![]() |
Sumber gambar: sosiologis.com |
Pembicaraan
tentang agama dari perspektif sosial budaya tetap hangat dari dahulu hingga
sekarang. Meski ada dugaan bahwa relevansi membicarakan agama semakin berkurang
pada masa kini, dugaan itu tampaknya kurang terbukti. Tesis yang dahulu pernah
dipercaya orang bahwa agama yang dahulu dikatakan menjadi inti (core)
dan sentral dalam kehidupan manusia, kini tergeser ke periferi sistem sosial,
tampaknya goyah. Mungkin agama tidak lagi sebagai sentral dalam konteks
kolektif, tetapi agama tetap menjadi basis atau inti kehidupan individual.
Pergeseran yang ditengarai sebagian ahli barangkali hanya berlaku pada rentang
kolektif—individu. Dalam rangka menyambut terbitnya buku yang ditulis Prof. Dr.
M. Ridwan Lubis dan disunting Imam Syaukani, berjudul Sosiologi Agama: Memahami
Perkembangan Agama dalam Interaksi Sosial, saya ingin memusatkan perhatian pada
isu pergeseran agama dalam konteks paradigma yang menjadi jiwa suatu pendekatan
sosial budaya.
Agama Sebagai Kebudayaan
Khususnya
dalam antropologi, agama secara tradisional dipandang sebagai kebudayaan.
Pendekatan ini terkait dengan tujuan antropologi untuk melakukan eksplanasi dan
analisis mengenai agama, sehingga memandang agama sebagai perangkat doktrin
yang datang dari Tuhan tentulah tidak produktif bagi kepentingan analisis
kehidupan masyarakat dan kebudayaan. Kita dapat menelusuri cara pandang ini mulai
dari konsepsi analogi organik Herbert Spencer (1820-1903) yang membawa analogi
biologi ke dalam dunia sosial dan kebudayaan. Kita dapat menyaksikan konstruksi
empat komponen dasar sosial budaya adaptif—yakni kekerabatan, ekonomi, agama,
dan politik—yang hadir secara eksplisit dalam paradigma
struktural-fungsionalisme sebagai analogi biologi dari reproduksi, pencernaan,
darah, dan saraf. Jadi, sebagai salah satu dari empat komponen dasar, agama tak
dapat tidak harus dimasukkan ke dalam suatu sistem analisis ketika kita
mempelajari suatu masyarakat atau kebudayaan. Yaitu Clifford Geertz salah satu
tokoh antropologi yang secara ekspilisit menyatakan, bahwa agama adalah inti
kebudayaan yang menjadi acuan bagi kehidupan manusia, yang menjadi panduan
penjelasan mengenai dari mana manusia berasal, untuk apa ia hidup di dunia, dan
akan ke mana ia pergi setelah meninggal. Tampaknya hanya agama yang dapat
menjelaskan pertanyaan-pertanyaan misteri tersebut, bukan kekerabatan atau
organisasi sosial, ekonomi, atau politik.
Oleh
karena itu, khususnya dalam paradigma strukturalfungsional, kedudukan agama
menjadi sangat penting dalam masyarakat. Dalam berbagai etnograi masa lalu kita
menyaksikan bagaimana agama berperan sebagai pemelihara keteraturan, pengendali
moralitas, wahana pembenaran, dan pemberi sanksi bagi masyarakat. Dalam hal ini
ritual menjadi manifestasi keyakinan agama ke dalam kelakuan dan tindakan,
sehingga pengetahuan, keyakinan, dan nilai-nilai agama yang bersangkutan
menjadi nyata dan operasional. Dengan kata lain, agama dipan dang juga sebagai kekuatan integratif
yang menyatukan secara struktural-kultural unsur-unsur penyusun masyarakat yang
beraneka ragam itu. Secara fungsional agama menyatukan aneka ragam penganut ke
dalam suatu kesatuan sosial untuk menghadapi lingkungan, sehingga agama juga
berfungsi politis. Karya Geertz (1960), Religion of Java, merupakan salah satu
kajian antropologi yang paling sering digunakan sebagai contoh untuk
menjelaskan pendekatan ini.
