![]() |
Sumber gambar: isfcogito.org |
Sebagaimana
kita ketahui, pasca jatuhnya Orde Baru Soeharto, isu terorisme mencuat di ruang publik. Aksi
terorisme adalah strategi paling radikal dan
banal serta ekstrim yang diambil para aktor dan aktivis Islam pasca Orde
Baru. Di luar aksi terorisme, sebenarnya
ada dua strategi gerakan radikal Islam
yang menjadi penting ketika rezim yang berkuasa memberikan angin segar
kebebasan setelah lama gerakan Islam dipinggirkan secara politik oleh rezim
Orde Baru itu. Strategi pertama melalui jalur kepartaian dan strategi kedua
membentuk ormas-ormas Islam radikal yang memperjuangkan syariat Islam melalui
jalur kultural; dakwah Islam dan aksi unjuk rasa, baik ke parlemen maupun ke
istana negara. Kolaborasi ini tampaknya menjadi kekuatan yang cukup signifikan
untuk melakukan perubahan secara bertahap di dalam sistem sosial dan kenegaraan
bangsa Indonesia. Pada gilirannya, atribut, slogan, dan nama-nama Islam begitu
ramai diteriakkan sebagai bagian dari pentas kekuatan dan panggung pergulatan.
Pergerakan
Islam radikal memang sedang merambah ke wilayah-wilayah yang berpenduduk
mayoritas Muslim di seluruh dunia. Indonesia, Filipina dan Malaysia, yang
secara statistik berpenduduk mayoritas Muslim telah mengalami gejala
globalisasi Islam radikal. Realitas ini dapat dilihat dari perkembangan
kelompok Abu Sayyaf pimpinan Abu Bakar Janjalani di Filipina, Laskar Jihad dan
Front Pembela Islam (FPI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Majelis Mujahidin,
Ikhwanul Muslimin, dan lain sebagainya di Indonesia, dan Kelompok Mujahidin
Malaysia (KMM), sebuah organisasi di bawah payung PAS di Malaysia.
Mereka
dianggap telah mengembangkan operasi selama beberapa dekade terakhir,
menghimpun dana, melatih milisi, materi dan pengalaman untuk melawan Barat dan
kekuatan sekuler, di samping memperjuangkan Islam secara radikal, agung dan
sentral, dari Malaysia sampai Senegal, dari Sovyet (Rusia) sampai daerah-daerah
pinggiran di Eropa yang dihuni oleh imigran yang sudah mapan. Kebangkitan Islam
ini oleh Gilles Kepel (1996) dinilai sebagai bagian dari gerakan bawah tanah
guna mengislamkan kembali kehidupan dan tradisi keseharian dan
mengorganisasikan kembali eksistensi individual sesuai dengan ajaran Kitab Suci.
Studi
Hermann Frederick Eilts (1987) menunjukkan bahwa, kebangkitan Islam dimulai
semenjak lengsernya Shah Iran Reza Pahlevi, yang kemudian ditandai dengan
tampilnya Imam Khoemaini sebagai pemimpin Revolusi Iran tahun 1979. Ditambah
lagi, pada fase pertengahan terakhir 1970-an terjadi pergolakan di Iran, Mesir,
Saudi Arabia, Syria, Pakistan, dan Afghanistan yang menyadarkan Barat tentang
bangkitnya ”Islam militan” atau ”kebangkitan Islamisme.”
