]() |
Sumber gambar: omnduut.com |
Sejarah tentang
leluhur atau nenek moyang Suku Anak Dalam antar rombong tidak selalu sama
dengan rombong lainnya. Bukan hanya dalam hal sejarah dan adat-istiadat belaka,
melainkan permasalahan hidup yang dihadapi tiap rombong pun berbeda-beda.
(Hauri dan Reverawati 2019) - mengutip buku Bececakop. Pada rombong Tumenggung
Hari dan Tumenggung Badai misalnya. Mereka yang hidup berdampingan ternyata
memiliki kesamaan mitos tentang asal-usul. Namun, kisah leluhur dua rombong ini
sangatlah berbeda dengan yang dituturkan Tumenggung Ganta di Desa Sialang,
Kecamatan Pamenang, Kabupaten Merangin, Provinsi Jambi.
Bila versi Suku Anak
Dalam Desa Dwikarya mengisahkan leluhurnya yang berasal dari prajurit perang,
Suku Anak Dalam dari Desa Sialang memercayai bahwa mereka adalah keturunan
Bujang Perantau dan Dewi Kelumpang.
Perbedaan riwayat
leluhur antar rombong Suku Anak Dalam menimbulkan pertanyaan versi siapa yang
paling benar. Variasi inilah yang kemudian menjadi eksistensi serta upaya
pelestarian untuk memertahankan kekayaan budaya lokal di tengah ancaman
kepunahan. Keragaman sastra lisan yang dimiliki secara kolektif tiap rombong
Suku Anak Dalam akan terus berkembang dinamis dan diturunkan secara
turun-temurun.
Sementara dalam versi
sejarah, Soetomo (1995) mengatakan bahwa leluhur orang rimba dimasukkan ke
dalam golongan Melayu tua (Proto Melayu) yang merupakan eksodus gelombang
pertama dari Yunan (Dekat lembah Sungai Yang Tze di Cina Selatan). Golongan ini
kemudian terdesak masuk ke hutan ketika rombongan Melayu muda (Deutro Melayu)
datang dengan mengusung peradaban yang lebih tinggi.
Mitos 1: Perang
Melawan Belanda
Ketika sinar matahari
mulai membakar kulit, para prajurit perang telah berdiri di depan istana
pagaruyung. Sang raja pun baru saja tiba dan naik ke podium. Raja mengumumkan
bahwa semua prajurit harus siap terjun ke medan perang melawan Belanda yang
telah mengepung wilayah Sumatra.
Sang raja kemudian
langsung membagi prajurit menjadi dua kelompok. Kelompok pertama ditempatkan di
area kerajaan hingga ke seluruh Sumatra Barat. Sementara kelompok kedua
ditempatkan di area Sumatra Tengah, yang sekarang merupakan Provinsi Jambi,
Riau, dan Sumatra Selatan.
Karena kebanyakan
anak dan istri para prajurit berada di Sumatera Barat, mereka pun dalam hati
menginginkan bertugas yang tak jauh dari keluarga. Di tangan sang raja telah
ada umbi-umbian gadung dan ubi kayu. Dua perwakilan kelompok dipersilakan maju.
Yang bisa mengambil ubi kayu akan ditempatkan di kelompok pertama dan gadung
untuk kelompok kedua. Setelah kelompok terbagi, bergegaslah mereka pergi ke
wilayah tujuan. Sebagian prajurit kelompok kedua yang tak siap berperang
mengajak istrinya melarikan diri ke dalam rimba. Sebab dalam asumsi mereka,
Belanda yang berjaga di Sumatra Tengah lebih ganas dan jumlahnya lebih banyak.
Prajurit perang yang melarikan diri inilah yang diyakini sebagai nenek moyang
Suku Anak Dalam rombong Tumenggung Hari dan Tumenggung Badai.
Mitos 2: Misteri
Buah Kelumpang
Suatu ketika seorang
prajurit asal Minangkabau – Bujang Perantau –
mangkir dari perang dan lari ke hutan. Dalam perjalanannya, ia membawa
sebilah pedang dan seekor anjing. Pada saat Bujang Perantau menelusuri hutan,
ia dikagetkan dengan buah kelumpang hitam raksasa yang berada di tepi sungai.
