![]() |
Sumber gambar: uloom.id |
Buku
“Tafsir Al-Mishbah Dalam Sorotan” yang ditulis oleh Saudara Dr. Afrizal Nur,
MA. menurut penulisnya “awalnya adalah disertasi di Universitas Kebangsaan
Malaysia dan sudah diuji secara ilmiah.“ Namun, berbagai sorotan yang
dikemukakan oleh penulis kesemuanya negatif, baik kandungan sorotan itu sendiri
maupun sorotannya terhadap penulis Tafsir Al-Misbah, Prof Dr. M. Quraish Shihab.
Tulisan
tersebut menuai kritik dari berbagai pihak. Tidak sedikit yang menyoalkannya
baik dari sisi metodologi ataupun substansi. Salah satu tokoh kaliber yang
mengkritisinya adalah Dr. Muchlis M. Hanafi, Sekjend Organisasi Ikatan Alumni
Al-Azhar Indonesia (OIAAI). Di mana ketua OIAAI ini adalah Dr. TGB. H. Muhammad
Zainul Majdi, M.A., mantan gubernur Nusa Tenggara Barat (2008-2018), sekaligus
mengenyam pendidikannya sejak S1 hingga S3 bidang Tafsir Alquran di Universitas
Al-Azhar, Kairo Mesir.
Kritiksasi Muchlis M. Hanafi
Sebagaimana
kita ketahui bersama, Muchlis M. Hanafi merupakan doktor bidang Tafsir Alquran,
alumni Universitas Al-Azhar, Kairo Mesir. Sehari-hari ia bekerja di Pusat Studi
AlQur’an (PSQ) bersama Prof. Dr. M. Quraish Shihab. Beberapa waktu yang lalu beliau
dihubungi oleh Penerbit AlKautsar Jakarta untuk membedah buku yang berjudul Tafsir
Al-Mishbah dalam Sorotan: Kritik terhadap Karya Tafsir M. Quraish Shihab,
sebuah buku karya Dr. Afrizal Nur, MA sebagai hasil “rombakan” dari Tesis Ph.D
tahun 2013 di Jurusan Al-Qur’an dan Sunah di bawah penyeliaan Prof. Dr. Najib
bin Abdul Kadir, yang bertajuk Kajian Analitikal Terhadap Pengaruh Negatif
dalam Tafsir Al-Mishbah … (h. 212). Akan tetapi, saat itu Dr. Muchlis
berhalangan hadir karena satu dan lain hal. Selain itu, hemat beliau,
memberikan catatan dalam bentuk tertulis terhadap buku tersebut lebih baik
daripada mengupasnya di ruang publik yang belum tentu audiens bisa memahami
persoalan secara utuh karena durasi yang terbatas.
Oleh
karena itu, setelah membaca buku tersebut secara saksama, beliau tuliskan surat
ini dengan lampiran catatan untuk buku tersebut. Dalam surat ini beliau
tuangkan kritikannya secara akademis terhadap buku tersebut.
Sebagai
sebuah “rombakan” dari disertasi, tentu substansi karya ini telah melalui
proses akademik berupa bimbingan dan ujian disertasi. Sampai-sampai, Ustaz
Abdul Shomad (UAS) yang sangat popular itu dalam endorsementnya
mengatakan, “Buku ini amat sangat mendidik. Isinya tidak diragukan karena
disertasi doktor: ilmiah, tidak menghujat, tidak caci maki, murni ilmiah,
keilmuan” (cover belakang buku). Dr. Muchlis tidak tahu, apakah UAS sudah
membaca betul buku ini, huruf demi huruf, bab demi bab, seperti yang beliau
lakukan atau belum. Sebab, beliau mempunyai kesan yang berbeda ketika membaca
karya tersebut. Inilah yang ingin beliau sampaikan dalam catatan berikut.
Catatan
tersebut beliau tuangkan secara ringkas dalam surat ini dan secara panjang
lebar dalam lampiran. Sebelum itu, beliau perlu sampaikan dua hal. Pertama,
catatan tersebut bukan sebagai pembelaan terhadap Prof. M. Quraish Shihab (MQS)
karena beliau adalah murid dan bekerja bersamanya. MQS tidak memerlukan
pembelaan dan memang tidak perlu dibela. Karya-karyanya yang berjumlah puluhan,
bahkan ratusan, dan murid-murid beliau yang tersebar di mana-mana cukup menjadi
saksi bahwa Prof. Quraish adalah sosok yang mumpuni di bidang kajian tafsir dan
ilmu-ilmu AlQur’an. Tentu, tanpa menutup kemungkinan beliau juga bisa salah.
Kedua, beliau juga menyampaikan dalam catatan ini, bila ada kata-kata yang
kurang berkenan, mohon dimaafkan. Terkadang, ungkapan yang terkesan keras tidak
bisa dihindari dalam tradisi ulama dulu ketika berpolemik melalui tulisan. Akan
tetapi, seperti diajarkan oleh para ulama kita, “al-khilaf fi al-ra’y la yufsid
fil wudd qadhiyyah.”