Empiris
Salah
satu karakter dasar pendekatan sosial budaya mengenai agama yaitu empiris
sebagai basis ontologinya. Agama dilihat “sebagaimana adanya” yang nyata
terwujud dalam kelakuan, praktik-praktik, dan tindakan melalui simbol-simbol,
bukan “sebagaimana seharusnya” yang merupakan perangkat doktrin-doktrin yang
terkandung dalam agama sebagai agama. Peneliti diharuskan terlibat penuh dalam
pengamatan yang intensif, dan pengungkapan secara mendalam pengetahuan dan
pikiran para penganut agama yang bersangkutan, sehingga diperoleh pemahaman
mengenai agama (sebagai kebudayaan) sebagaimana yang mereka ketahui dan
tafsirkan dalam rangka menghadapi kehidupan sehari-hari.
Sebagai
konsekuensi dari karakter empiris ini, pendekatan sosial budaya memandang
keberadaan aneka ragam agama di dunia sebagai analogi dari aneka ragam
kebudayaan. Khususnya dalam pendekatan struktural-fungsionalisme kebudayaan
dipandang berfungsi untuk menghadapi lingkungan, maka realitas keanekaragaman
lingkungan niscaya berdampak terhadap aneka ragam kebudayaan yang merupakan
akibat adaptasi dengan lingkungan yang berbeda-beda itu. Selain itu, secara
internal suatu kebudayaan juga berisikan unsur-unsur lain yang saling berkaitan
dan berfungsi satu sama lain, sehingga agama niscaya selalu berkaitan dan
berfungsi terhadap politik, ekonomi, organisasi sosial, hukum, seni, dan
sebagainya.
Dari Positivisme ke Konstruktivisme Perubahan
Dunia
mengalami perubahan. Ini merupakan pernyataan umum tak terelakkan menjadi kunci
untuk membicarakan perubahan paradigma dalam memandang kebudayaan dan
masyarakat, termasuk cara kita memandang agama sebagai kebudayaan. Banyak orang
mengajukan pertanyaan tersebut, apakah agama masih menjadi inti kebudayaan atau
sudah bergeser ke periferi sehingga agama tidak lagi menjadi penentu kunci
dalam kebudayaan? Banyak orang mengaburkan pengertian perubahan itu sebagai merosotnya
agama, bukan sebagai bergesernya posisi agama dari kedudukannya yang sentral
dalam kolektif ke individu. Dengan kata lain, pergeseran itu terjadi dari
fungsi legitimasi tunggal bagi keseluruhan sistem sosial ke fungsi legitimasi
individual yang variatif. Akan tetapi bagaimana menjelaskan hal ini?
Sebagai
bagian dari kebudayaan—dari lokal hingga global— agama terlibat pula dalam
dinamika kebudayaan tersebut. Posisi manusia sebagai objek dalam sistem sosial
sebagaimana kita pahami dalam paradigma struktural-fungsionalisme menjadikan
posisi peneliti atau ahli dominan dan otoriter. Tokoh dan teorinya menjadi
pedoman utama untuk menjelaskan fonomena sosial yang terjadi di ranah empirik.
Teorilah yang mengontrol realitas. Logika berpikir inilah yang kerap kali juga
disebut positivisme. Paradigma positivisme yang paling menonjol yaitu
kuantitatif yang selain menjadi jiwa metodologi dalam ilmu-ilmu alamiah, juga
dalam ilmu-ilmu sosial tertentu termasuk antropologi, khususnya pada masa lalu
ketika paradigma struktural-fungsionalisme dominan dalam disiplin ini.
Seperti
sudah dikemukakan, pendekatan sosial budaya mengenai agama bergeser pula sesuai
dengan kondisi dunia yang dilanda perubahan yang kian cepat dan intensif.
