![]() |
Sumber gambar: tebuireng.online |
Tidak
ada yang menyangkal bahwa Islam adalah agama damai atau pengemban misi
perdamaian di muka bumi ini. Secara intrinsik, misalnya, dapat dilihat dari
makna etimologis Islam yang berasal dari kata bahasa Arab, yakni aslama-yuslimu-islaman
Artinya selamat, damai atau tunduk.
Dengan
demikian, dari sisi makna harfiahnya saja, Islam sudah jelas-jelas
memperlihatkan dirinya sebagai agama yang menekankan perdamaian. Sama sekali
Islam tidak menghendaki adanya pertentangan, konflik, apalagi peperangan antar
sesama manusia dan seluruh makhluk hidup di alam dunia ini.
Risalah
atau misi damai Islam tersebut bahkan tercermin dari ritual-ritual yang paling
fundamental seperti shalat. Seperti diketahui, dalam Islam shalat dipandang
sebagai ajaran paling dasar atau rukun Islam. Dalam keterangan lain, shalat
dianggap sebagai tiang agama. Maka, makna shalat sedemikian penting bagi kaum
Muslim.
Kalau
diperhatikan secara seksama di dalam ibadah shalat saja, risalah perdamaian itu
terlihat sangat jelas. Hal ini, misalnya, tampak dari gerakan menutup shalat
dengan menengok ke sebelah kanan dan dilanjutkan ke kiri seraya mengucapkan
assalamu’alaikum warahmatullahi wa barakatuh. Memang yang wajib hanya yang
menengok ke kanan, tetapi semua orang Islam pasti menengok ke kedua arah setiap
kali shalat.
Secara
sosiologis, gerakan menengok ke kanan dan kiri sambil mengucapkan salam dapat
dimaknai sebagai perintah suci Islam untuk senantiasa menyebarkan ajaran damai
kepada seluruh umat manusia. Bahwa setelah umat Islam melakukan hubungan
vertikal kepada Allah ta’ala melalui ibadah shalat secara khusyu’ dan penuh
penyerahan diri, kemudian mereka diminta untuk melakukan hubungan horizontal
kepada sesama manusia di muka bumi.
Maka,
kalau dalam ibadah yang paling fundamental saja risalah perdamaian itu demikian
jelas terlihat, apalagi dalam ajaran-ajaran Islam yang lain. Ada berbagai teks
di dalam Kitab Suci al-Qur’an dan Hadits Nabi Muhammad saw yang menekankan
bahwa Islam sesungguhnya membawa risalah perdamaian bagi seluruh umat manusia
bahkan seluruh isi alam.
Nabi
Muhammad saw sendiri memang diutus ke dunia untuk menjadi rahmat bagi seluruh
alam. Rahmat dalam konteks ini bisa dipahami sebagai terwujudnya perdamaian di
seluruh alam, karena rahmat berasal dari kata rahima-yarhamu yang berarti kasih
dan sayang. Ajaran tentang kasih dan sayang antar sesama manusia tentu menjadi
fondasi bagi perdamaian. Tak ada perdamaian yang berbasis pada rasa saling
benci, permusuhan, apalagi peperangan. Namun bagaimana dengan pernyataan bahwa
Islam disebarkan dengan pedang atau melalui peperangan? penyalahpahaman
sebagian kalangan terhadap ajaran Islam. Mereka hanya melihat secara lahirian
bahwa Nabi dan para sahabat sering berperang tanpa melihat kepada substansinya
secara mendalam.
Betul
bahwa Nabi mengikuti sejumlah peperangan. Namun dalam semua peperangan yang
diikuti Nabi, atau yang disebut dengan ghazwah, tidak ada satu pun yang dimulai
oleh umat Islam. Semua perang dimulai terlebih dahulu oleh kaum kafir Quraisy,
baik pada perang Badr, Uhud, Khandaq, dan lain-lain. Dengan kata lain, Nabi
lebih bersifat defensif atau mempertahan diri, tidak sebaliknya bertindak opensif
atau melakukan penyerangan.
Di
luar itu, ada beberapa etika peperangan yang selalu ditekankan Nabi, dan ini
sesungguhnya layak dijadikan teladan oleh masyarakat dunia dewasa ini.
Misalnya, Nabi selalu melarang umat Islam yang berperang untuk memerangi atau
membunuh anak-anak dan wanita. Ini jelas menunjukkan penghormatan yang luar
biasa. Bandingkan dengan kasus sekarang di mana anak-anak dan wanita kerap menjadi
korban.
Bahkan
terhadap kelompok yang sudah tidak berdaya, Nabi melarang umat Islam untuk
menganiayanya. Pada peristiwa fathu Makkah, misalnya, sebelum pergi ke Makkah,
Nabi berpesan agar siapa pun yang menutup pintu rumahnya mereka akan aman. Ini artinya
bahwa Nabi memang mengutamakan perdamaian daripada peperangan. Peristiwa itu
sendiri sebenarnya dimulai oleh pelanggaran kaum kafir Quraisy terhadap
Perjanjian Hudaibiyah.
Oleh
karena itu, umat Islam yang hidup pada masa kita sekarang, sebaiknya tidak
perlu terobsesi untuk, misalnya, ikut dalam peperangan dengan alasan jihad
fi sabilillah. Karena jihad, sebenarnya asal katanya jahada-yajhadu-juhdan
yang artinya berusaha sungguh-sungguh. Maka, jihad tidak harus ikut berperang,
tetapi belajar sungguh-sungguh, menuntut ilmu agama atau yang lainnya juga
merupakan jihad.
Selain
perdamaian, Islam juga sangat menekankan toleransi dan kebebasan, termasuk
kebebasan beragama. Hal itu tercermin, misalnya, pada fase kehidupan Nabi
setelah hijrah ke Madinah al-Munawwarah. Di kota ini Nabi membentuk Piagam
Madinah yang oleh banyak kalangan disebut sebagai konstitusi modern pertama di
dunia. Melalui piagam tersebut, semua kalangan pemeluk agama diperbolehkan
tinggal di Madinah, tentu dengan syaratsyarat yang telah disepakati.
Dengan
kata lain, Nabi sangat menghormati kebebasan beragama semua penduduk Madinah.
Maka, jika pada saat Revolusi Perancis 1789 dikenal tiga kredo, yakni
kebebasan, persamaan, dan persaudaraan, maka Islam sudah sejak lama mengamalkan
ketiga kredo tersebut di periode Madinah. Bukan sekadar lip service belaka,
melainkan benar-benar diwujudkan dalam kehidupan masyarakat secara konkret.
Dengan
pemaparan di atas, kita berharap bahwa umat Islam zaman sekarang, khususnya di
Indonesia dapat meneladani apa yang telah dipraktikkan Nabi dan para
sahabatnya. Salah satu caranya adalah memahami secara benar semua ajaran Islam
yang terkandung dalam sumbersumber utama, yakni al-Qur’an dan Hadits, serta
rujukan otoritatif karya ulama al-salaf al-shalih, bukan hanya secara tekstual
melainkan juga kontekstual. Dengan demikian, pemahaman kita tidak sekadar
pemahaman yang harfiah.
Dikutip
sambutan Iding Rosyidin, Wakil Direktur The Political Literacy Institute.
Agar
Pembaca dapat mengulas tema di atas lebih dalam, kami lampirkan versi luring
(offline) pdf pada link di bawah ini.
0 komentar:
Posting Komentar