![]() |
Sumber gambar: news.detik.com |
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme adalah
Musuh Kita Bersama
Korupsi
merupakan salah satu kata yang cukup populer di masyarakat dan telah menjadi
tema pembicaraan sehari-hari. Praktik KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme)
masih dijumpai dan telah menggurita di hampir semua lini instansi mulai tingkat
hulu sampai hilir. Ini menjadi permasalahan bersama tidak hanya di Indonesia,
tetapi juga problematika global. Namun demikian, ternyata masih banyak
masyarakat yang belum mengetahui apa itu korupsi. Pada umumnya, masyarakat
memahami korupsi sebagai sesuatu yang merugikan keuangan negara semata. Padahal
dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, ada 30 jenis tindak pidana
korupsi. Ke-30 jenis tindak pidana korupsi tersebut pada dasarnya dapat
dikelompokkan menjadi tujuh, yaitu: i) kerugian keuangan Negara; ii) suap-menyuap;
iii) penggelapan dalam jabatan; iv) pemerasan; v) perbuatan curang; vi)
benturan kepentingan dalam pengadaan; dan vii) gratifikasi.
Dari
berbagai jenis korupsi yang diatur dalam undang-undang, gratifikasi merupakan
suatu hal yang relatif baru dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi di
Indonesia. Gratifikasi diatur dalam Pasal 12B Undang-Undang tersebut di atas.
Dalam penjelasan pasal tersebut, gratifikasi didefinisikan sebagai suatu
pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat,
komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan,
perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya, yang diterima
di dalam negeri maupun yang di luar negeri dan yang dilakukan dengan
menggunakan sarana elektronika maupun tanpa sarana elektronika. Meskipun sudah
diterangkan di dalam undang-undang, ternyata masih banyak masyarakat Indonesia
yang belum memahami definisi gratifikasi, bahkan para pakar pun masih
memperdebatkan hal ini.
Pendahuluan
Pada
tahun 2001 dilakukan amandemen terhadap Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun
2001. Dalam Undang-Undang yang baru ini lebih diuraikan elemen-elemen dalam
pasalpasal Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang pada awalnya hanya
disebutkan saja dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999. Dalam amademen ini
juga, untuk pertama kalinya istilah gratifikasi dipergunakan dalam peraturan
perundang-undangan di Indonesia, yang diatur dalam Pasal 12B.
Dalam
Pasal 12B ini, perbuatan penerimaan gratifikasi oleh Pegawai Negeri atau
Penyelenggara Negara yang dianggap sebagai perbuatan suap apabila pemberian
tersebut dilakukan karena berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan
kewajiban atau tugasnya. Terbentuknya peraturan tentang gratifikasi ini
merupakan bentuk kesadaran bahwa gratifikasi dapat mempunyai dampak yang
negatif dan dapat disalahgunakan, khususnya dalam rangka penyelenggaraan
pelayanan publik, sehingga unsur ini diatur dalam perundang-undangan mengenai
tindak pidana korupsi. Diharapkan jika budaya pemberian dan penerimaan
gratifikasi kepada/oleh Penyelenggara Negara dan Pegawai Negeri dapat
dihentikan, maka tindak pidana pemerasan dan suap dapat diminimalkan atau
bahkan dihilangkan.
Implementasi
penegakan peraturan gratifikasi ini tidak sedikit menghadapi kendala karena
banyak masyarakat Indonesia masih mengangap bahwa memberi hadiah (baca:
gratifikasi) merupakan hal yang lumrah. Secara sosiologis, hadiah adalah
sesuatu yang bukan saja lumrah tetapi juga berperan sangat penting dalam
merekat “kohesi sosial” dalam suatu masyarakat maupun antar masyarakat bahkan
antarbangsa.
