![]() |
Sumber gambar: tirto.id |
Membicarakan
tentang Muhammadiyah tidak akan pernah ada habisnya, dari segi apapun bisa
dilihat, diterjemahkan, diinterpretasikan dan dianalisis sesuai kacamata yang
dipakai oleh pembahas. Dalam kata pengantar dari buku Mitsuo Nakamura yang
berjudul Matahari Terbit dari balik Pohon Beringin, Prof. Dr. A. Mukti
Ali menyebut Muhammadiyah sebagai gerakan serba wajah (dzuwujuh).
Sebutan ini dimaksudkan untuk mewujudkan aktifitas Muhammadiyah dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara, termasuk dalam pelestarian nilai-nilai tradisi dan
budaya masyarakat. Di dalam buku Muhammadiyah Jawa yang diterjemahan dari Tesis
Master Prof. Ahmad Najib Burhani berjudul The Muhammadiyah’s attitude to
Javanese Culture in 1912-1930: Appreciation and Tension di Universitas
Leiden Belanda tahun 2004. Menjadi penting dan strategis untuk diterbitkan
dalam edisi bahasa Indonesia mengingat isi dan kandungan dalam buku ini
merupakan hasil penelitian ilmiah, sehingga sedikit banyak akan sangat berharga
dalam merubah persepsi dan pandangan orang tentang Muhammadiyah, khususnya yang
berhubungan dengan budaya dan tradisi Jawa. Mudah-mudahan dengan membaca buku
ini, akan semakin mencerahkan dan memperluas cakrawala berpikir kita tentang
Muhammadiyah.
Muhammadiyah sebagai Representasi “Islam-Jawa” Sebuah
Pengantar
“You cannot be a Brahmin in the
English countryside” —Julian Pitt-Rivers (1963)
Najib
Burhani mengambil nukilan kata-kata Pitt-Rivers di atas untuk menunjukkan
betapa mustahilnya Muhammadiyah melepaskan diri dari kebudayaan Jawa. Meski
sering disebut sebagai gerakan puritanisme Islam di Indonesia, Muhammadiyah tak
akan bisa melepaskan fakta bahwa ia lahir di Kauman, satu tempat dalam
lingkungan tembok Kesultanan Yogyakarta, oleh sejumlah abdi dalem Kraton
tersebut. Ia dibangun dengan inspirasi dan kesadaran seorang Islam-Jawa tulen,
Raden Ngabehi Muhamad Darwisy (KH Ahmad Dahlan), setelah banyak berdialog
dengan rekan-rekannya di Boedi Oetomo, guna memodernisasi cara pikir, sistem
sosial dan peradaban masyarakat.
Sampai
sekarang pun, ketika organisasi ini mendekati umur 100 tahun, beberapa
pimpinannya tetaplah para priyayi dari kerajaan Jawa kuno itu, lengkap dengan karakteristik
kejawaannya. Karenanya, seperti dikutip Herman L. Beck (1995), tidak heran jika
Muhammad Hatta, salah satu proklamator Republik Indonesia dan juga anggota
Muhammadiyah mengatakan, “Muhammadiyah tak akan pernah bisa berhasil
melaksanakan program purifikasinya selama ia tak bisa membebaskan diri dari
akar-akarnya di Kauman Yogyakarta.”
Pada
2010 Muhammadiyah telah melangsungkan Muktamar Satu Abad di Yogyakarta. Ini
barangkali menjadi momentum yang tepat untuk mengingat dan berkontemplasi diri
entitas yang sudah lama melekat dibangun pada diri organisasi ini, yaitu
sebagai model Islam varian Jawa atau dalam konteks yang lebih pas untuk saat
ini, Islam varian Indonesia.
Muhammadiyah dan Identitas Kejawaan
Mungkin
belakangan ini terjadi satu pergeseran pandangan di masyarakat. Seolah-olah NU
(Nahdlatul Ulama) lebih pas dipandang sebagai representasi Islam-Jawa daripada
Muhammadiyah. Anak-anak muda NU pun juga terkesan lebih aktif bergelut dengan
tradisi Jawa daripada anak-anak muda Muhammadiyah. Kondisi kasar ini tentu
sangat berbeda dengan catatan-catatan sejarah pada dua organisasi terbesar di
Indonesia itu. Setidaknya ada beberapa bukti yang memperkuat asumsi ini.
Pertama,
jika klasifikasi masyarakat Jawa ala Clifford Geertz (1960) dipakai untuk
membaca penduduk Jawa di awal abad ke-20, maka NU yang didirikan pada 1926 adalah
organisasi para santri dan Muhammadiyah adalah gerakan para priyayi Muslim.
