![]() |
Sumber gambar: kebudayaan.kemdikbud.go.id |
“Ibarat bulan
matahari istana Majapahit indah tiada taranya perumahan-perumahan bersinar indah tertata mengelompok amat rapi
bagai cahayanya bintang kerajaan bagi
yang lain terutama Daha, negeri-ngeri di Nusantara semua tunduk dan
berlindung pada Majapahit”
Maka dalam naskah
yang ditinggalkannya, Nagarakertagama, sang pujangga, Mpu Prapanca pun
menyebutkan nama-nama wilayah yang berada di bawah kekuasaan atau—lebih
tepat—dominasi Majapahit, kerajaan besar yang berpusat di Trowulan (sekarang). Pujangga
besar abad 14 ini pun menyebutkan nama-nama wilayah taklukan Majapahit itu. Ia memulai daftar
taklukan itu dari belahan Barat kepulauan Nusantara, dilanjutkan ke bagian
tengah dan akhirnya ke wilayah sebelah Timur.
“Tersebutlah pulau
–pulau seperti Makasar, Buton, Banggawi Kunir, Galiyan, serta Selayar, Sumba,
Solot, Muar Lagi pula Wandan, Ambon atau
Maluku, Waini, Seram, Timor dan pulau-pulau lainnya berdekatan”
Dengan penyebutan
nama–nama daerah--dari Barat sampai ke bagian Timur dari kepulauan Nusantara
ini--naskah yang ditulis dalam bahasa Kawi ini sebenarnya menjelaskan pernyataan yang telah lebih dulu
disampaikannya, betapa kesemuanya membayangkan, “Ibarat bulan matahri Majapahit
indah tiada taranya Perumahan-perumahan
bersinar indah tertata
mengelompok amat rapi, Bagai cahayanya bintang kerajaan bagi yang lain
terutama Daha Negeri-negeri di Nusantara semua tunduk dan berlindung pada
Majapahit”
Dengan adanya
berbagai peristiwa kesejarahan yang sempat terekam dalam sekian banyak prasasti
serta naskah-naskah yang ditulis di zaman yang sama atau satu dua abad
sesudahnya– jangankan dalam tradisi lisan bahkan juga dan tidak pula kurang pentingnya kesaksian dari sekian banyak
sumber asing, maka bisalah dipahami juga kalau zaman Majapahit tetap hidup
dalam ingatan penduduk di kepulauan, yang secara ilmiah sejak lebih dari seratus tahun yang
lalu telah dinamakan, “Indonesia” – serangkaian kepulauan di lautan Hindia.
Dengan berbagai uraian tentang peristiwa yang pernah terjadi dalam wilayah yang dikatakan merangkul keseluruhan kepulauan ini
maka mestikah diherankan kalau batas antara sejarah—peristiwa yang otentik
terjadi di masa lalu--dan legenda— yang “konon pernah terjadi” —telah mengabur
dan bahkan dengan begitu saja bisa bercampur baur? Jadi bisalah dipahami kalau
kepastian historis tentang wilayah kerajaan Majapahit bisa terasa kabur
juga Dalam suasana ini bisalah dipahami
juga kalau di beberapa daerah, bahkan di
belahan Timur kepulauan Indonesia, berbagai corak tradisi lisan dan ingatan
kolektif tentang Majapahit biasa juga
dikisahkan. Berbagai cerita tentang Gajah Mada sampai kini pun masih
diulang-ulang. Dalam tradisi dari sebuah desa di Bima, Sumbawa, ada kisah yang
mengatakan bahwa perdana menteri Majapahit yang terkenal ini sesungguhnya
kelahiran desa itu. Di waktu remaja ia
pergi merantau ke Majapahit. Setelah tua ia pulang kampung. Setelah meninggal dan
dikuburkan di desa kelahirannya.
