![]() |
Sumber gambar: merdeka.com |
Akhir-akhir ini
Indonesia seringkali dilanda bencana alam, seperti banjir, tanah longsor, gempa
bumi, puting beliung, dan tsunami. Beberapa di antaranya menelan korban yang
sangat besar, seperti gempa bumi dan tsunami Aceh (2004) dan gempa bumi Yogyakarta
(2006). Sementara itu, pengetahuan masyarakat tentang bencana masih sangat
terbatas, meskipun harus diakui juga bahwa masyarakat di berbagai daerah
mempunyai “pengetahuan” tersendiri tentang bencana, baik yang didasarkan atas
pengalaman bersama alam, kearifan lokal, mitos, agama, ataupun ilmu
pengetahuan. Semua itu, dalam kapasitasnya masing-masing, mempunyai penjelasan
mengenai bencana alam. Orang-orang terpelajar mungkin lebih percaya pada ilmu
pengetahuan, namun masyarakat kebanyakan mungkin lebih percaya pada penga laman
bersama alam, kearifan lokal, mitos, atau agama. Orang yang dekat dengan alam
akan sangat peka terhadap perubahan alam di seki tarnya, seperti keluar nya
hewanhewan tertentu dari habitatnya. Orang yang dekat dengan kearifan
lokal—yang terkadang berbasis mitos juga—akan berpegang pada ajaran, norma,
atau nilai yang dikembangkan secara turun-temurun.
Sementara itu, orang
yang sangat percaya pada mitos mungkin saja abai terhadap tanda-tanda alam atau
kearifan lokal non-mitos, dan lebih percaya pada cerita-cerita tertentu yang
dianggap mengandung kebenaran empirik. Kelemahan mitos yang biasanya bermanfaat
bagi perlindungan alam adalah kurang memadai dalam menjelaskan dan memprediksi gejala
alam. Orang beragama biasanya lebih percaya pada doktrin tertentu agama,
misalnya tentang hukuman atau takdir, dan pada agamawan yang dianggap mempunyai
otoritas penafsiran teks keagamaan. Pengalaman-bersama-alam dan kearifan lokal,
dalam hal tertentu, dapat memberitahukan apa yang sedang dan akan terjadi.
Sementara mitos dan agama bergantung pada tafsir individu-individu; padahal,
kejadian bencana alam sama sekali tidak tergantung pada tafsir manusia.
Kendatipun mungkin tidak selalu tepat, pendekatan ilmu pengetahuan dianggap
paling mendekati kebenaran. Sejumlah kearifan lokal, mitos, konsep keagamaan
pun dapat dikonfirmasi dengan ilmu pengetahuan. Namun, ilmu pengetahuan yang
sering kali canggih itu dapat dibahasa rakyatkan melalui kearifan lokal, mitos,
dan agama.
Artikel ini membahas
tentang bagaimana masyarakat beragama, terutama muslim, dapat memahami bencana
yang bukan hanya relevan secara doktrinal, namun juga tidak mengabaikan ilmu
pengetahuan. Dalam hal ini, artikel ini bukan hanya hendak memahami dan
memaknai bencana an sich, namun juga melakukan sesuatu yang terkait
dengan keselamatan bersama dalam situasi bencana. Ini berguna untuk
menggerakkan aktivisme sosial humanitarian dari bawah. Sedangkan pada sisi
pemerintah, di samping harus mempunyai kebijakan yang jelas tentang bencana, ia
juga dituntut untuk memahami dengan baik pengetahuan dan aktivisme masyarakat
beragama dan merespons dengan baik. Pemerintah harus mendasarkan diri pada
politik kemaslahatan. dengan demikian, artikel ini berupaya memadukan antara
pendekatan teologis dan ilmu sosial (terutama yang terkait dengan aktivisme sosial
dan politik kebijakan). Dengan ini, penulis ingin menunjukkan adanya
keterbatasan pada masing-masing pendekatan dan perlunya pendekatan-pendekatan itu
berintegrasi dalam bukan hanya menjelaskan namun juga melakukan sesuatu terkait
dengan masalah bencana.