Sebagai perbandingan, para pendiri NU adalah para kyai dari berbagai pesantren
di Jawa (seperti KH Hasyim Asy’ari dan KH Wahab Hasbullah). Para pengurus NU
awal juga dipenuhi oleh orang-orang dengan nama Arab. Sementara pendiri dan
pengurus Muhammadiyah adalah para priyayi Kraton Yogyakarta (seperti Raden
Ketib Tjandana Haji Ahmat dan Raden Sosrosugondo).
Kedua,
jika kita buka kembali foto-foto dan gambargambar kedua organisasi tersebut di
awal-awal pendiriannya, maka akan terlihat bahwa para pimpinan NU memakai
pakaian yang lebih dekat pada tradisi Arab, sementara cara berpakaian pemimpin
Muhammadiyah mendekati budaya Jawa. Pada Muktamar Muhammadiyah di Solo tahun
1929, misalnya, seruan untuk memakai pakaian tradisional masuk dalam salah satu
aturan bagi peserta Muktamar.
Menjetoedjoei seroean Comite
Penerimaan Congres di Solo, kami harap soepaia Oetoesan-oetoesan laki-laki
memakai pakaian kebesaran tjara negerinja masing-masing, jang tidak
melanggar Sjara’.
Pengoeroes Besar dan Comite poen akan
menjamboet dengan gembira dan berpakaian kebesaran djoega, tjara Djogja dan
Solo. Jang teroetama dipakai di waktoe Malam Penerimaan dan Hari Tamasj-sja. —Programma
dan Agenda Congres Moehammadijah ke-XVIII jang Terbesar di Solo (1929)-
Ketiga,
bahasa Jawa adalah bahasa resmi di Muhammadiyah sebelum digantikan oleh bahasa
Indonesia. Muhammadiyah adalah organisasi pertama di Indonesia yang
memperkenalkan khutbah Jum’at dalam vernacular language (bahasa
masyarakat setempat). Pesan-pesan dalam khutbah Jum’at dianggap Muhammadiyah
tidak akan bisa sampai kepada pendengarnya jika memakai bahasa Arab. Karena
itu, sangat tidak masuk akal untuk memaksakan penggunaan bahasa asing itu
sementara seluruh pendengarnya adalah orang Jawa. Bahkan, menurut kesaksian
salah seorang murid Ahmad Dahlan di Kweekschool Jetis, Profesor Sugarda
Purakawatja, pendiri Muhammadiyah itu pernah mengizinkan murid-muridnya untuk
shalat dengan menggunakan bahasa Jawa jika mereka tidak mengerti bahasa Arab.
Keempat,
secara organisasi, Muhammadiyah memiliki ikatan cukup erat dengan Boedi Oetomo,
sebuah organisasi yang ingin membangun kembali budaya Jawa. Seluruh pendiri
Muhammadiyah merupakan anggota Boedi Oetomo. Memang, Dahlan juga bergabung SI
(Sarekat Islam) dan organisasi lain di Jawa. Namun, hanya Boedi Oetomo-lah
satu-satunya organisasi yang secara langgeng diikuti oleh Dahlan, tentu saja
selain organisasi yang didiriannya sendiri.
Kelima,
Muhammadiyah tidak pernah menolak upacara grebeg yang diselenggarakan oleh
Kraton Yogyakarta. Penghulu-penghulu yang berperan aktif dalam upacara
tradisional di Kraton itu, sejak zaman Ahmad Dahlan, adalah para pimpinan
Muhammadiyah. Dahlan sendiri hingga meninggalnya tak pernah melepaskan
statusnya sebagai abdi dalem pamethakan.
Setidaknya
inilah argumen Najib Burhani yang terekam dalam bukunya berjudul
Muhammadiyah Jawa.
Beberapa Pergeseran Sikap
Meski
masih menyisakan cukup banyak bukti tentang kedekatan Muhammadiyah dengan
kebudayaan Jawa, namun identitas organisasi ini sebagai Islam varian Jawa memang
sudah tidak se-kenthal pada masa-masa awal pendiriannya. Banyak faktor yang
menyebabkan terjadinya pergeseran ini. Beberapa diantaranya adalah masuk dan
berkembangnya ideologi Wahabi di organisasi ini, terutama setelah Mekah dan
Madinah dikuasai oleh Saud-Wahabi. Sebagai organisasi yang identik dengan
gerakan Wahabi, Muhammadiyah lantas menjadi kurang toleran terhadap tradisi
masyarakat setempat.
