![]() |
Sumber gambar: inilah.com |
Mukaddimah
Pada
musim panas tahun 1951, saya mengunjungi guruku, pemimpin yang mulia, Muhammad
Kurdi Ali, di Damaskus. Saat itu, beliau tengah sibuk membolak-balik beberapa
majalah dari sebuah lembaga ilmu pengetahuan. Beliau mempelajari majalah itu
dan membaca beberapa artikel yang ditulis oleh para orientalis dan cendekiawan
Arab tanpa melewatkan satu halaman pun. Beliau kemudian memberiku sebuah
majalah Hongaria yang diterbitkan di kota Budapest bulan lalu. Di dalamnya ada
sebuah artikel dalam bahasa Jerman tentang perjalanan Ibnu Fadhlan yang ditulis
oleh seorang orientalis dengan mendasarkan pada catatan perjalanan tersebut
yang telah tersebar dan diterjemahkan, memberikan koreksi dalam beberapa
aspeknya, dan menyuguhkan keterangan- keterangan baru yang dirujuk dari teks
asli dalam bahasa Arab tentang perjalanan itu serta foto-foto/ gambar yang
menguatkan catatan tersebut.
Saya
membolak-balik majalah itu dan menyerahkannya lagi kepada guruku (aim). Namun
saya tidak mampu memahami maksud tersembunyi yang diberikannya artikel tersebut
kepadaku. Beliau kemudian memberitahuku tentang pentingnya tulisan ini,
perlunya para cendekia Arab untuk membaca, memahami, dan mengurai intisari dari
catatan perjalanan itu, serta memandang besar temuan ini dalam peradaban
mereka. Catatan ini mampu memberikan gambaran tentang negara Rusia, Bulgaria,
dan Turki pada abad ke-10 Masehi dengan suatu gambaran yang mungkin hanya
ditemukan dalam sumber ini. Bangsa Rusia sendiri telah merujuk pada catatan
ini, membaca, mengkaji, mengembangkan dan menerjemahkannya sejak seratus tahun
yang lalu. Mereka menjadikan catatan perjalanan Ibnu Fadhlan itu sebagai sumber
mereka yang berharga; sebagai sebuah referensi pokok yang tidak tergantikan.
Sejak
beberapa tahun ini, bangsa Rusia selalu merujuk pada catatan perjalanan Ibnu
Fadhlan dalam berbagai artikel dan kajian mereka untuk menambah pemahaman dan
pengetahuan tentang hal ini. Di mana dalam catatan ini tercantum nama-nama
benda, tokoh, jenis pakaian, jenis makanan, adat kebiasaan, dan tradisi yang
berbagai simbol dan petunjuknya mampu mengungkap hal-hal baru tatkala
orientalis mengkajinya secara seksama di dalam membaca teks, menelaah hal-hal
yang samar/ tersembunyi dan mengurai hal-hal yang muskil di dalamnya.
Catatan ini mampu memberikan gambaran
tentang negara Rusia, Bulgaria, dan Turki pada abad ke-10 Masehi dengan suatu
gambaran yang mungkin hanya ditemukan dalam sumber ini.
Sebagian
kajian dan artikel ini telah sampai kepada kami dan sebagian yang lain hilang
di tengah jalan. Mayoritas orang Arab tidak mengetahui apa yang ada dibalik
harta terpendam ini. Mereka tidak memposisikan karya ini sebagai peninggalan
dalam bidang sastra abad ke-4 Hijriyah, bahkan dalam kesusastraan kita secara
umum. Hal ini karena bagian- bagian catatan perjalanan ini diterbitkan dan
diterjemahkan di dunia Barat namun cetakannya tidak sampai di lemari buku kita,
bangsa Arab secara umum, apalagi di dalam lemari buku pribadinya. Ketidaktahuan
ini membuat bangsa Arab tidak bisa melihat sebuah sinar di dalam dunia kita.
Dan hal ini merupakan sesuatu yang tidak lazim.
Dari
hal inilah, Muhammad Kurdi Ali menganjurkan kepadaku untuk mencurahkan
perhatiannya dengan mempelajari catatan perjalanan ini secara tuntas,
mengkajinya dan memberikan keterangan atas karya itu. Saya sangat bahagia atas
kepercayaan ini. Saya mengira perkara ini sebagai hal yang mudah dan ringan.