Dari Keyakinan dan
Struktur Nilai ke Aktivisme dan Politik Kebijakan
Peran persepsi dalam
menghadapi bencana, proses mitigasi, aktivisme sosial dan pengambilan kebijakan
telah diakui oleh sejumlah ilmuwan. Dalam kajiannya tentang persepsi terhadap
risiko gempa bumi di Maroko, Paradise (2005) mengatakan bahwa mengaitkan
bencana alam dengan “kemarahan Tuhan” dapat secara dramatis mempengaruhi
bagaimana komunitas mempersepsi, mengelola dan/atau memodifikasi keterlibatan
yang diperlukan dalam proses mitigasi bencana atau partisipasi dalam pembuatan
keputusan. Lee (1981) dan Rosa (2003), sebagaimana dikutip Paradise (2005),
berpendapat bahwa komunitas-komunitas yang menerima dengan lapang dada terhadap
suatu bencana alam atau efek-efeknya biasanya lebih aktif dalam pengambilan
keputusan komunitas. Pengakuan bahwa individu atau komunitas dapat
mengakibatkan risiko bencana dapat menjadi kunci bagi persiapan dan mitigasi
bencana. Jika persepsi saja mempunyai dampak yang begitu signifikan terhadap
masalah yang terkait dengan bencana, apalagi keyakinan yang berakar pada
pemahaman teologis keagamaan. Apa yang digambarkan Paradise sebagai “mengaitkan
bencana alam dengan ‘kemarahan Tuhan’” tentu bukan sekadar persepsi, namun
merupakan keyakinan teologis. Sikap lapang menerima tuduhan-kesalahan tentu
dapat muncul di luar keyakinan agama, namun hal itu dapat pula muncul karena
keyakinan teologis.
Selain masalah keyakinan
teologis, ada hal lain yang juga berpengaruh pada sikap masyarakat terhadap
bencana, yakni struktur nilai. Oleh karena itu, sangatlah tepat apa yang
dikatakan oleh Ziauddin Sardar (2006) bahwa akar dari krisis ekologis yang
melanda dunia bersarang pada “keyakinan dan struktur nilai kita, yang membentuk
hubungan kita dengan alam, dengan sesama manusia dan gaya hidup yang kita
jalani.” Struktur nilai biasanya dikaitkan dengan masalah budaya. Tentu saja
ini tidak sepenuhnya salah, jika dalam budaya itu diletakkan pula agama. namun,
pandangan semacam ini merupakan bias dari paradigma sekularisme dalam ilmu
sosial. Pada kenyataannya, agama tidak selalu sejalan dengan budaya, bahkan
dalam beberapa hal menentang budaya. Oleh karena itu, struktur nilai komunitas
beragama (muslim) diasumsikan dipengaruhi oleh pemahaman teologisnya, di
samping tetap membuka peluang kemungkinan pengaruh budaya.
Pada bagian
sebelumnya telah dijelaskan bahwa keyakinan dan struktur nilai berpengaruh pada
partisipasi dalam pengambilan keputusan komunitas. Hal ini bermakna bahwa ia
berpengaruh pada munculnya aktivisme sosial pada level masyarakat. Namun, pada
saat yang bersamaan, keduanya juga berpengaruh pada masyarakat politik, baik
yang ada di parlemen maupun di pemerintahan, dalam merumuskan kebijakan-kebijakan
terkait dengan masalah kebencanaan. Tentu saja ini terkait dengan persepsi,
keyakinan dan struktur nilai secara umum. namun, sejalan dengan maksud tulisan
ini, akan dilihat pula bagaimana agama (Islam) memberikan kontribusi pada
terciptanya aktivisme sosial dan kebijakan politik yang lebih berorientasi
kemaslahatan dalam kaitannya dengan bencana.
Jadi, karena tulisan
ini lebih merupakan upaya membangun keterkaitan antara Teologi Bencana,
aktivisme sosial dan politik kebijakan berkemaslahatan, ketimbang kajian
empiris, maka penulis akan lebih memberikan tawaran-tawaran normatif progresif
agar dapat menyemai “keyakinan” dan “struktur nilai” yang lebih kondusif
tentang bencana. Di sinilah sintesis kreatif teologi dan ilmu sosial penting
untuk dilakukan.
Paham Teologis dan
Preferensi Etis
Teologi Bencana atau
pemahaman keagamaan terkait dengan masalah bencana, terutama bencana alam,
dalam berbagai tahapannya, memang masih kurang dikembangkan dalam keilmuan
Islam. Ada beberapa intelektual muslim yang akhir-akhir ini mulai mengembangkan
Fiqih Lingkungan, seperti Ali Yafie, dan Teologi Lingkungan, seperti Moelyono
Abdillah. Sejumlah pesantren juga telah lama menjadi agen penyelamatan
lingkungan. Pesantren Guluk-guluk, Madura, misalnya, pernah mendapatkan
penghargaan Kalpataru. Sejalan dengan munculnya isu pemanasan global, sejumlah
pesantren kini mulai me ngem bangkan diri menjadi “eko-pesantren”. Pernah juga
diselenggarakan pertemuan ulama pesantren untuk “menggagas” fiqih lingkungan (fiqih
al-bi’ah) di Sukabumi pada 9-12 mei 2004. namun, tindak lanjut dari
kegiatan tersebut tidak terdengar lagi, kecuali penerbitan laporan pertemuan
itu. Semuanya belum banyak ditindaklanjuti dengan perumusan secara lebih
spesifik tentang teologi bencana dan secara umum dalam pembentukan gerakan
ekologis dan aktivisme sosial humanitarian muslim yang sistematis.