Secara
umum, catatan untuk karya Afrizal beliau bagi dalam dua bagian. Pertama,
terkait metodologi. Kedua, terkait substansi. Dari sisi metodologi, ada
beberapa poin yang menjadi catatan beliau:
Kritik Metodologi
Pertama,
Buku Afrizal “Tafsir Al-Mishbah dalam Sorotan” bersumber dari tesis Ph.D yang
berjudul, “Kajian Analitikal Terhadap Pengaruh Negatif dalam Tafsir
Al-Mishbah”. Dalam pengantar buku tidak disebutkan langkah-langkah penelitian
yang Afrizal lakukan, seperti identifikasi, rumusan, dan batasan masalah;
metode penelitian, teknik pengumpulan dan ana lisis data, dan lainnya. Akan
tetapi, dengan membaca buku tersebut, beliau bisa menduga ada persoalan
mendasar di situ. Misalnya, variabel “pengaruh negatif”; pengaruh terhadap
siapa dan bagaimana Afrizal mengukur variabel tersebut? Siapa yang pernah
melakukan penelitian tentang pengaruh Tafsir Al-Misbah sehingga Afrizal
berkesimpulan ada “pengaruh negatif”, tidak ada data yang beliau temukan di
buku ini, sehingga bisa beliau katakan itu hanya khayalan dan ilusinya .
Kedua,
Metode yang Afrizal gunakan adalah metode kualitatif dengan pendekatan
deskriptifanalitis. Pertanyaannya, apakah cukup untuk mendeskripsikan dan
menganalisis pengaruh negatif dalam Tafsir Al-Mishbah dengan hanya membatasi
pada lima sumber yang Afrizal gunakan, yaitu tafsir karya Ibnu Katsir, Syekh
Abdurrahman al-Sa‘di, Syekh Abu Bakar al-Jaza’iri, M. Ali alShabuni, dan Buya
Hamka (h. 86)? Atas dasar apa Afrizal membatasi diri pada yang lima itu? Dari
sini muncul kekeliruan ketika di banyak tempat Afrizal berkesimpulan, sebagai
contoh, “Tidak ada al-Shabuni, al-Sa‘di, dan al-Jaza’iri menafsirkan orang
mukmin pada ayat ini dengan orangorang khusus atau orang-orang pilihan” (h. 165,
lihat juga h. 100, dll.). Afrizal menilai kesalahan Prof Quraish dengan cara
membandingkannya dengan ulama rujukan Afrizal, dan kalau berbeda dengan ulama
itu atau tidak ada dalam karya mereka, dia anggap tafsiran Prof. Quraish salah.
Al-haqq lâ yu‘rafu bi al-rijâl. Betapa banyak ulama-ulama tafsir yang Afrizal
bisa rujuk untuk memahami keragaman tafsir. Ini sama halnya dia menggunakan
kaca mata renang untuk melihat dan menganalisis mikroba yang ada pada makhluk
hidup, atau menggunakan kaca mata kuda untuk melihat dunia yang teramat luas.
Ketiga, Beliau
menemukan banyak sekali kerancuan dalam alur pikir Afrizal, sehingga
kesimpulannya keliru. Dalam ilmu mantiq (logika), apalagi dalam
sebuah karya ilmiah disertasi, kesalahankesalahan dalam berpikir pada saat menyusun
premis-premisnya maupun menarik kesimpulan haruslah dihindari. Ada beberapa
faktor yang menyebabkan kesalahan dalam berpikir, antara lain,
Satu, Fallacy of hasty generalization
(kekeliruan karena membuat generalisasi dan kesimpulan yang terburu-buru).
Kekeliruan berpikir karena serampangan membuat generalisasi, yaitu mengambil
kesimpulan umum dari kasus individual yang terlampau sedikit, sehingga
kesimpulan yang ditarik melampaui batas lingkungannya, seperti: Dia orang
Islam, mengapa membunuh? Kalau begitu, orang Islam memang jahat. Ini bisa
dilihat dari penilaian Afrizal: Prof. Quraish seorang mufasir, mengapa mengutip
dari orang Syiah? Kalau begitu Prof. Quraish itu Syiah (h. 86–87). Sangat
berlebihan ketika Afrizal mengatakan, “Pengutipannya dari mufasir Syiah ini
(Thabathaba‘i) selalu kita temukan di setiap halaman Tafsir AlMishbah” (h. 85).
Atas dasar apa Antum berkesimpulan dengan kata “selalu” dan “di setiap halaman”?
Apakah benar demikian faktanya? Atau, karena Prof. Quraish menggunakan rujukan
dari berbagai kalangan, termasuk Syi’ah serta orientalis dan sarjana Barat,
lalu Afrizal berkesimpulan bahwa “Prof. Quraish adalah mufasir yang menggunakan
teori filsafat eklektik” atau “Prof. Quraish suka berubah-ubah dalam pemikiran
dan penafsiran atau unpredictable”, seperti tulisan Afrizal pada penutup buku
ini (h. 207). Ketergesaan Afrizal dalam menyimpulkan yang berakhir salah
memahami pendapat Prof. Quraish terlihat contohnya ketika Afrizal membahas
persoalan jilbab adalah persoalan budaya (h. 152).
