![]() |
Sumber gambar: kissfmmedan.com |
Ketika mendengar Leiden, apa yang anda bayangkan tentang Leiden University, Belanda? Ya, Leiden memang dikenal sebagai icon kampus tertua di Belanda. Outputnya yang kita kenal adalah salah satunya Snouck Hurgronje yang dulu meneliti tentang Islam di Nusantara saat masa penjajahan, dan masih banyak lainnya. Sebagai kampus tertua dan kampus pencetak "peneliti" ulung, Leiden memang dikenal dengan etnografinya, sebuah metodologi penelitian unggulan mereka.
Menjamurnya etnografi di hampir seluruh Belanda, membuat calon mahasiswanya wajib mengenyam pendidikan khusus/ workshop tentang metode satu ini. Buku yang ada di perpustakaan terlalu teoritis dan sulit dipahami. Tidak banyak peneliti Belanda yang menuliskan pengalaman empirisnya ketika di lapangan. Hal ini cukup memeras otak dan keringat pembacanya utamanya pembaca outsider. Nah, ada satu buku khusus karya mahasiswa Indonesia yang menempuh pendidikan doktoral di Leiden, mereka menuliskannya dalam bentuk esai-esai empiris, renyah dibaca dan dipahami, bahkan diselingi joke-joke sehingga membuat pembacanya terhibur dan senyum-senyum sendiri.
Buku
ini bermula dari sesuatu yang sangat sederhana, keinginan untuk merangkum
catatan-catatan lapangan dari penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa
Indonesia yang sedang menempuh program doktoral di Universitas Leiden. Ada
semacam mitos yang telah sering didengar bahwa belajar di Belanda berarti siap
bertransformasi menjadi seorang antropolog. Tak lain karena etnografi memiliki
akar yang kuat di negeri kincir angin ini, yang menjadi ciri khas budaya akademik
di sini. Maka seorang mahasiswa, apapun latar belakang disiplin ilmunya saat
baru tiba di Belanda, mau tidak mau harus mempelajari metode ini. Terlebih jika
dia datang ke Universitas Leiden, kampus tertua di Belanda, yang telah melahirkan
tokoh-tokoh besar dalam antropologi, seperti ahli studi keislaman, Snouck
Hurgronje, yang pernah menjabat sebagai Rektor Universitas Leiden sampai dengan
pakar studi hukum, Cornelis van Vollenhoven, yang kita kenal sebagai perintis
kajian hukum adat.
Apa
yang tampaknya hanya mitos itu menjelma menjadi kenyataan bagi kebanyakan
mahasiswa. Pada tahun pertama masa training sebagai mahasiswa doktoral
di Leiden, yang berisi penyempurnaan proposal disertasi, biasanya mahasiswa dan
pembimbing menyepakati untuk menggunakan etnografi sebagai metode penelitian.
Riset akan meliputi satu tahun studi lapangan, dari total empat tahun masa
studi yang direncanakan. Namun di situlah masalahnya. Tidak semua mahasiswa—dengan
latar belakang pendidikan yang beragam—tahu apa itu etnografi.
Pada
situasi seperti ini, kami merasakan kebutuhan akan adanya semacam buku tentang
metode ini tetapi dalam bentuk lebih praktis dan sederhana. Alasannya
sederhana: buku-buku yang ditemukan di perpustakaan Universitas Leiden kebanyakan
sangat teoretik, yang merupakan ciri khas buku metodologi riset pada umumnya.
Kami membayangkan andai saja para mahasiswa Leiden terdahulu ada yang pernah
menuliskan pengalaman penelitian lapangannya, tentu akan sangat mudah dan
menarik untuk diikuti. Sayangnya harapan kami ini tidak terjawab. Kisah dari
para mahasiswa yang lebih senior biasanya hanya dituturkan secara lisan dan
tidak sistematis. Atau kami yang belum mendapatkan buku tersebut melalui pencarian
di perpustakaan Universitas Leiden yang sangat banyak koleksinya itu. Siapa
tahu.
