![]() |
Sumber gambar: psbhfhunila.org |
Fenomena Teror
Teror
(Arab: irhab) beberapa waktu belakangan menjadi kosa kata yang sangat
populer, bahkan secara sporadis menjadi sangat berpengaruh terhadap stabilitas
keamanan di berbagai belahan dunia. Kata ini secara pasti juga memasuki
berbagai ranah kehidupan politik, ekonomi, kebudayaan bahkan menyentuh wilayah
agama. Tanpa pandang bulu, kata ini juga popular di Indonesia dan menyita
perhatian negara untuk mengatasinya. Sejalan dengan teror berkembang pula
beberapa istilah yang diderivasi dari kata tersebut yaitu teroris, terorisme
dan yang spektakuler perang melawan terorisme (war against terrorism).
Peristilahan tersebut bukanlah kata yang muncul dalam ruang kosong dan tanpa
tujuan yang jelas. Tetapi setiap peristilahan itu justru membawa konsekwensi
yang besar bahkan mempengaruhi tatanan kehidupan manusia dan juga tatanan
dunia. Perkembangan kata teror semakin menguat terutama setelah terjadinya
serangan terhadap menara kembar Word Trade Center (WTC) di New York
Amerika Serikat (AS) pada tanggal 11 September 2001. Peristiwa serangan disebut
teror dan pelakunya dituduh sebagai teroris dan spirit penyerangan tersebut
disebut terorisme. Setelah serangan tersebut Presiden Amerika Serikat George W
Bush menabuh genderang perang melawan terorisme (War against Terrorism).
Fenomena
ini menjadi menarik diperbincangkan terutama ketika ada upaya menjadikan
peristiwa peledakan gedung kembar World Trade Center (WTC) pada 11 September
2001 sebagai kejadian yang menyemangati
berbagai elemen gerakan radikal untuk melakukan aksi serupa di berbagai penjuru
dunia.
Peristiwa
11 September 2001 bukanlah peristiwa biasa. Mathias Bröckers, seorang
investigator, wartawan dan penulis buku asal Jerman dalam bukunya Konspirasi
9.11 menyatakan:
”Peristiwa penyerangan terhadap WTC merupakan kejadian
millenium yang masih akan menyibukkan beberapa generasi sejarawan dan peneliti.
Dari hari ke hari, saya semakin percaya kejadian itu bukanlah tindakan teror
”biasa”. Apakah benar ada sebuah motif dibalik tragedi fantastik itu, sebuah
malapetaka yang direkayasa seperti Pearl Harbor...”
Menggarisbawahi
pernyataan Bröcker tersebut, peristiwa 11 September 2001 tidak saja menyibukkan
sejarawan dan peneliti, tetapi lebih dahsyat dari itu juga menyibukkan banyak
negara yang dilanda gelombang kekerasan dan aksi pemboman yang disinyalir
terkait erat kelompok teroris yang menyerang gedung WTC.
Benar
saja, peristiwa tersebut menjadi
membesar karena ”efek ledakan” itu terasa ke berbagai penjuru dunia, apalagi
saat tuduhan diarahkan kepada umat Islam. Meskipun secara tegas Amerika Serikat
mengarahkan tuduhan kepada jaringan Al-Qaeda pimpinan Osama bin Laden, tetapi
berbagai gerakan radikal serupa di berbagai negara dikaitkan atau divonis
sebagai bagian dari aksi-aksi Al-Qaeda. Dalam hal ini, peristiwa 11 September
2001 dapat disebut sebagai titik pemicu (trigger point) ketegangan
antara Amerika dengan kelompok Islam. Pada akhirnya peristiwa 11 September 2001
itu sendiri mengalami “internasionalisasi” dalam bentuk perang global terhadap
terorisme.