Dalam
hal ini, di Indonesia kelompok-kelompok Muslim radikal melihat masyarakat kita
mengalami sekularisasi, dekadensi moral dan krisis kepemimpinan. Hal tersebut
lantas memantapkan keyakinan mereka bahwa solusinya adalah Islam. Pergaulan
bebas, permisivisme, aborsi, kenakalan remaja, lemahnya supremasi hukum (KKN),
dan semakin tidak bermoralnya para pemimpin bangsa memberikan keyakinan bahwa
sekularisasi telah gagal menjadi bagian dari kehidupan bangsa. Karena itulah,
bagi kaum muslim radikal, menerapkan syariat Islam secara kaffah dianggap
sebagai solusi yang tepat. Radikalisasi yang tumbuh di kalangan muslim adalah
efek domino dari kebobrokan sistem sosial masyarakat yang yang sudah tidak lagi
mengindahkan moral dan peraturan agama. Itu sebabnya, mereka yakin bahwa Islam
mampu menyelesaikan semua problem masyarakat agar menjadi lebih Islami; agar tidak
ada KKN, agar pergaulan antar remaja lebih Islami, dan tidak ada lagi perilaku
tidak bermoral di bumi Indonesia. Tentu saja, kalau dibentangkan, masih banyak
alasan masalah yang membuat radikalisasi umat Islam itu terjadi.
FATWA MUI
Musyawarah
Nasional Majelis Ulama Indonesia (MUI) ke VII Agustus tahun 2005 mengeluarkan
fatwa yang mengharamkan pluralisme yang menganggap semua agama sama,
mengharamkan sekularisme dan liberalisme beserta semua turunannya. Kalangan MUI
dan Islam fundamental mengemukakan bahwa “amuk” muncul dari kelompok liberal
atas fatwa tersebut, dan pertarungan belum lagi sampai ke final. Mula-mula,
serangan kalangan Islam Liberal atas fatwa MUI itu telah menjadi kontroversi
yang luar biasa. Pada waktu itu pernyataan Ulil Abshor Abdalla (koordinator Jaringan
Islam Liberal-JIL) yang menganggap fatwa MUI itu “konyol dan tolol”, dinilai
kalangan MUI sebagai kata-kata tidak pantas. Ulil kemudian meminta maaf
terhadap MUI. Sementara statemen M. Dawam Rahardjo (cendekiawan Muslim/tokoh
ICMI) yang mengatakan bahwa fatwa MUI itu memecah belah masyarakat dan
menimbulkan keresahan dan karena itu MUI harus dibubarkan, merupakan kritik
pedas atas fatwa MUI itu. Pernyataan Ulil dan Dawam menimbulkan reaksi balik
kaum Islam Fundamental yang merasa dilecehkan. Perkembangan ini berbarengan
dengan fatwa MUI untuk melarang gerakan Ahmadiyah. Akibatnya, rangkaian
peristiwaperistiwa itu menjontrongkan umat Islam - baik itu kalangan
Fundamental maupun Liberal - ke dalam kontroversi dan ketegangan.
Saling
kritik dan perang pemikiran antara kelompok Islam Liberal dan fundamental itu
melanda umat dari Masjid Istiqlal sampai masjid kampung di pedesaan.
Pertarungan Islam Liberal versus Fundamental itu, pada hemat saya, harus
dilihat dalam konteks yang lebih luas yakni perebutan ruang publik, utamanya
ruang politik dan sosial, dalam upaya the struggle for the real di medan
sosial-politik di Indonesia. Perang wacana Islam liberal versus fundamental itu
mengesankan perebutan struktur kesempatan politik (political opportunity
structure) yang berlangsung secara terbuka maupun tersembunyi.
Dalam
studi gerakan sosial, penting adanya struktur kesempatan politik yang
memungkinkan atau tidak memungkinkan aktor sosial untuk bergerak. Struktur
kesempatan politik (political opportunity structure) itu didefinisikan
oleh Sidney Tarrow sebagai “consistent—but not necessarily formal,
permanent, or national—signals to social or political actors which either
encourage or discourage them to use their internal resources to form social
movements.”
Struktur
kesempatan politik itu dikenal terbagi dua, yaitu yang bersifat statis dalam
pengertian berkait dengan kelembagaan negara (bersifat eksternal terhadap aktor
gerakan) seperti terbukanya sistem politik, transparansi, pengadilan; dan
struktur kesempatan politik yang bersifat dinamis, yang erat terkait dengan
kondisi internal di dalam aktor-aktor gerakan (masyarakat sipil) itu sendiri,
seperti lemah/kuatnya solidaritas, aliansi, dan sejenisnya. Gerakan sosial yang
berhasil biasanya memiliki dua bentuk struktur kesempatan itu.