Beberapa
kelas keterampilan penelitian yang disediakan universitas juga rata-rata sudah
berada dan dipersiapkan untuk kelas berpengalaman. Keadaan ini bisa dimengerti
mengingat Universitas Leiden menganut sistem Ph.D by research, yang artinya
mahasiswa doktoral memang tidak ada kewajiban mengikuti kuliah. Sebenarnya ada
juga kelas lain berupa workshop proposal disertasi. Di sana kami belajar
tentang bagaimana penelitian lapangan seharusnya dilakukan dan perspektif apa
yang mesti dimiliki seorang antropolog.
Berangkat
dari latar belakang itu, pembicaraan-pembicaraan dilakukan dengan satu dua
mahasiswa di Leiden. Kegelisahan seperti di atas ternyata juga dihadapi oleh
beberapa teman lainnya dengan tingkat kesulitan dan cara mengatasi persoalan
yang berbeda, tentu saja. Namun untuk mewujudkan kebutuhan tersebut menjadi
tulisan-tulisan seperti yang ada dalam buku ini ternyata memerlukan waktu dan
tahapan yang tidak mudah. Kesibukan penulisan disertasi, urusan pribadi dan
keluarga, hingga keharusan mengikuti format penulisan yang diharapkan oleh
editor memberi tambahan beban kepada para penulis untuk dapat segera mewujudkan
buku ini.
Sampai
akhirnya pada sekitar musim gugur 2017, Margreet Van Till, koordinator program
kami, meminta kami melakukan semacam kegiatan untuk menunjukkan keberadaan
mahasiswa Indonesia di Leiden. Ide Margreet ini disampaikan kepada dua orang
kawan, Julia dan Nurenzia, yang ditunjuk sebagai koordinator kegiatan. Usulan
Margreet membuat Julia teringat kembali rencana penyusunan buku ini. Maka
diajukanlah penyusunan buku ini sebagai salah satu usulan kegiatan. Bedanya,
etnografi di sini tidak lagi hanya untuk kajian media, tetapi meliputi agama,
bahasa, seni, sastra, buruh, hukum dll. Proyek ini juga akan melibatkan seluruh
mahasiswa doktoral di Leiden yang melakukan riset di bidang sosial dan budaya.
Margreet bukan hanya menyetujui tetapi juga sangat antusias dengan ide ini. Dia
bahkan siap mengupayakan pendanaannya. Lebih dari itu, teman-teman mahasiswa di
Leiden, baik yang menempuh studi di fakultas humaniora, fakultas ilmu sosial,
fakultas hukum, atau pun yang berada di bawah naungan KITLV juga antusias.
Tetap
saja bekal utama kami sebagai editor hanyalah semangat. Terutama bagi
kawan-kawan yang sudah di masa penghujung studi mereka dengan ancaman habisnya
beasiswa. Kami mesti pandai-pandai membagi waktu antara menulis proyek kami
sendiri dan mengurus penyuntingan buku ini. Namun semangat saja tidak cukup,
karena ia harus juga diiringi dengan kesabaran. Terutama untuk tugas “maha
berat”: menagih tulisan kawan sendiri. Ini adalah sebuah proyek “keroyokan”
yang melibatkan puluhan orang. Masing-masing kawan memiliki kecepatan menulis
yang berbeda-beda. Tim editor tidak meragukan bahwa semua kawan memiliki
kemampuan untuk menuliskan kembali pengalaman risetnya. Namun, tak semuanya
memiliki waktu. Selain deadline dan hambatan-hambatan non-teknis lain
seperti pada umumnya di jumpai pada kerja penulisan, sebagian kawan juga justru
tengah berada di lapangan di Indonesia.
Sebagai
pembaca pertama, rata-rata kami di tim editor merasa sangat beruntung. Kami
mendapat kesempatan untuk membaca kisah-kisah menarik dan luar biasa yang
diberikan oleh para kontributor buku ini. Pada setiap tulisan itu, kami
mendapati penuturan yang jujur tentang pengalaman penelitiannya. Bukan hanya
berisi hal-hal teknis penelitian seperti bagaimana wawancara atau observasi
dilakukan, tetapi juga kendala-kendala yang mereka jumpai selama penelitian
dari mulai persiapan penelitian hingga turun ke lapangan, hingga refleksi
temuan penelitian. Dalam baris demi barisnya kami merasakan semangat,
kegembiraan, kesedihan, dan juga ketabahan kawan-kawan sebagai peneliti, dan
lebih dari itu, sebagai mahasiswa doktoral yang tengah berjuang menyelesaikan
studinya. Kisah yang ternyata tak jauh berbeda satu dengan yang lain.
