![]() |
Sumber gambar: tasqofah.id |
Sebagaimana
diketahui bahwa Hizbut Tahrir merupakan gerakan politik transnasional-global
diluar sistem pemerintahan yang membawa visi dan misi tegaknya khilafah serta
terealisasinya syari’at Islam dalam setiap lini kehidupan. Melalui visi dan
misi idealis ini, tidak sedikit generasi kita yang menaruh simpati, terpesona
dan akhirnya menjadi kader dan pengikut setia Hizbut Tahrir dengan tanpa
menyadari bahwa di balik visi dan misi tersebut, sebenarnya terdapat sekian
banyak pemikiran, ideologi dan fatwa hukum Hizbut Tahrir yang tidak sesuai
dengan ajaran Islam yang lurus, murni dan asli seperti yang diajarkan oleh
Rasulullah SAW, sahabat dan para ulama salaf.
Fakta
sejarah telah mencatat, mereka mereduksi dan mendistorsi agama Allah SWT serta memasarkan
kebathilan-kebathilan. Kelompok yang didirikan oleh Taqiyuddin an-Nabhani
(1326-1397 H/ 1908-1977 M) diPalestina yang pernah menjadi anggota partai
sosialis kiri yang beraliran komunis-marxis ini, juga kerap kali mengeluarkan
fatwa-fatwa hukum yang menentang agama. Dari sini, kemudian mereka menjadi
obyek penyesatan dan kritik dari berbagai elemen umat Islam. Tulisan ini hadir
bukan bermaksud untuk menyudutkan Hizbut Tahrir atau menambah perpecahan dan
firqoh dikalangan ummat Islam, akan tetapi kehadirannya untuk mengungkap sebuah
fakta kebenaran akidah serta mengajak kembali ke dalam naungan Islam yang benar
ala Ahlussunnah wal Jama’ah.
Penyimpangan Hizbut Tahrir
Berikut
ini, sebagian penyimpangan konsep ideologis Hizbut Tahrir (HT), diantaranya;
Konsep Mengingkari Qodlo’-Qodar; (Taqdir Allah pada
Perbuatan Ikhtiyari Manusia)
Dalam
kitabnya asy-Syakhshiyyah al Islamiyyah Taqiyuddin an-Nabhani menulis,
“Segala
perbuatan manusia tidak terkait dengan Qadla Allah SWT, karena perbuatan
tersebut ia lakukan atas inisiatif manusia itu sendiri dan dari ikhtiarnya.
Maka semua perbuatan yang mengandung unsur kesengajaan dan kehendak manusia
tidak masuk dalam ruang lingkup qadla” (asy-Syakhshiyyah al Islamiyyah vol I
hal 94-95). Jadi menggantungkan adanya pahala sebagai balasan terhadap kebaikan
dan siksaan sebagai balasan dari kesesatan, menunjukkan bahwa kebenaran dan
kesesatan adalah perbuatan murni manusia itu sendiri, bukan berasal dari Allah”.
(Nidham al-Islam hal 22)
Menurut
pandangan kami, Ucapan ini bertentangan dengan al-Qur’an, hadits Nabi SAW,
ketetapan ulama dan logika normal. Allah SWT berfirman: “Dan Dia telah
menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan
serapi-rapinya.” (QS. Al-Furqaan: 2). Dalam firman yang lain, “Padahal
Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu”. (QS.
Ash-Shaffat: 96). Lalu penjelasan tersebut dita’kid (diperkuat), “Sesungguhnya
Kami (Allah SWT) menciptakan segala sesuatu menurut ukuran.” (QS. Al-Qomar: 49).
Rasulullah
saw. bersabda, “Allah pencipta setiap pelaku perbuatan dan perbuatannya"
(HR. Al-Hakim dan al- Baihaqi)”. Al-Imam Abu Hanifah dalam al Fiqh al Akbar
berkata, “Tidak ada satupun di dunia maupun di akhirat terjadi kecuali dengan
kehendak, pengetahuan, penciptaan dan ketentuan-Nya”. (al Fiqhu al Akbar vol 1
hal 29). Tentang perbuatan hamba, dia berkata, “Dan Allah lah Dzat yang
menciptakan seluruh pekerjaan hamba-Nya dengan kehendak, pengetahuan,
penciptaan dan ketentuan-Nya.”
