![]() |
Sumber gambar: rencanamu.id |
Manusia
adalah makhluk sosial. Apakah kita suka atau tidak, hampir semua yang kita
lakukan dalam kehidupan kita berkaitan dengan orang lain. Sedikit sekali yang
kita lakukan benar-benar soliter dan sangat jarang kesempatan kita benar-benar
hanya sendirian. Jadi, kajian mengenai bagaimana kita dapat berinteraksi satu
sama lain, dan apa yang terjadi ketika kita berinteraksi, adalah salah satu
ikhwal paling mendasar yang menarik dalam kehidupan manusia. Cukup aneh
barangkali, belum terlalu lama berselang—sejak kira-kira permulaan abad ke-19
dan seterusnya— suatu minat khusus dalam aspek sosial keberadaan manusia yang
intrinsik ini digarap secara serius. Sebelum masa itu, dan bahkan setelah itu,
lapangan minat lain mendominasi analisis kehidupan manusia. Dua pendekatan
non-sosial mengenai perilaku manusia yang paling bertahan lama adalah
eksplanasi “naturalistik” dan “individualistik”.
Ketimbang
memandang perilaku sosial sebagai produk interaksi, teori-teori ini memusatkan perhatian
pada kualitas alamiah yang terkandung dalam individu manusia. Di satu pihak,
eksplanasi naturalistik berpendapat bahwa semua perilaku manusia—termasuk
interaksi sosial—adalah produk disposisi yang diwariskan yang kita miliki
sebagai makhluk binatang. Sebagaimana hewan, manusia diprogram secara biologi
oleh alam. Di pihak lain, eksplanasi individualistik mendorong dibangunnya
generalisasi besar mengenai perilaku yang pasti itu. Dari sudut pandang ini kita
semua adalah “individual” dan “berbeda”. Dengan demikian eksplanasi mengenai
perilaku manusia akhirnya harus terletak pada kualitas psikologis yang khusus
dan unik dari individu. Teori-teori sosiologi memiliki posisi kontras yang
langsung dengan pendekatan-pendekatan “non sosial” ini. Meninjau sedikit lebih
dekat, dan menemukan apa yang salah atau tidak lengkap dari pendekatan
tersebut, memudahkan kita untuk memahami mengapa teori-teori sosiologi itu ada.
Teori-teori Naturalistik
Eksplanasi
naturalistik mengenai aktivitas manusia cukup banyak diketahui. Misalnya, dalam
masyarakat kita hidup anggapan bahwa adalah alamiah bagi laki-laki dan
perempuan saling jatuh cinta, menikah dan mempunyai anak-anak. Adalah alamiah
pula bahwa mereka hidup dalam keluarga inti, dengan suami pergi bekerja untuk
mencari nakah untuk istri dan anak-anaknya, sedangkan istri adalah ibu yang
bertugas memelihara anak-anak di rumah khususnya ketika anak-anak masih kecil.
Jika anak-anak beranjak besar, alamiah pula jika mereka tetap tinggal bersama
orangtua yang bertanggung jawab terhadap mereka sekurang-kurangnya hingga
remaja. Setelah itu, alamiah pula jika mereka ingin meninggalkan “sarang”,
untuk mulai menemukan jalan kehidupan mereka sendiri, khususnya mencari
pasangan hidup. Seperti orangtua mereka, anak-anak akan menikah dan membangun
keluarga sendiri.
Pola
praktik “alamiah” ini menyebabkan praktik yang berlawanan seperti tidak mau
menikah, atau menikah karena alasan lain yang bukan cinta, menjadi tidak
alamiah. Juga tidak alamiah orang-orang yang menikah tapi tidak mau punya anak,
atau para istri yang tidak mau menjadi ibu yang memelihara anaka-naknya.
Demikian pula halnya, anak-anak yang belum berusia 18 tahun tetapi sudah
meninggalkan rumah adalah tidak alamiah, atau anak-anak yang sudah dewasa
tetapi tidak mau meninggalkan rumah untuk membangun keluarga sendiri. Namun
dalam masyarakat Barat keinginan dan praktik yang “tidak alamiah” ini cukup
biasa. Cukup banyak orang yang tidak menikah atau yang hidup bersama tanpa menikah.
Cukup banyak wanita yang tidak setuju dengan gagasan menjadi ibu, dan juga
banyak wanita yang tak mau sepanjang hayat menjadi ibu rumah tangga saja.
Banyak anak-anak yang meninggalkan keluarga sebelum berusia 18 tahun, dan
sebaliknya banyak pula yang tetap tinggal bersama keluarga meski sudah berusia
lebih dari 18 tahun.
Mengapa
demikian? Jika perilaku manusia adalah produk disposisi yang melekat
(terkandung) secara alamiah pada manusia lalu mengapa ada penyimpangan yang
cukup besar jumlahnya itu? Kita bisa menggambarkan cukup tersebarnya pola-pola
kelakuan yang “tidak alamiah” itu hingga dalam skala besar, dalam program
genetika besar.
