![]() |
Sumber gambar: jurnalposmedia.com |
Dia
mengendarai Saab. Dia menuding orang yang tampangnya tidak ia sukai, seakan
orang itu maling dan telunjuknya adalah senter polisi. Dia berdiri di gerai
toko yang didatangi para pemilik mobil Jepang untuk membeli kabel-kabel putih.
Ove mengamati asisten penjualan untuk waktu yang lama, lalu mengguncang-guncang
kotak putih berukuran sedang ke hadapan asisten itu.
“Jadi,
ini salah satu O-Pads itu, kan?” tanyanya.
Si
asisten, seorang pemuda yang memiliki indeks massa tubuh satu digit, tampak
tidak nyaman. Jelas sekali dia berusaha mengendalikan dirinya untuk tidak
merenggut kotak itu dari tangan Ove.
“Ya,
tepat sekali. iPad. Bisakah Anda berhenti mengguncang-guncangnya seperti itu
…?”
Ove
memandang kotak itu dengan sangsi, seakan itu semacam kotak yang sangat
mencurigakan, kotak yang mengendarai skuter, bercelana training olahraga,
menyebut Ove “sobatku” lalu menawarinya arloji untuk dibeli.
“Aku
tahu. Jadi, ini komputer, kan?”
Asisten
penjualan mengangguk. Lalu dia bimbang dan cepat-cepat menggeleng.
“Ya
… atau, maksud saya, itu iPad. Sebagian orang menyebutnya ‘tablet’ dan yang
lain menyebutnya ‘alat peramban’. Ada berbagai cara dalam memandangnya ….”
Ove
memandang asisten penjualan seakan pemuda itu baru saja bicara secara terbalik,
lalu kembali mengguncangguncang kotak itu.
“Tapi
ini barang bagus, kan?” Asisten itu mengangguk kebingungan. “Ya. Atau …. Apa
maksud Anda?”
Ove
mendesah dan mulai bicara perlahan-lahan, mengucapkan kata-katanya seakan yang
menjadi masalah di sini hanyalah gangguan pendengaran lawan bicaranya.
“Ini.
Barang. Bagus. Kaaaaaaan? Ini komputer bagus?”
Asisten
itu menggaruk-garuk dagu. “Maksud saya … ya … ini sungguh bagus … tapi
tergantung dari jenis komputer apa yang Anda inginkan.”
Ove
memelototinya. “Aku mau komputer! Komputer normal sialan!”
Keheningan
melingkupi kedua lelaki itu selama beberapa saat. Asisten itu berdeham.
“Wah
… ini tidak bisa dibilang komputer normal. Mungkin sebaiknya Anda memilih ….”
Asisten itu terdiam, seakan mencari kata yang bisa dipahami oleh lelaki di
hadapannya.
Lalu, dia kembali berdeham dan berkata, “… laptop?”
Ove
menggeleng keras dan mencondongkan tubuh ke atas gerai dengan sikap mengancam.
“Tidak, aku tidak mau ‘laptop’. Aku mau komputer.”
Asisten
itu mengangguk sok tahu. “Laptop itu komputer.”
Dengan
tersinggung, Ove memelototinya dan menghunjamkan telunjuk ke gerai.
“Kau
pikir aku tidak tahu, ya!”
Hening
lagi, seakan dua jago tembak mendadak menyadari bahwa mereka lupa membawa
pistol. Ove memandang kotak itu untuk waktu yang lama, seakan menunggu
munculnya pengakuan dari sana.
“Dari
mana keyboard-nya ditarik keluar?” gumamnya pada akhirnya.
Asisten
penjualan menggosok-gosokkan telapak tangan ke pinggir gerai dan memindahkan
bobot tubuhnya dengan gelisah dari satu kaki ke kaki lain, seperti yang sering
dilakukan oleh anak-anak muda yang bekerja di toko eceran, ketika mulai
menyadari ada sesuatu yang akan menghabiskan jauh lebih banyak waktu daripada
yang semula mereka harapkan.
“Wah,
sesungguhnya ini tidak pakai keyboard.”
Ove
menggerak-gerakkan alis. “Ah, tentu saja,” cetusnya. “Karena kau harus
membelinya sebagai ‘ekstra’, kan?”
“Tidak,
maksud saya, komputernya tidak punya keyboard yang terpisah. Anda mengontrol
segalanya dari layar.”
Ove
menggeleng tidak percaya, seakan baru saja menyaksikan asisten penjualan
berjalan mengitari gerai dan menjilati kaca depan etalase.
“Tapi,
aku harus punya keyboard. Kau mengerti, kan?”
Pemuda
itu mendesah panjang, seakan menghitung sampai sepuluh dengan sabar.
“Oke.
Saya mengerti. Kalau begitu, saya rasa Anda jangan memilih komputer ini. Saya
rasa Anda harus membeli sesuatu yang seperti MacBook saja.”
“MacBook?”
tanya Ove dengan sangat tidak yakin. “Apakah itu salah satu ‘eReader’ hebat
yang dibicarakan semua orang?”
“Bukan.
MacBook adalah … adalah … laptop, dengan keyboard.”
“Oke!”
desis Ove. Sejenak dia memandang ke sekeliling toko. “Jadi, baguskah itu?”
Asisten
penjualan menunduk memandang gerai dengan cara seakan mengungkapkan hasrat luar
biasa—walaupun sedikit terkendali—untuk mencakari wajahnya sendiri. Lalu,
mendadak dia berubah ceria, mengulaskan senyum bersemangat.
“Begini
saja. Coba saya lihat, apakah kolega saya sudah selesai dengan pelanggannya
sehingga bisa datang dan memberikan demonstrasi untuk Anda.
Ove
menengok arloji dan menyetujui sambil menggerutu, mengingatkan asisten itu
bahwa beberapa orang punya pekerjaan yang lebih baik dibandingkan berdiri
menunggu sepanjang hari. Asisten itu mengangguk cepat, lalu menghilang dan
kembali bersama seorang kolega setelah beberapa saat. Kolega itu tampak sangat
riang, seperti orang yang belum bekerja cukup lama sebagai asisten penjualan.
“Hai,
ada yang bisa dibantu?”
Ove
menghunjamkan telunjuk-senter-polisinya ke gerai.
“Aku
mau komputer!” Kolega itu tidak lagi tampak begitu riang. Dia memandang asisten
penjualan pertama dengan curiga, seakan mengatakan dia akan membalasnya nanti.
Sementara
itu, asisten penjualan pertama bergumam, “Aku tidak tahan lagi, aku mau makan
siang.”
“Makan
siang,” dengus Ove. “Hanya itu yang dipedulikan orang sekarang ini.”
“Maaf?”
tanya kolega itu sambil berbalik. “Makan siang!” Ove menyeringai, lalu
melemparkan kotaknya ke atas gerai dan berjalan keluar dengan cepat.
Dikutip
dari A Man Called Ove.
Agar
Pembaca dapat mengulas tema di atas lebih dalam, kami lampirkan versi luring
(offline) pdf “A Man Called Ove” pada link di bawah ini.
0 komentar:
Posting Komentar