Secara
logika normal asumsi Hizbut Tahrir pun tidak bisa dinalar. Mereka menjadikan Allah SWT tunduk, lemah dan
terkalahkan dengan terjadinya sesuatu diluar kehendak-Nya. Dengan demikian,
berarti dalam kekuasaan Allah SWT bisa terjadi diluar kehendak-Nya. Inilah
kerancauan berfikir mereka.
Allah
SWT berfirman, “Dan Allah berkuasa terhadap urusan-Nya, tetapi kebanyakan
manusia tidak mengakuinya”. (QS. Yusuf: 21). Pada ayat yang lain, “Katakanlah,
sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanya milik Allah, Tuhan
semesta alam. Tiada sekutu baginya, dan demikian itulah yang diperintahkan
kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah
SWT)”. (QS. AlAn’am: 162-163).
Ketiga
ayat di atas menjelaskan bahwa semua perbuatan ikhtiyari manusia merupakan
ciptaan Allah SWT semata, manusia tidak punya kekuatan untuk menciptakan pekerjaannya
yang sesuai dengan keinginannya kecuali dikehendaki dan ditakdirkan Allah SWT.
Inilah aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah yang sebenarnya. Namun, Hizbut Tahrir
mengingkari eksistensi ayat tersebut di atas dengan mengadopsi asumsi bathil
Mu’tazilah.
Perlu
diketahui oleh para syabab HTI bahwa memang benar sebagian ulama ada yang
menyamakan Ahlussunnah (Asy’ariyah) dengan Jabariyah seperti Ibnu
Taimiyah dan kelompok-kelompoknya, Imam al Iji dalam kitab al Mawaqif fi
Ilmil Kalam dan Imam al Jurjani dalam kitab at Ta’rifat. Namun,
harus dipahami pula bahwa Imam Abul Fadl Abdurrahman bin Ahmad bin Abdul
Ghoffar al Iji dan Imam Ali bin Muhammad bin Ali al Jurjani membagi Jabariyah
menjadi dua, yaitu Jabariyah mutawassithoh (moderat) seperti Asy’ariyah
dan Jabariyah kholishoh (ekstrim)
seperti Jahmiyah. Dalam konteks ini, Imam al Iji dan Imam al Jurjani berkata,
“Kelompok yang keenam ialah al Jabariyah.
Pengertian al Jabar adalah menyandarkan perbuatan hamba kepada Allah. Jabariyah
ada dua. Pertama; Mutawassithoh, yaitu golongan yang menetapkan adanya kasb
bagi hamba seperti Asy’ariyah. Kedua; Kholishoh, yaitu kelompok yang tidak
menetapkan kasb bagi hamba seperti Jahmiyah, pengikut Jahm bin Shofwan.
Jahmiyah berpendapat bahwa hamba tidak memiliki kekuasaan sama sekali, Allah
tidak mengetahui sesuatu sebelum terjadinya, ilmu Allah baru dan tidak
bertempat, Allah tidak boleh disifati dengan sifat yang menjadi sifat selain
Allah seperti ilmu dan qudrah, surga dan neraka tidak kekal, mereka sependapat
dengan Mu’tazilah dalam menafikan ru’yatullah, kalam Allah makhluk dan
kewajiban ma’rifat berdasarkan hukum akal. (al Mawaqif fi Ilmil Kalam karya
Imam al Iji)”
Al Jabariyah dari kata al Jabar.