Lalu,
mengapa terdapat banyak variasi dari konsep praktik keluarga “normal” pada
berbagai masyarakat yang lain? Baik sejarah maupun antropologi memberikan
kontras-kontras dalam kehidupan keluarga. Dalam bukunya tentang kehidupan
keluarga di Eropa Kuno, Centuries of Childhood (1973), Philippe Ariès
membuat gambaran tentang perkawinan, keluarga, dan pengasuhan anak yang berlawanan
dengan tajam dengan konsep Barat mengenai apa yang disebut normal. Keluarga
bukanlah satuan sosial yang bersifat pribadi dan terisolasi, terputus secara
sosial, dan terpisah secara fisik dari dunia secara luas. Keluarga terikat erat
dalam komuniti, dengan orang-orang yang secara esensial hidup publik, bukan
pribadi. Mereka hidup dalam rumah tangga yang komposisinya terus-menerus
bergeser: kerabat, teman-teman, anak-anak, tamu-tamu, orang-orang yang sekadar
singgah, dan juga hewan piaraan semuanya tidur di bawah atap yang sama.
Perkawinan terutama menjadi alat untuk membangun aliansi bukan hasil hubungan
cinta, sehingga wanita tentu saja tidak memandang “menjadi ibu” sebagai takdir
yang harus ditanggung sendiri. Jelaslah bahwa pengasuhan anak bukan beban berat
dibandingkan dengan dalam masyarakat kita. Lebih banyak orang terlibat dalam
mengasuh anak –-baik kerabat maupun warga komunitas secara keseluruhan. Masa
kanak-kanak berlangsung lebih pendek daripada masa kini. Seperti dikemukakan
Ariès (1973) “tak lama setelah disapih, anak secara alamiah menjadi teman orang
dewasa”.
Dalam
masyarakat non-industri kontemporer juga terdapat variasi praktik keluarga.
Perkawinan adalah alat yang esensial untuk membangun aliansi antara
kelompok-kelompok, tak hanya sekadar hubungan individu. Monogami—satu suami dan
satu istri—hanya salah satu bentuk perkawinan. Poligami, perkawinan antara
suami dengan lebih dari satu wanita, dan poliandri, antara seorang istri dengan
lebih dari satu suami, ditemukan dalam banyak masyarakat. Kehidupan domestik
jauh lebih publik dan komunal daripada dalam masyarakat industri. Setiap satuan
keluarga adalah bagian dari yang lebih luas, yang menggabungkan kelompok
kerabat sedarah yang dikaitkan dengan teritorial lokal, biasanya sebuah desa.
Seperti pada masyarakat Eropa Kuno, pengasuhan anak tidak dianggap sebagai
tanggung jawab utama orang tua semata-mata, tetapi melibatkan jauh lebih banyak
orang, kerabat, dan yang bukan kerabat.
Maka
jelas bahwa berharap menjelaskan kehidupan manusia semata-mata dengan acuan
impuls-impuls alamiah menaikan fakta yang sangat penting di mana sosiologi
mengarahkan perhatian pada perilaku manusia bervariasi sesuai dengan latar
sosial di mana manusia menemukan dirinya sendiri.
Teori-teori Individualistik
Apakah
yang dimaksud eksplanasi individualistik? Seberapa berguna argumen bahwa
perilaku adalah produk perubahan psikologis individu? Teori ini sangat sering
digunakan. Sebagai contoh, berhasil tidaknya pendidikan seringkali diasumsikan
semata-mata cerminan dari kecerdasan: anak yang cerdas akan sukses, yang tidak
cerdas gagal. Para penjahat kerapkali dianggap sebagai orang-orang dengan
kepribadian menyimpang: mereka biasanya dilihat sebagai menyimpang secara
moral, yang kurang memiliki perasaan salah dan benar. Para penganggur seringkali
dituduh sebagai pemalas, malu mencari pekerjaan, lemah semangat, dan tidak
tekun bekerja. Bunuh diri kerapkali dilihat sebagai tindakan orang yang tidak
stabil; suatu tindakan orang yang “terganggu keseimbangan pikirannya”.
Eksplanasi ini menarik bagi banyak orang dan khususnya terbukti tahan terhadap
kritik sosiologi. Namun pengkajian yang lebih cermat menunjukkan bahwa
eksplanasi ini kurang tepat.
Jika
pencapaian pendidikan semata-mata mencerminkan kecerd asan mengapa anak-anak
dari kelas pekerja menunjukkan prestasi pendidikan yang tak kalah dari mereka
yang datang dari kelas menengah? Tentu gegabah untuk mengatakan bahwa
orangorang yang berasal dari pekerjaan tertentu menunjukkan prestasi pendidikan
yang lebih rendah dibandingkan pekerjaan lain. Dengan kata lain, kecerdasan
tidak bisa ditentukan semata-mata oleh jenis pekerjaan, meskipun ada benarnya
bahwa pencapaian dalam pendidikan pada batas tertentu dapat dipengaruhi oleh
latar belakang anak.
Hal
yang sama, fakta bahwa kebanyakan pelaku kejahatan berasal dari kategori sosial
tertentu menimbulkan keraguan serius terhadap teori “defisiensi kepribadian”.