Apakah sesuatu yang aneh
kalau romantisisme masa lalu dijadikan sebagai salah satu landasan ketika hak
dan tatanan serta landasan ideologis dari masyarakat yang diinginkan sedang
diperjuangkan? Apakah romantisisme kesejarahan, yang mengimpikan kembalinya
kelampauan yang dibayangkan sebagai masa gemilang yang telah hilang, adalah
suatu kejanggalan di saat harga diri sebagai bangsa sedang menaik? Apapun mungkin jawabnya, suatu kepastian
dalam pengalaman sejarah tidak mungkin terlupakan—romantisisme sejarah bukan
saja landasan legitimasi perjuangan untuk mendapatkan masa depan yang
diinginkan tetapi adalah pula gambaran dan bahkan idealisme dari suasana sosial
politik bangsa yang diinginkan. Romantisisme sejarah memang biasa mendampingi
hasrat nasionalisme, karena dalam suasana perasaan seperti inilah salah satu landasan dan sekaligus pendorong
semangat perjuangan biasa dipelihara. Bukankah nasionalisme adalah landasan
ideologis yang mencita-citakan terbentuknya sebuah tatanan sosial-politik yang
ideal bagi kesatuan sosial-politik yang telah disebut “bangsa”? Maka begitulah
sejak kesadaran nasionalisme modern telah mulai tumbuh sikap romantik dalam
melihat masa lalu pun menaik pula.
Nasionalisme modern
bertolak dari hasrat politik dan keinginan sosial-kultural untuk menciptakan masyarakat dan negara modern—suatu
situasi yang melampaui tingkat kemakmuran serta ketinggian peradaban dan nilai
corak ikatan kemasyarakatan yang konon pernah dinikmati nenek moyang. Ketika
hasrat politik yang modern ini telah mulai bersemi di hati masyarakat sebangsa
maka visi romantis tentang sejarah bangsa pun semakin dipupuk dan
disebarluaskan. Dalam suasana perasaan dan cita-cita inilah bayangan kebesaran masa lalu menjadi sumber
inspirasi bahkan landasan aspirasi masa depan yang diimpikan dan diperjuangkan.
Nasionalisme memang suatu idealisme yang mencita-citakan terbentuknya
masyarakat-bangsa yang modern yang mempunyai kecenderungan mempunyai visi yang
romantis tentang masa lalu—masa lalu yang belum dinodai oleh kolonialisme.
Bukankah dalam pidato-pembelaannya yang terkenal, Indonesia Menggugat (1930)
Bung Karno membagi sejarah Indonesia
atas tiga zaman? Dengan semangat berapi-api dalam pidato pembelaannya di
hadapan pengadilan kolonial Hindia
Belanda di kota Bandung, tokoh PNI yang terkemuka itu mengatakan “rahasia”
kampanyenya.
Dan
caranya menyuburkan nasionalisme itu? Jalannya menghidupkannya? Jalannya adalah
tiga : Pertama : kami menunjukkan kepada
rakyat, bahwa ia punya hari dulu, hari dulu yang indah;
Kedua
: kami menambah keinsyafan rakyat, bahwa
ia punya hari sekarang, adalah hari sekarang yang gelap;
Ketiga
: kami memperlihatkan kepada rakyat sinarnya hari kemudian yang berseri-seri
dan terang cuaca, beserta cara-caranya mendatamgkan hari kemudian yang penuh
dengan janji-janji itu.
Masa lalu yang
gemilang, masa kini yang gelap gulita, dan masa depan yang penuh harapan? Maka
begitulah perjuangan nasional yang dilancarkannya bukanlah untuk merampas
sesuatu yang tidak pernah dimiliki. Perjuangan nasional adalah pula pergumulan
yang penuh idealisme untuk mendapatkan kembali kejayaan masa lalu yang
dibayangkan pernah dimiliki, betapapun kini kejayaan itu kini telah ditempa
oleh hasrat nasionalisme yang telah diwarnai oleh cita-cita untuk mendapatkan
masa depan yang penuh harapan. Nasionalisme tidak pernah terpisah dari idealisme—baik yang bertolak
dari hari harapan untuk mendapatkan corak dan tatanan masa depan yang
dicita-citakan, maupun yang telah
dipoles oleh romantisisme akan kegemilangan masa lalu yang konon pernah
dimiliki.