Karena penasaran, ia pun menuju buah tersebut. Anjing Bujang Perantau tiba-tiba
mengendus-endus buah kelumpang itu sembari menggonggong. Akhirnya, Bujang
perantau memecahkan buah kelumpang itu dengan pedangnya.
Tiba-tiba muncullah
seorang perempuan cantik dari buah kelumpang yang telah pecah. Bujang Perantau yang heran kemudian
mengajak perempuan itu berkenalan. Ia pun memanggilnya dengan Dewi Kelumpang.
Dewi Kelumpang menanyakan maksud kedatangan Bujang perantau yang telah
membangunkan tidurnya selama ratusan tahun. Dewi Kelumpang pun minta dinikahi
Bujang Perantau saat itu juga.
Melihat pesona dan
kecantikan Dewi Kelumpang, Bujang Perantau langsung menyetujui permintaannya.
Karena tidak ada manusia di hutan kecuali mereka berdua, Bujang Perantau pun
bingung bagaimana cara melangsungkan pernikahan. Lalu Dewi Kelumpang mengatakan
bahwa para dewa bisa menikahkan mereka melalui batang bayur yang diletakkan di
atas sungai. Kemudian Bujang Perantau
dan Dewi Kelumpang mencari batang bayur dan meletakkannya di atas sebrangan sungai.
Batang bayur yang telah diletakkan itu menjadi jembatan yang akan mereka lalui.
Bujang Perantau kemudian berdiri dari arah utara dan Dewi Kelumpang berdiri di
arah selatan. Pernikahan akan sah jika mereka berhasil meniti batang bayur dan
kening mereka beradu. Namun, jika salah satu mereka terjerambab ke dalam sungai
sehingga kening mereka tidak dapat menyatu, berrati mereka tidak berjodoh dan
Dewi Klumpang akan pulang ke kayangan.
Mereka pun meniti
batang bayur itu dan kening mereka bertemu sehingga pernikahan di antara
keduanya dinyatakan sah. Dari pernikahannya itu, mereka memiliki empat orang
anak: anak pertama dan kedua berjenis kelamin laki-laki, masing-masing bernama
Bujang Malapangi dan Dewo Tunggal.
Sementara anak ketiga dan keempat berjenis kelamin perempuan bernama Putri
Selaro Pinang Masak dan Putri Sanggoh Bayo.
Setelah anak-anak
Dewi Kelumpang dan Bujang Perantau tumbuh dewasa, anak pertama menikah dengan
anak ketiga (Bujang Malapangi dan Putri Selaro Pinang Masak). Sementara anak
kedua menikah dengan anak keempat (Dewo tunggal dan Putri Sanggoh). Namun
sayang, Bujang Perantau terlibat cekcok dengan Dewi Kelumpang. Bujang Perantau
merindukan kampung halamannya di Minangkabau. Ia pun mengajak turut serta
seluruh keluarga, tetapi permintaan itu ditolak mentahmentah oleh Dewi
Kelumpang. Dewi Kelumpang percaya ketika para dewa menurunkannya di rimba
belantara, itulah rumah dan kampung halaman yang harus dijaga.
Akhirnya mereka pun
bercerai dengan kesepakatan anak kedua dan keempat ikut serta Bujang Perantau
ke kampung halaman. Anak pertama dan ketiga menetap di rimba bersama Dewi
Kelumpang. Perceraian antara Bujang Perantau dan Dewi Kelumpang terikat dengan
sumpah dalam seloko adat: “Yang ingin bedusun behalaman, bejemban betepian,
betanam pinang betanam kelapo, bertenak kambing, ayam, itik, kerbau, melancung
dengan darah sapi, ayam, itik, kerbau, kambing. Kalau ke ayik dak dapat minum,
kalau ke darat dak biso makan, kepucuk idak bepucuk, ke bawoh idak bejangkar,
dikejar keboh henyang, dikubor tubo, mati berok mati melayang kuning.”