Pengalaman itu dituturkan dengan cara yang begitu personal, seakan-akan seperti
menuangkan unek-unek di buku harian dengan hanya disaksikan oleh diri sendiri
dan Tuhan. Sehingga meskipun bertahun-tahun berteman dengan mereka, berbagi
kantor, apartemen, dan sering makan minum bersama, tak pernah kami mendengarkan
penuturan sedalam itu. Pengalaman itu hanya mungkin terungkap saat seseorang
meneliti relung batinnya sendiri tentang perjalanan hidupnya sebagai seorang
anak manusia, yang pada tahap ini sedang menjalani peran sebagai mahasiswa
doktoral.
Renyah Dibaca dan Dipahami
Inilah
keistimewaan buku ini. Ia tidak berisi teori yang melangit tentang apa itu
etnografi. Tidak pula berisi daftar hal-hal yang harus dilakukan oleh seorang
antropolog saat hendak terjun ke lapangan. Ia tidak berkisah tentang “definisi”
istilah dalam riset etnografi seperti apa itu “subjek penelitian”, “wawancara
mendalam”, “pengamatan terlibat” dsb. Tidak pula berisi kutipan para pakar yang
mengisahkan kepintaran dan kehebatan mereka. Buku ini jauh dari hal-hal yang
sudah banyak kita jumpai dalam buku metode penelitian lainnya. Namun buku ini
berisi tulisan yang berkeringat, berdarah, dan berair mata hasil endap an kerja
selama bertahun-tahun. Ia berisi kisah yang dituturkan dengan kejujuran dan
kerendahan hati, dan tak jarang agak terlalu jujur, tentang betapa dalam kerja
riset ini kita akan banyak terbentur dengan hambatan dan kesulitan. Dan bahkan
diha dapkan pada kegagalan bertubi-tubi.
Mereka
yang belajar di Leiden dan melakukan riset etnografi mengerti bahwa perombakan
proposal penelitian merupakan suatu keniscayaan. Perubahan itu tidak hanya
karena pada tahun pertama setiap mahasiswa diharuskan mempertajam risetnya,
tetapi bisa juga terjadi setelah seorang peneliti terjun ke lapangan.
Menghadirkan Makna Etnografi secara Luas
Lebih
dari sekadar memoar tentang metode penelitian, buku ini adalah kisah perjuangan
anak manusia yang sedang berjuang membentuk takdirnya. Selanjutnya, lebih dari
sekadar memoar riset etnografi, buku ini adalah juga kisah persahabatan di antara
mahasiswa yang tengah menempuh studi di Leiden. Jika kita percaya ungkapan
Latin yang kurang lebih berbunyi: “Yang terucap akan lenyap, yang tertulis akan
abadi,” maka buku ini adalah artefak yang mengabadikan persahabatan itu. Dan
adakah persahabatan yang lebih mendalam selain persahabatan di antara
sekumpulan anak muda yang menulis bersama-sama dan mengisahkan perjalanan
hidupnya?
Sasaran
pertama buku ini adalah para calon mahasiswa yang hendak menempuh studi
doktoral di Leiden, meskipun juga tidak menutup kemungkinan dibaca oleh
mahasiswa master terutama yang menjadikan riset sebagai syarat kelulusannya.
Dengan adanya buku ini, kami membayangkan di tahun-tahun mendatang, saat
seorang mahasiswa baru tiba di sini dan bertanya-tanya tradisi riset seperti
apa yang ada di kampus tertua di Belanda ini, dia akan menemukan buku ini.
Telah ada ratusan atau mungkin ribuan mahasiswa doktoral dari Indonesia datang
ke sini sejak masa Hoessein Djajadiningrat pada 1913. Dan kelak, masih akan ada
ratusan atau ribuan mahasiswa lainnya yang akan tiba. Karena penulisnya adalah
mahasiswa Leiden, maka dengan sendirinya budaya akademik di Leiden terpapar
kuat di sini. Buku ini dengan sangat detail memaparkan tidak hanya pengalaman
riset etnografi para penulisnya, namun juga pengalaman belajar dari para
mahasiswa doktoral di Leiden. Dari mulai metode evaluasi mahasiswa hingga
dinamika hubungan dengan supervisor.