Angka tindakan kejahatan tertinggi pada laki-laki muda, khususnya kalangan
berkulit hitam, yang berasal dari kalangan sosial ekonomi kelas pekerja dan
penganggur. Lalu, dapatkah kita meyakini bahwa kepribadian jahat itu
terkonsentrasi pada kategori sosial tersebut? Seperti halnya pencapaian
pendidikan, jelas bahwa tindak kejahatan pasti dipengaruhi oleh faktor-faktor
sosial.
Semua
teori sosiologi memilik persamaan penekanan dalam hal keyakinan manusia dan
tindakan adalah produk pengaruh sosial. Teori-teori itu berbeda sesuai dengan
pengaruh tersebut, dan bagaimana teori-teori itu seharusnya dikembangkan dan dijelaskan.
Buku ini adalah tentang perbedaan-perbedaan tersebut.
Kita
hendak membahas tiga jenis teori penting—konsensus, konlik, dan tindakan—yang
setiap jenis teori ini membicarakan sumber sosial spesiik dari perilaku
manusia. Membicarakan ketiga kategori tersebut memberikan dua manfaat: (1) buku
ini merupakan pengantar kepada perdebatan teori dalam sosiologi; dan (2) buku
ini menjadi acuan yang berguna bagi menilai dan membandingkan dengan karya
teoritisi besar sosiologi.
Masyarakat sebagai Struktur Aturan: Pengaruh Kebudayaan
terhadap Perilaku
Bayangkan
Anda tinggal di sebuah kota besar. Berapa banyak orang yang Anda kenal baik?
Dua puluh? Lima puluh? Nah, coba bayangkan sekarang, berapa banyak orang yang
Anda temui setiap hari, yang tidak Anda kenal benar. Sebagai contoh, berapa
banyak orang asing yang kita bertemu di London atau Manchester atau Birmingham
setiap hari? Di jalan raya, di toko-toko, di bus atau kereta, di bioskop dan
restoran—kehidupan sehari-hari di suatu kota besar adalah pertemuan yang tetap
dengan banyak orang asing. Meskipun katakanlah penduduk kota ini peduli dengan
fakta ini, biasanya mereka meninggalkan rumah tanpa memikirkan bagaimana
orang-orang asing yang berpapasan setiap saat itu berperilaku terhadap mereka.
Sukar dibayangkan mereka akan memikirkan hal itu. Mengapa kita tidak begitu
hirau? Karena hampir semua orang yang kita temui dalam kehidupan sehari-hari
berperilaku sesuai dengan yang kita harapkan. Kita mengharapkan penumpang,
sopir taksi, orang yang belanja, dan lainnya berperilaku menurut cara-cara yang
pasti meskipun kita tidak mengenal orangorang itu secara pribadi. Penduduk kota
keluar masuk latar sosial di mana orang lain melakukan aktivitas, tak acuh
dengan apa yang dilakukan satu sama lain. Semua berjalan rutin tak soal apakah
perkenalan lebih jauh diperlukan atau tidak. Kita hanya akan kaget apabila
ketemu orang-orang yang sudah dikenal lama sebelumnya. “Tak menyangka ketemu
Anda di sini. Dunia ini memang kecil ya.” Atau sebaliknya, anak bertanya kepada
ibunya, “Ibu, kok orang itu bertingkah laku seperti itu sih?”. Mengapa demikian?
Karena kita secara tak sadar mengharapkan orang lain berkelakuan menurut
standar tertentu. Selama perilaku kita masih berada dalam tatanan standar itu,
kita tidak begitu peduli dengan orang lain. Kita hanya akan bereaksi apabila
ada orang yang berperilaku berbeda, yang menyimpang dari aturan baku.
Teori Struktural-Konsensus
Salah
satu cara sosiologi menjelaskan keteraturan dan memprediksi kehidupan sosial
adalah dengan memandang perilaku manusia sebagai perilaku yang dipelajari.
Pendekatan ini—atas alasanalasan yang akan djelaskan nanti—disebut sebagai
teori struktural-konsensus. Proses kunci yang ditekankan teori ini disebut
sosialisasi. Istilah ini merujuk kepada cara di mana manusia mempelajari
perilaku tertentu yang diharapkan dari mereka diwujudkan dalam latar sosial di
mana mereka menemukan diri mereka sendiri. Dari sudut pandang ini, masyarakat
berbeda karena jenis-jenis perilaku yang dianggap sesuai ternyata berbeda-beda.
Manusia dalam masyarakat yang lain berpikir dan berperilaku berbeda karena
aturan-aturan yang berlainan mengenai bagaimana harus berperilaku dan berpikir.
Hal yang sama juga bagi kelompok-kelompok yang berbeda-beda dalam masyarakat
yang sama. Tindakan dan ide dari satu kelompok berbeda dari kelompok-kelompok
lain karena anggotanya disosialisasikan dalam aturan-aturan yang berbeda pula.
Para
sosiolog yang menganut teori konsensus menggunakan istilah kebudayaan
untuk menguraikan aturan-aturan yang mengatur pikiran dan kelakuan dalam suatu
masyarakat. Kebudayaan ada sebelum manusia mempelajarinya. Ketika lahir,
manusia dihadapkan dengan dunia sosial yang sudah ada. Hidup di dunia ini
berarti belajar “bagaimana melakukan segala sesuatu”. Hanya dengan mempelajari
aturan-aturan kebudayaan suatu masyarakat dapatlah manusia berinteraksi dengan
manusia lain. Karena mereka samasama disosialisasikan, orang-orang yang
berbeda-beda akan berperilaku sama.
