![]() |
Sumber gambar: id.rbth.com |
Feminisme liberal
adalah pemikiran dan gerakan feminisme yang berkembang pada abad ke-18 dan
ke-19 dengan pelopor Mary Wollstonecraft yang membuat karya tulis berjudul Vindication
of the Right of Woman (Tong, 2006:18). Salah satu gagasan yang dikemukakan
dalam buku tersebut adalah mengenai kesetaraan kualitas pendidikan antara
perempuan dengan laki-laki (Tong, 2006: 18). Dengan tegas Wollstonecraft mengemukakan bahwa masyarakat wajib memberikan
pendidikan kepada perempuan, seperti juga kepada laki-laki, karena semua
manusia berhak mendapatkan kesempatan yang setara untuk mengembangkan kapasitas
nalar dan moralnya (Tong, 2006: 21).
Buku karya
Wollstonecraft tersebut dapat dikatakan meletakkan dasar bagi prinsip-prinsip
feminisme di kemudian hari. Buku tersebut disusul dengan The Subjection of
Women karya John Stuart Milll (1969) dan Women in the Nineteenth Century
(1845) karya Margaret Fuller. Pada tahun-tahun 1830— 1840 sejalan dengan pemberantasan
praktik perbudakan, hak-hak kaum perempuan mulai diperhatikan, jam kerja dan
gaji kaum ini mulai diperbaiki dan mereka diberi kesempatan ikut dalam
pendidikan dan diberi hak pilih, sesuatu yang selama ini hanya dinikmati oleh
kaum laki-laki (Tong, 2006:2—26; Abrams, 1999: 88).
Dalam sejarah
perkembangannya, feminisme liberal menurut Tong (2006:16—17) dapat dibedakan
menjadi tiga varian, yaitu feminisme liberal klasik (liberalian), feminisme
liberal kesejahteraan, dan feminisme liberal kontemporer. Dalam pembahasan
mengenai hambatan sikap dan struktural yang menghalangi kemajuan perempuan
feminisme liberal klasik yakin bahwa setelah hukum dan kebijakan yang
diskriminatif dihilangkan, sejak itu secara formal perempuan dimampukan untuk
bersaing secara setara dengan laki-laki. Feminisme liberal yang berorientasi
pada kesejahteraan menganggap bahwa masyarakat seharusnya tidak hanya
mengkompensasi perempuan untuk ketidakadilan di masa lalu, tetapi juga
menghilangkan hambatan sosial ekonomi dan juga hambatan hukum bagi kemajuan
perempuan kini.
Oleh karena itu, Tong
(2006: 50) mengemukakan bahwa feminisme liberal kesejahteraan mengadvokasikan
bahwa pelamar perempuan pada sekolah-sekolah atau pekerjaan harus dipilih atas
pelamar laki-laki selama pelamar perempuan itu dapat melaksanakan pekerjaan
secara layak. Feminisme liberal kontemporer berkeinginan untuk membebaskan
perempuan dari peran gender yang opresif, yaitu dari peran-peran yang digunakan
sebagai alasan atau pembenaran untuk memberikan tempat yang lebih rendah, atau
tidak memberikan tempat sama sekali bagi perempuan, baik di dalam akademi,
forum, maupun pasar (Tong, 2006: 48). Menurut Tong (2006: 49) tujuan tersebut
ditekankan karena masyarakat patriarkal mencampuradukkan seks dan gender dan
menganggap hanya pekerjaan-pekerjaan yang dihubungkan dengan kepribadian
feminin yang layak untuk perempuan.
Perkembangan
feminisme kontemporer pada abad ke-20
(pertengahan 1960-an), menurut Tong (2006:34), menuju pada gerakan sosial. Para
penganut feminisme liberal berkumpul di salah satu dari beberapa kelompok yang
disebut dengan kelompok hak-hak perempuan (misalnya National Organization
for Women (NOW), the National Woman’s Political Caucus (NWPC), dan the
Women’s Equity Action League (WEAL) (Tong, 2006:34). Tujuan utama dari hal
tersebut adalah untuk meningkatkan status perempuan dengan menerapkan tekanan legal, sosial, dan lainlain terhadap
berbagai lembaga mulai dari Bell Telephone Company hingga jaringan
televisi dan partai-partai politik utama (Tong, 2006:34). Melalui NOW, Betty
Friedan sebagai pendiri dan presiden pertama organisasi tersebut secara eksplisit mendefinisikan diri sebagai
feminis Amerika Serikat abad ke-20 yang menentang diskriminasi seks di segala
bidang kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan personal (Tong, 2006: 34).