Dalam konteks inilah
pula Mr (Meester in de rechten) Mohammad Yamin (1903-1962)— seorang penyair
dan aktivis organisasi kepemudaan di masa remaja, ahli hukum yang aktif dalam
pergerakan kebangsaan setelah dewasa dan sejarawan dengan visi nasionalisme
yang romantis sampai akhir hayat — tanpa ragu-ragu mengatakan bahwa dalam
tinjauan kesejarahan maka Republik Indonesia adalah negara yang ketiga yang
mempersatukan Nusantara. Setelah zaman kebesaran Sriwijaya (abad ke-7-13) telah
mendekati masa akhirnya maka ketika itulah pula kekuatan pemersatu yang baru
menampilkan dirinya. Di saat zaman kebesarannya telah datang, Majapahit
kerajaan yang berpusat di pantai Utara bagian Timur pulau Jawa ini pun pun
menampilkan dirinya bukan saja sebagai kekuasaan politik yang paling dominan di bumi Nusantara
tetapi juga kekuatan pemersatu seluruh wilayah. Bukankah hal-hal ini dikisahkan
sang pujangga kraton Mpu Prapanca dalam
Nagarakertagama sebagai suatu realitas kekinian?
Tetapi dalam gejolak
perjalanan waktu, Majapahit akhirnya mengalami krisis juga. Ketika hal ini
telah terjadi, maka Jawa pun telah memasuki periode baru dalam arus sejarahnya—sebuah kerajaan
Islam telah berdiri di bumi Jawa. Seketika hal itu terjadi maka sejak itu pula hasrat kembali ke zaman
Majapahit menjadi suatu
kemustahilan, betapapun kenangan bahkan
bayangan akan kemegahannya masih didendangkan kisah-kisah tentang kehebatannya
diulang-ulang dalam suasana nostalgia.
Begitulah—jika romantisme sejarah yang dihasilkan Yamin diikuti
terus–maka dengan kejatuhan Majapahit berarti zaman kesatuan Nusantara yang
kedua pun telah pula berakhir. Tetapi
dalam gejolak sejarah yang tiada akhir ini kekuatan sejarah yang telah ditempa oleh dorongan semangat
nasionalisme akhirnya berhasil mendirikan sebuah negara modern-Republik
Indonesia, suatu kesatuan politik nasional telah berdayung ke pantai harapan
yang dicita-citakan.
Jika saja ada atau
tidak adanya catatan yang dipakai sebagai ukuran untuk menentukan tingkat
keberuntungan suatu pusat kekuasaan maka memang harus dikatakan juga bahwa kerajaan
Sriwijaya—sistem kekuasaan yang dikatakan Yamin sebagai kekuatan pemersatu yang
pertama dalam sejarah bangsa-- tidaklah seberuntung Majapahit. Bukankah
kebesaran Majapahit tercatat dan teringat dan bahkan masa akhirnya pun
dinukilkan dalam sebuah ungkapan-- “sirna ilang krta ning bhumi”? Ungkapan ini bukan saja menyatakan tentang telah
datangnya “masa akhir”, tetapi juga berfungsi sebagai angka tahun (1470 Caka atau
1478 Masehi). Tetapi tidak demikian halnya dengan Sriwijaya – dinamika
perjalanan sejarahnya diketahui, tetapi masa awalnya barulah bisa diketahui setelah
didapatkan pemahaman atas simbol historis yang dipancarkan prasastiprasasti
yang ditinggalkannya, sedangkan masa akhirnya lebih didasarkan pada hipotesa
yang bertolak dari pemahaman atas berbagai rangkaian peristiwa yang dialaminya–
serangan dari kerajaan Chola dan pamalayu
yang dilancarkan Kertanagara dari kerajaan Singasari di akhir abad
ke-13. Apalagi menjelang akhir abad ke-14 Sriwijaya, yang memantulkan kesan
enggan mengakui dominasi Majapahit, diserang dan dihancurkan oleh pusat
kekuasaan yang sedang menaik di ujung Timur pulau Jawa ini. Maka konon setelah
mengalami kehancuran yang nyaris total itu, bekas pusat kerajaan Sriwijaya
itupun menjadi tempat berhenti dan bermukim para bajak laut Cina. Sejak
perstiwa itu pula nama Sriwijaya semakin lama semakin terlupakan dan akhirnya
hilang saja dalam ingatan, tetapi kehadiran historisnya enggan untuk lenyap
begitu saja. Maka janganlah heran sampai tahun 1970-an masih saja ada perdebatan
tentang lokasi dari pusat kerajaan Sriwijaya.