Bahwa sumpah
perceraian ini bermakna bahwa setiap cikal bakal mereka nantinya diperbolehkan
menganut agama apa pun asalkan tidak boleh memiliki dua kampung halaman.
Setelah Bujang Perantau dan kedua anaknya pulang ke Minangkabau, Dewi Kelumpang
pun kembali ke kayangan. Maka, yang tertinggal di rimba adalah Bujang Malapangi
dan Putri Selaro pinang Masak. Mereka beranak-pinak dan hidup bahagia di rimba.
Kisah inilah yang diyakini rombong Tumenggung Ganta sebagai nenek moyang mereka.
Hingga kini, Suku
Anak Dalam di Sialang masih memegang teguh sumpah perceraian yang diucapkan
Bujang Perantau dan Dewi Kelumpang bahwa setiap anggota rombongnya dibebaskan
menganut agama apa saja, asalkan tidak memiliki dua kampung halaman. Dalam artian,
pada ikatan suci pernikahan, seorang suami wajib mengikuti istrinya.
Secara mitologi pada
rombong Suku Anak Dalam yang lain berbeda pula, mereka (Suku Anak Dalam) masih
menganggap satu keturunan dengan Puyang Lebar Telapak yang berasal dari Desa Cambai,
Muara Enim. Menurut pengingatan mereka, yang didapat dari penuturan
kakek-neneknya, bahwa sebelum mereka bertempat tinggal di wilayah Sako Suban,
mereka tinggal di Dusun Belani, wilayah Muara Rupit. Mereka hijrah karena
terdesak waktu perang ketika zaman kesultanan Palembang dan ketika masa
penjajahan kolonial Belanda. Secara tepat waktu kapan mereka hijrah tidak
diketahui lagi, yang mereka (Suku Anak Dalam) ingat berdasarkan penuturan,
hanya masa kesultanan Palembang dan masa penjajahan Belanda. Dari Dusun Belani,
Suku Anak Dalam mundur lebih masuk ke hutan dan sampai di wilayah Sako Suban.
Di wilayah Sako Suban ini, mereka bermukim di wilayah daratan di antara Sungai
Sako Suban dan Sungai Sialang, keduanya sebagai anak dari Sungai Batanghari
Leko. Wilayah pemukiman yang mereka tempati disebut dengan Tunggul Mangris.
(Dirjen Bina Masyarakat Terasing Depsos RI, 1998 :55-56).
Versi Departemen
sosial dalam data dan informasi Depsos RI (1990) menyebutkan asal usul Suku
Anak Dalam, yakni sejak Tasun 1624 Kesultanan Palembang dan Kerajaan Jambi,
yang sebenarnya masih satu rumpun, memang terus menerus bersitegang dan
pertempuran di Air Hitam akhirnya pecah pada tahun 1629. Versi ini menunjukkan
mengapa saat ini ada dua kelompok masyarakat anak-dalam dengan bahasa, bentuk
fisik, tempat tinggal, dan adat istiadat yang berbeda. Mereka yang menempati
belantara Musi Rawas (Sumatera Selatan) berbahasa Melayu, berkulit kuning
dengan postur tubuh ras Mongoloid seperti orang Palembang sekarang. Mereka ini
keturunan pasukan palembang. Kelompok lainnya tinggal di kawasan hutan Jambi
berkulit sawo matang, rambut ikal, mata menjorok ke dalam. Mereka tergolong ras
wedoid (campuran wedda dan negrito). Konon mereka tentara bayaran Kerajaan
Jambi dari negeri lain.
Dikutip dari buku Tumbuh
Bermanfaat Kolaborasi Satu Tahun Lembaga Beasiswa BAZNAS – SSS Pundi Sumatera
oleh BAZNAS RI.
Agar
Pembaca dapat mengulas tema di atas lebih dalam, kami lampirkan versi luring
(offline) pdf pada link di bawah ini.
0 komentar:
Posting Komentar