Karena
itu, saya melihat fatwa MUI sekaligus sebagai ”power game” dan upaya merebut
”struktur kesempatan politik” dimana MUI nampaknya berusaha memperlihatkan
kembali ”kedigdayaan, wibawa dan kekuatannya” yang relative merosot di era
pasca Soeharto, di tengah pusaran arus modernisme dewasa ini. Sementara
liberalisme, sekularisme dan pluralisme semakin mendapat tempat di kalangan
masyarakat madani (civil society) menyusul revolusi demokrasi pasca
jatuhnya Orde Baru Soeharto Mei 1998. Fatwa MUI itu oleh kalangan pluralis dan
prodemokrasi, dianggap menandai babak baru gejala penguatan kembali ”Islamisme”
di Indonesia pasca Soeharto.
Bahkan
Ahmad Sahal, seorang aktifis Islam Liberal, mengemukakan bahwa pada
permukaannya fatwa MUI yang mengharamkan liberalisme, sekularisme dan
pluralisme terkesan bertarget sempit: membidik Jaringan Islam Liberal (JIL)
yang memiliki lokomotif Ulil Abshar Abdalla dan kelompok-kelompok Islam lain
yang sejenis. Pada lapisan dasarnya, Sahal melihat fatwa itu sesungguhnya
menghantam sesuatu yang lebih jauh melampaui JIL yakni demokrasi konstitusional
yang sedang dirintis di Indonesia. Demokrasi menjadi terancam oleh fatwa itu
karena tiga soal yang diharamkan oleh MUI itu sesungguhnya merupakan pilar
utama demokrasi.
Dawam
Rahardjo menilai dasar keputusan MUI itu ironis dan bukan kesalahpahaman,
melainkan ketidakpahaman MUI atas sekularisme, liberalisme dan pluralisme
(disingkat oleh kaum Islam Fundamental sebagai Sepilis, istilah berkonotasi
pelecehan dan plesetan ”Sipilis”, penyakit kelamin yang berbahaya).
Kalangan
Islam Liberal menilai, fatwa MUI itu akan mengancam fondasi dasar bagi proses
demokratisasi, sesuatu yang dicita-citakan oleh reformasi, sehingga musuh
reformasi bukan hanya otoritarianisme, otokrasi dan korupsikolusi-nepotisme,
melainkan juga oleh absolutisme tafsir agama, yang merasa memiliki kebenaran
mutlak dan menganggap yang lain sesat.
Westernisasi dalam Pemikiran Pemuda Muslim
Sebagai
orang muda yang senantiasa mengapresiasi “pribumisasi Islam” Abdurrahman Wahid
dan “pembaruan pemikiran Islam” Nurcholish Madjid seraya ”belajar Islam”
kembali, saya ingin menyampaikan bahwa tulisan ini tidak bermaksud menjadi
jembatan atau pertimbangan untuk menjatuhkan pilihan guna membela, menolak atau
menjatuhkan kecenderungan diri terhadap dua paradigma berpikir yaitu “Islam
Liberal dan Fundamental” atau justru menanggalkan kedua-duanya, melainkan
mencoba memaparkan perang wacana Islam Fundamental versus Islam Liberal dan
tarik-tolak di dalamnya sebagai diskursus intelektual dan agama yang selayaknya
ditangkap dan dicermati oleh zaman kita agar lebih mawas diri, arif dan dewasa.
Saya
terpikat untuk menceburkan diri ke dalam perdebatan Islam Liberal dan
Fundamental dengan segenap risikonya, berangkat dari ”keterbatasan
epistemologi” dalam pergumulan saya sebagai “aktivis HMI” di masa mahasiswa era
1980-an dan kini berharap cemas agar perdebatan para aktor kedua kubu (Islam
Liberal dan Fundamental) tidak memicu kekerasan dan permusuhan, namun justru
membukakan mata hati dan pikiran kita untuk lebih membuka cakrawala dalam
membangun Islam, peradaban dalam suatu proses dialog yang berakal sehat dan
berakhlak, tidak main mutlak-mutlakan dan memonopoli kebenaran, Sebab, dalam
dunia epistemis, bukankah kebenaran itu harus terus dicari, tidak pantas
dimonopoli dan tidak bersifat final? Seperti sejarah yang terus bergerak,
bukankah interpretasi harus selalu digali, diperbarui? Dan bukankah dalam
hitungan hari, bulan dan tahun interpretasi, tafsir dan pemahaman kita tentang
Quran dan ajaran Islam tetap harus diuji, diperdalam dan diasah kembali dalam
konteks dunia yang terus berubah ini?
