![]() |
Sumber gambar: benflintmusic.com |
Teori dan Metode Kajian Islam Transitif
Bangunan Teoritis
Rudyard Kipling (1865-1936), seorang penyair berkebangsaan
Inggris, dalam The Ballad of East and West mengatakan: “Oh, East is
East and West is West, and never the twain shall meet, Till Earth and Sky stand
presently at God’s great Judgment seat: But there is neither East nor West,
Border, nor Breed, nor Birth, When two strong men stand face to face, though
they come from the ends of the Earth!” (Oh, Timur adalah Timur, dan Barat
adalah Barat, dan tidak akan pernah kedua saudara kembar itu bertemu, sampai
bumi dan langit berdiri saat ini di Kursi Penghakiman Allah Yang Besar; tapi
tidak ada Timur atau Barat, perbatasan, atau berkembang biak, atau kelahiran. Ketika
dua orang kuat berdiri berhadap-hadapan, meskipun mereka datang dari ujung
bumi).
Frasa bebasnya adalah “Oh (masyarakat) Timur adalah (tetap
menjadi masyarakat) Timur dan (masyarakat) Barat tetap (menjadi masyarakat)
Barat dan kedua (masyarakat yang diibaratkan seperti) saudara kembar tersebut
tidak akan pernah bertemu.”
Dalam arti yang lebih luas, dapat dikatakan bahwa masyarakat
Timur dengan segala cara pandang kehidupan mereka ialah tetap menjadi
masyarakat Timur dan demikian juga sebaliknya bagi masyarakat Barat dengan
segala bentuk dan karakternya adalah tetap menjadi masyarakat Barat sehingga
kedua bentuk cara pandang kehidupan tersebut tidak akan pernah dapat
bernegoisasi ataupun berkolaborasi.
Ungkapan kepedihan batin yang dirasakan oleh Rudyard Kipling
tentang adanya separasi dua kutub pemikiran, budaya dan peradaban yang
cenderung dikotomis sekaligus antagonis memunculkan pertanyaan apakah memang
benar bahwa Timur dan Barat yang diibaratkannya seperti saudara kembar tersebut
memang tidak akan pernah bertemu, bersatu ataupun berkolaborasi?
Saya berasumsi bahwa konsep Timur dan Barat yang dikemukakan
oleh Rudyard Kipling bukanlah dalam arti teritorial, akan tetapi kelihatannya
lebih pada persoalan budaya, cara pandang (weltanschauung dalam bahasa
Jerman atau bisa juga disebut minhaj dalam bahasa Arab sebagaimana
termaktub dalam Q.S. al-Maidah ayat 48), pemikiran, metode dan pendekatan
keilmuan, dan bahkan juga ideologi.
Pada satu sisi, tentu saja pemetaan ini tidak terlepas dari
realitas segregasi sejarah, sosio-kultural, keyakinan, pemikiran dan peradaban
yang kemudian bersentuhan dalam sebuah hubungan yang antagonis di antara
bangsa-bangsa yang berada di kedua kutub peradaban tersebut, mengingat pembagian
batas teritorial Timur Barat sesungguhnya bukanlah menjadi isu utamanya, di
samping juga kelihatan sulit membentang garis batasnya secara empiris.
Adapun pada sisi lain, sesungguhnya sangat sulit untuk menafikan
fakta sejarah yang sangat pahit yang dialami oleh kedua kutub tersebut dalam
pusaran politik kultur yang berbalut ideologis, sebagaimana yang pernah terjadi
antara umat Islam dan Kristen di belahan bumi Asia, seperti Mesir dan
Palestina, yang mana bagi sebagian masyarakat Barat hingga hari ini masing
sangat membekas, ditambah lagi akibat adanya berbagai realitas kekerasan yang
berbau teror bermunculan dalam kehidupan masyarakat Barat, terlepas dari siapa
yang mengklaim atau yang diklaim sebagai pelakunya.
Oleh karena itu, hubungan Timur dan Barat dalam perkembangannya
diwarnai dengan berbagai prejudice warna kulit, karakter, sosial budaya
dan politik, keilmuan dan bahkan dipertajam dengan perbedaan agama yang hari
ini diklaim oleh sebagian orang bahwa Timur identik dengan Islam dan Barat
identik dengan Kristen.