Teori
konsensus berpendapat bahwa aturan-aturan kebudayaan suatu masyarakat, atau
struktur, menentukan perilaku anggotanya, menyalurkan tindakan-tindakan mereka
dengan cara-cara tertentu yang mungkin berbeda dari masyarakat yang lain.
Mereka melakukan hal itu dengan cara yang mirip dengan konstruksi fisik
bangunan yang menstrukturkan tindakan-tindakan orang-orang yang berada di
dalamnya. Ambillah contoh perilaku siswa di sekolah. Ketika berada dalam
lingkungan sekolah mereka memiliki pola-pola perilaku yang relatif teratur.
Mereka berjalan di sepanjang koridor, naik dan turun tangga, keluar dan masuk
kelas melalui pintu-pintu tertentu, dan selanjutnya. Mereka tidak keluar atau
masuk kelas melalui jendela, memanjat tembok, dan sebagainya. Gerakan fisik
mereka dibatasi oleh bangunan sekolah. Karena hal ini memengaruhi semua siswa
sama, perilaku mereka di dalam sekolah akan sama—dan akan menunjukkan pola yang
cukup jelas. Dalam teori konsensus, hal yang sama juga terjadi dalam kehidupan
sosial. Individu akan berperilaku sama dalam latar sosial yang sama karena
mereka dibatasi oleh aturan-aturan kebudayaan yang sama. Meskipun
struktur-struktur sosial ini tidak nampak dalam hal struktur fisiknya,
orang-orang yang disosialisasikan ke dalam aturan-aturan ini menemukan hal ini
menentukan.
Tingkatan
di mana aturan-aturan kebudayaan ini bekerja dapat bervariasi. Aturan tertentu,
hukum misalnya, bekerja pada tingkatan seluruh masyarakat dan menstrukturkan
perilaku setiap orang yang hidup di dalam masyarakat tersebut. Aturan-aturan
yang lain lebih khusus, menstrukturkan kelakuan orang dalam latar yang lebih
khusus pula. Misalnya, anak-anak di kelas diharapkan untuk berperilaku tertib
dan penuh perhatian. Contoh lain, ketika petugas polisi atau perawat atau
tentara sedang bertugas, aturanaturan kebudayaan tertentu menstrukturkan
kelakuan mereka sangat kaku. Selepas tugas batas-batas ini tidak diterapkan,
dan sebagai gantinya adalah aturan-aturan dalam keluarga sebagai ayah, ibu atau
anak-anak, atau sebagai suami atau istri.
Hal
di atas menunjukkan bagaimana teori struktur sosial dari aturan-aturan
kebudayaan bekerja. Aturan-aturan ini tidak diterapkan kepada individu itu sendiri,
melainkan kepada posisi-posisi dalam struktur sosial yang mereka tempati.
Penjaga toko, polisi, pengatur lalu lintas, guru atau siswa dibatasi oleh
ekspektasi kebudayaan yang dilekatkan pada posisi-posisi ini, tetapi hanya jika
mereka menempati posisi-posisi tersebut. Dalam lingkungan yang lain, dalam
lokasi yang lain dalam struktur sosial—sebagai ayah atau ibu, pemain squash,
pendukung tim sepakbola, jemaah gereja, dan seterusnya—aturan-aturan yang lain
bekerja.
Para
sosiolog menyebut posisi-posisi dalam suatu struktur sosial sebagai peranan.
Aturan-aturan yang menstrukturkan perilaku orang-orang yang menempati posisi
disebut norma. Ada aturan-aturan kebudayaan tertentu yang tidak melekat pada
peranan atau perangkat peranan tertentu. Disebut nilai, yang merup akan
ringkasan dari cara-cara hidup yang sudah disepakati bersama, dan bertindak
sebagai basis yang dari basis ini normanorma tertentu berlaku. Jadi, misalnya,
“pendidikan harus menjadi kunci keberhasilan”; “hubungan keluarga harus menjadi
pranata paling penting untuk dilindungi”; “kemandirian harus menjadi syarat
bagi pencapaian individual.” Semua ini adalah nilai, dan nilai ini menjadi
prinsip umum yang menjadi sumber norma bagi mengarahkan perilaku di sekolah, di
rumah, dan di tempat kerja.
Menurut
teori sosiologi ini, sosialisasi menjadi norma dan nilainilai menghasilkan
kesepakatan, atau konsensus, di antara orang-orang mengenai perilaku dan
keyakinan yang sesuai yang tanpa kedua hal ini masyarakat tidak dapat hidup.
Itulah sebabnya cara pandang ini disebut teori struktural-konsensus. Melalui
sosialisasi aturan-aturan kebudayaan menstrukturkan perilaku, menjamin
konsensus dalam hal perilaku yang diharapkan, dan oleh karena itu menjamin
keteraturan sosial.