Namun,
meskipun Leiden adalah kampus tertua di Belanda, etnografi jelas bukan hanya
monopoli Universitas Leiden. Metode ini akrab bagi hampir semua kampus di
Belanda. Dari teman-teman yang belajar di Universitas Amsterdam kami tahu bahwa
mereka juga menjadikan metode ini sebagai metode riset utamanya. Kisah serupa
juga dapat dijumpai dari temanteman di Tillburg, Nijmegen, Utrecht, dan
Wageningen. Bahkan ada cerita menarik seorang kawan yang belajar ekonomi di
Maastricht dan menggunakan survei sebagai metode utama nya, dia tetap
diharuskan memberikan sentuhan etnografi pada pemaparan hasil risetnya. Maka
dapat dikatakan bahwa etnografi merupakan sebuah tradisi riset yang cukup kuat
di Belanda dan telah identik dengan negeri sejuta tulip ini. Sayangnya, belum
pernah ada mahasiswa dari kampus mana pun yang menulis memoar seperti yang
ditulis dalam buku ini. Maka, sasaran buku ini tidak hanya para calon mahasiswa
yang hendak belajar di Leiden tetapi juga kampus Belanda pada umumnya yang
hingga kini telah puluhan ribu jumlahnya. Dan mungkin masih ada puluhan ribu
lainnya yang akan tiba di sini kelak.
Namun
demikian, buku ini tentu saja tidak hanya ditujukan bagi para mahasiswa atau
calon mahasiswa di Belanda, tetapi juga mahasiswa pada umumnya serta siapa saja
yang tertarik belajar tentang metode etnografi. Dikemas dengan gaya bercerita
yang menarik, kami yakin buku ini dapat dibaca siapa saja. Mahasiswa S1 yang
ingin mengenal metode etnografi atau pun metode riset kualitatif pada umumnya
perlu membacanya. Kami sering berdiskusi dan membayangkan bahwa buku ini kelak
akan menjadi salah satu buku wajib pada kelas-kelas metode penelitian, yang
tidak hanya akan mengajari mahasiswa tentang teknik riset tetapi juga mengajari
mereka untuk mencintai akitivitas penelitian itu sendiri. Para kontributor buku
ini hampir semuanya adalah dosen. Mereka berasal dan mengabdi di pulau-pulau
yang berbeda di Indonesia. Tempat mengajar mereka merentang dari Sumatra, Jawa,
Kalimantan, hingga Kupang. Ketika mereka pulang dengan membawa buku ini,
diharapkan ia dapat menjadi rujukan yang berguna tentang bagaimana membumikan
etnografi dalam kegiatan penelitian di seluruh penjuru Nusantara.
Bagi
pembaca secara luas, buku ini juga dapat menjadi pintu masuk untuk mengikuti
isu sosial-politik terbaru di Indo nesia. Selain berisi refleksi etnografis, ia
juga berisi refleksi yang khas Leiden tentang bidang kajian yang menjadi minat
masingmasing penulisnya. Kami juga berharap buku ini dapat menarik perhatian
pembaca dari beragam latar belakang, bah kan yang awam sekalipun, yang meski
mungkin asing akan tradisi etnografi, tetap berminat mengikuti perjuangan para
pelajar di Leiden karena di dalamnya terkandung pelajaran bermanfaat bagi
kehidupan secara luas. Dalam satu baris puisinya, penyair Chairil Anwar pernah
menulis, “Nasib adalah kesunyian masing-masing.” Dan buku ini adalah
gambaran—sekaligus upaya dari para mahasiswa Leiden itu—untuk membebaskan diri
dari kesunyian (mereka) masing- masing
Dikutip
dari Pengantar Tim Editor Buku Catatan Dari Lapangan: Esai-Esai Refleksi Etnografis
Bidang Sosial Budaya Mahasiswa Indonesia di Leiden.
Agar
Pembaca dapat mengulas tema di atas lebih dalam, kami lampirkan versi luring
(offline) pdf pada link di bawah ini.
0 komentar:
Posting Komentar