Pages

Rabu, 18 Maret 2020

A Man Called Ove

Sumber gambar: jurnalposmedia.com


Dia mengendarai Saab. Dia menuding orang yang tampangnya tidak ia sukai, seakan orang itu maling dan telunjuknya adalah senter polisi. Dia berdiri di gerai toko yang didatangi para pemilik mobil Jepang untuk membeli kabel-kabel putih. Ove mengamati asisten penjualan untuk waktu yang lama, lalu mengguncang-guncang kotak putih berukuran sedang ke hadapan asisten itu.

“Jadi, ini salah satu O-Pads itu, kan?” tanyanya.

Si asisten, seorang pemuda yang memiliki indeks massa tubuh satu digit, tampak tidak nyaman. Jelas sekali dia berusaha mengendalikan dirinya untuk tidak merenggut kotak itu dari tangan Ove.

“Ya, tepat sekali. iPad. Bisakah Anda berhenti mengguncang-guncangnya seperti itu …?”

Ove memandang kotak itu dengan sangsi, seakan itu semacam kotak yang sangat mencurigakan, kotak yang mengendarai skuter, bercelana training olahraga, menyebut Ove “sobatku” lalu menawarinya arloji untuk dibeli.

“Aku tahu. Jadi, ini komputer, kan?”

Asisten penjualan mengangguk. Lalu dia bimbang dan cepat-cepat menggeleng.

“Ya … atau, maksud saya, itu iPad. Sebagian orang menyebutnya ‘tablet’ dan yang lain menyebutnya ‘alat peramban’. Ada berbagai cara dalam memandangnya ….”

Ove memandang asisten penjualan seakan pemuda itu baru saja bicara secara terbalik, lalu kembali mengguncangguncang kotak itu.

“Tapi ini barang bagus, kan?” Asisten itu mengangguk kebingungan. “Ya. Atau …. Apa maksud Anda?”

Ove mendesah dan mulai bicara perlahan-lahan, mengucapkan kata-katanya seakan yang menjadi masalah di sini hanyalah gangguan pendengaran lawan bicaranya.

“Ini. Barang. Bagus. Kaaaaaaan? Ini komputer bagus?”

Asisten itu menggaruk-garuk dagu. “Maksud saya … ya … ini sungguh bagus … tapi tergantung dari jenis komputer apa yang Anda inginkan.”

Ove memelototinya. “Aku mau komputer! Komputer normal sialan!”

Keheningan melingkupi kedua lelaki itu selama beberapa saat. Asisten itu berdeham.

“Wah … ini tidak bisa dibilang komputer normal. Mungkin sebaiknya Anda memilih ….” Asisten itu terdiam, seakan mencari kata yang bisa dipahami oleh lelaki di hadapannya. 

Lalu, dia kembali berdeham dan berkata, “… laptop?”

Ove menggeleng keras dan mencondongkan tubuh ke atas gerai dengan sikap mengancam. 

“Tidak, aku tidak mau ‘laptop’. Aku mau komputer.”

Asisten itu mengangguk sok tahu. “Laptop itu komputer.”

Dengan tersinggung, Ove memelototinya dan menghunjamkan telunjuk ke gerai.

“Kau pikir aku tidak tahu, ya!”

Hening lagi, seakan dua jago tembak mendadak menyadari bahwa mereka lupa membawa pistol. Ove memandang kotak itu untuk waktu yang lama, seakan menunggu munculnya pengakuan dari sana.

“Dari mana keyboard-nya ditarik keluar?” gumamnya pada akhirnya.

Asisten penjualan menggosok-gosokkan telapak tangan ke pinggir gerai dan memindahkan bobot tubuhnya dengan gelisah dari satu kaki ke kaki lain, seperti yang sering dilakukan oleh anak-anak muda yang bekerja di toko eceran, ketika mulai menyadari ada sesuatu yang akan menghabiskan jauh lebih banyak waktu daripada yang semula mereka harapkan.

“Wah, sesungguhnya ini tidak pakai keyboard.”

Ove menggerak-gerakkan alis. “Ah, tentu saja,” cetusnya. “Karena kau harus membelinya sebagai ‘ekstra’, kan?”

“Tidak, maksud saya, komputernya tidak punya keyboard yang terpisah. Anda mengontrol segalanya dari layar.”

Ove menggeleng tidak percaya, seakan baru saja menyaksikan asisten penjualan berjalan mengitari gerai dan menjilati kaca depan etalase.

“Tapi, aku harus punya keyboard. Kau mengerti, kan?”

Pemuda itu mendesah panjang, seakan menghitung sampai sepuluh dengan sabar.

“Oke. Saya mengerti. Kalau begitu, saya rasa Anda jangan memilih komputer ini. Saya rasa Anda harus membeli sesuatu yang seperti MacBook saja.”

“MacBook?” tanya Ove dengan sangat tidak yakin. “Apakah itu salah satu ‘eReader’ hebat yang dibicarakan semua orang?”

“Bukan. MacBook adalah … adalah … laptop, dengan keyboard.”

“Oke!” desis Ove. Sejenak dia memandang ke sekeliling toko. “Jadi, baguskah itu?”

Asisten penjualan menunduk memandang gerai dengan cara seakan mengungkapkan hasrat luar biasa—walaupun sedikit terkendali—untuk mencakari wajahnya sendiri. Lalu, mendadak dia berubah ceria, mengulaskan senyum bersemangat.

“Begini saja. Coba saya lihat, apakah kolega saya sudah selesai dengan pelanggannya sehingga bisa datang dan memberikan demonstrasi untuk Anda.

Ove menengok arloji dan menyetujui sambil menggerutu, mengingatkan asisten itu bahwa beberapa orang punya pekerjaan yang lebih baik dibandingkan berdiri menunggu sepanjang hari. Asisten itu mengangguk cepat, lalu menghilang dan kembali bersama seorang kolega setelah beberapa saat. Kolega itu tampak sangat riang, seperti orang yang belum bekerja cukup lama sebagai asisten penjualan.

“Hai, ada yang bisa dibantu?”

Ove menghunjamkan telunjuk-senter-polisinya ke gerai.

“Aku mau komputer!” Kolega itu tidak lagi tampak begitu riang. Dia memandang asisten penjualan pertama dengan curiga, seakan mengatakan dia akan membalasnya nanti.

Sementara itu, asisten penjualan pertama bergumam, “Aku tidak tahan lagi, aku mau makan siang.”

“Makan siang,” dengus Ove. “Hanya itu yang dipedulikan orang sekarang ini.”

“Maaf?” tanya kolega itu sambil berbalik. “Makan siang!” Ove menyeringai, lalu melemparkan kotaknya ke atas gerai dan berjalan keluar dengan cepat.

Dikutip dari A Man Called Ove.

Agar Pembaca dapat mengulas tema di atas lebih dalam, kami lampirkan versi luring (offline) pdf “A Man Called Ove” pada link di bawah ini.

0 komentar:

Posting Komentar

Senata.ID -Strong Legacy, Bright Future

Senata.ID - Hidup Bermanfaat itu Indah - Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dalam masyarakat & sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian -Pramoedya Ananta Toer