Jelas
bahwa dalam masyarakat kompleks kadang-kadang ada norma-norma dan nilai-nilai
yang berlawanan. Sebagai contoh, ketika sebagian orang berpikir bahwa kurang
baik apabila ibu pergi bekerja, cukup banyak wanita yang ingin bekerja sebagai
wujud keinginan akan kebebasan. Anak-anak di sekolah mendorong teman-temannya
untuk melanggar aturan sekolah, dan mengucilkan teman-teman yang tidak mau
ikut. Guru seringkali memandang gejala ini dengan cara sebaliknya. Tory Party
Conference adalah pertemuan tahunan yang membahas sanksi hukuman terhadap
orang-orang yang mengkritik polisi.
Para
teoritisi konsensus menjelaskan perbedaan dalam perilaku dan sikap dalam
konteks keberadaan pengaruh kebudayaan alternatif, karakteristik dari latar
sosial. Contoh yang baik dalam hal ini adalah pendekatan teori ini terhadap
ketidaksetaraan pendidikan.
Ketidaksetaraan Pendidikan: Analisis Teori Konsensus
Penelitian
pendidikan menunjukkan, dengan kesimpulan eksplisit, bahwa pencapaian dalam
pendidikan sangat kuat kaitannya dengan keanggotaan kelas sosial, jender, dan
asal-usul etnik. Sebagai contoh, banyak sekali bukti yang menunjukkan bahwa
anak-anak dari kelas buruh pekerja yang memiliki kecerdasan sama dengan
anak-anak dari kelas menengah memiliki pencapaian jauh lebih rendah daripada
anak-anak dari kelas menengah itu.
Untuk
menjelaskan hal ini, teoritisi konsensus menghimpun konsep-konsep dalam
pendekatan mereka mengenai kehidupan sosial—norma, nilai, sosialisasi, dan
kebudayaan. Dimulai dari asumsi dasar bahwa perilaku dan keyakinan disebabkan
oleh sosialisasi ke dalam aturan-aturan khusus, eksplanasi mereka mengenai
rendahnya pencapaian pendidikan anak-anak kelas pekerja berusaha
mengidentiikasi: (1) pengaruh kebudayaan yang mengendalikan anak-anak kelas
menengah mencapai sukses akademik. (2) pengaruh kebudayaan yang menjerumuskan
anak-anak kelas pekerja ke dalam pencapaian yang sangat rendah.
Penjelasannya
biasanya sebagai berikut. Tingginya pencapaian anak-anak kelas menengah
didorong oleh sosialisasi ke dalam norma dan nilai yang ideal bagi pencapaian
pendidikan. Karena pengalaman pendidikan mereka sendiri, orangtua kalangan
kelas menengah sangat mengetahui tentang bagaimana pendidikan berlangsung dan
bagaimana mencapainya. Lebih lanjut, mereka nampaknya sangat ingin agar
anak-anak mereka mencapai sukses dalam pendidikan. Jadi, anak-anak ini tumbuh
dalam latar sosial di mana pencapaian pendidikan bernilai tinggi dan mereka
secara terus-menerus didorong dan dibantu untuk mencapai potensi akademik yang
tinggi.
Sebaliknya,
latar belakang keluarga anak-anak buruh pekerja kerapkali kekurangan
sosialisasi yang menguntungkan. Orang tua kelas pekerja nampaknya hanya
memiliki pengalaman pendidikan yang terbatas, mungkin tidak memadai. Meskipun
mereka ingin sekali agar anak-anak mereka mencapai sukses pendidikan tetapi
mereka nyaris tidak mengetahui bagaimana kalangan kelas menengah mencapai
keberhasilan pendidikan itu. Kadang mereka melecehkan pencapaian pendidikan;
misalnya, mereka tidak percaya bahwa mereka tidak tahu. Akibatnya, anak-anak
mereka diajarkan untuk tidak menghargai pencapaian pendidikan, lebih senang
bila anak-anak cepat bekerja, meninggalkan bangku sekolah untuk ikut terjun
dalam lapangan kerja rendahan.
Teori Konsensus: Kesimpulan
Ini
adalah sebuah contoh mengenai penerapan teori konsensus pada fakta kehidupan
sosial. Dari sudut pandang teoritisi, berbagai pola kelakuan merupakan produk
dari berbagai pola sosialisasi. Nampaknya cara pandang ini berlawanan dengan
komitmen teori-teori ini terhadap gagasan bahwa keteraturan sosial dalam suatu
masyarakat adalah hasil kesepakatan atau konsensus di kalangan para anggotanya
mengenai bagaimana berperilaku dan apa yang dipikirkan. Akan tetapi teori
konsensus mengatakan bahwa meski terdapat perbedaan kebudayaan di antara
kelompok-kelompok, akan meski terdapat sejumlah sub-budaya dalam suatu kesatuan
besar kebudayaan, dalam semua masyarakat konsensus itu selalu ada. Hal ini
karena semua masyarakat memiliki nilainilai yang mantap mengenai suatu arti
penting yang tidak perlu diperdebatkan. Nilai-nilai ini mungkin disebut
nilai-nilai inti atau nilai-nilai sentral, dan sosialisasi memantapkan setiap
orang untuk tunduk pada nilai-nilai itu.