Berbagai isu berkembang secara mendunia seperti demokrasi, hak asasi manusia,
masyarakat sipil, dan kesetaraan gender yang mendorong maraknya dukungan bagi
perjuangan menyetarakan harkat dan hak-hak orang miskin, kolompok marjinal,
kaum minoritas inferior, dan lain-lain. Cepat atau lambat, langsung atau tidak
langsung, isu dan gerakan itu menggeser posisi manusia semakin menjadi subjek.
Disiplin ilmu sosial yang secara tradisional berbasis empiris mengalami dampak
langsung yang signiikan. Sebagai implikasi, manusia tidak lagi dipandang
sebagai sekadar komponen objektif yang berfungsi mendukung dan melestarikan
sistem sosial dari generasi ke generasi tetapi semakin dipandang sebagai
makhluk yang mampu berpikir dan bertindak relatif bebas demi menentukan arah
dan bentuk kehidupannya. Manusia dilihat sebagai makhluk yang aktif, produktif,
kreatif, dan manipulatif.
Tampaknya
kehidupan manusia masa kini banyak bertumpu dan tergantung pada hasil-hasil
inovasi teknologi yang semakin meningkat dan beragam dalam jumlah maupun
kualitasnya. Untuk sebagian orang hasil-hasil inovasi kebudayaan itu
menghasilkan kemajuan, kenyamanan, dan kualitas kehidupan yang meningkat. Namun
bagi sebagian (besar) orang, kemajuan kebudayaan itu menimbulkan perangkap
kemiskinan yang baru karena terpuruk ke dalam ketergantungan luar biasa pada
teknologi, padahal tidak mampu menghasilkannya sendiri. Jadi, dapat kita
katakan bahwa di balik dimensi demokrasi yang marak tersebut terjadi proses
arus balik ketergantungan baru mulai dari tatanan lokal, nasional, hingga
global. Dengan kata lain, proses perubahan global masa kini dan mendatang
semakin berkarakter materi, dan isu-isu praktis yang digotong oleh
gerakan-gerakan penyetaraan harkat dan hak-hak manusia pada dasarnya juga
berkarakter materialistik, karena tujuan akhirnya yaitu meningkatnya
kesejahteraan ekonomi-sosial yang berjiwa material. Cara pandang yang
memosisikan manusia sebagai subjek yang aktif itulah yang disebut
konstruktivisme dalam ilmu sosial.
Agama
sebagai kebudayaan tak terkecuali. Manusia tidak lagi semata-mata dilihat
sebagai bagian dari kolektif penganut suatu agama yang mengikuti dan memelihara
kelestarian sistem agama, tetapi juga sebagai subjek yang memiliki hak dan
kebebasan untuk mengambil keputusan sendiri. Sebagai bagian dari kebudayaan yang juga berada dalam
kehidupan dunia masa kini yang semakin berkarakter materialistik, interaksi
agama dan politik pun semakin meningkat, agama menjadi instrumen bagi mencapai
tujuan-tujuan politik. Agama dikonstruksi untuk melegitimasi tindakan-tindakan
politik tertentu dalam masyarakat. Konstruksi agama dapat berubah apabila
konteks tujuannya berubah. Agama sebagai bagian dari sistem budaya bergeser
menjadi agama secara kontekstual. Manusia pun beragama dan menggunakan agama
secara kontekstual pula yang sarat dengan kepentingan-kepentingan duniawi.
Sebagaimana
saya kemukakan di atas, dalam antropologi dan sosiologi pergeseran paradigma
dalam memandang agama selalu berbasis empirik. Banyak orang berpendapat, bahwa
karya C. Geertz (1973) The Interpretation of Cultures merupakan salah
satu titik berangkat yang terpenting pergeseran pemikiran menuju
konstruktuvisme itu dalam ilmu-ilmu sosial, khususnya antropologi. Prinsip emik
dalam penelitian kualitatif antropologi merupakan isu metodologi yang menandai
pergeseran yang menjauhi positivisme. Emik yang berarti “memahami
pikiranpikiran warga masyarakat yang kita kaji lebih dahulu” tak lain yaitu
posisi subjek warga masyarakat dalam paradigma kita.