Tentu saja, pandangan ini tidak dapat dibenarkan begitu saja,
mengingat bahwa Islam dan Kristen pada dasarnya adalah agama yang sama-sama
lahir di belahan Timur, walau pada gilirannya Islam tetap lebih banyak berada
di belahan Timur sementara Kristen lebih mendominasi di belahan Barat.
Bagi yang tidak mempunya wawasan yang cukup, dikotomi Timur Barat
kelihatannya terus semakin tajam apalagi dengan menguatnya opini kebencian dan
permusuhan yang sengaja dibangun tidak hanya oleh kelompok ideologi-kultural
garis keras tetapi bahkan oleh para pemuka agama dan politisi sekalipun.
Terlepas dari sudut mana seseorang akan memulai menjawab agar
dikotomi tersebut dapat menjadi sebuah kolaborasi dalam berbagai dimensinya. Telah
banyak fakta sosial yang terjadi dalam sentuhan kemanusiaan Timur Barat yang
menunjukkan nilai-nilai universal yang dapat berterima bagi semu warna kulit,
masyarakat bangsa di kedua kutub peradaban tersebut, misalnya aktivitas seni
budaya, olahraga, serta amal sosial dalam bentuk karitas dan filantropi.
Satu hal yang cukup menarik adalah bahwa ketika berbicara dalam
berbagai dimensi nilai-nilai universalitas kemanusiaan, maka Timur dan Barat
kelihatannya tidak lagi memiliki dinding penghalang bahkan dalam berbagai
realitas kemanusiaan tersebut mereka saling mengisi dan berkolaborasi secara
elegan.
Namun ketika berbicara pada tataran konsep keilmuan, pendekatan
dan metode yang digunakan oleh kutub keilmuan Timur dan Barat hingga hari ini
kelihatannya tidak berbeda tetapi juga sudah sampai pada tingkat klaim arogansi
ilmiah antara inductive reasoning dan deductive reasoning, yang
selanjutnya secara implisit melahirkan segregasi peran, narasi, dan konsep
keilmuan antara alumni Timur dan Barat terutama di belahan dunia berkembang,
termasuk Indonesia.
Tentu saja realitas ini tidak harus terbiarkan, dan oleh karena
itu sudah seharusnya menemukan jalan tengah agar tidak menjadi konflik yang
berkepanjangan, terlebih lagi ketika konsep keilmuan, metode, dan pendekatan
tersebut dikaitkan dengan ideologi dan keagamaan.
Pertanyaannya ialah mungkinkah kedua kutub keilmuan yang berbeda
karakter tersebut dapat dikolaborasikan? Saya sengaja tidak melihatnya dari
sudut konsep integrasi ilmu sebagaimana yang sedang dikembangkan oleh para
sarjana dan akademisi di berbagai Perguruan Tinggi Islam, termasuk Indonesia,
mengingat adanya berbagai kesulitan untuk mengintegrasikan berbagai konsep dan
teori dalam upaya melahirkan atau menemukan suatu kesimpulan sekaligus kesamaan
pandang terhadap isu-isu sosial budaya, agama, politik, ekonomi, sains dan
teknologi serta berbagai isu global yang berkembang baik di belahan dunia Timur
maupun di belahan dunia Barat.
Salah satu alasan kemungkinan untuk melakukan kolaborasi
tersebut adalah bahwa ilmu pengetahuan pada dasarnya berbicara untuk dan atas
nama kebenaran dan kemaslahatan universalitas kemanusiaan, walau sekalipun
ilmu-ilmu tersebut berasal atau bersumber dari teks-teks kitab suci yang
berbeda, yang sangat kental dengan berbagai dimensi sosiologis baik dalam
konteks ontology, epistemology maupun axsiology.
Saya mengibaratkan upaya kolaborasi ini seperti sebuah orkestra
yang mana setiap pemain dengan berbagai macam alat musik (instrument)
yang mereka mainkan bergerak secara berkolaborasi sesuai dengan porsi
masing-masing tanpa ada yang merasa tertinggal atau tersinggung demi untuk
melahirkan sebuah keteraturan irama (symphony) yang indah, damai,
inspiratif, imajinatif, dan produktif yang dapat dinikmati oleh siapa saja yang
mendengarkannya.
