![]() |
Sumber gambar: pinterest.co.uk |
Adat
berasal dari kata al-‘adah yang bersinonim dengan kata al-‘urf.
Derivasi kata al-‘urf yang lebih dipakai di masyarakat adalah kata
makruf. Kata makruf sudah diserap ke dalam bahasa Indonesia yang berasal dari
bahasa Arab al-ma’ruf yang berarti; (1) perbuatan baik, jasa, dan (2)
terkenal atau masyhur. Kata al-ma’ruf masih satu akar kata dengan
kata al-‘urf. Al-ma’ruf merupakan antonim kata al-munkar, dan al-nukr
antonim dari kata al-’urf. Dalam ungkapan keagamaan di Indonesia, kita
sering mendengar istilah amar makruf nahi mungkar. Secara etimologi, kata al‘urf
bermakna segala bentukan kebaikan yang disukai oleh setiap manusia. Namun
demikian, al-Zujaj membatasi kebaikan ini dalam bentuk perbuatan saja, tidak
dalam bentuk perkataan, kebudayaan, dan lain sebagainya. Dengan demikian,
al-munkar berarti sesuatu yang suatu bentuk tindakan, perkataan, dan sikap yang
tidak disukai oleh manusia secara umum.
Al-‘urf,
menurut Ibnu Faris, memiliki dua arti dasar; (1) sesuatu yang terus menerus
dilakukan secara turun-temurun; dan (2) kedamain serta ketenangan. Arti dasar
yang pertama, bersinonim dengan kata al-‘adah, namun terdapat sedikit
perbedaan komponen makna. Bila al-‘urf adalah suatu perbuatan yang sudah
dilakukan berkali-kali, sehingga telah menjadi kebiasaan, namun al-‘adah
adalah suatau perbuatan yang dilakukan lebih dari dua kali. Oleh karena itu, al-‘urf
dalam arti dasar yang pertama tepat bila diterjemahkan dengan kata adat dalam
bahasa Indonesia. Menurut Syekh Yasin, yang memiliki julukan musnid al-dunya,
kata al-‘urf sering digunakan dalam arti yang sama dengan al-‘adah.
Menurutnya, al-‘adah adalah suatu kebiasaan yang diterima oleh akal
sehat. Namun demikian, menurut sebagian pakar, al-‘urf dan al-’adah itu
berbeda. Al-‘urf suatu kebiasaan baik yang diterima oleh akal sehat
masyarakat pada umumnya. Kebiasaan baik itu berupa suatu perkataan. Sementara
itu, kebiasan baik yang berupa suatu perbuatan atau tindakan disebut dengan al-‘adah.
Dalam
literatur usul fikih, al-‘urf dijadikan sebagai dasar landasan hukum
dalam menetapkan suatu permasalahan hukum. Namun, al-‘urf termasuk salah
satu landasan hukum yang diperdebatkan ulama Usul Fikih. Secara formal, al-‘urf
diakui sebagai dalil oleh tiga mazhab fikih, yaitu Abu Hanifah, Malik, dan
Ahmad. Sementara itu, al-Syafi’i dalam kitabnya al-Risalah tidak
menuliskan secara formal tentang al-‘urf. Namun demikian, secara praktik
al-Syafi’i juga mengakui al-‘urf merupakan hal penting yang perlu
diterima dalam menentukan sebuah hukum. Hal ini dibuktikan dengan adanya qaul
qadim (pendapat al-Syafi’i ketika di Irak) dan qaul jadid (pendapat
al-Syafi’i ketika di Mesir). Dengan demikian, para fukaha mazhab Syafi’i
beranggapan bahwa perubahan pendapat al-Syafi’i itu dikarenakan pada kondisi
sosial, budaya, tradisi yang berbeda antara dua negara tempat al-Syafi’i
tinggal pada waktu itu.
Pembebasan
kewajiban membayar pajak bagi para petani yang mengalami kegagalan panen
merupakan produk hukum Abu Hanifah yang mengadopsi praktik hukum yang biasa
dilakukan penguasa Persia. Sementara itu, dalam kasus mazhab Maliki, penerapan
al-‘urf terlihat dalam kasus wanita-wanita Arab yang diperbolehkan tidak
menyusui anak mereka. Dalam kasus mazhab Syafi’i, jual beli tanpa mengucapkan
ijab dan kabul (ba’i al-mu’athah) dalam barang yang tidak terlalu mahal
di kalangan masyarakat umum, seperti membeli mie instan, termasuk hal yang
diperbolehkan. Dalam mazhab Hanbali, Ibnu Qudamah berpendapat bahwa kewajiban
memberikan makan sepuluh orang miskin dalam kasus bayar kifarat harus dikembalikan
pada tradisi lokal masyarakat setempat. Selain itu, Ibnu Taimiyah berpendapat
bahwa jarak seseorang dapat melakukan qasar shalat seharusnya dikembalikan pada
ketentuan umum masyarakat Muslim setempat.
Dalam
konteks Indonesia, hukum adat menjadi pengukuh hukum nasional pertama kali
dicetuskan oleh para pemuda pada 1928 dalam kongres pemuda. Pada 1948, Soepomo
resmi menggunakan istilah hukum adat menggantikan isilah adatrecht yang
digunakan sarjana Belanda, Vollenhoven. Selama perjalanan hukum ketatanegaraan
Indonesia di masa-masa Orde Lama, Orde Baru, Orde Reformasi, sampai amandemen
Konstitusi Negara, secara konsisten pemerintahan negara merespon positif
terlaksananya kepastian hukum perspektif hukum adat. Hal ini dibuktikan di
antaranya dengan adanya TAP IX/MPR/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan
Pengelolaan Sumber Daya Alam, yang menghendaki pengakuan, penghormatan, dan
perlin dungan hak masyarakat hukum adat. Tingginya konflik dalam pengelolaan
sumber daya alam yang terjadi di Indonesia disebabkan oleh adanya ketimpangan
penguasaan sumber daya alam antara masyarakat yang menggantungkan hidup dari
ekonomi berbasis sumber daya alam (tanah, hutan, perkebunan, jasa. Lingkungan, dan
lainnya) dan penguasaan oleh sektor bisnis, khususnya sektor industri skala besar,
perkebunan, kehutanan dan pertambangan dan penguasaan oleh Negara yang masih
menegasi adanya hak-hak masyarakat adat.
Dalam
mamangan (peribahasa Minang kabau), kesetian pada adat diungkapkan dengan
hiduik dikanduang adik, mati dikanduang tanah (hidup dikandung adat, mati
dikandung tanah). Peribahasa ini mengandung makna bahwa antara hidup dan mati
mereka sudah tahu tempatnya dan tidak akan ada pilihan lain. Peribahasa ini
digunakan sebagai perlawanan terhadap penjajah Belanda yang dapat mengalahkan
masyarakat Minangkabau dalam pepe rangan, namun tidak dapat mengalahkan adat
Minangkabau yang mengakar. Dalam tradisi perkawinan di Minangkabau, terdapat
peribahasa “awak sama awak”. Artinya, perkawinan yang ideal menurut adat
Minangkabau adalah perkawinan antara keluarga dekat, seperti perkawinan antara
anak dan kemenakan. Dalam konteks masyarakat Minangkabau tertentu, bahkan
terdapat larangan keras menikah dengan orang yang bukan berasal dari nagari
mereka.
Dikutip
dari Buku Ensiklopedi Islam Nusantara Edisi Budaya.
Agar
Pembaca dapat mengulas tema di atas lebih dalam, kami lampirkan versi luring
(offline) pdf pada link di bawah ini.
0 komentar:
Posting Komentar