Dalam
konteks globalisasi dewasa ini, ada kecenderungan kuat bahwa Islam di Indonesia
cenderung kian liberal, sebagaimana diamati cukup lama oleh Greg Barton dalam arti
makin menerima gagasan demokrasi, pluralisme dan HAM. Yang musti dipahami kita
adalah bahwa Barat/AS mengapresiasi Islam Liberal, namun sangat takut kepada
Islam Fundamental, sehingga masyarakat Barat/AS banyak menghujat kaum
fundamentalis Islam sebagai biang kerok kekerasan dan terorisme. Padahal,
terorisme negara oleh AS/Barat lah—sebagaimana diungkap Noam Chomsky— yang
mengilhami munculnya aksi teror balasan oleh kaum Muslim terhadap AS/Barat
seperti dalam kasus serangan bom WTC 11 September 2001, bom Spanyol 2004, bom
Bali 2002, dan teror bom di London 7 Juli 2005.
Bernard
Lewis pernah menyatakan, pada abad ke-20, ada yang salah pada dunia Islam.
Dibandingkan dengan rivalnya, Kristen, dunia Islam kini menjadi miskin, lemah,
dan bodoh. Sejak abad ke-19, dominasi Barat terhadap dunia Islam tampak jelas.
Barat menginvasi kaum Muslim dalam setiap aspek kehidupan, bukan hanya pada
aspek publik, tetapi - yang lebih menyakitkan - juga dalam aspek-aspek pribadi.
Namun, masyarakat Barat tetap saja melihat Islam sebagai momok (scourge) bagi
Barat.
Bagaimana
menghadapi kaum yang hidup dalam mitos atau paranoid semacam ini? Pada satu
sisi, paranoia Barat itu menunjukkan, bahwa memang Islam - bagaimana pun
kondisinya - tidak dipandang sebelah mata. Kaum Muslim tetap diperhitungkan,
meskipun sedang dalam kondisi lemah. Barat selama berabad-abad telah menyamakan
politik Islam dengan kealiman, fanatisme, tirani absolut dan praktek militer
Islam disamakan dengan teror dan perkosaan, tradisi Islam disamakan dengan
keterbelakangan dan Islam dianggap pengingkaran total terhadap Eropa,
penghinaan terhadap ilmu pengetahuan, penindasan terhadap civil society,
membatasi pemikiran manusia dan seterusnya.
Seyogianya,
kaum Muslim melakukan introspeksi atas kondisinya dan tidak terlalu menunjukkan
sikap menunduk atau cari muka terhadap AS/Barat. Dalam hubungan ini, Islam
Liberal mendapat bantuan AS/Barat untuk menyebarluaskannya dalam bingkai
pluralisme dan demokrasi, sementara Islam Fundamental yang sering diasosiasikan
dengan Pan-Islamisme di Arab dan bantuan Arab Saudi/ Timur Tengah, dianggap
sebagai “kekuatan” yang menakutkan, militan dan musti dikaji sekaligus
diwaspadai atau diprasangkai.
Dikutip
dari Buku Fundamentalisme, Radikalisme, Terorisme: Perspektif atas Agama, Masyarakat
dan Negara.
Agar
Pembaca dapat mengulas tema di atas lebih dalam, kami lampirkan versi luring
(offline) pdf Fundamentalisme, Radikalisme, Terorisme: Perspektif atas Agama, Masyarakat
dan Negara tersebut pada link di bawah ini.
0 komentar:
Posting Komentar