Peristiwa
11 September 2001 di Amerika Serikat itu diikuti penyerbuan Afghanistan dan
perang melawan terorisme oleh AS dan sekutu-sekutunya. Demikian pula semua aksi
kekerasan yang dilakukan di berbagai penjuru dunia termasuk di Indonesia telah
menjadi persoalan internasional dalam bentuk agenda perang terhadap terorisme
global. Agenda ini telah ikut menyeret Indonesia pada lingkaran perang melawan
terorisme.
Sesungguhnya,
aksi teror (terutama dalam bentuk peledakan bom) bukanlah hal yang baru di
Indonesia. Meskipun berat untuk diungkapkan, namun peristiwa 11 September 2001
dapat disebut sebagai babak baru aksi terorisme di Indonesia pasca Orde Baru.
Jika dirunut ke belakang, dalam kurun 1984 (peledakan gedung BCA Pacenongan,
Glodok dan Gajah Mada di Jakarta yang menyeret beberapa tokoh Petisi 50) hingga
2001 setidaknya telah terjadi sekitar 21 kali serangan teroris di Indonesia.4
Bahkan Imparsial, lembaga pemantau HAM Indonesia mencatat sejak 11 November
1976 (teror bom terhadap Masjid Nurul Iman Padang yang dituduhkan kepada
Kelompok Komando Jihad), tidak kurang dari 49 kali aksi pengeboman menimpa
beberapa wilayah Indonesia hingga aksi Bom Bali I.
Setelah
aksi Bom Bali I, Imparsial juga mencatat tidak kurang dari 48 kali aksi
pengeboman menimpa beberapa wilayah Indonesia.6 Di antaranya aksi peledakan bom
di Legian Kuta Bali (12 Oktober 2002) yang dikenal dengan Bom Bali I, aksi bom
bunuh diri (suicide bombing) terhadap hotel JW Mariott Jakarta (5 Agustus
2003), pengeboman Kedutaan Besar Australia di Kuningan Jakarta yang dikenal
dengan Bom Kuningan (9 September 2004), Bom Bali II yang menghancurkan Raja’s
Bar Kuta Square dan Nyoman Kafe Jimbaran Bali (1 Oktober 2005) dan yang
mutakhir aksi pengeboman Hotel JW Mariott dan Hotel Ritz Carlton (17 Juli 2009)
yang dilakukan oleh jaringan Noordin M. Top yang didakwa keras berafiliasi
dengan Jama’ah Islamiyah (JI), sayap Al-Qaeda di Asia Tenggara.
Dalam
kasus Indonesia, pemerintah Indonesia telah mengambil tindakan terhadap pelaku
pengeboman di tanah air. Banyak pihak melihat tindakan pemerintah ini sebagai
respon positif sekaligus momentum yang tepat menghadapi aksi kekerasan,
kejahatan dan teror (kriminal) di Indonesia yang sudah berlangsung lama. Tetapi
ada juga yang curiga, tindakan ini sebagai bagian dari agenda terselubung
(hidden agenda) dalam perang melawan terorisme global yang dimotori Amerika
serikat (AS).
Namun
di balik gencarnya pelaksanaan agenda perang melawan terorisme sikap pemerintah
Indonesia terkesan berubah terutama terhadap beberapa komunitas gerakan Islam.
Perubahan sikap ini diduga kuat akibat ditemukannya fakta lapangan bahwa
ternyata pelaku pengeboman itu berasal dari kalangan Islam atau
setidak-tidaknya dilakukan oleh orang beragama Islam. Di samping itu sulit
dipungkiri bahwa konstalasi politik internasional mengalami perubahan setelah
kejadian tersebut.