Di
Inggris pada zaman Victoria, dua nilai sentral adalah komitemen kepada
moralitas Kristen, dan kesetiaan kepada Ratu dan Kerajaan Inggris. Kini,
contoh-contoh nilai sentral dalam masyarakat kapitalis Barat mungkin pentingnya
pertumbuhan ekonomi, pentingnya institusi demokrasi, pentingnya penegakan
hukum, dan pentingnya kebebasan setiap individu dalam hukum. Jadi, sesungguhnya
sesuatu yang diyakini sebagai “dasar dari cara hidup bangsa kita” pada masa
tertentu biasanya merupakan nilai sentral dalam suatu masyarakat.
Bagi
teori konsensus, nilai-nilai inti merupakan penyangga struktur sosial, yang
dibangun dan dipelihara melalui proses sosialisasi. Perilaku sosial dan
struktur sosial ditentukan oleh kekuatan budaya eksternal. Kehidupan sosial
dimungkinkan karena adanya struktur sosial yang menjadi bagian dari tatanan
budaya.
Masyarakat Sebagai Struktur Ketidaksetaraan: Pengaruh Keberuntungan
dan Ketidakberuntungan Terhadap Perilaku
Ada
sebagian ahli sosiologi lain yang mengembangkan pendapat teoritis yang berbeda.
Mereka berpendapat bahwa bahwa masyarakat menentukan perilaku kita dengan cara
menstrukturkan atau menghambatnya. Namun, mereka menekankan hambatan struktural
yang berbeda. Bagi mereka, pengaruh terpenting terhadap kehidupan sosial adalah
distribusi keberuntungan dan dampaknya pada perilaku. Apabila keberuntungan itu
tersebar secara tidak merata, kesempatan orang-orang yang beruntung untuk
memilih bagaimana berperilaku jauh lebih besar daripada orang-orang yang tidak
beruntung.
Ketidaksetaraan Kesempatan Pendidikan: Suatu Analisis Alternatif
Misalnya,
meskipun sangat mungkin bagi dua anak laki-laki yang memiliki tingkat kecerdasan
sama untuk memanfaatkan potensinya bagi mencapai tingkat pendidikan yang
setara, dan juga keduanya mendapat dukungan yang sama besar dari orang tua
mereka, antusiasme kebudayaan keduanya tidak dapat menjamin keduanya akan
mencapai kesuksesan atau kegagalan yang sama dalam pendidikan. Jika anak
laki-laki yang satu datang dari keluarga yang kaya, sedangkan yang satu lagi
berasal dari keluarga yang miskin, meskipun keduanya memiliki keinginan
mencapai pendidikan yang sama, hasilnya tidak akan sama secara signifikan.
Jelaslah bahwa distribusi keuntungan yang tidak merata—dalam hal ini sumberdaya
materi—akan menguntungkan anak yang memiliki privilege daripada anak
yang tidak beruntung.
Orang
tua anak yang menikmati privilege itu dapat membeli pendidikan,
sedangkan anak dari keluarga miskin tidak. Anak yang beruntung terjamin
hidupnya tinggal di rumah besar dan serba ada, dengan ruang yang cukup untuk
belajar, sedangkan anak yang tidak beruntung mungkin harus puas dengan ruang
kecil yang berdesakan terisi televisi, dan tempat tidur yang digunakan bersama
kakak atau adiknya. Anak yang beruntung terpenuhi kebutuhan makanan yang cukup
dan bergizi sehingga mereka sehat, sedangkan anak yang tidak beruntung
sebaliknya Anak yang beruntung terjamin untuk akses ke semua buku dan peralatan
yang dibutuhkan untuk belajar, sedangkan anak yang tidak beruntung tidak
memiliki akses itu. Barangkali yang terpenting, anak yang beruntung dapat
melanjutkan pendidikan hingga tingkat setinggitingginya. Namun, bagi anak yang
tak beruntung mungkin harus putus sekolah dan harus bekerja untuk menunjang
penghasilan keluarga. Tuntutan yang demikian kuat menyebabkan pendidikan anak
harus berakhir dini.
Teori Struktural-Konflik
Maka,
salah satu tujuan utama sebagian sosiolog dengan teori struktural-konsensus
adalah bahwa jika masyarakat tidak setara, maka manusia tidak hanya dihambat
oleh norma-norma dan nilainilai yang dipelajari melalui sosialisasi.
Teori-teori ini berpendapat bahwa manusia juga dibatasi oleh kemudahan yang dia
miliki— oleh posisinya dalam struktur ketidaksetaraan dalam masyarakat mereka.
Ini menekankan pengaruh perilaku dari distribusi kemudahan yang tidak merata
yang dalam masyarakat biasanya dikaitkan dengan teori struktural-konflik.
Mengapa teori ini disebut demikian?
Ada
beragam struktur ketidaksetaraan di masyarakat. Kelompok etnik mungkin tidak
setara, muda dan tua mungkin tidak setara, laki-laki dan perempuan mungkin
tidak setara, orang-orang yang memiliki pekerjaan yang berbeda bisa tidak
setara, orang-orang yang berbeda agama bisa tidak setara, dan seterusnya.
Kemudahan yang tidak setara yang melekat pada kelompok tersebut juga
bermacam-macam. Berbagai kelompok bisa memiliki kekuasaan, wewenang, prestise,
kekayaan, atau kombinasi unsur-unsur tersebut dengan kemudahan lainnya.