Saya
memandang penting dan menyambut hangat tulisan Prof. Dr. M. Ridwan Lubis yang
disunting Imam Syaukani, yang hadir di hadapan Anda. Sejalan dengan
meningkatnya pemikiran konstruktivisme pada masa kini, banyak pemikiran sosial
budaya yang pada mulanya tersimpan, tersembunyi di balik dominasi teori-teori
Barat seyogianya diungkapkan. Penulis berupaya mengangkat sebagian dari
pemikiran-pemikiran teori sosial budaya yang non-Barat itu, misalnya
pemikiran-pemikiran Ibn Khaldun dari dunia Muslim yang sesungguhnya
sekurangkurangnya setara nilai dan kualitasnya dengan teori-teori besar yang
berasal dari dunia Barat yang selama ini menguasai teksteks sosial budaya di
seluruh dunia. Selain itu, pendapat para sarjana kita juga ditampilkan. Hal ini
membuat buku ini tampil cukup berbeda dari buku-buku lain yang sejenis.
Membedah Agama
Barangkali
tidak ada satu kata yang begitu menyita perhatian banyak kalangan, baik
masyarakat pada umumnya maupun para ilmuwan, kecuali kata “agama”. Kata ini
begitu menggugah rasa ingin tahu banyak kalangan, sebab agama merupakan suatu
fenomena yang sangat kaya sekaligus sangat kompleks. Ia memiliki kandungan
dimensi: ritual, doktrinal, etikal, sosial, dan eksperiensial sekaligus.
Sehingga wacana dimensi normatif dalam agama dan dimensi empirisnya. Untuk
menghindari reduksi semacam itu, agama hendaknya tampil dengan segala
kemajemukannya dan wajahnya yang asli. Dengan kata lain, terlepas bagaimana
agama dideinisikan dan perspektif apa yang digunakan, perbincangan agama dapat
dipastikan selalu merujuk pada dua realitas agama yang tidak dapat dipisahkan,
kecuali untuk kepentingan kategorisasi konseptual. Pertama, realitas yang
bercorak teologis; dan kedua, realitas yang bercorak historis-sosiologis, atau
sebagai suatu fenomena kebudayaan besar (grand culture) tentang agama
dan kehidupan beragama selalu akan muncul baik dalam forum ilmiah maupun
percakapan populer.
Francisco
Budi Hardiman seorang Doktor der Philosophie pada Hochschule fuer
Philosophie, melogikakan agama mempunyai dimensi yang beraneka ragam.
Misalnya, ada dimensi moral, dimensi metaisika, dimensi nilai-nilai, psikologi
sosial, dan politik. Nah, agama dari segi dimensi moralnya tentu memberikan
sumbangan yang besar untuk publik dalam kehidupan bernegara. Tetapi dimensi
politiknya, dengan menjadikan agama sebagai legitimasi untuk menduduki jabatan
tertentu, tidakkah itu mempermiskin agama itu sendiri. Jadi, pemiskinan agama
muncul pada saat agama direduksi pada ideologi. Ini dapat terjadi ketika
sebagian masyarakat gagal mempersandingkan antara dimensi normatif dalam agama
dan dimensi empirisnya. Untuk menghindari reduksi semacam itu, agama hendaknya
tampil dengan segala kemajemukannya dan wajahnya yang asli. Dengan kata lain,
terlepas bagaimana agama dideinisikan dan perspektif apa yang digunakan,
perbincangan agama dapat dipastikan selalu merujuk pada dua realitas agama yang
tidak dapat dipisahkan, kecuali untuk kepentingan kategorisasi konseptual.
Pertama, realitas yang bercorak teologis; dan kedua, realitas yang bercorak
historis-sosiologis, atau sebagai suatu fenomena kebudayaan besar (grand
culture).