Jika lembaran sejarah
hendak dibalik-balik lagi maka tampaklah
betapa di suatu masa kerajaan Sriwijaya tidaklah sekadar sebuah pusat
kekuasaan politik dengan aktivitas perdagangan dan kemaritiman yang tanpa
bandingan di perairan Nusantara. Menurut laporan asing, terutama yang berasal
dari Cina dan India, ibukota Sriwijaya adalah pula salah satu pusat ilmu
pengetahuan tempat para ilmuwan mempelajari secara mendalam ajaran dan filsafat
Budhisme. Peranan Sriwijaya sebagai pusat ilmu pengetahuan inilah yang
dikisahkan I Tsing, seorang pendeta Budha, yang sengaja datang bermukim di
Sriwijaya untuk memperdalam Budhisme sebelum meneruskan studinya ke Nalanda (di
India), pusat pemikiran dan ajaran Budhisme yang terpenting. Tetapi tidak
seperti Majapahit, yang meninggalkan sekian banyak kenangan yang tercatat, Sriwijaya
nyaris tidak meninggalkan naskah yang bisa berkisah tentang dinamika dari
kehidupan politiknya – apalagi tentang romantisme suasana kraton, seperti yang
bisa diceritakan tentang raja-raja Majapahit-- dan juga tidak pula tentang
keluasan wilayah pengaruhnya. Betapapun laporan asing biasa juga mengatakan Sriwijaya sebagai sebuah kerajaan yang pernah
menguasai perairan maritim Nusantara. Mungkin kelangkaan berita ini disebabkan
karena konon, di suatu saat ketika abad
ke-11 telah dimasuki, sumber-sumber Cina memberi kesan bahwa kerajaan maritim yang mula-mula berpusat di
Palembang ini, pindah ke Melayu atau
Jambi. Sejak itu Sriwijaya bercamour aduk dengan nama Melayu atau malah sempat seakan-akan terlupakan. Tetapi
kekaburan historisitas dari dinamika internal yang pernah dialaminya ternyata
semakin memperkuat nilai mitos yang terlekat pada dirinya. Maka bisalah
dipahami juga kalau kemudian sebuah
kerajaan maritim yang berhasil menjadikan dirinya sebagai salah satu pusat.
Trajektori Melanesia
di Indonesia
Jika gambaran
geografis kepulauan Indonesia telah teringat maka apakah yang terbayang lebih
dulu kalau bukan pulau-pulau besar yang saling berdekatan, sedangkan pulau
kecil-kecil tidak jarang terasa seakan-akan saling berjauhan dan bahkan saling
terpencil. Hanya rangkaian apa yang dulu disebut kepulauan Sunda Kecil, tetapi
sekarang telah dinamakan--sesuai dengan anjuran Mohammad Yamin-- Nusa Tenggara,
yang tampak hampir-hampir teratur berjejeran. Ketika gambaran geografis ini
telah dijadikan sebagai wadah dari para penghuninya maka yang segera terbayang ialah terhamparnya
sekian banyak bahasa yang
berbeda-beda—kadang-kadang agak saling berdekatan, tetapi tidak pula jarang
saling mempunyai tingkat keasingan yang tinggi, terutama dalam soal
perbendaharaan kata-kata. Kalau telah begini halnya dalam situasi kebahasaan
maka tentu bisa dibayangkan perbedaan tradisi dan kebiasaan masyarakat lokal,
andaikan berbagai landasan fundamental
kebudayaan tidak terlalu berbeda. Akhirnya mestikah harus diherankan kalau
sebuah pertanyaan sederhana tetapi fundamental tertanyakan juga—hal-hal apakah
yang memungkinkan terjalinnya hubungan dari sekian ratus kesatuan etnis, yang
berdiam di sekian ratus pulau dan mempunyai bahasa sekian ratus pula—sehingga
merasa terikat juga dengan semboyan Bhinneka tunggal ika-- yang berasal sebuah
bahasa tua yang kini jarang atau bahkan tidak dipakai lagi? Pertanyaan ini
bertambah penting karena lebih dari sepertiga penduduk di
kepulauan Indonesia ini termasuk ras
lain. Jika mayoritas suku-bangsa dikatakan
termasuk ras Austronesia, maka
yang lain dan yang lebih kecil,
ialah ras Melanesia—jadi sesungguhnya bahasa dan ciri-ciri biologis
mereka lebih akrab dengan penduduk asli berbagai kepulauan, seperti Solomon
dan Vanuatu dan tentu saja Papua New
Guinea, yang terletak di lautan Pasifik?