Saya kemudian pulang dari rumah beliau dengan memperoleh keuntungan yang besar
seolah-olah saya akan pulang selamanya.
Ketika
saya menerima gambar-gambar tersebut, saya membacanya dan memperhatikan gaya
bahasanya secara seksama. Butuh waktu yang lama untuk memahaminya dan saya
mengalami kesulitan untuk mengungkap maksud yang dikehendaki catatan tersebut.
Setelah berulang kali membacanya, saya frustasi dalam mencoba untuk memahami
dan mengungkapnya. Dari sini saya kemudian bisa memahami alasan keengganan
penerbit Arab untuk menelitinya.
Buku
catatan perjalanan Ibnu Fadhlan ini merupakan manuskrip/ naskah tunggal dan
satu-satunya yang disusun dengan sangat rumit, banyak penjelasanya yang
terpotong dan dipenuhi dengan nama-nama baju, nama-nama tokoh, dan wilayah.
Seolah-olah setiap kata yang ada dalam buku tersebut merupakan sumber
kebingungan dan keraguan yang membutuhkan kajian dan pembuktian yang seksama.
Hampir saja saya menyerah untuk menelitinya kalau saja Nikita Elieseeff — teman
orientalisku yang menguasai bahasa Rusia —tidak menunjukkan kepadaku beberapa
referensi dalam bahasa Rusia dan Jerman yang berkaitan dengan catatan Ibnu
Fadhlan ini. la mendorong agar meneruskan usaha dalam meneliti catatan ini, di
mana ia sendiri pernah mengkajinya sebagai bahan kajian doktoralnya dan
menggantungkan harapan kepadaku untuk mengungkapnya secara tuntas dengan
harapan agar ia bisa mencurahkan perhatiannya untuk hal yang lain.
Setelah
peristiwa itu, saya bertemu dengan Dunlop, seorang orientalis asal Inggris.
Kami berbincang-bincang mengenai buku catatan ini. Ternyata, ia juga memiliki
ketertarikan tentang hal ini dan telah mengungkap sebagian keterangan yang ada
dalam buku catatan tersebut. Dia memberiku sebuah artikel yang membahas
sebagian hal yang diungkap oleh buku Risalah Ibnu Fadhlan khususnya yang
terkait dengan suku-suku di Turki. Saya merujuk pada artikel tersebut dan
memperoleh keterangan yang berharga. Akan tetapi bersamaan dengan terpecahkan
satu masalah ini, tidak henti-hentinya muncul hal-hal samar lain yang susah
dipecahkan.
Pada
tahun 1954, ketika saya berkunjung ke Universitas Harvard, professor Dischard
Lafrey menunjukkan sebuah tulisan yang ia kerjakan bersama sahabatnya yang
bernama professor Blake. Tulisan ini merupakan sebuah kajian tentang satu hal
yang ada di catatan Ibnu Fadhlan, khususnya koreksi sebagian kata-kata yang ada
di lembaran-lembaran catatan tersebut. Di tahun yang sama, professor Kholil
Mirdam Beik — pimpinan lembaga tinggi—menemuiku dan menunjukku sebagai utusan
akademik ke Uni Soviet untuk menjadi anggota lembaga ilmu pengetahuan di sana.
Hal pertama yang saya inginkan di sana adalah mendapat salinan asli catatan
perjalanan Ibnu Fadhlan yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Rusia serta
penelitian- penelitian yang terkait dengannya. Saya sangat berterima kasih
kepada professor Baeliev yang mengizinkanku untuk mendapatkannya. Di dalam
salinan ini ada gambaran yang sangat jelas tentang catatan Ibnu Fadhlan. Sedang
penelitian-penelitian tentang catatan ini menjadi petunjuk dan tuntunan bagiku.
Sejak
saat itu, saya bergelut dengan catatan ini. Saya baca tulisannya yang rumit dan
ungkapannya yang tidak lengkap. Kemudian saya membandingkannya dengan apa yang
telah disalin oleh Yaqut al-Hamawi dan naskah-naskah lain yang telah dibuat
oleh para ahli ilmu Geografi dari kalangan orang Arab.