Selain feminisme
liberal juga dikenal aliran feminisme lain, yaitu feminisme radikal, feminisme
marxis, feminisme psikoanalisis, feminisme eksistensialis, feminisme
multikultural dan global, ekofeminisme (Tong, 2006). Untuk memberikan gambaran
perbedaan antara feminisme liberal dengan berbagai aliran feminisme lainnya,
berikut diuraikan pengertian dan kekhasan beberapa aliran feminisme
tersebut.
Berbeda dengan
feminisme liberal yang berjuang bagi pencapaian kesetaraan hak-hak perempuan di
segala bidang kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan personal, feminisme
radikal yang berkembang dari partisipasi
mereka dalam satu atau lebih gerakan sosial radikal di Amerika Serikat pada
awal tahun 1960-an memiliki hasrat untuk memperbaiki kondisi perempuan (Tong,
2006:68). Feminisme radikal mendasarkan pada suatu tesis bahwa penindasan
terhadap perempuan berakar pada ideologi patriarkat sebagai tata nilai dan
otoritas utama yang mengatur hubungan laki-laki dan perempuan secara umum. Oleh
karena itu, perhatian utama feminisme radikal adalah kampanye anti kekerasan
terhadap perempuan.
Feminisme Marxis
dipengaruhi oleh ideologi kelas Karl Marx. Feminisme Marxis mengidentifikasi
kelasisme sebagai penyebab opresi (penindasan) terhadap perempuan (Tong, 2006:
139). Opresi terhadap perempuan tersebut bukanlah hasil tindakan sengaja dari
satu individu, melainkan produk dari struktur politik, sosial, dan ekonomi
tempat individu itu hidup (Tong, 2006: 139). Oleh karena itu, tujuan dari
feminisme Marxis adalah mendeskripsikan basis material ketertundukan perempuan
dan hubungan antara model-model produksi dan status perempuan, serta menerapkan
teori perempuan dan kelas pada peran keluarga (Humm, 2007: 270).
Feminisme
psikoanalisis dan gender mengemukakan gagasan bahwa penjelasan fundamental atas
cara bertindak perempuan berakar dalam psikis perempuan, terutama dalam cara
berfikir perempuan (Tong, 2006: 190). Dengan mendasarkan pada konsep Freud,
seperti tahapan odipal dan kompleks Oedipus, feminis psikoanalisis mengklaim
bahwa ke idaksetaraan gender berakar
pada rangkaian pengalaman pada masa kanak-kanak awal mereka. Pengalaman
tersebut mengakibatkan bukan saja cara masyarakat memandang dirinya sebagai
feminin, melainkan juga cara masyarakat memandang bahwa maskulinitas adalah
lebih baik dari femininitas.
Feminisme
psikoanalisis timbul untuk mengritisi teori psikoanalisis Freud, terutama
teori perkembangan seksual anak yang
berhubungan dengan kompleks Oedipus dan kastrasi (Tong, 2006:191). Menurut
Freud, maskulinitas dan femininitas adalah produk pendewasaan seksual. Jika
anak laki-laki berkembang ―secara normal, mereka akan menjadi laki-laki yang
akan menunjukkan sifat-sifat maskulin yang diharapkan, dan jika perempuan
berkembang ―secara normal maka mereka akan menjadi perempuan dewasa yang
menunjukkan sifat-sifat feminin. Menurut Freud, inferioritas perempuan terjadi
karena kekurangan anak perempuan akan
penis (Tong, 2006: 196). Sebagai konsekuensi jangka panjang dari
kecemburuan terhadap penis (penis envy) dan kompleks Oedipus yang
dialaminya, menurut Freud (via Tong, 2006: 195—196), perempuan menjadi
narsistis, mengalami kekosongan, dan rasa malu.
Perempuan menjadi
narsistis ketika ia mengalihkan tujuan seksualnya aktif menjadi pasif, yang
termanifestasikan pada keinginanan untuk lebih dicintai dari pada mencintai.
Semakin cantik seorang anak perempuan, semakin tinggi harapannya untuk
dicintai. Karena tidak memiliki penis, anak perempuan menjadi kosong, dan
mengkompensasikannya pada penampilan fisiknya yang total. Dengan penampilan
yang baik secara umum akan menutupi kekurangannya atas penis. Rasa malu dialami
anak perempuan karena tanpa penis dia melihat tubuhnya yang terkastrasi.