Namun, hal ini bukan
berarti bahwa belum pernah ada ulama yang mencoba mengembangkan teologi
bencana. Pada abad klasik Islam, Jalaluddin al-Suyuthi (w. 911/1505) berupaya
mengembangkan teologi bencana, khususnya gempa bumi. dia menulis kitab Kasyf
al-Salsalah ‘an Wasf al-Zalzalah (mengungkap Keterkaitan tentang Karakter
gempa Bumi). Mungkin ini meru pakan buku teologi gempa bumi pertama yang
ditulis dalam Islam. Ini bukan buku geologi tentang gempa bumi, namun lebih
merupakan buku teologi tentang gempa bumi. Namun, layaknya buku teologi yang lahir
pada saat itu, buku ini lebih mengedepankan pendekatan tekstual yang kental,
dengan mendeduksi pemikiran teologis dari Al-Qur’an, Sunnah, atsar (ketetapan
hukum) sahabat, dan pendapat-pendapat ulama sebelumnya tentang gempa bumi.
dengan demikian, dapat dipahami jika sebagian besarnya merupakan penafsiran
terhadap ayat-ayat Al-Qur’an tentang gempa bumi dan kiamat, yakni bahwa gempa
bumi merupakan nasihat bagi orang-orang yang bertakwa, rahmat bagi orang-orang
beriman, dan hukuman bagi orang-orang yang ingkar. Orang tak beriman yang mati dalam
gempa bumi itu dianggap memang ajalnya sudah tiba, sementara orang beriman yang
mati dianggap mati syahid. Mungkin juga karena pada abad itu sains tentang
gempa bumi belum berkembang sehingga belum dimanfaatkan dalam menulis kitabnya.
Namun bagaimana pun juga, ini merupakan upaya rintisan yang luar biasa, untuk
kemudian perlu dikembangkan lebih jauh.
Secara garis besar
kita dapat melihat bagaimana persepsi temporal komunitas beragama (dalam hal
ini muslim) terhadap bencana terkait dengan tiga tahapannya: sebelum, ketika
dan setelah terjadi bencana. Selain itu, respons me reka dapat dilihat secara
spasial menjadi dua, yakni: pertama, muslim yang ada dalam wilayah bencana
(menjadi korban bencana); dan kedua, muslim yang berada di luar wilayah
bencana. Adapun secara etikal (etis), respons kedua nya dapat di masuk kan
dalam dua sikap: pertama, fatalisme pasivistik (passivistic fatalism);
dan kedua, vitalisme aktivistik (activistic vitalism).
Sikap etis ini, dalam
konteks masyarakat beriman, juga merefleksikan pemahaman teologis mereka, yakni
teologi fatalis-pasivistik dan vitalis-aktivistik. Fatalisme dalam hal ini
merujuk kepada pengertian sebuah keyakinan bahwa tidak ada yang dapat dilakukan
untuk mencegah terjadinya suatu peristiwa, karena semuanya sudah ditentukan
sebelumnya oleh Tuhan. Sedangkan vitalisme merujuk pada pengertian sebuah
keyakinan bahwa fungsi dari sebuah organisme yang hidup adalah karena adanya
sebuah prinsip vital yang berbeda dari kekuatan-kekuatan fisika-kimia; atau
keyakinan bahwa proses-proses kehidupan tidak dapat dipahami oleh hukum-hukum fisika
dan kimia semata dan bahwa hidup itu, dalam beberapa bagian, dapat menentukan
dirinya sendiri. Dari kedua corak etiko-teologis ini, kita akan melihat
bagaimana muslim di wilayah bencana dan di luar wilayah bencana merespons, baik
sebelum, ketika dan setelah terjadi bencana.