Dengan melakukan kolaborasi keilmuan kutub Timur Barat, saya
meyakini bahwa ilmu pengetahuan akan kembali kepada khittah-nya yang
bertujuan untuk memenuhi kepentingan kemaslahatan umat manusia secara
universal. Upaya kolaborasi ini, yang juga saya gunakan sebagai pendekatan
dalam gagasan Islam Transitif, akan menemukan formatnya melalui teori yang saya
sebut dengan istilah teori “Symphony” (the symphony of humanitarian
welfare), dan saya meyakini bahwa teori ini juga akan terus menggelinding
dalam kajian ilmu-ilmu sosial, humaniora, sains, dan teknologi.
Ada beberapa alasan mengapa saya menamakan teori symphony,
antara lain: saya terinspirasi dengan ungkapan Rudyard Kliping di atas yang
mana saya melihat semacam ada rasa kegalauan akut yang dirasakannya terkait
relasi umat manusia, terutama ketika dunia dipandang dalam blok Barat dan
Timur, yang menurut sebagian sarjana secara umum difahami sebagai dua blok
kekuatan ideologi (keyakinan) yaitu Islam dan Kristen.
Tentu saja pandangan yang membelah dunia berdasarkan SARA,
ideologi ataupun simbol-simbol lainnya tidak akan pernah membawa pada
kedamaian, keselarasan, kesejahteraan, dan saling menjaga martabat kemanusiaan.
Sebaliknya dapat dipastikan setiap suku, bangsa, dan agama akan mengedepankan
arogansi masing-masing, termasuk memuaskan naluri “penaklukan”, padahal dunia
ini hanya dapat dibangun dengan kerjasama (kolaborasi) yang bermartabat dalam
sebuah simfoni yang harmonis.
Di sisi lain, istilah kata symphony sering diasosiasikan
penggunaannya dalam dunia seni, dan seni itu sendiri sesungguhnya merupakan
puncak peradaban umat manusia. Dalam seni suara atau musik misalnya, Tuhan
sendiri telah menganugerahkan berbagai suara alam yang natural, bersih dan
suci. Seandainya saja Tuhan tidak menciptakan suara atau bahkan nada dari alam
ini tentulah tak terbayangkan betapa hambarnya alam ini, sunyi, mencekam dan
mungkin saja sangat menakutkan.
Oleh karenanya, tugas manusia untuk mengaransemennya menjadi
alunan irama dalam symphony yang menggairahkan kehidupan. Oleh karena itu,
tidak heran jika di tangan para sastrawan, seniman, dan sejenisnya lahirlah
musik yang berkelas yang tidak hanya menggerakkan hati, nilai, dan estetika
kemanusiaan tetapi juga nilai-nilai keilahian. Jika dikaitkan dengan gerakan
kebangkitan sebuah bangsa, maka dapat dikatakan bahwa sebuah peradaban yang
berkelas akan lahir dari sebuah masyarakat dan bangsa yang bersimfoni (berseni)
tinggi.
Hal ini dikarenakan bahwa dalam sebuah symphony (analogi
sebuah orksestra) ada keindahan (estetika), gairah (passion), kebahagiaan
(happiness), kasih sayang (love), perasaan (feeling),
kepedulian (empathy), keteraturan hukum (regularity), keselarasan
(harmony), kedamaian (peace), keseimbangan (balance),
terpusat (focus), kerjasama (cooperation), inspirasi (inspiration),
kreasi (creation), inovasi (innovation), imajinasi (imagination),
etika (ethics), budi pekerti (character), logika (logic),
moralitas (more), nilai (value), kualitas (quality),
kepatuhan (obedience), penghormatan (respect), rasa (taste),
kelas (class), kepercayaan (trust), kebijaksanaan (wisdom),
strategi (strategy), sains (science), teknologi (technology),
peradaban (civilization), dan bahkan ada kesadaran diri (awareness)
yang berkolaborasi dalam gerakan-gerakan intelektual dan seni yang sangat
mendalam sehingga menghasilkan sesuatu melalui gerakan total produksi yang
dapat membahagiakan dan menyejahterakan melalui gagasan Islam Transitif.
Sebagai tambahan, bukankah alam ini juga diciptakan Tuhan
sebagai fasilitas terealisasinya upaya-upaya pemenuhan konsep-konsep
kesimfonian tersebut untuk mengisi ruang dan kebutuhan empiris serta idealias
umat manusia.
Dikutip dari Buku Islam Transitif: Filsafat Milenial
0 komentar:
Posting Komentar