Teori Freud tersebut
telah ditolak oleh para feminis, seperti Betty Freidan, Shulamit Firestone, dan
Kate Millett. Mereka berargumen bahwa
posisi serta ketidakberdayaan sosial perempuan terhadap laki-laki, kecil
hubungannya dengan biologi perempuan, dan sangat berhubungan dengan konstruksi
sosial atas femininitas (Tong, 2006:196). Dalam hal ini Freidan menyalahkan
Freud karena telah mendorong perempuan untuk beranggapan bahwa ketidaknyamanan
serta ketidakpuasan perempuan berasal dari ketidakadaan penis saja dan bukan
karena status sosial ekonomi serta
budaya yang menguntungkan laki-laki. Dengan mengisyaratkan kepada perempuan
bahwa mereka dapat menggantikan penis dengan bayi, menurut Freidan, Freud telah
merayu perempuan untuk masuk ke dalam jebakan mistik feminin.
Oleh karena itu,
Freidan menyalahkan Freud yang telah menjadikan pengalaman seksual yang sangat
spesifik (vaginalisme) sebagai keseluruhan serta akhir dari eksistensi
perempuan (Tong, 2006: 197). Freidan juga mengutuk Freud karena telah mendorong
perempuan untuk menjadi reseptif, pasif, bergantung pada orang lain, dan selalu
siap untuk mencapai tujuan akhir dari kehidupan seksual mereka, yaitu hamil.
Sementara itu, Millett menganggap pandangan Freud bahwa perempuan mengalami
kecemburuan terhadap penis merupakan contoh transparan dari egoisme laki-laki
(Tong, 2006: 197—198). Firestone juga mengkritik teori Freud yang menganggap
pasivitas seksual perempuan sebagai hal yang alamiah. Menurutnya pasivitas
seksual perempuan terjadi sebagai hasil konstruksi sosial dari ketergantungan
fisik, ekonomi, emosional perempuan pada laki-laki (Tong, 2006:197). Firestone
bahkan menyarankan agar manusia
seharusnya menghapuskan keluarga inti, termasuk menghapuskan tabu inses yang
merupakan akar penyebab kompleks Oedipus.
Feminisme
eksistensialis adalah pemikiran feminisme yang dikembangkan oleh Simone de Beauvoir
melalui buku karyanya Second Sex (2003). Dengan mendasarkan pada
pandangan filsafat eksistensialisme Beauvoir mengemukakan bahwa laki-laki
dinamai ―laki-laki, sang Diri, sedangkan ―perempuan sang Liyan (the other).
Jika Liyan adalah ancaman bagi Diri, maka perempuan adalah ancaman bagi
laki-laki. Oleh karena itu, menurut
Beauvoir jika laki-laki ingin tetap bebas, ia harus mensubordinasi
perempuan (Beauvoir, 2003:89; Tong, 2006:262). Pandangan bahwa perempuan adalah
Liyan (the other) dalam relasinya dengan laki-laki yang diyakini oleh
feminisme eksistensialis juga dianut oleh feminisme posmodern (Tong, 2006: 284;
Arivia, 2003:128). Secara luas feminis postmodern seperti Helene Cixous, Luce
Irigaray, dan Julia Kristeva mengembangkan gagasan intelektualnya dari filsuf
eksistensialis Simone de Beauvoir, dekonstruksionis Jacques Derrida, dan
psikoanalis Jacques Lacan (Tong, 2006:284). Seperti Beauvoir, ketiga feminis
postmodern ini berfokus pada ―ke-liyan-an‖ perempuan. Seperti Derrida,
ketiganya juga gemar menyerang gagasan umum mengenai kepengarangan, identitas,
dan diri. Seperti Lacan, ketiganya mendedikasikan diri untuk menafsirkan
kembali pemikiran tradisional Freud yang kemudian merubuhkan tafsir-tafsir yang
semula dianggap baku (Tong, 2006:284).
Feminisme
multikultural dan global berhubungan dengan pemikiran multikultural, yaitu
suatu ideologi yang mendukung keberagaman (Tong, 2006:310). Sebagai pemikiran
feminisme yang mundukung keberagaman, feminisme multikultural menghargai
perbedaan dari para pemikir multikultural dan menyayangkan bahwa teori feminis
sebelumnya yang sering kali gagal membedakan antara kondisi perempuan kulit
putih, kelas menengah, heteroseksual, Kristen yang tinggal di Negara yang maju
dan kaya, dengan kondisi yang sangat berbeda dari perempuan lain yang mempunyai
latar belakang yang berbeda (Tong, 2006: 310). Feminisme multikultural melihat
bahwa penindasan terhadap perempuan tidak dapat hanya dijelaskan lewat patriarkat, tetapi ada keterhubungan
masalah dengan ras, etnisitas, dan sebagainya. Sementara itu, dalam feminisme
global bukan hanya ras dan etnisitas yang berhubungan dengan penindasan
terhadap perempuan, tetapi juga hasil dari kolonialisme dan dikotomi dunia
pertama dan dunia ketiga (Tong, 2006:315; Arivia, 2003:154).
