![]() |
Sumber gambar: muslimahnews.com |
Dalam sejarah Indonesia, tercatat ada
tiga periode penting menyangkut gerakan Islam oleh kalangan pemuda dan
mahasiswa. Pertama, masa pergerakan, gerakan tersebut dicirikan dengan
berdirinya kelompok kajian Islam di kalangan kaum muda terpelajar, yakni Jong
Islamieten Bond (JIB) dan
Studenten Islamic Studiesclub (SIS). Kedua, masa kemerdekaan, di mana muncul gerakan mahasiswa dengan
semangat nasionalisme dan keislaman, yakni Himpunan Mahasiswa Islam (HMI),
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII),
dan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM)—dua terakhir ini adalah organisasi mahasiswa di bawah
masing-masing ormas NU dan Muhammadiyah. Terakhir, perode 1980-an hingga kini,
di mana muncul gerakan mahasiswa dengan semangat Islamisme yang tinggi, seperti
Lembaga Dakwah Kampus (LDK) dan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia
(KAMMI).
Munculnya gerakan Islam di kampus ini
dipicu oleh faktor yang berbeda di setiap periode. Meskipun, gerakan-gerakan
itu mempunyai beberapa kesamaan terutama dalam hal pola-pola pergerakannya.
Tulisan ini berusaha untuk melihat sejarah munculnya masing-masing gerakan
mahasiswa Islam tersebut, aktivitas gerakan di ranah politik dan dakwah, pola
perjuangannya, serta tantangan dan hambatan masing-masing.
Dengan
tulisan, gerakan-gerakan Islam kampus sejak Indonesia merdeka hingga dewasa ini
bisa dipetakan. Walaupun rentang waktunya cukup panjang, tulisan ini berusaha
melihat benang merah dari berbagai gerakan mahasiswa Islam tersebut, dan
kemudian bisa diambil hikmahnya sebagai pelajaran bagi akademisi dan juga
aktivis gerakan kemahasiswaan di masa-masa yang akan datang.
Gerakan
Mahasiswa Muslim: Beberapa Perspektif Penjelasan
Secara
umum bisa dikatakan bahwa gerakan Islam (termasuk gerakan Islam kampus)
muncul sebagai respon terhadap sebuah realitas sosial. Sejarah mencatat bahwa
gerakan-gerakan Islam kampus muncul sebagai respon pemuda dan mahasiswa Muslim
atas kondisi sosial-keagamaan dan politik yang berlaku. Perubahan
sosial-keagamaan dan politik, termasuk reformasi, menuntut keterlibatan
sekelompok orang yang ingin terlibat dalam perubahan tersebut.
Herbert
Blummer mendefinisikan gerakan sosial sebagai usaha-usaha kolektif untuk
menciptakan sebuah aturan hidup baru dalam masyarakat. Sebagai
sebuah gerakan sosial, gerakan Islam kampus bertujuan untuk membuat perubahan
dalam tatanan sosial di masyarakat, khususnya di kalangan mahasiswa. Gerakan
Islam kampus sebagai gerakan sosial bisa dilihat dari berbagai perspektif.
Teori deprivasi relatif melihat kemunculan sebuah gerakan sosial berawal dari
sekelompok orang yang tidak puas dengan perubahan sosial yang terjadi, atau
termarginalisasi secara politik atau ekonomi. Secara singkat, teori deprivasi
relatif menjelaskan bahwa jika ada perbedaan antara yang diharapkan dan
kenyataan, maka deprivasi sosial terbentuk. Deprivasi relatif ini, bila
terbentuk secara kolektif, berpotensi menimbulkan menjadi sebuah gerakan social.
Teori
lain yang bisa membantu untuk mengupas dinamika gerakan Islam kampus adalah
teori pilihan rasional (rational choice theory). Teori yang dikembangkan
oleh James S. Coleman ini berprinsip bahwa keterlibatan orang-orang dalam suatu
organisasi berdasarkan pilihan secara rasional, bukan emosional. Dengan kata
lain, gagasan dasar teori ini adalah tindakan seseorang mengarah pada suatu
tujuan tertentu dan tujuan itu ditentukan oleh nilai atau pilihan (preferensi).
Para pengikut sebuah organisasi secara rasional memahami tujuan gerakan sosial
dan bagaimana mencapai tujuan mereka. Dengan teori ini, sebuah gerakan sosial
dibedakan apakah mempunyai struktur primordial atau berdasarkan tujuan
tertentu. Dengan teori ini dinamika sebuah gerakan sosial keagamaan bisa
diungkap, tidak hanya bagaimana sebuah gerakan Islam kampus muncul tapi juga
keberhasilannya menggerakkan massa dan mencapai tujuan.
Gerakan-gerakan
Islam di berbagai perguruan tinggi di Indonesia berdiri dan berkembang karena
disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, faktor ideologis. Ideologi
merupakan faktor yang sangat signifikan dalam membentuk kepribadian dan
menggerakkan massa. Di berbagai perguruan tinggi, khususnya perguruan tinggi
umum, gerakan Islam menjadi sebuah alternatif untuk menunjukkan identitas mahasiswa
Muslim. Tidak sedikit mahasiswa Muslim terpanggil aktif di gerakan Islam kampus
untuk menyebarkan pemahaman ideologis mereka. Persaingan dengan
gerakan/organisasi mahasiswa agama lain dan juga organisasi non-agama menjadi
faktor ideologis yang mendorong munculnya gerakan Islam di kampus. Jong
Islamieten Bond (JIB), seperti akan dijelaskan nanti, muncul
sebagai antitesa terhadap Jong Java yang kurang mengakomodir aspirasi
mahasiswa Muslim.
