![]() |
Sumber gambar: kompasiana.com |
Pemerataan pendidikan dimaksudkan
untuk menekan disparitas taraf pendidikan antarkelompok masyarakat, terutama
antara penduduk kaya dan miskin, antara wilayah perkotaan dan perdesaan,
antardaerah, dan disparitas gender. Dengan pendidikan yang merata dan
berkualitas, maka tujuan pemerintah mencerdaskan anak bangsa sebagaimana yang
diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 dapat terwujud.
(Pidato Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan dalam Peringatan Hari Pendidikan Nasional 2017)
Pendidikan
memiliki peranan yang strategis dalam pembangunan. Pendidikan merupakan
investasi bagi terbentuknya sumber daya manusia berkualitas. Melalui pendidikan
yang baik, diharapkan tercipta manusia sebagai pelaku pembangunan yang berjiwa
pembaharu, yang dapat mengembangkan segala potensi diri dan mengambil peran
dalam pembangunan berbagai aspek kehidupan.
Tujuan
pembangunan nasional khususnya di bidang pendidikan periode 2015-2019 secara
jelas tertuang dalam Nawa Cita kelima yaitu meningkatkan kualitas hidup manusia
Indonesia melalui peningkatan kualitas pendidikan dan pelatihan dengan Program
Indonesia Pintar (PIP). Secara internasional tujuan pembangunan di bidang
pendidikan tertuang dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable
Development Goals/SDGs) khususnya pada tujuan keempat yaitu memastikan mutu
pendidikan yang inklusif dan merata, serta mempromosikan kesempatan belajar
seumur hidup bagi semua. Adapun tantangan utama dalam pembangunan pendidikan
adalah peningkatan kualitas dan pemerataan pendidikan.
Guna
melihat sejauh mana pembangunan pendidikan di Indonesia, Publikasi “Potret Pendidikan Indonesia, Statistik
Pendidikan 2017” menyajikan data indikator pendidikan yang memberikan gambaran
secara rinci mengenai kondisi dan perkembangan dunia pendidikan di Indonesia,
baik pada tingkat nasional maupun provinsi. Publikasi ini menyajikan data dan
informasi dunia pendidikan berdasarkan data hasil Survei Sosial Ekonomi
Nasional (Susenas) 2017 serta data sekunder Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan tahun ajaran 2016/2017. Informasi pendidikan yang disampaikan
meliputi sarana dan prasarana pendidikan, partisipasi sekolah, kegiatan siswa
di luar jam sekolah dan hasil capaian pendidikan.
Pasal
45 UU No. 20 Tahun 2003 menyebutkan bahwa setiap satuan pendidikan menyediakan
sarana dan prasarana yang memenuhi keperluan pendidikan. Pemerintah terus
berupaya meningkatkan sarana dan prasarana pendidikan antara lain melalui
penambahan dan penataan bangunan sekolah, perbaikan ruang kelas yang rusak,
serta peningkatan jumlah perpustakaan. Dengan terpenuhinya sarana dan prasarana
pendidikan diharapkan dapat meningkatkan kualitas pendidikan masyarakat.
Data
Kemdikbud TA 2016/2017 menunjukkan adanya pertumbuhan jumlah sekolah dan
peserta didik pada semua jenjang pendidikan, kecuali jenjang Sekolah dasar
(SD). Hal ini ditengarai adanya kebijakan pemerintah melakukan penggabungan
beberapa SD negeri. Dilihat dari kondisi
ruang kelas, sebagian besar ruang kelas dalam kondisi rusak pada semua jenjang
pendidikan. Namun, persentase ruang kelas dengan kondisi baik pada jenjang
pendidikan dasar mengalami peningkatan dibanding tahun ajaran sebelumnya.
Jumlah perpustakaan juga meningkat setiap tahun. Selain itu, persentase guru
yang berijazah minimal D4/S1 mengalami kenaikan setiap tahun sejak tiga tahun
terakhir.
Capaian
Angka Partisipasi Kasar Pendidikan Anka Usia dini (APK PAUD) kelompok umur 3-6
tahun secara nasional baru 33,84 persen, masih jauh di bawah target pembangunan
sebesar 77,2 persen. Sementara itu, berdasarkan daerah tempat tinggal, terdapat
disparitas antara perkotaan dan perdesaan dimana APK PAUD di perkotaan lebih
besar dibandingkan di perdesaan (36,43 persen berbanding 31,08 persen). Hal
tersebut bisa jadi disebabkan oleh akses dan fasilitas untuk pelayanan PAUD
yang belum merata, dimana fasilitas PAUD lebih banyak tersedia di perkotaan.