Akhirnya
selesai juga pekerjaan ini meski saya masih ragu di dalam sebagian ungkapan
yang ada dalam catatan tersebut. Jika terselip kekeliruan dalam karya ini,
semoga Allah meluruskan kekeliruanku dan jika saya benar dalam sebagian
keterangannya maka hal yang harus kita maklumi sebagai orang yang beriman atas
ketidakmampuan kita dalam mengapai kesempurnaan. Orang pertama yang paling
berkontribusi dalam proyek ini adalah alm. Professor Muhammad Kurdi Ali, orang
pertama dari dunia Arab yang memelopori pengungkapan dan pemublikasian catatan
perjalanan Ibnu Fadhlan. Begitu juga pimpinan lembaga tinggi pendidikan,
professor Khalil Mirdam Beik. Beliau merupakan penerus terbaik dari
sebaik-baiknya generasi salaf, yang memiliki perhatian besar di dunia penulisan
sebagaimana golongan salaf Tak lupa kepada lembaga ilmu pengetahuan yang beliau
pimpin yang menfasilitasi penerbitan karya ini. Sungguh kami ucapkan terima
kasih.
Segala
puji bagi Allah yang telah memberikan pertolongan-Nya sehingga penelitian ini
dapat selesai dan dipersembahkan dalam bentuk seperti ini. Segala syukur dan
doa kami panjatkan kepada Allah di permulaan dan di akhir.
Rihlah Ibn Fadhlan
Semenjak
kemunculannya, tampaknya masyarakat Arab secara alami terlahir sebagai bangsa
yang gemar melakukan perjalanan. Sejarah telah menunjukkan adanya kisah-kisah
perjalanan dan penjelajahan mereka, baik dalam rangka mencari rezeki,
perdagangan, maupun ilmu pengetahuan. Banyak dari mereka yang berkelana ke
daerah rawa-rawa dan daerah tandus yang sangat jauh hingga sampai ujung wilayah
Syam dan Habasyah. Para pemudanya terbiasa berpergian ke daerah pedalaman,
seolah mereka tidak memiliki tempat untuk tinggal atau menetap dan lebih
memilih untuk menikmati sulitnya hidup berpindah-pindah dan mengembara.
Perjalanan ini ada yang bersifat perseorangan dan ada yang dilakukan
kabilah-kabilah. Disebutkan dalam syair-syair Arab bahwa para penyair terbiasa
melakukan perjalanan ke negara-negara tetangga seperti Damaskus dan Romawi.
Imru’ al-Qais — seorang penyair Arab abad ke-6 M—mengisahkan bahwa ia melakukan
perjalanan ke Konstantinopel yang ia sebut dengan kota Ankara. Bagi kabilah
Quraish sendiri, setiap tahunnya mereka melakukan dua perjalanan, satu
perjalanan dilakukan di musim dingin dan satunya lagi dilakukan di musim panas.
Ketika
Islam datang, Bangsa arab segera menyebar ke luar jazirah Arab. Dalam waktu
sekejap mereka telah tersebar dari ujung timur hingga ujung barat. Mereka
akhirnya mengetahui bahwa ada negara-negara yang memiliki nilai peradaban
tinggi. Nilai-nilai tersebut kemudian diserap oleh bangsa Arab dan diterapkan
dalam hidup, cara hidup, dan cara berpakaian mereka. Sampai pada satu titik,
bangsa Arab memiliki peradaban luhur yang terus dikembangkan dan dijaga sedangkan
bangsa-bangsa lainnya mengalami kemunduran dan tidak lagi memiliki gairah untuk
mengembangkan budaya mereka. Jadilah bangsa Arab sebagai satu-satunya mercusuar
peradaban dan sumber yang cahayanya menyinari bangsa-bangsa yang ada pada masa
suram kemundurannya.
Pada awal abad ke-8 M, bangsa Arab
telah menguasai wilayah yang sangat luas dibawah kekaisaran yang besar. Batas
wilayahnya mencakup India di sisi timur dan membentang sampai laut Atlantik di
sisi barat, gunung Kaukus di sisi utara dan gurun Afrika di bagian selatan.
Pemerintahan
kekaisaran ini menetapkan banyak hal, di antaranya penarikan upeti dan pajak.