Setika pertanyaan ini
telah tertanyakah maka mestikah diherankan kalau tradisi pelayaran dan perdagangan
yang telah berjalan sejak zaman purbakala— setidaknya sejak zaman kerajaan-kerajaan besar telah
mulai meluaskan wilayah penjelajahannya–seperti teringat dengan begitu saja?
Hanya saja jika di zaman purbakala, ketika perpindahan dan penjelajahan tanpa
henti masih seakan-akan mengisi wilayah yang belumpunya penduduk yang tetap,
kini pelayaran semakin memperlihatkan kecenderungan perluasan wilayah yang
dikenal atau pencarian benda dan makanan yang diperlukan. Penjelajahan
pelayaran ini tidak saja memberi pengaruh pada pendatang tetapi juga
meninggalkan kesan bagi yang dikunjungi. Salah satu dampak dari penjelajahan
dan pelayaran ini ialah terjalinya komunikasi. Jika seandainya daerah didatangi
itu memberi kemungkinan untuk memberikan sesuatu yang diinginkan maka bisalah
dibayangkan bahwa ketika arah angin telah sesuai tempat itu akan dikunjungi lagi. Dalam proses
selanjutnya beberapa daerah akan semakin
dikenal sebagai tempat pemberhentian
kapal layar yang populer. Jika prospek perdagangan baik dan arah angin teratur
pula, apalagi jika sang penguasa dan pendukungnya bisa meladeni para pendatang
dengan baik maka bisalah dibayangkan bahwa
dalam perkembangan selanjutnya a tempat kapal berlabuh itu mungkin juga bisa
menjadi pelabuhan dagang yang populer. Apakah akibatnya seandainya
kecenderungan ini berlangsung terus menerus? Memang jika setiap
peristiwa dibanding-bandingkan tampaklah bahwa tidak ada yang sama, tetapi
sebuah pola umum mungkin juga bisa ditemukan.
Bisalah dibayangkan
pelabuhan yang sering dikunjungi itu akan semakin berkembang dan—jika
perbandingan boleh dilakukan—pelabuhan itupun bukan saja akan menjadi salah
satu pusat perdagangan tetapi juga sebuah wilayah tempat terjadinya pertemuan kebudayaan. Salah satu contoh
klasik dalam hal ini—dikatakan klasik karena sudah sangat terkenal – ialah
Malaka, sebuah pusat perdagangan yang sangat terkemuka di abad ke-15 dan awal
abad ke-16. Maka beberapa laporan asing pun sempat juga mengatakan Malaka
sebagai sebuah kota tempat orang berbicara dalam “seribu bahasa”. Dengan kata
lain pelabuhan dagang adalah salah satu pintu utama bagi terjadinya komunikasi
kebudayaan. Ketika sebuah pelabuhan telah bisa bertahan maka sebuah kota pun
telah pula dilahirkan. Masyarakat yang bersifat “campuran” pun mulai pula
mewujudkan dirinya. Seketika hal ini telah terjadi sebuah pintu ke arah semakin
terbukanya komunikasi antar-kebudayaan pun bermula pula. Maka mestikah
diherankan kalau di kota-kota pelabuhan
bahasa Melayu campuran bisa juga menjadi bahasa pergaulan? Apakah suatu
hal yang aneh kalau dalam situasi ini pengaruh agama baru bisa juga memasuki
kesadaran penduduk setempat? Hal inilah yang terjadi ketika Ternate, Tidore dan
lain-lain berkenalan dengan Islam dan dalam suasana ini pula bahasa Melayu
mulai memasuki kehidupan penduduk setempat. Ketika kedua kerajaan ini meluaskan
pengaruh dagang dan politiknya maka bisalah dibayangkan mereka asyik juga
menyebarkan apa yang telah mereka dapatkan dalam proses interaksi kebudayaan.