Islam menjadi identitas yang harus ditampilkan seiring dengan munculnya
identitas ideologis yang lain. Munculnya Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), yang hanya beberapa tahunsetelah
Indonesia merdeka, juga didorong oleh keinginan mahasiswa Muslim untuk terlibat
dalam pembangunan karakter dan mental mahasiswa Muslim Indonesia. Di era
kontemporer, faktor ideologis juga kental dalam mendorong munculnya gerakan
Islam seperti LDK dan KAMMI. Maraknya gerakan-gerakan Islam kampus tersebut
juga bisa disebut sebagai ”gerakan protes” terhadap gerakan Islam kampus yang
sudah ada yang dipandang berbeda haluan dan ideologis.
Kedua,
munculnya gerakan mahasiswa juga didorong oleh faktor politik. Hal ini terutama
berlaku untuk kasus HMI dan PMII. Di tengah maraknya gerakan organisasi
nasionalis, mahasiswa Muslim merasa terpanggil untuk terlibat dalam mewarnai
sikap-sikap politik, walaupun gerakan-gerakan tersebut bukan merupakan onderbouw
dari partai politik Islam. Walaupun demikian, secara politik Islam, gerakan
mahasiswa Islam tersebut tidak bisa dikategorikan sebagai gerakan Islamisme
karena tidak satupun dari gerakan-gerakan tersebut mendukung perjuangan Piagam
Jakarta atau membawa isu Syari’ah Islam atau bahkan Khilafah Islamiyah. LDK dan
KAMMI yang terlihat paling konservatif diantara gerakan-gerakan yang lain juga
tidak menyuarakan isu-isu Islamisme.
Ketiga,
faktor globalisasi juga berpengaruh secara signifikan terhadap kemunculan dan
perkembangan gerakan Islam kampus. Paham dan ideologi Wahhabi yang berkembang
di Indonesia hingga kemudian berpengaruh terhadap munculnya gerakan mahasiswa
LDK dan KAMMI tidak bisa dilepaskan dari pengaruh globalisasi. Kemajuan
teknologi informasi telah memudahkan mobilitas seseorang dari dan ke suatu
negara dan tersedianya informasi secara masif, sehingga sebuah paham dan
ideologi bisa berkembang secara cepat dan luas. Mahasiswa sebagai generasi yang
paling mungkin bergerak (mobile) dan juga melek terhadap teknologi
sangat memungkinkan untuk dipengaruhi sebuah paham atau ideologi.
Keempat,
faktor terakhir yang menjadi pemicu munculnya gerakan Islam kampus adalah yang
disebut dengan political opportunity structure (POS) atau struktur
kesempatan politik. Sidney Tarrow menegaskan bahwa menurut teori ini ada
beberapa variable yang memungkinkan munculnya gerakan-gerakan sosial, (1)
ketika akses ke institusi politik terbuka, (2) ketika politik tidak stabil dan
stabilitas politik baru belum terbentuk, dan (3) ketika para elite politik
sedang terlibat konflik. Situasi semacam ini memberi peluang masyarakat umum
untuk terlibat aktif dalam membentuk ulang (rebuilding) identitas nasional
dalam bentuk mendirikan gerakan-gerakan sosial baik yang bernuansa agama atau
tidak, termasuk gerakan agama di kampus.
Terkecuali
JIB, hampir semua gerakan Islam kampus di Indonesia— dari yang paling awal,
HMI, hingga yang terakhir KAMMI—muncul karena struktur kesempatan politik.
Negara-bangsa Indonesia yang baru terbentuk tahun 1945, ketegangan dan
ketidaktabilan poltik, dan juga konflik di kalangan elit politik merupakan
kondisi yang sangat kondusif akan munculnya gerakan mahasiswa Islam seperti
HMI. Demikian pula kondisi Indonesia yang secara politik tidak stabil tahun
1950-an memberi kesempatan bagi mahasiswa Muslim yang kurang terakomodir dalam
HMI untuk membentuk gerakan mahaswa lain yaitu PMII dan IMM. Terakhir adalah
lengsernya Suharto pada tahun 1998. Kesempatan terbukanya akses poltik secara
struktural memungkinkan munculnya berbagai gerakan sosial yang tidak hanya
sebagai eforia politik tapi juga tuntutan ideologis.
Berbagai faktor
di atas secara terpisah atau simultan telah mendorong munculnya gerakan Islam
di kampus. Oleh karena itu, fenomena maraknya gerakan Islam kampus tidak bisa
dilihat secara parsial karena kompleksitasitas problem sosial yang
melingkupinya. Dengan kata lain, sebuah situasi politik misalnya tidak selalu
bisa menyebabkan munculnya sebuah gerakan kalau tidak dibarengi dengan faktor
pendorong yang lain.
Dikutip dari buku
Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia.
Agar
Pembaca dapat mengulas tema di atas lebih dalam, kami lampirkan versi luring
(offline) pdf pada link di bawah ini.
0 komentar:
Posting Komentar