Para pembesar wilayah menyerahkan harta kepada khalifah Daulah Abbasiyyah baik
berupa jaminan, perdamaian, maupun hadiah untuk kerajaan. Sebagian besar uang
ini digunakan untuk menjalankan roda pemerintahan, memperkuat kesultanan, dan
untuk menjaga kehormatan serta entitas negara. Hal paling penting untuk
diketahui oleh hakim dalam menentukan jumlah pajak dan harta ini adalah dengan
melihat kondisi jalan dan kemakmuran wilayah itu, termasuk wilayah kota atau
perbatasan. Ketika itu banyak tokoh yang mencurahkan sebagian besar waktunya
untuk melakukan perjalanan guna menghimpun informasi dan berita tentang
pengidentifikasian wilayah ini sehingga berkembanglah berbagai catan perjalanan
dan catatan-catatan geografis dalam bentuk yang mirip dengan yang disusun oleh
orang-orang Yunani.
Sejak
abad ke-3 H, banyak lahir karangan tentang rute- rute jalan dan wilayah
kekuasaan. Mereka membuat buku tentang batas-batas dan pembagian wilayah,
gambaran kota-kota, gunung-gunung, dan sungai-sungai. Tokoh-tokoh seperti
Al-Kindi, Ibnu Khardzabah, Qudamah bin Ja’far, Al- Yaquti, Ibnu Faqih
Al-Hamdani, Ibnu Rusyd, Ibnu Hauqal, dan Al-Istakhary membuat buku yang memberi
gambaran tentang negara-negara di daerah timur hingga barat, mulai negara Cina
sampai wilayah Andalusia, Spanyol. Di dalam buku-buku tersebut, disebutkan
kondisi bangsa-bangsa beserta tradisi dan kepercayaan mereka. Digambarkan pula
keadaan negara-negara, jalan-jalannya, hasil buminya, dan pajak yang dibebankan
kepada mereka. Sebagian dari mereka sangat teliti dan hati-hati dalam menulis
apa yang mereka lihat dan dengar, sedangkan sebagian yang lain menuliskan semua
yang mereka dengar bahkan yang hampir-hampir tidak masuk akal. Namun secara
umum, mereka telah memberi sebuah gambaran yang telah diperbincangkan dalam
berbagai perkumpulan ilmiah pada masa itu yang terkait dengan pendapat,
informasi, dan khabar. Dalam beberapa hal, bahkan terkadang kami meragukan apa
yang mereka sampaikan.
Setelah
lebih dari sepuluh abad berlalu, kita memiliki referensi yang melimpah yang
tidak mungkin didapatkan pada masa itu. Sketsa, pembagian wilayah, peta, dan
gambar- gambar menjadi objek pembahasan ilmiah dengan standar yang tinggi. Kini
melakukan perjalanan, pengembaraan, dan kunjungan lebih mudah dilakukan olah
manusia. Namun, selamanya keutamaan tetap akan berada pada para perintis zaman
dahulu mengingat sarana, transportasi, dan jalan yang ada pada masa itu jauh
lebih sulit dibandingkan dengan masa sekarang.
Kenyataannya,
sebagian penulis tersebut menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri dan mengetahui
secara pasti apa yang mereka sampaikan. Ibnu Khardzabah contohnya, ia bekerja
sebagai tukang pos dan informan pada pertengahan abad ke-3 H di daerah
perbukitan di wilayah Persia. Al-Miqdasy menceritakan bahwa dirinya melakukan
perjalanan pengembaraan yang menghabiskan dana lebih dari sepuluh ribu dirham.
Ibnu Hauqal berkata bahwa dirinya menyaksikan sendiri setiap apa yang ia tulis
kecuali gurun al-Kubra. Al-Miqdasy dan Ibnu Hauqal adalah tokoh yang banyak
dijadikan rujukan oleh para ahli ilmu geografi.