Teologi Fatalis
Pasivistik
Dalam teologi Islam
klasik, dikenal sebuah aliran teologis yang disebut jabbariyah. dari kata
“jabbara-yujabbiru” yang berarti memaksa, kata ‘jabbariyah’ mempunyai konotasi
bahwa tindakan atau perbuatan manusia itu sebenarnya adalah salah satu bentuk
paksaan dari luar dirinya, yakni dari Allah Sang Khaliq (Maha Pencipta).
Sebagai Khaliq, Allah menciptakan semua makhluk, termasuk perbuatan manusia. Dalam
paham ini, semua perilaku makhluk, termasuk manusia, sudah ditetapkan oleh
Allah sejak zaman azali. manusia telah memiliki takdirnya, dan sekadar
melaksanakannya. Oleh karena itu, pandangan teologis ini disebut juga
“predestination’, bahwa semuanya sudah ditentukan sebelumnya. Dalam bentuk
ekstremnya, pandangan ini melahirkan fatalisme, yakni bu kan hanya meyakini
bahwa takdir seseorang telah ditetapkan sebelumnya, namun juga bahwa tidak ada
yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya suatu hal, perbuatan atau
peristiwa, yang (diasumsikan) sudah ditentukan sebelumnya itu.
Sikap fatalistik
semacam ini dapat terjadi sebelum, ketika, dan setelah terjadinya bencana.
Apabila derajat fatalistiknya kuat ‘sebelum dan ketika’ terjadi bencana, hal
itu dapat melahirkan sikap yang negatif, bahkan berbahaya. Dikatakan negatif
dan bahkan berbahaya karena biasanya akan melahirkan sikap pasif, yang dalam
makna generiknya berarti “cenderung menerima situasi atau sesuatu yang
dilakukan oleh orang atau pihak lain terhadapnya tanpa berusaha mengubah atau
menolaknya” (CF Longman 1995: 1034). Ini harus dibedakan dari “resistensi
pasif” terhadap kekerasan, seperti yang dila ku kan oleh gandhi. Oleh karena itu, pemahaman etis dan
teologis—etiko-teologis—fatalis pasivistik itu adalah sikap tidak mau berusaha
mengubah atau menolak sesuatu atau peristiwa tertentu karena adanya keyakinan
bahwa sesuatu atau peristiwa itu sudah ditentukan sebelumnya oleh Tuhan akan
terjadi pada dirinya atau komunitasnya. Namun, apabila muncul ‘setelah’ terjadinya
bencana—dalam derajat dan waktu yang tidak berlebihan—sikap ini dapat menjadi
salah satu bentuk terapi psiko-spiritual. Akan tetapi jika berlebihan, hal ini
justru akan menyulitkan seseorang bangkit dari keterpurukan akibat bencana.
Sikap fatalis
mengabaikan sebuah kenyataan penting, bahwa manusia sebenarnya tidak mengetahui
apa yang “ditentukan oleh Tuhan” (takdir) atas dirinya atau komunitasnya. yang
ada adalah bahwa manusia hanya mempersepsikan bahwa mereka mengetahui apa yang
telah ditentukan Tuhan. Ini sebuah persepsi yang belum tentu benar. Mereka
hanya terpaku pada satu kemungkinan dan pada saat yang bersamaan mengabaikan
banyak kemungkinan lainnya. dalam kondisi normal, ketika tidak ada bencana,
mereka berpendapat bah wa bencana itu
dapat terjadi kapan saja dan tidak dapat diprediksikan oleh manusia, dan oleh karenanya
manusia tidak dapat melakukan apa pun apabila bencana itu datang. Keyakinan
semacam ini biasanya juga mengabaikan kemampuan ilmu pengetahuan dalam
melakukan prediksi dan antisipasi bencana, atau dalam bahasa mereka “mengetahui
ketentuan Tuhan”.
Muslim di luar daerah
bencana yang mempunyai pemahaman teologis yang fatalis semacam ini akan
cenderung menganggap bahwa bencana itu adalah takdir, laknat, atau hukuman
terhadap masyarakat korban. Oleh karenanya, mereka cenderung mengambil sikap
pasivistik, yakni tidak melakukan apa-apa, atau mengambil sikap minimalis, seperti
mendoakan korban dan mengambil hikmah dari bencana itu secara personal. Sikap
etiko-teologis semacam ini tidak tepat untuk mengembangkan Teologi Bencana yang
lebih memberdayakan dan membebaskan.
Dikutip dari Pendahuluan
Buku Agama, Budaya dan Bencana.
Agar
Pembaca dapat mengulas tema di atas lebih dalam, kami lampirkan versi luring
(offline) pdf pada link di bawah ini.
0 komentar:
Posting Komentar