Partisipasi
sekolah masih bervariasi antar jenjang pendidikan yang terlihat melalui nilai
Angka Partisipasi Kasar (APK). APK jenjang pendidikan SD/sederajat nilainya
sudah melebihi 100 persen. Tingginya partisipasi sekolah jenjang pendidikan SD
dan Sekolah menengah Pertama (SMP) merupakan dampak positif kebijakan
pemerintah tentang wajib belajar sembilan tahun yang sudah dilaksanakan selama
dua dekade terakhir. Namun demikian, semakin tinggi jenjang pendidikan nilai
APK semakin menurun. Bahkan pada jenjang Perguruan Tinggi (PT) hanya 1 dari 4
orang yang mengikuti jenjang PT. Di sisi lain, masalah ekonomi merupakan salah
satu persoalan penting dalam proses pendidikan formal mengingat apabila ekonomi
suatu keluarga kurang bagus maka proses pendidikan juga menjadi terhambat. Hal
tersebut berdampak pada kesenjangan partisipasi sekolah pada jenjang pendidikan
menengah ke atas yang lebih terlihat nyata antar kuintil pengeluaran rumah
tangga. Separuh dari penduduk pada kelompok kuintil pengeluaran teratas mampu
mengenyam pendidikan hingga PT, lain halnya dengan kelompok kuintil pengeluaran
terendah, hanya 8% penduduknya yang
mampu mengenyam pendidikan hingga jenjang PT.
Kegiatan
di luar jam sekolah yang dilakukan oleh siswa dapat berupa mengakses internet,
bekerja, dan membantu mengurus rumah tangga. Dalam bidang pendidikan, internet
diterapkan sebagai media pembelajaran penunjang sistem kurikulum sekolah. Pada
tahun 2017, persentase siswa umur 5-24 tahun yang mengakses internet selama
tiga bulan terakhir relatif tinggi yaitu mencapai 40,96%, dimana yang tinggal
di perkotaan hampir dua kali lebih besar dibandingkan dengan yang tinggal di
perdesaan. Selain itu, terlihat adanya pola yakni meningkatnya persentase siswa
umur 5-24 tahun yang mengakses internet seiring dengan meningkatnya kuintil
pengeluaran dan jenjang pendidikan yang diikuti. Sebagian besar dari mereka
mengakses internet untuk mengerjakan tugas sekolah dan aktivitas sosial
media/jejaring sosial. Proses pembelajaran dan pencapaiannya akan terganggu
ketika siswa memadukan dua aktivitas, yaitu bekerja dan sekolah. Data
menunjukkan di antara 100 orang siswa terdapat 7 orang siswa umur 10-24 tahun
yang aktif bekerja selama seminggu terakhir dan masih saja ditemukan siswa
SD/sederajat yang bekerja. Persentase siswa umur 10-24 tahun yang tinggal di perdesaan yang
terlibat dalam kegiatan ekonomi lebih besar dibandingkan yang tinggal di
perkotaan. Secara keseluruhan, siswa umur 10-24 tahun yang bekerja paling
banyak terserap pada sektor jasa dan umumnya bekerja sebagai
buruh/karyawan/pegawai serta pekerja bebas.
Mengurus
rumah tangga seperti memasak, mencuci, membersihkan rumah, menjaga adik dan
lain-lain merupakan kegiatan yang dilakukan oleh anggota rumah tangga dalam
mengurus atau membantu mengurus rumah tangganya. Data menunjukkan sekitar dua
dari sepuluh siswa membantu mengurus rumah tangga dengan komposisi siswa
perdesaan cenderung lebih tinggi dibanding siswa di perkotaan dan siswa
perempuan hampir dua kali lipat dibandingkan siswa laki-laki. Selain itu,
semakin tinggi jenjang pendidikan, maka persentase siswa yang membantu mengurus
rumah tangga semakin besar.
Pada
buku ini juga diulas beberapa capaian pendidikan yang dapat diukur dari data
Susenas 2017. Capaian pendidikan Indonesia secara umum meliputi tingkat
pendidikan tertinggi yang ditamatkan penduduk umur 15 tahun ke atas, rata-rata
lama sekolah penduduk umur 15 tahun ke atas, dan Angka Melak Huruf (AMH)
penduduk kelompok umur muda (15-24 tahun) dan dewasa (15-59 tahun). Sementara
itu, capaian pendidikan yang mencakup penduduk yang masih bersekolah antara
lain angka bertahan sampai dengan kelas lima SD, angka naik kelas/mengulang dan
angka melanjutkan.
Tercatat
beberapa capaian sudah memenuhi target Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
(Kemdikbud). Berdasarkan Susenas tahun 2017, Angka Melek Huruf (AMH) penduduk
umur 15-59 tahun lebih besar dari target yang ditetapkan dalam Renstra
Kemdikbud. Akan tetapi, AMH penduduk umur 15 tahun ke atas masih di bawah
target yang diharapkan, yaitu 95,50. Sementara itu, rata-rata lama sekolah
penduduk 15 tahun ke atas mencapai 8,5 tahun atau setara kelas 2 SMP/sederajat
(tanpa mempertimbangkan kejadian mengulang kelas). Angka ini masih cukup rendah
mengingat program Wajib Belajar 9 Tahun telah dilaksanakan sudah sejak lama
sebagaimana tertera dalam UU Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan
Nasional. Namun demikian, rata-rata lama sekolah penduduk 15 tahun ke atas
setidaknya terus mengalami kenaikan
Dikutip
dari Pengantar buku Potret Pendidikan Indonesia Statistik Pendidikan 2017 yang
diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia.
Agar
Pembaca dapat mengulas tema di atas lebih dalam, kami lampirkan versi luring
(offline) pdf pada link di bawah ini.
0 komentar:
Posting Komentar