Beberapa tokoh
feminis multikultural dan global antara lain adalah Audrea Lorde, Alice Walker,
Angela Davis, Charlotte Bunch, Susan Brondo, Maria Mies (Arivia, 2003:154).
Kelompok feminis ini sering kali juga disebut sebagai feminis poskolonial atau
feminis dunia ketiga (Lewis & Mills, 2003).
Menurut Gandhi (1998:83), feminisme poskolonial yang merupakan aliansi
antara teori poskolonial dan feminisme berusaha memukul balik hierarki
gender/budaya/ras yang telah ada dan menolak oposisi biner terhadap konstruk
wewenang patriarkat/kolonialisme sendiri. Para penganut teori feminisme
poskolonial telah memberikan alasan yang kuat bahwa persoalan pusat politik
rasial telah menenggelamkan kolonisasi ganda
kaum perempuan di bawah kekuasaan imperialisme. Dalam hal ini teori feminis
poskolonial merumuskan bahwa perempuan
dunia ketiga merupakan korban par exellence atau korban yang terlupakan dari
dua ideologi imperialisme dan patriarkat asing (Gandhi, 1998: 83). Dengan
perspektif feminisme poskolonial, melalui artikelnya ―Can the Subaltern Speak?‖
Spivak (1988:306) memahami posisi perempuan sebagai anggota kelompok
subsaltern. Dia mengemukakanbahwa dalam wacana feminisme poskolonial, sebagai
kelompok subaltern perempuan dunia ketiga menghilang karena kita tidak pernah
mendengar mereka berbicara tentang dirinya (Spivak, 1988:306; Gandhi,
1998:87—89). Ekofeminisme adalah pemikiran feminisme yang ingin memberi
pemahaman adanya hubungan antara segala bentuk penindasan manusia dengan alam
dan memperlihatkan keterlibatan perempuan dalam seluruh ekosistem (Tong, 2006:
359; Arivia, 2003:154). Seperti dikemukakan oleh Tong (2006:350), karena
perempuan secara kultural dikaitkan
dengan alam, ekofeminisme berpendapat ada hubungan simbolik dan linguistik
antara feminis dan isu ekologi.
Ekofeminisme pada
dasarnya adalah varian yang relatif baru dari etika ekologis. Istilah ini,
menurut Tong (2006: 366) muncul pertama kali pada tahun 1974 dalam buku
Francoise d‘Eaubonne yang berjudul Le Feminisme ou la mort. Dalam buku tersebut
dijelaskan adanya hubungan langsung antara opresi terhadap perempuan dan opresi
terhadap alam. Menurut d‘Eaubonne, pembebasan salah satu dari keduanya tidak
dapat terjadi secara terpisah antara satu dengan yang lain (Tong, 2006: 366).
Pemikiran dan gerakan
feminisme tersebut juga mempengaruhi para intektual, termasuk di kalangan
Islam. Dengan menggunakan perspektif feminis, para intelektual Islam berupaya
membongkar sumber-sumber permasalahan dalam ajaran Islam dan mempertanyakan
penyebab munculnya dominasi laki-laki dalam penafsiran hadis dan Al-Qur‘an
(Fatma, 2007:37). Melalui perspektif feminis berbagai macam pengetahuan
normatif yang bias gender tetapi
dijadikan orientasi kehidupan beragama, khususnya yang menyangkut relasi gender
dibongkar atau didekonstruksi dan dikembalikan kepada semangat Islam yang lebih
menempatkan ideologi pembebasan perempuan dalam kerangka ideologi pembebasan
harkat manusia (Dzuhayatin, 2002:22). Dengan semangat tersebut muncullah
berbagai gagasan dan kajian terhadap tafsir ayat-ayat Al-Qur‘an dan Hadis yang
dilakukan para intelektual muslim yang dikenal dengan sebutan feminis muslim
(Rachman, 2002:34; Nadjib, 2009; Dzuhayatin, 2002:5). Beberapa karya mereka
antara lain adalah Perempuan Tertindas? Kajian Hadis-hadis Misoginis (Ilyas,
dkk., 2003), Rekonstruksi Metodologis Wacana Kesetaraan Gender dalam Islam
(Dzuhayatin, dkk. Ed, 2002), Perempuan dalam Pasungan: Bias Laki-laki dalam
Penafsiran (Nurjanah-Ismail, 2003).