Gratifikasi
menjadi unsur penting dalam sistem dan mekanisme pertukaran hadiah. Sehingga
kondisi ini memunculkan banyak pertanyaan pada penyelenggara negara, pegawai
negeri dan masyarakat seperti: Apa yang dimaksud dengan gratifikasi? Apakah
gratifikasi sama dengan pemberian hadiah yang umum dilakukan dalam masyarakat?
Apakah setiap gratifikasi yang diterima oleh penyelenggara negara atau pegawai
negeri merupakan perbuatan yang berlawanan dengan hukum? Apa saja bentuk
gratifikasi yang dilarang maupun yang diperbolehkan?
Jika
istri seorang Penyelenggara Negara dari suatu lembaga di Indonesia menerima
voucher berbelanja senilai Rp. 2 juta, yang merupakan pemberian dari seorang
pengusaha ketika istri yang bersangkutan tersebut berulang tahun, apakah
voucher tersebut termasuk gratifikasi ilegal? Istri seorang penyelenggara
negara berada dalam kondisi ini apa yang harus diperbuat? Apakah pemberian
seperti ini harus dilaporkan kepada KPK?
Dalam
kasus lain, Pimpinan suatu lembaga penegak hukum, menerima parsel pada perayaan
Idul Fitri berupa kurma yang berasal dari Kerajaan X dan Perusahaan Y. Dari
kedua pihak tersebut tidak ada satu pun yang sedang memiliki perkara di lembaga
penegak hukum yang dipimpin pejabat tersebut. Apakah pejabat tersebut harus
melaporkan kepada KPK terhadap penerimaan parsel tersebut? Apakah benar pejabat
negara dilarang menerima parsel pada hari raya keagamaan?
Kasus
yang paling jamak terjadi adalah pengguna layanan memberikan sesuatu sebagai
ucapan terima kasih kepada petugas layanan misalnya dalam pengurusan KTP,
karena pengguna layanan mendapatkan pelayanan yang baik (sesuai prosedur) dari
petugas sehingga KTP dapat selesai tepat waktu. Apakah pemberian pengguna
layanan kepada petugas termasuk pemberian yang dilarang? Apa yang harus
dilakukan pengguna layanan dan petugas pembuat KTP?
Pertanyaan-pertanyaan
ini hanyalah beberapa pertanyaan yang sering diajukan penyelenggara negara,
pegawai negeri dan masyarakat. Dengan latar belakang inilah KPK sebagai
insitusi yang diberi amanat oleh Undang-Undang untuk menerima laporan
penerimaan gratifikasi dan menetapkan status kepemilikan gratifikasi,
berkewajiban untuk meningkatkan pemahaman penyelenggara negara, pegawai negeri
dan masyarakat mengenai korupsi yang terkait dengan gratifikasi.
Apa Yang Dimaksud Dengan Gratifikasi?
Pengertian
gratifikasi terdapat pada Penjelasan Pasal 12B Ayat (1) Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, bahwa:
“Yang
dimaksud dengan ”gratifikasi” dalam ayat ini adalah pemberian dalam arti luas,
yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa
bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan
cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di
dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana
elektronik atau tanpa sarana elektronik”.
Apabila
dicermati penjelasan pasal 12B Ayat (1) di atas, kalimat yang termasuk definisi
gratifikasi adalah sebatas kalimat: pemberian dalam arti luas, sedangkan
kalimat setelah itu merupakan bentukbentuk gratifikasi. Dari penjelasan pasal
12B Ayat (1) juga dapat dilihat bahwa pengertian gratifikasi mempunyai makna
yang netral, artinya tidak terdapat makna tercela atau negatif dari arti kata
gratifikasi tersebut. Apabila penjelasan ini dihubungkan dengan rumusan pasal
12B dapat dipahami bahwa tidak semua gratifikasi itu bertentangan dengan hukum,
melainkan hanya gratifikasi yang memenuhi kriteria dalam unsur pasal 12B saja.
Uraian lebih lanjut mengenai hal ini dapat dilihat pada bagian selanjutnya.
