![]() |
Sumber gambar: en.qantara.de |
Gelombang
revolusi atau yang lebih dikenal dengan Arab Spring yang melanda Timur Tengah
dewasa ini telah mengubah peta politik di kawasan tersebut dengan munculnya
kekuatan politik Islam, dalam arti aktivitas politik yang didasari oleh
prinsip-prinsip Islam baik dari titik tolak, program, agenda maupun tujuannya.
Kendati demikian, di sejumlah negara masih saja ada sikap phobia terhadap
Islam. Hal ini mengindikasikan adanya upaya pembalikan kembali ke rezim
otoritarianisme atau “backward bending prosses” seperti yang terjadi di Tunisia,
Mesir, dan Libya, dimana rezim militer dapat berkuasa kembali. Demikian juga di
Yaman, rezim Ali Abdullah Saleh digantikan oleh wakilnya yang berhaluan
militer, Abd Rabbuh Manshur Hadi, sampai akhirnya harus terusir oleh gerakan
separatis Al-Houti. Sedangkan di Suriah kekuatan politik Islam kerap mendapat
serangan dari rezim Bashar Al-Assad yang sampai saat ini masih berkuasa. Adapun
di Aljazair –meskipun tidak melebihi gejolak politik seperti yang terjadi di
Yaman dan Suriah- gerakan Islam yang terdiri dari Ikhwanul Muslimin dan
kelompok Salafiyyah membentuk aliansi
dan meraih suara signifikan dalam pemilu parlemen 2012 meskipun pada akhirnya rezim militer dapat mendominasi
kehidupan politik negara. Fenomena kekuatan politik Islam di Yaman, Suriah, dan
Aljazair akan menjadi fokus kajian ini.
Pendahuluan
Demokratisasi
dan kebangkitan politik Islam merupakan dua fenomena yang layak untuk dikaji
secara lebih mendalam dalam lingkup kajian Timur Tengah saat ini. Politik Islam
dimaknai sebagai aktivitas politik kaum muslimin yang hendak menjadikan Islam
sebagai sumber hukum dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam hal ini,
Islam dijadikan acuan dalam setiap aktivitas sosial-politik yang mempunyai
implikasi langsung terhadap kehidupan mayoritas penganutnya.
Dalam
konteks pasca Arab Spring, keinginan untuk membangun sebuah tatanan yang
lebih demokratis dan Islamis tampaknya sulit untuk dielakkan. Di Yaman, gerakan
Islam seperti Ikhwanul Muslimin, Salafiyyah, Anshar Syariah yang merupakan
representasi dari partai Islah dan Al-Qaeda in Arabian Peninsula (AQAP), serta
Anshar Allah dari kalangan Syi’ah Al-Houti menjadi pemain kunci dalam
pertarungan politik yang berkepanjangan. Disamping itu, terbentuk kekuatan
politik sebagai wadah aspirasi umat Islam melalui Joint Meeting Parties (JMP)
yang merupakan koalisi antara partai Islam dengan partai Sosialis. Gerakan
politik Islam di Suriah yang diwakili Ikhwanul Muslimin, Salafiyyah, dan Jabhat An-Nushrah (Al-Qaeda) dan Islamic
State in Iraq and Syiria (ISIS) menjadi motor dalam perlawanan terhadap rezim
despotikmiliter yang didukung oleh kelompok Syi’ah Alawiyyah. Sementara di Aljazair,
Al-Qiyam Al-Islamiyyah berperan cukup signifikan dalam membangun kultur Islamis
dalam pemerintahan. Disamping itu, sikap represif rezim militer telah mendorong
munculnya kekuatan politik Islam lainnya, seperti Tentara Islam Aljazair (MAIA)
dan Front Penyelamat Islam (FIS) yang didirikan oleh sejumlah tokoh Ikhwanul
Muslimin. Pengalaman politik Islam di beberapa negara kasus menunjukkan bahwa
kelompok Islam dapat berperan dalam setiap proses politik yang terjadi, sebagai
upaya untuk membentuk pemerintahan yang demokratis pasca otoritarianisme.
Meskipun
demikian, gejolak politik yang diwarnai dengan kekerasan politik masih terus
berlangsung dalam skala luas dan upaya mengembalikan kejayaan rezim despotik
masih terus berlangsung sebagaimana halnya rezim Assad yang tidak kunjung
terguling. Bahkan, di Aljazair, upaya “pendongkelan” rezim despotik oleh
kekuatan demokrasi yang bergejolak sejak 1991, sampai kini masih belum
memperlihatkan hasilnya. Lebih tragis lagi, pemimpin baru di Yaman, Abd Rabbuh
Manshur Al-Hadi justru terusir oleh kekuatan pendukung rezim lama, sehingga
upaya menuju Yaman yang demokratis masih sulit untuk terwujud. Realitas yang
terjadi di tiga negara kasus ini mengindikasikan adanya upaya yang disebut
“backward bending process” (proses pembalikan kembali) ke rezim otoritarian.
Tulisan
ini mengkaji secara lebih mendalam seputar politik Islam di tiga negara kasus,
yaitu Yaman, Suriah, dan Aljazair dengan berbagai dinamika dan problematikanya
ditengah proses demokratisasi yang sedang berlangsung. Tulisan ini dibagi dalam
lima bagian. Pertama, membahas dinamika kultural dan politik di tiga negara
kasus. Kedua, mengkaji problematika kekuatan politik Islam di Yaman. Ketiga,
mengkaji problematika kekuatan politik Islam di Suriah. Keempat, mengkaji
problematika kekuatan politik Islam di Aljazair. Terakhir, penutup dengan
menyimpulkan dinamika demokrasi dan politik Islam di tiga negara kasus.
Dikutip
dari Muhammad Fakhry Ghafur dari Problematika Kekuatan Politik Islam di Yaman, Suriah,
dan Aljazair Dalam Jurnal Penelitian Politik, Vol. 12, No. 2 (Desember
2015).
Agar
Pembaca dapat mengulas tema di atas lebih dalam, kami lampirkan versi luring
(offline) pdf jurnal tersebut pada link di bawah ini.
0 komentar:
Posting Komentar