Simbiotik-Mutualistik Agama: Antara Normativisme dan
Historisisme
Kedua
realitas agama tersebut meniscayakan adanya hubungan timbal balik
(simbiotik-mutualistik), mengingat kebermaknaan agama selalu diukur dengan
kedua realitas itu. Mircea Eliade dalam hal ini menyatakan, bahwa inti agama
adalah adanya dialektika antara yang sakral dan yang profan. Karena agama
secara fitri dimaksudkan sebagai pegangan (guidance) bagi manusia, maka
agama dengan sendirinya harus memiliki nilai kebenaran absolut. Nilai kebenaran
relatif tidak mungkin dijadikan pegangan, karena hanya akan membawa manusia
pada absurditas. Contoh aktual dapat tercermin pada kurang mampunya
ideologi-ideologi besar (grand ideology) menyangga eksistensi dan
dinamika sejarah kemanusiaan, seperti runtuhnya ideologi komunisme pada
beberapa dasawarsa belakangan ini.
Penjelasan
mendasar runtuhnya ideologi di atas disebabkan ideologi, sebagian atau
seluruhnya, kehilangan dimensi spiritualitas yang secara primordial tidak dapat
dipisahkan dari kehidupan manusia. Sejak mula perumusan ideologi-ideologi
(besar) dunia, seperti Sosialisme, Komunisme, dan Kapitalisme, berangkat dari
paradigma sekularistik Cartesian. Karakteristik paling menonjol dari paradigma Cartesian ini
yaitu dikotomisasi realitas jiwa dan raga, material, dan spiritual. Akibatnya,
ideologi tidak memberikan tempat yang layak terhadap agama sebagai sumber
inspirasi dalam mencandra sejarah dan masa depan umat manusia.
Di
sisi lain manusia sesungguhnya sangat membutuhkan pegangan ontologis yang
kukuh, yang dapat memberikan keamanan bagi perjalanan sejarahnya. Ini dapat
dicapai dengan merujuk pada agama, dalam pengertian dan cakupannya yang
universal dan bersumber dari realitas yang mutlak (ultimate reality).
Karena bersumber dari realitas yang mutlak, maka agama itu sendiri adalah
“problem of ultimate concern,” suatu problem yang mengenai kepentingan mutlak.
Signifikansi
agama sesungguhnya tidak hanya dapat dipandang semata-mata dari dimensi
teologisnya. Betapapun agama bersumber dari Tuhan—karenanya transenden dan
absolutistik—agama lebih banyak difungsikan guna memberikan kesemestaan makna (meaning
universe) kehidupan manusia. Karena itu agama juga bercorak antropologis,
dikarenakan eksistensi primordialistik manusia yang terikat sepenuhnya dengan
agama, sebagai bagian dari dimensi historis-sosiologisnya. Singkat kata, agama
akan selau terlibat dalam dialektika-historis dengan peradaban manusia.
Dalam
kerangka seperti ini, maka tidaklah terlalu berlebihan bila A. Mun`im Muhammad
Khallaf dalam bukunya Agama dalam Perspektif Rasional menyatakan bahwa di
antara masalah besar kehidupan manusia yaitu masalah yang berkaitan dengan
agama. Agama mempunyai posisi yang sangat penting dalam kehidupan manusia,
karena akan memengaruhi proses perkembangan kehidupan manusia terutama dalam
masalah humanistik, moral, etika, dan estetika. Secara makro masalah keagamaan
akan memengaruhi pembentukan pandangan dunia (world views), khususnya
yang berkaitan dengan dimensi ontologis dan ia mempunyai signiikansi sosial
dalam kehidupan manusia.
Dikutip
dari pengantar buku Sosiologi Agama dan sambutan Prof. Achmad Fedyani Saifuddin, Ph.D (Guru Besar Departemen Antropologi Universitas Indonesia).
Agar
Pembaca dapat mengulas tema di atas lebih dalam, kami lampirkan versi luring
(offline) pdf pada link di bawah ini.
0 komentar:
Posting Komentar