Dua, Fallacy of forced hypothesis
(kekeliruan karena memaksakan praduga). Kekeliruan berpikir karena menetapkan
kebenaran suatu dugaan, seperti tuduhan bahwa Prof. Quraish adalah penganut
Syi’ah, beraliran kiri (h. 102–103), liberal dan sesat, dengan mengutip fatwa
dan kriteria sesat menurut MUI (h. 88, 117). Obsesi Afrizal untuk menganggap
Prof. Quraish aneh, nyleneh, salah, dan syi’ah terlihat sekali. Padahal,
argumen yang Afrizal kemukakan rapuh seperti akan beliau jelaskan dalam
lampiran. Beliau khawatir ini hanya menjadi fitnah terhadap Prof. Quraish,
fitnah yang lahir dari fanatisme terhadap pandangan tertentu; suatu hal yang
tidak boleh terjadi dalam sebuah karya ilmiah.
Tiga, Fallacy of appealing to authority
(kekeliruan karena mendasarkan pada otoritas). Kekeliruan berpikir karena
mendasarkan diri pada kewibawaan atau kehormatan seseorang, tetapi dipergunakan
untuk permasalahan di luar otoritas ahli tersebut. AlQur’an adalah kalamullah
yang tidak terbatas, sedangkan tafsir adalah upaya memahami kalam tersebut
berdasarkan kemampuan manusia, sehingga hasilnya bisa berbeda antara satu
manusia (baca: mufasir) dengan lainnya. KalamNya tidak terbatas, sedangkan
pemahaman manusia terbatas. Mengapa Afrizal hanya berpegang pada segelintir
mufasir, meskipun dinilai alim, untuk memahami kebenaran maksud firman Allah.
Seakan-akan Afrizal berkeyakinan bahwa kalau suatu tafsiran tidak ada dalam
Tafsir Ibnu Kasir, al-Sa‘di, al-Jaza’iri, dan Ali al-Shabuni, tafsiran itu
salah. Dalam kaidah tafsir, al-ma‘ânî al-muhtamalah murâdah; terbuka
peluang keragaman pemahaman. Prinsip i‘rif al-haqq ta‘rif ahlih, al-haqq lâ
yu‘rafu bi al-rijâl, dan al-hikmah dhâllah al-mu’min annâ wajadaha fa
huwa ahaqq bihâ, seharusnya dipedomani dalam mencari kebenaran.
Empat, Fallacy of oversimplification
(kekeliruan karena alasan terlalu sederhana). Ini adalah kekeliruan berpikir
karena berargumentasi dengan alasan yang tidak kuat atau tidak cukup bukti,
atau kurangnya informasi yang Afrizal miliki (naqs al-ma‘lûmât). Ini
bisa dilihat dalam rincian lampiran surat ini.
Kritik Substansi
Dari
segi substansi, beliau mendapat kesan Afrizal sering sekali mengabaikan amânah
‘ilmiyyah yang menjadi prinsip etika penulisan karya ilmiah. Secara sederhana,
amânah ‘ilmiyyah dimaksud adalah yang dijelaskan para ulama dengan rumusan:
إن
كنت ناقلا فالصحة # وإن كنت مدعيا فالدليل
Kalau Anda mengutip, kutiplah dengan benar. Kalau Anda
mengklaim sesuatu, datangkanlah argumennya
Sering
beliau temukan Afrizal mengutip pandangan Prof. Quraish dalam Tafsir Al-Misbah
secara tidak utuh. Sesuatu yang dikutip oleh Prof. Quraish dari pemikir lain
justru Afrizal anggap sebagai pendapat Prof. Quraish. Padahal, beliau sendiri
menyampaikan bantahannya, tetapi Afrizal abaikan bantahan tersebut (lihat
kritik Afrizal soal: Hukum Qisas Boleh Diganti dengan Hukuman Penjara, h. 130;
Selain Dagingnya, Babi Halal, h. 140; Hukum Potong Tangan Dapat Diganti Dengan
Penjara, h. 146; Ali bin Abi Thalib adalah orang pertama Pengganti Rasulullah
Saw., h. 161, dll.). Kutipan yang tidak utuh, apalagi hanya untuk memperturuti
selera mencari kesalahan, adalah sikap yang menyalahi amanah ilmiah. Jika Afrizal
berusaha memenuhi obsesi mencari kesalahan dengan mengabaikan halhal yang
prinsip, Afrizal telah “menzalimi” Prof. Quraish dengan menisbahkan sesuatu
tidak pada tempatnya. Lupakah Afrizal pada pesan AlQur’an, “Jangan sampai
kebencian atau ketidaksukaan kita terhadap seseorang membuat kita berlaku tidak
adil kepadanya?
Dikutip
dari Pengantar Surat Terbuka untuk Penulis Buku Tafsir al-Misbah Dalam Sorotan
karya Dr. Muchlis M. Hanafi, MA.
Agar
Pembaca dapat mengulas tema di atas lebih dalam, kami lampirkan versi luring
(offline) pdf pada link di bawah ini.
0 komentar:
Posting Komentar