Berbeda
dengan berbagai pusat perhatian teori konflik berbasis ketidaksetaraan, dan
bermacam kemudahan yang mereka anggap tersebar tidak merata, teori-teori
tersebut memiliki kesamaan aksioma bahwa asal-usul dan persistensi struktur
ketidaksetaraan terletak pada dominasi atas kelompok-kelompok yang tidak
beruntung itu oleh kelompok-kelompok yang beruntung. Disebut teori konflik
demikian karena bagi teori-teori ini, yang melekat pada masyarakat yang tidak
setara adalah konlik kepentingan yang tak terhindari antara ”yang berpunya” dan
”yang tidak berpunya”. Seperti dikatakan Wes Sharrock (1977):
Pandangan konflik dibangun atas dasar
asumsi bahwa ... setiap masyarakat ... dapat memberikan kehidupan baik luar
biasa bagi sebagian orang tetapi hal ini biasanya hanya mungkin karena
kebanyakan orang tertindas dan ditekan.... Oleh sebab itu, perbedaan
kepentingan dalam masyarakat sama pentingnya dengan kesepakatan atas aturan dan
nilai-nilai, dan sebagian besar masyarakat diorganisasi sedemikian sehingga
masyarakat tersebut tidak hanya memberikan manfaat lebih besar bagi sebagian
warganya lainnya. Manfaat lebih besar bagi sebagian warga berarti
ketidaknyamanan bagi sebagian warga lain yang tidak mendapatkan kemudahan (hlm.
515-16).
Oleh
karena itu, teori konflik berbeda dengan teori konsensus tidak hanya karena
teori konflik tertarik pada cara kemudahan terdistribusi secara tidak setara
dalam masyarakat menstrukturkan perilaku, tetapi juga karena teori-teori ini
tertarik pada konflik, bukan konsensus, yang inheren dalam masyarakat tersebut.
Menurut teori konflik, terdapat konflik kepentingan antara warga masyarakat
yang memiliki kemudahan dan yang tidak, di mana konlik tersebut inheren dalam
hubungan mereka.
Namun,
ada juga keberatan teori konflik terhadap teori konsensus. Teori-teori konflik
tidak hanya menuduh teori konsensus terlalu menekankan norma-norma dan
nilai-nilai sebagai penentu (determinan) perilaku lebih dari pengaruh lainnya.
Para pendukung teori konflik juga berpendapat bahwa teori konsensus salah
memahami dan salah menafsirkan peranan konsep kunci— yakni sosialisasi ke dalam kebudayaan.
Ide sebagai Instrumen Kekuasaan
Teori
konsensus mengatakan bahwa manusia berperilaku sedemikian karena mereka
disosialisasikan ke dalam aturan-aturan kebudayaan. Hasilnya adalah konsensus
mengenai bagaimana berpikiran dan berperilaku, yang mewujud dalam pola-pola dan
keteraturan perilaku. Sebaliknya, teori-teori konlik berpendapat bahwa kita
seharusnya melihat peranan aturan-aturan kebudayaan dan proses sosialisasi
dalam cara yang sangat berbeda. Bagi teori-teori konflik, penentu struktural
yang sesungguhnya adalah ganjaran dan keuntungan yang dimiliki secara tidak
setara oleh berbagai kelompok dalam masyarakat. Karena ingin setara,
orang-orang atau kelompok yang termasuk tidak beruntung tidak mau diam saja
menerima keadaan itu. Biasanya, setara itu tidak ada. Apabila suatu masyarakat
itu tidak setara, satu-satunya cara agar masyarakat tetap dapat terpelihara
adalah jika kelompok yang mengalami deprivasi tersebut menerima saja kondisi
itu. Kadang-kadang penerimaan itu terjadi karena pihak yang berkuasa melakukan
tindakan-tindakan represif seperti teror. Namun, penggunaan kekerasan oleh
pihak yang berkuasa untuk mempertahankan keuntungan yang tidak setara itu tidak
perlu harus blak-blakan. Ada dua cara yang saling terkait agar struktur yang
tak setara itu dapat dipelihara—karena menjanjikan hasil yang lebih meyakinkan
daripada yang blak-blakan. Pertama, struktur itu dipelihara jika
orang-orang yang tidak beruntung itu dicegah jangan sampai memandang diri mereka
tidak beruntung atau dirugikan, atau kedua, meskipun diakui mereka harus
diiming-imingi bahwa kondisi tersebut cukup adil — bahwasanya ketidaksetaraan
itu benar, absah, dan adil. Menurut pandangan konlik, hal ini terjadi melalui
kontrol dan manipulasi norma-norma dan nilai-nilai—aturan-aturan kebudayaan—di
mana orang disosialisasikan. Sebagai akibatnya, bagi teori konlik, jauh dari
berfungsi untuk membangun keteraturan sosial melalui konsensus, sosialisasi
lebih merupakan instrumen kekuasaan—menghasilkan keteraturan sosial melalui
kekuatan paksaan dan dominasi.
Bayangkan
skenario berikut ini. Pagi-pagi sekali di suatu negeri Amerika Latin.