Kapan Gratifikasi Menjadi Kejahatan Korupsi?
Untuk
mengetahui kapan gratifikasi menjadi kejahatan korupsi, perlu dilihat rumusan
Pasal 12B Ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2001.
“Setiap
gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian
suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan
kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut:....”
Jika
dilihat dari rumusan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa suatu
gratifikasi atau pemberian hadiah berubah menjadi suatu yang perbuatan pidana
suap khususnya pada seorang Penyelenggara Negara atau Pegawai Negeri adalah
pada saat Penyelenggara Negara atau Pegawai Negeri tersebut melakukan tindakan
menerima suatu gratifikasi atau pemberian hadiah dari pihak manapun sepanjang
pemberian tersebut diberikan berhubungan dengan jabatan ataupun pekerjaannya.
Salah
satu kebiasaan yang berlaku umum di masyarakat adalah pemberian tanda terima
kasih atas jasa yang telah diberikan oleh petugas, baik dalam bentuk barang
atau bahkan uang. Hal ini dapat menjadi suatu kebiasaan yang bersifat negatif
dan dapat mengarah menjadi potensi perbuatan korupsi di kemudian hari. Potensi
korupsi inilah yang berusaha dicegah oleh peraturan undang-undang. Oleh karena
itu, berapapun nilai gratifikasi yang diterima seorang Penyelenggara Negara
atau Pegawai Negeri, bila pemberian itu patut diduga berkaitan dengan
jabatan/kewenangan yang dimiliki, maka sebaiknya Penyelenggara Negara atau
Pegawai Negeri tersebut segera melaporkannya pada KPK untuk dianalisis lebih
lanjut.
Jadi
dapat disimpulkan bahwa tidak benar bila Pasal 12B dalam Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 telah melarang praktik
gratifikasi atau pemberian hadiah di Indonesia. Sesungguhnya, praktik
gratifikasi atau pemberian hadiah di kalangan masyarakat tidak dilarang tetapi
perlu diperhatikan adanya sebuah rambu tambahan yaitu larangan bagi Pegawai
Negeri/Penyelenggara Negara untuk menerima gratifikasi yang dapat dianggap
suap.
Dengan
latar belakang rendahnya pemahaman masyarakat Indonesia atas gratifikasi yang
dianggap suap sebagai salah satu jenis tindak pidana korupsi, maka Direktorat
Penelitian dan Pengembangan bekerja sama dengan Direktorat Gratifikasi Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) berinisiatif untuk menerbitkan Buku Saku Memahami
Gratifikasi. Diharapkan buku saku ini dapat menjadi pedoman bagi seluruh
masyarakat Indonesia untuk memahami definisi dan konsep gratifikasi serta
mengetahui harus bersikap bagaimana apabila berhadapan dengan gratifikasi.
Buku
Saku Memahami Gratifikasi ini diharapkan memberi pemahaman yang lebih baik bagi
penyelenggara negara dan pegawai negeri pada khususnya dan masyarakat pada
umumnya, mengenai gratifikasi yang terkait dengan Tindak Pidana Korupsi,
seperti yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Buku Saku ini juga memaparkan tentang peran
KPK sebagai lembaga yang diberi kewenangan untuk menegakkan aturan tersebut.
Contoh-contoh kasus gratifikasi yang sering terjadi juga diuraikan dalam buku
ini, dengan disertai analisis mengapa suatu pemberian/hadiah tersebut bersifat
legal atau ilegal, serta sikap yang harus diambil (dalam hal ini penyelenggara
negara dan pegawai negeri) ketika berada dalam situasi tersebut.
Dikutip
dari Buku Saku Memahami Gratifikasi.
Agar
pembaca dapat mengulas lebih jauh tema pembahasan di atas, maka kami lampirkan
versi luring (offline) Buku Saku Memahami Gratifikasi pdf di bawah ini.
0 komentar:
Posting Komentar