Saya
amati, buku-buku ini mampu menguraikan dengan jelas gambaran kondisi
bangsa-bangsa beserta tradisi dan cara berpakaiannya. Suatu pengambaran yang
seolah-olah bisa kita lihat sendiri kejadiannya, tidak terlalu sederhana namun
juga tidak bersifat parsial. Barangkali hal tersebut dilakukan karena laporan
ini dijadikan sebagai bahan pertimbangan utama dalam menentukan pajak dan
permodalan oleh kekhalifahan di ibukota. Kekaisaran Arab ini mulai kehilangan
kesatuannya pada pertengahan abad ke-2 H. Ikatan keagamaan dan budaya menjadi
satu-satunya pemersatu wilayah yang luas tersebut dan mempersatukan setiap
ujung-ujungnya. Pada masa itu,perjalanan perdagangan menjadi penyangga
perekonomian. Orang-orang Islam pergi ke berbagai negara dengan membawa barang
dagangan dan membawa pulang komoditas tertentu. Mereka menjelajah sampai laut
Cina, Baltik, Andalusia, Atlantik, dan sekitar semenanjung India. Di
kerajaan-kerajaan tersebut, mereka meninggalkan peninggalan berupa mata uang
dan jejak-jejak lainnya yang di kemudian hari diungkap oleh para peneliti
sebagai peninggalan para pedagang tersebut.
Al-Miqdasy
menyebutkan dalam bukunya bahwa orang- orang Islam banyak mendatangkan barang
dagangan dari Rusia selatan dan negara-negara Eropa utara. Di antaranya kulit,
bulu, lilin, songkok/ baret, madu dan pedang. Disebutkan pula bahwa mereka
hendak mendatangkan budak dari kawasan Saqalibah. Kawasan ini dalam istilah
mereka mencakup Slavia, Jerman, dan beberapa daerah Eropa lainnya. Komoditas
paling penting yang mereka bawa ke daerah pedalaman adalah berbagai macam
tekstil, artefak dan buah-buahan.
Perjalanan-perjalanan
tersebut merupakan perjalanan perdagangan dan merupakan upaya perorangan. Pihak
kerajaan juga mengutus para delegasinya ke berbagai daerah dan kerajaan dengan
membawa misi-misi tertentu. Ada kalanya dengan tujuan politis, kebudayaan,
keagamaan, perdagangan, atau pengintaian semata. Di antaranya adalah Bi’thah
Baryah yang diutus oleh khalifah Al-Watsiq Billah (227 H - 232 H ) untuk
menghalau para pengacau sekitar pertengahan abad ke-3 H. Pengutusan ini
diabadikan oleh Yaqut al-Hamawi dalam bukunya yang berjudul Sallam al-Turjuman. Sebuah buku bagus yang bisa dijadikan rujukan dan hiburan langka
untuk memahami pola pikir para pengembara pada zaman itu. Begitu juga delegasi
yang dikirim ke Cina saat adanya perselisihan antara orang-orang Saman dengan
raja Cina. Perjalanan ini dideskripsikan dengan detail oleh Abu Dalf. Para
delegasi resmi yang diutus untuk memata-matai ini terdiri dari laki-laki dan
perempuan dan bertugas untuk mengumpulkan informasi. Ibnu Hauqal menceritakan
bahwa Khalifah Harun al-Rayid mengirim seorang laki-laki untuk mengorek
informasi dinegara Romawi selama 20 tahun. Utusan tersebut dimintai keterangan
tentang hal-hal luar biasa yang ada di negara Romawi.
Di
dalam mukadimah ini saya tidak bermaksud untuk menyelidiki informasi para
pengembara Muslim, nama-nama utusan resmi abad ke-3 dan ke-4 hijriyah, mendeskripsikan
apa yang mereka alami, dan buku apa yang mereka wariskan karena uraian hal itu
terlalu luas/ umum. Namun saya ingin memulai perbincangan tentang perjalanan
ini, memaparkan arti penting perjalanan ini, mencatat khalifah yang berkuasa,
dan membahas Ibnu Fadhlan beserta perjalanannya.
Dikutip
dari Mukaddimah dan Bab 1 “Risalah Ibnu Fadhlan: Narasi Ekspedisi dari Bahgdad
Sampai Eropa Utara Abad ke-10”.
Agar
pembaca dapat mengulas lebih jauh tema pembahasan di atas, maka kami lampirkan
versi luring (offline) “Risalah Ibnu Fadhlan: Narasi Ekspedisi dari Bahgdad
Sampai Eropa Utara Abad ke-10” pdf di bawah ini.
0 komentar:
Posting Komentar