Misalnya,
setelah peristiwa 11 September 2001 tersebut muncul berbagai bentuk respon
negara (pemerintah) terkait perang melawan terorisme seperti dikeluarkannya
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) nomor 1 dan nomor 2 tahun
2002 tentang Antiterorisme, Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, usulan pengambilan sidik jari santri di
beberapa pesantren, pembentukan halaqah kebangsaan dan pembentukan Gugus Anti
Teror di Departemen Agama serta RUU Nomor 6 Tahun 2006 Tentang Pengesahan
Konvensi Internasional Pemberantasan Pendanaan Terorisme, 1999 (The
Suppression of The Financing of Terrorism, 1999). Tetapi beberapa kebijakan
tersebut terkesan diskriminatif dan cendrung memojokkan kelompok tertentu
terutama dari kalangan Islam.
Terorisme
memang harus dilawan karena merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan (crime
against humanity) dengan cara yang sangat kejam. Nurcholish Madjid
menyatakan kejahatan teror merupakan pelanggaran terhadap kesucian hak manusia
yang paling asasi dan paling universal. Al Qur’an bahkan menegaskan barangsiapa
yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain
atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah
membunuh manusia seluruhnya.
Kebijakan
negara dapat dilihat dari produk hukum yang memayungi kebijakan tersebut.
Ringkasnya, tugas negara adalah membuat hukum dan mengaplikasikannya. Dari segi
hukum, tindakan yang diambil pemerintah Indonesia terhadap pelaku teror dapat
dipahami sebagai prosedur standar mengatasi aksi kriminalisme. Namun, penting
juga dikaji secara mendalam bagaimana latar belakang dan asal usul historis
kelahiran sebuah kebijakan agar terhindar dari prasangka yang negatif terhadap
kebijakan tersebut.
Prasangka
negatif terhadap terhadap setiap kebijakan sangat lazim terjadi. Prasangka
negatif ini lambat laun berubah menjadi sebuah pencitraan yang tak
menguntungkan terhadap Islam dan umat Islam Indonesia. Apalagi secara umum
Islam di berbagai negara di dunia sering berhadapan dengan persoalan pencitraan
yang mempengaruhi pandangan subyektif oleh pada umumnya bangsa barat. Misalnya,
menurut subyektifitas barat, negeri-negeri muslim dikelompokkan ke dalam dua kategori;
”moderat” dan ”radikal”. Dua negara kelompok moderat yang paling disukai adalah
Mesir dan Saudi Arabia. Tetapi setelah peristiwa 11 September 2001 sebutan
moderat ini diragukan karena kebanyakan pembajak pesawat yang menabrakkan
pesawat ke gedung World Trade Center New York justru berasal kedua negara
tersebut. Apalagi kedua negara tersebut minus dalam demokrasi dan transparansi
sipil.
Pencitraan
yang berangkat dari sebuah produk kebijakan yang notabene sebagai produk hukum
merupakan persoalan serius dalam sejarah. Dalam pandangan Gadamer, sejarawan
yang berusaha memahami sebuah hukum dengan mengacu pada situasi asal usul
historisnya tidak dapat mengabaikan perkembangan yuridisnya. Ia akan cendrung
menyediakan baginya pertanyaan-pertanyaan yang mengarahkan diri pada tradisi
historis. Tidak cukup sampai di situ, Josef Bleicher menyatakan ”aplikasi hukum
menuntut sebuah interpretasi yang dikaitkan dengan masa kini dan masyarakat
kontemporer.” Oleh sebab itu dianggap penting untuk mengkaji kembali perspektif
kebijakan-kebijakan yang telah diambil oleh pemerintah Indonesia dalam menangani
kasus-kasus terorisme sebagaimana dipaparkan di atas melalui
pertanyaan-pertanyaan yang sifatnya mendalami kebijakan tersebut dan dampaknya
terhadap citra Islam Indonesia.
Dikutip
dari Perang Melawan Terorisme; Islam Indonesia Pasca peristiwa WTC 2001.
Agar
Pembaca dapat mengulas tema di atas lebih dalam, kami lampirkan versi luring
(offline) pdf Perang Melawan Terorisme; Islam Indonesia Pasca peristiwa WTC
2001 tersebut pada link di bawah ini.
0 komentar:
Posting Komentar