Kasus Ambon dan Ternate unik juga. Sultan Zainal Abiddin
pergi ke Giri untuk memperdalam pengetahuan agama. Di sinilah ia bertemu dengan
seorang besar dari Tanah Hitu (Ambon). Ketika Sultan Zainal Abdin kembali ke
Ternate iapun menjadikan kerajaannya sebagai sebuah kekuatan Islam dan berhasil
menarik raja-raja kecil di sekitar Ternate, antara lain Gorontalo-Limbotto. Persekutuan ini
menjadi saluran bagi penyebaran Islam di Sulawesi Utara. Sementara itu
dikatakanlah (sebagaimana dikisahkan dalam Hikayat Tanah Hitu) “tatkala perdana
Pati Tuban datang dari tanah Jawa itu, lalu negeri Hitu pun masuk iman kepada
Allah dan Mohammad serta agama Rasulullah saw.
Kasus ini adalah
contoh betapa perdagangan dan pelayaran serta tumbuh kota-kota pantai membawa
dampak datangnya hasrat untuk mengunjungi daerah lain. Dalam suasana ini maka
dua hal bisa terjadi sekaligus –yaitu penyebaran Islam dan pemakaian bahasa
Melayu. Pasangan agama Islam dan bahasa Melayu sejak terjadinya kemunduran dua
kekuasan besar—Majapahit dan Malaka— menjadi yang sangat biasa di wilayah Timur
kepulauan Indonesia. Maka bisalah dikatakan bahwa hubungan dagang-ikatan
keagamaan Islam dan bahasa Melayu Tetapi apakah hal ini sesuatu yang unik.
Ternyata di masa
terjadinya apa yang dikatakan Schrieke
“race with Christianity” hal yang sama bisa dikatakan juga dengan agama
Kristen—bahasa Melayu menjadi saluran dalam penyebaran dan pendalaman agama.
Ketika Fransiscus Xaverius menyebarkan
agama Kristen di pulau Ambon—jadi
di wilayah di sebelah Tanah Hitu – ia telah memakai kitab Injil dalam bahasa
Melayu, hasil terjemahan yang dilakukan di Malaka, yang setelah dikuasai
Portugis sejak tahn 1511 akhirnya jatuh ketangan Belanda pada tahun 1640,
tetapi senantiasa berada di bawah ancaman kekuatan –kekuatan dagang dan militer
pribumi di perairan Selat Malaka dan
Laut Jawa. Konon karena kemampuan orang
Ambon Kristen memakai bahasa Melayu inilah kemudian pemerintah Belanda memakai
mereka dalam pemerintahan dan—tentu saja—militer.