Munculnya gagasan dan
kajian tersebut sesuai dengan semangat teologi feminisme Islam yang menjamin
keberpihakan Islam terhadap integritas dan otoritas kemanusiaan perempuan yang
terdistorsi oleh narasi-narasi besar
wacana keislaman klasik yang saat ini masih mendominasi proses
sosialisasi dan pembelajaran keislaman kontemporer (Dzuhayatin, 2002:22).
Beberapa intelektual yang melakukan kajian Islam dengan perspektif feminis
antara lain adalah Riffat Hassan (Pakistan), Fatima Mernissi (Mesir), Nawal
Sadawi (Mesir), Amina Wadud Muhsin (Amerika), Zakiah Adam, dan Zainah Anwar
(Malaysia), serta beberapa orang
Indonesia antara lain Siti Chamamah Soeratno, Wardah Hafidz, Lies
Marcoes-Natsir, Siti Nuhaini Dzuhayatin, Zakiah Darajat, Ratna Megawangi, Siti
Musda Mulia, Masdar F. Mas‘udi, Budhy Munawar Rachman, Nasaruddin Umar (Mojab,
2001:128—129; Rachman, 2002:34; Nadjib, 2009; Dzuhayatin, 2002:5).
Kritik Sastra
Feminis
Masalah keterdidikan
perempuan yang tergambar dalam sejumlah novel Indonesia yang menjadi objek
penelitian ini dipahami dengan menggunakan kritik sastra feminis. Kritik sastra
feminis merupakan salah satu ragam kritik sastra (kajian sastra) yang
mendasarkan pada pemikiran feminisme yang menginginkan adanya keadilan dalam
memandang eksistensi perempuan, baik sebagai penulis maupun dalam karya-karya
sastranya. Lahirnya kritik sastra feminis tidak dapat dipisahkan dari gerakan
feminisme yang pada awalnya muncul di Amerika Serikat pada tahun 1700-an
(Madsen, 2000:1).
Dalam paradigma
perkembangan kritik sastra, kritik sastra feminis dianggap sebagai kritik yang
bersifat revolusioner yang ingin menumbangkan wacana yang dominan yang dibentuk
oleh suara tradisional yang bersifat patriarkat (Ruthven, 1985:6). Tujuan utama
kritik sastra feminis adalah menganalisis relasi gender, situasi ketika
perempuan berada dalam dominasi laki-laki (Flax, dalam Nicholson, 1990: 40).
Melalui kritik sastra feminis akan dideskripsikan opresi perempuan yang
terdapat dalam karya sastra (Humm, 1986:22). Humm (1986:14—15) juga menyatakan
bahwa penulisan sejarah sastra sebelum munculnya kritik sastra feminis
dikonstruksi oleh fiksi laki-laki. Oleh karena itu, kritik sastra feminis
melakukan rekonstruksi dan membaca kembali karya-karya tersebut dengan fokus
pada perempuan, sifat sosiolinguistiknya, mendeskripsikan tulisan perempuan
dengan perhatian khusus pada penggunaan kata-kata dalam tulisannya. Kritik
sastra feminis dipelopori oleh Simone de Beauvoir melalui bukunya, Second Sex,
yang disusul oleh Kate Millet (Sexual Politics), Betty Freidan (The Feminin
Mistique), dan Germaine Greer (The Female Eunuch) (Humm, 1986:21).
Dalam perkembangannya,
sesuai dengan aliran feminisme yang mendasarinya ada beberapa ragam kritik
sastra feminis. Humm (1986) membedakan adanya tiga jenis kritik sastra feminis,
yaitu (1) kritik feminis psikoanalisis, dengan tokoh antara lain Julia
Kristeva, Monique Wittig, Helene Cixous, Luce Irigaray, Mary Daly, (2) kritik
feminis marxis, dengan tokoh antara lain Michele Barret dan Patricia Stubbs,
dan (3) kritik feminis hitam dan lesbian, dengan tokoh antara lain Barbara
Smith, Elly Bulkin, dan Barbara Greir yang selengkapnya bisa dibaca dalam buku
di bawah ini.
Dikutip dari buku Menjadi
Perempuan Terdidik: Novel Indonesia dan Feminisme.
Agar
Pembaca dapat mengulas tema di atas lebih dalam, kami lampirkan versi luring
(offline) pdf pada link di bawah ini.
Ty this helped me for my research
BalasHapus