Keterlibatan
orang-orang dari Padang dalam Muhammadiyah juga memberi pengaruh dalam
pembentukan sikap organisasi ini terhadap budaya lokal. Di Padang, hubungan
antara Kaum Tuo dan Kaum Mudo, juga orang Adat dan orang Padri, memang kurang
harmonis. Kondisi ini lantas mempengaruhi warga Muhammadiyah di Jawa. Apalagi,
ideologi Muhammadiyah banyak dipengaruhi oleh ulama besar dari Padang, Haji
Rasul.
Selain
kedua hal tersebut, faktor lain yang ikut berpengaruh dalam membentuk karaktek
Muhammadiyah dalam kaitannya dengan kejawaan adalah pembentukan Majlis Tarjih
yang terkesan sangat syari’ah-oriented. Pendirian lembaga ini dipelopori oleh
Mas Mansur, seorang ulama dari daerah pesisir, Surabaya. Karakteristik
keislaman antara daerah pesisir pantai dan pedalaman (hinterland) memang
berbeda. Dulu, keislaman daerah pesisir dikenal lebih ketat dibandingkan daerah
pedalaman, seperti Yogyakarta.
Namun
demikian, seperti dikatakan oleh Hatta, karakter kejawaan Muhammadiyah itu tak
akan pernah hilang. Dengan cerdik Mitsuo Nakamura (1993) menyimpulkan gerakan
Muhammadiyah sebagai berikut: “Reformist Islam is not antithetical to Javanese
culture but an integral part of it, and what reformists have been endeavouring
is, so to speak, to distil a pure essence of Islam from Javanese cultural
traditions. The final product of distillation does retain a Javanese flavour.”
-Pengantar Najib Burnai dalam bukunya Muhammadiyah Jawa
Muhammadiyah Dalam Testimoni
Muhammadiyah
lahir di Yogyakarta yang merupakan pusat kebudayaan Jawa. Pendirinya, Raden
Ngabehi Muhammad Darwisy (KH Ahmad Dahlan), adalah abdi dalem pamethakan
di Kraton Ngayogyokarto Hadiningrat. Namun berbeda dari Martin Luther yang
berkata, “Here I stand. I can do no other” sebagai pemberontakan
terhadap otoritas gereja Katolik, Dahlan mampu mewarnai kraton dan masyarakat
Jawa tanpa harus berpisah atau memusuhi. Justru dalam diri Dahlan, Islam dan
kejawaan menjadi entitas tunggal, seperti konsep sastra gending dimana Islam
menjadi sastra yang diiringi gending Jawa. Muhammadiyah adalah Islam varian
Jawa yang paling otentik. Inilah satu gagasan yang diurai buku ini.
Gagasan
lain adalah asal-muasal puritanisme dalam tubuh Muhammadiyah. Sebagai gerakan,
Muhammadiyah memang bercorak Jawa pedalaman, namun dari sisi ideologi (yang
disebut puritan) ia banyak dipengaruhi nilai-nilai Sumatra Barat terutama yang
dibawa oleh Haji Rosul dan Islam pesisir melalui Haji Mas Mansur (Surabaya,
Jawa Timur). Perbedaan watak gerakan dan ideologi itulah yang, saya yakin,
justru mendorong Muhammadiyah selalu menjaga keseimbangan antara pemurnian
(puritanisasi) dan pembaruan (modernisasi) secara proporsional dalam bingkai
Islam berkemajuan (altawazun bayn al-tajrid wa al-tajdid). Prinsip
inilah yang belakangan ini ditampilkan dalam konsep dakwah kultural. Tesis
Najib Burhani tentang Muhammadiyah Jawa ini wajib dibaca oleh mereka yang ingin
melihat dialektika Muhammadiyah dengan tradisi lokal Indonesia, satu aspek yang
sering dilewatkan para pengkaji gerakan ini. Alih-alih melihat pengaruh budaya
Indonesia, banyak peneliti yang terlalu terfokus melacak pengaruh Timur Tengah,
terutama Wahhabi, terhadap Muhammadiyah. Terakhir, saya percaya bahwa gerakan
Muhammadiyah memang memiliki akar kultural kuat pada nilai-nilai
ke-Indonesiaan. Tapi Muhammadiyah memilih untuk mensenyawakan nilai-nilai Islam
pada budaya Indonesia untuk adanya “Indonesia yang Islami” dari pada “Islam
yang Indonesiawi. –M. Din Syamsuddin, Ketua Umum PP. Muhammadiyah 2005-2010
sekaligus Profesor Pemikiran Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Dikutip
dari Pengantar Buku Muhammadiyah Jawa karya Ahmad Najib Burhani.
Agar
Pembaca dapat mengulas tema di atas lebih dalam, kami lampirkan versi luring
(offline) pdf pada link di bawah ini.
0 komentar:
Posting Komentar