Tetapi sementara itu
dinamika sejarah berjalan terus. Abad ke-17 sampai dengan akhir abad ke-19
adalah zaman yang kritis bagi kepulauan yang kini disebut Indonesia. Ketika
inilah kekuatan –kekuatan kerajaan yang telah menampilkan dirinya sejak
kejatuhan Malaka dan Majapahit —Aceh-Darussalam, Banten, GoaTallo dan bahkan
juga Ternate dan Tidore— harus berhadapan dengan kekuatan Barat, yang semakin
berhasil didominasi Belanda. Masa tiga abad ini boleh juga dikatakan sebagai
periode yang penuh pergolakan. Maka ketika abad ke-19 telah dimasuki hanya
tinggal beberapa kesultanan yang masih tegar menghadapi Belanda, yang telah
meresmikan kehadirannya sebagai sebuah “negara kolonial”. Dalam masa ini
pula Belanda bukan saja berhasil mendirikan kota-kota baru di beberapa wilayah
yang telah dikuasainya, tetapi juga telah mulai menjalankan roda pemerintahan.
Bahkan sejak pertengahan abad ke-19 pemerintah Belanda mendirikan sekolah untuk
keperluan calon-calon pegawai yang akan bisa membantunya dalam pengaturan anak
negeri. Usaha dijalankan Belanda sampai masa akhir kekuasaannya. Tetapi bisalah
dibayangkan bahwa daerah yang terbanyak
mendapat kesempatan belajar—kecuali
dua-tiga kasus-- adalah pula
daerah yang terlama berada di bawah kekuasaan Belanda. Ketika abad ke-20 telah
dimasuki maka seluruh wilayah Nusantara telah bisa dikatakan berada di bawah kekuasaan
Hindia Belanda. Ketika itu di beberapa wilayah masyarakat setempat telah mulai
mengenal kehidupan kota, yang bersifat heterogen dan diskriminatif yang
rasialis.
Bisalah dibayangkan
bahwa betapapun sifat kolonial tak terhindarkan, tetapi kehidupan kota bisa
juga semakin membuka kesempatan untuk berbagai golongan, terlepas dari
perbedaan etnis, agama, dan bahkan tingkat ekonomis, untuk saling berkenalan
bahkan juga saling memahami. Di saat pendidikan keagamaan, yang selalu
dipelihara, telah ditemani oleh pendidikan umum, bisa pulalah dibayangkan bahwa
sekat-sekat yang menghalangi hubungan antar etnis semakin terbuka pula. Kalau
sejak akhir abad 19 beberapa kota di pulau Jawa dan satu dua di Sumatra telah
mengenal surat kabar, maka sejak awal abad 20 beberapa kota lain di luar Jawa
dan Sumatera juga telah mulai mengenal surat kabar dan menyadari apa arti
pertukaran berita dalam kehidupan bermasyarakat. Jika kebudayaan cetak telah
mulai menjadi bagian dalam kehidupan masyarakat maka bukan saja apa yang
terjadi ditempat lain telah mungkin bisa diketahui tetapi juga apa yang
dipikirkan dan direnungkan orang di daerah lain telah mungkin pula diresapi.
Begitulah kehidupan
kota, yang bersifat heterogen dan diskriminatif, bisa memberi kesadaran rasa persamaan
dengan sebagian pendatang dan masyarakat yang berdiam di tempat lain tetapi
juga rasa perbedaan dengan golongan lain, yang berkuasa. Dengan mulai
menyebarna pendidikan—meskipun sebagian besar hanya pada tingkat endah saja –
tetapi telah mulai mengetahui kejadian dan corak pemikiran di tempat lain maka
mestikan diherankan kalau rasa senasib bisa juga berkembang. Kalau hal ini
telah bermula maka proses ke arah berseminya nasionalisme yang melampaui
kesetiaan antara orang sekampung atau bahkan sedaerah dengan warisan kebudayaan
yang sama telah pula mulai bersemi.
Maka ketika kisah
harus ditutup, siapakah yang akan heran jika di saat waktunya telah datang dan matang, rasa kebangsaan Indonesia, yang
konon mulai bersemi di wilayah ras Austronesia, telah pula menjadi milik yang
tak bisa terlepas dari Indonesia bagian Timur, yang termasuk ras Melanesia?
Dikutip dari buku Diaspora
Melanesia di Nusantara.
Agar
Pembaca dapat mengulas tema di atas lebih dalam, kami lampirkan versi luring
(offline) pdf pada link di bawah ini.
0 komentar:
Posting Komentar