Sekelompok buruh-tani, laki-laki dan perempuan. berdiri di tepi jalan menunggu
bus yang akan membawa mereka ke tempat pekerjaan. Tiba-tiba dua mobil van
muncul dan berhenti mendadak di hadapan mereka. Empat lakilaki bersenjata
berhamburan keluar. Di bawah todongan senjata, buruh-tani disuruh masuk mobil
van, sekejap mereka tancap gas, meninggalkan tempat itu menuju pedalaman.
Menjelang malam buruh tani disuruh keluar dari van dan dipindahkan ke kereta
lori besar yang tertutup. Kereta lori berlari kencang membelah malam, jauh
memasuki wilayah pegunungan. Sebelum fajar mereka sampai tujuan—sebuah tambang
raksasa, yang dibangun jauh di tengah-tengah pegunungan. Di sinilah para
buruh-tani mulai menempuh hidup yang mengerikan sebagai budak, dengan
pengawasan yang brutal dari para penjaga. Setelah diberi makanan bermutu
rendah, mereka dipaksa bekerja bersama pekerja lain yang sudah berada di sana
sebelumnya.
Hendak
melepaskan diri dari penderitaan, sebagian buruh-tani mencoba melarikan diri.
Apabila tertangkap, mereka dihukum di hadapan publik sebagai peringatan bagi
yang lain. Jika tertangkap lagi karena berusaha melarikan diri untuk kedua
kalinya, mereka langsung dihukum mati di depan umum. Ketika pekerja menjadi
semakin tua, mereka saling mengandalkan satu sama lain sebagai teman, dan
saling menceritakan pengalaman. Mereka tetap waras menceritakan
pengalaman-pengalaman masa lalu. Waktu bergulir, anak-anak lahir. Orang tua
begitu teliti menceritakan pengalaman mereka kepada anak-anak. Ketika anak-anak
menjadi orangtua pula, mereka menceritakan tentang kakek dan nenek dari anak-anak
mereka namun dengan bobot yang sudah
berubah. Tapi, bagi mereka ini adalah cerita-cerita sejarah yang disampaikan
langsung, bukan dongeng berdasarkan pengalaman. Tatkala waktu berlalu, meskipun
fakta-fakta kehidupan di pegunungan tetap sama, persepsi tentang kehidupan
orang-orang yang hidup di situ berubah. Setelah lima atau enam generasi budak
dilahirkan, pengetahuan mereka tentang dunia masa lampau nenek moyang mereka
lambat laun menghilang. Dituturkan juga sih, kadang-kadang. Namun, cerita
berubah menjadi mitos di dunia cerita rakyat (folklore). Semua yang mereka
ketahui dari pengalaman adalah perbudakan. Sejauh kemampuan mengingat, mereka
adalah budak. Dalam dunia mereka, perbudakan adalah ”normal”. Sebagai
akibatnya, menjadi budak adalah suatu yang sangat berbeda maknanya dengan
pemaknaan nenek moyang mereka.
Proses
yang sama terjadi pula pada pihak yang menindas. Ketika pandangan budak
mengenai diri mereka sendiri berubah sepanjang masa, maka perlunya melakukan
tindakan kekerasan juga semakin berkurang. Oleh karena melalui sosialisasi para
budak sudah menerima posisi subordinat mereka, para penjaga tidak lagi
menggunakan senjata dan pentungan. Artinya, mereka tidak lagi memandang diri
mereka sebagai penjaga dalam pengertian seperti dahulu. Maka, jadilah mereka
pihak yang dominan, dan pihak yang didominasi (subordinat), yang melalui
sosialisasi, mengalami ketidaksetaraan di dunia dengan cara pandang yang sangat
berbeda dari nenek moyang mereka.
Teori
konflik menunjukkan kepada kita bahwa daripada sekadar menguraikan
aturan-aturan kebudayaan dalam suatu masyarakat, kita harus secara cermat
mengkaji isinya. Kita seyogyanya bertanya: ”Siapa yang memperoleh keuntungan
dari seperangkat aturan tertentu dalam masyarakat, ketimbang hanya menguraikan
perangkat-perangkat aturan yang lain.” Aturan-aturan kebudayaan itu tidak
netral. Tentu saja teori konsensus benar bahwa manusia disosialisasikan ke
dalam norma-norma dan nilai-nilai yang sudah ada. Namun, bagi teori konflik,
itu baru separuh cerita. Kita juga harus menemukan apakah kelompok-kelompok
tertentu memperoleh keuntungan lebih besar daripada yang lain sebagai akibat
dari kehadiran perangkat aturan tersebut, dan lebih banyak membicarakan
konstruksi dan interpretasinya. Jika kita mengikuti alur pemikiran ini, maka
proses sosialisasi dalam konteks ini adalah instrumen dari keuntungan itu—yakni
instrumen kekuasaan pihak yang mendominasi.
Dikutip
dari Pengantar Buku Teori-teori Sosial Dari Fungsionalisme hingga
Post-modernisme.
Agar
Pembaca dapat mengulas tema di atas lebih dalam, kami lampirkan versi luring
(offline) pdf “Teori-teori Sosial Dari Fungsionalisme hingga Post-modernisme” pada
link di bawah ini.
0 komentar:
Posting Komentar