Yaitu, menyandarkan perbuatan hamba kepada Allah. Jabriyah ada dua. Pertama;
Mutawassithoh, yaitu golongan yang menetapkan adanya kasb bagi hamba seperti
Asy’ariyah. (at Ta’rifat karya Imam al Jurjani)
Apabila
kita baca dengan teliti pernyataan Imam al Iji di atas maka akan kita temukan
bahwa ada perbedaan antara Ahlusunnah dan Jabariyah secara ideologis. Bahkan
yang sebenarnya, justru ideologi Jabariyah lah yang hampir sama dengan
Mu’tazilah, seperti halnya Allah SWT tidak mengetahui sesuatu sebelum
terjadinya, ilmu Allah baru dan tidak bertempat, Allah SWT tidak boleh disifati
dengan sifat yang menjadi sifat selain Allah SWT seperti ilmu dan qudrah, surga
dan neraka tidak kekal, mereka sependapat dengan Mu’tazilah dalam menafikan ru’yatullah,
kalam Allah makhluk dan kewajiban ma’rifat berdasarkan hukum akal. Hal ini
berbeda dengan ideologi Asy’ariyah. Karena Asy’ariyah mempunyai akidah yang
berbeda dengan aliran-aliran teologi lainnya.
Pernyataan
di atas juga disetujui oleh Imam al Jurjani dalam kitab Syarhul Mawaqif.
“Kelompok-kelompok ini yaitu
Mu’tazilah, Syi’ah, Khowarij, Murji’ah, Najjariyah, Jabriyah dan Musyabbihah
adalah kelompok sesat yang telah sabdakan oleh Rasulullah SAW mengenai mereka
semuanya masuk neraka. Adapun golongan yang selamat yang dikecuali dari
kelompok tersebut yang disabdakan oleh Rasulullah SAW “Golongan yang berpegang teguh
dengan ajaranku dan para sahabatku”, mereka adalah golongan Asy’ariyah,
generasi salaf dari kaum ahli hadits dan Ahlussunnah wal Jama’ah. Madzhab
mereka bersih dari bid’ah-bid’ah dari kelompok-kelompok tersebut.” (Syarhul
Mawaqif karya al Jurjani)
Lebih
lanjut, perlu disayangkan bahwa orang-orang HT tidak bisa memahami penuh
interpretasi yang disampaikan oleh pentolan mereka, an Nabhani dalam kitab asy-Syakhshiyah.
Dalam kitabnya ini an Nabhani mengatakan, kamu beriman kepada Qodar, baik dan
buruknya, disini mereka mengartikan qodar dengan ilmu Allah. Konklusi demikian,
berarti secara tersurat menyatakan bahwa an Nabhani meyakini ilmu Allah SWT ada
yang baik dan ada yang buruk.
Tentunya
penafsiran an-Nabhani bahwa Qodar Allah ialah ilmu Allah seperti yang dikatakan
oleh syabab HTI bertentangan dengan pernyataan ulama yang otoritatif di
kalangan Ahlussunnah wal Jama’ah yang menafsirkan Qodar dengan muqoddar
atau maqdur (sesuatu yang ditentukan dan dipastikan Allah) sebagaimana
yang disampaikan oleh Imam al Baihaqi dalam kitab al I’tiqod wal Hidayah ila
Sabilirrosyad hal 145.
“Qodar ialah nama bagi sesuatu yang
keluar secara ditentukan atau dipastikan dari perbuatan seseorang yang
menentukan. Dikatakan: ‘saya menentukan dan memastikan. Sedangkan iman dengan
Qodar ialah beriman denan lebih dahulunya pengetahuan Allah terhadap apa yang
akan terjadi dari perbuatan makhluk dan lainnya, serta keluarnya semuanya
berdasarkan ketentuan Allah dan penciptaan-Nya, baik dan buruknya.”
Dikutip
dari Muqaddimah Buku Membongkar Penyimpangan Hizbut Tahrir, Jama’ah Tabligh,
MTA, LDII dan Ma’had al-Zaytun karangan KH. Muhammad Najih Maimoen, Pengasuh
PP. Al-Anwar, Sarang, Rembang.
Agar
Pembaca dapat mengulas tema di atas lebih dalam, kami lampirkan versi luring
(offline) pdf pada link di bawah ini.
0 komentar:
Posting Komentar