![]() |
Sumber gambar: id.wikipedia.org |
Otentisitas
Al-Qur’an terjaga dengan proses transmisi isnad yang mutawatir dari
generasi ke generasi, sebab itu keutuhan dan keaslian al-Qur’an menjadi
terjamin. Catatan-catatan pribadi para sahabat tersebut memang banyak terdapat
penambahan. Meskipun demikian, tambahan-tambahan tersebut tidak mempengaruhi
keaslian Al-Qur’an, sebab bukan teks yang menjadi acuan qira’ah, tetapi
sebaliknya. Sebagai contoh pemikiran Orientalis Ignaz Goldziher yang menohok
tentang Islam seperti permasalahan seputar qira’ah, seperti Ahruf Sab’ah,
Qira’at Sab’ah, kemudian munculnya Qira’ah Syadzah akibat dari
perbedaan varian bacaan, menjadi celah-celah strategis untuk kembali
mempertanyakan keotentikan al-Qur’an. Belum lagi ia menganggap Al-Qur’an itu
alat bagi Umat Islam untuk membenarkan dirinya dan teks Quran itu copy paste
dari kitab Romawi, katanya. Dan masih banyak pemikiran lainnya yang perlu kita
kritisi. Untuk membuktikan itu, perlu kiranya kajian yang mendalam terkait hal
ini sebagai respon atas tuduhan yang dilontarkan oleh Ignaz Goldziher. (Aris
Hilmi Hulaimi dalam Jurnal Studia Quranika, Vol. 1, No. 1 (Juli 2016)).
Sekilas Ignaz Goldziher
Ignaz
Goldziher adalah seorang Yahudi yang lahir di Hungarian 22 Juni 1850. Goldziher
mampu membaca teks Bible "asli" dalam bahasa Ibrani. Pendidikan
S1-nya bermula pada usia 15 tahun di Universitas Budapest, Hungaria. Goldziher
sangat terpengaruh oleh pemikiran dosennya, yaitu Aminus Vambery. (1832-1913),
seorang pengembara dan juga pakar tentang Turki. Aminus Vambery banyak mewarnai
kehidupan intelektual Goldziher. Perjalanan intelektual Goldziher sangat
bermutu tinggi. Setelah menyelesaikan studinya di Budapest.
Pada
Tahun 1871, Goldziher masih berusia 16 tahun. Goldziher sukses mempelajari
manuskrip-manuskrip Arab di Leiden dan Wiena. Goldziher juga terpilih sebagai
anggota pertukaran pelajar dengan melakukan ekspedisi di kawasan Timur Tengah
dan menetap di Kairo. Selama di Kairo Goldziher sempat bertukar kajian di
Universitas al-Azhar, kemudian pergi ke Palestina dan Suriah. Salah satu upaya
untuk mengetahui Islam, banyak orientalis yang mengunjungi negara-negara muslim
agar mereka bisa langsung bertemu serta berinteraksi dengan para ulama,
Goldziher juga berkunjung ke Syiria dan Mesir pada tahun 1873-1874. Kemudian
Goldziher juga dikenalkan oleh Dor Bey (Edouard Dor) merupakan seorang pejabat
Inspektur Jendral Madrasah pada masa khodive Ismail di Mesir. Selanjutnya Dor
Bey memperkenalkan Goldziher kepada Riyad Pasha, Menteri Pendidikan Mesir.
Ketika itu Goldziher mengaku bahwa ia bernama Ignaz al-Maghyar (Ignaz dari
Hungaria) dan mengaku dirinya "Muslim". Usaha ini dilakukan Goldziher
dengan maksud dan tujuan agar bisa belajar di Universitas al-Azhar. Kegigihan
serta semangat akhirnya Goldziher menjadi murid beberapa masyayikh al-Azhar,
seperti Syaikh al-Asmawi, Syaikh Mahfudz al-Maghribi, Syaikh Sakka dan beberapa
Syaikh al-Azhar lainnya.
Pada
tahun 1874, Goldziher melanjutkan studinya ke Universitas Leipzig, Jerman.
Kemudian Goldziher meraih gelar doktor dari Universitas tersebut ketika berusia
19 tahun. Karena intelektual Goldziher yang sangat luar biasa, maka tak heran
ia mendapatkan beasiswa setelah dari Leipzig. Pada tahun 1875 usia 20 tahun,
Goldziher melanjutkan penelitiannya di Universitas Leiden, Belanda, selama 1
tahun. Selanjutnya pada usia 21 tahun, Goldziher pulang ke kampung halamannya
dan menjadi dosen privat di Universitas Budapest, Hungaria. Goldziher juga
dipilih sebagai anggota "akademi sains Hungaria", sebuah penghargaan
yang diberikan kepada dirinya. Selanjutnya Goldziher menjadi calon pengajar
bahasa Semit di Universitas Budapest. Menjabat sebagai Sekretaris Zionis
Hungaria (6).
Pada
tahun 1904, Goldziher pun menjadi rektor pada mata kuliah bahasa Hebrew atau
Ibrani. Pengalaman paling berharga selama perjalanan intelektualnya adalah
ketika Goldziher mendapat beasiswa dari pemerintah Hungaria untuk belajar di
Universitas al-Azhar, Kairo. Kemudian 10 tahun kemudian, Goldziher tetap
meneruskan karirnya menjadi guru besar bahasa Semit di Universitas Budapest
hingga akhir hayatnya, Ignaz Goldziher meninggal dunia pada 13 November 1921,
pada usia 66 tahun.
Buah Karya Ignaz Goldziher
Karya
Ignaz Goldziher banyak dipublikasikan dalam bentuk artikel jurnal, kemudian ada
dari beberapa naskahnya yang disunting hingga dipublikasikan menjadi karya buku
yang disumbangkan sebagai koleksi di akademi Hungaria. Kebanyakan naskah itu ia
tulis dalam bahasa Jerman.
Ada
4 karya Goldziher yang tebal dan terkenal, yaitu:
Pertama, Die
Zahiriten, ihr Lehrsystem und Geschichte, Leipzig
1884. Edisi bahasa arabnya berjudul al-zahiriyyah : Madzhabuhum
wa Tarikhuhum di dalam kata pengantarnya dia memberikan suatu keterangan
yang sistematis mengenai literatur-literatur Barat yang membicarakan tentang
prinsip-prinsip dan metode-metode hukum Islam (fiqh), di mana dia juga
menemukan adanya pertentangan antara aliran Zahiri dan Ahli Sunnah mengenai
arti dan penafsiran Al-Qur’an.
Kerena itu buku ini merupakan suatu karya pertama kali yang meletakkan
dasar-dasar mengenai studi hukum Islam dengan metode-metode ilmu pengetahuan
Barat.
Kedua,
Muhammedanische Studien (dua jilid) diterbitkan di
Halle tahun 1889-1890. Buku ini diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh C. R
Barber dam S. M Stern dengan judul Muslim Studies diterbitkan di London tabun
1967. Di dalam jilid pertama Goldziher menguraikan bagaimana
semangat agama Islam. Bahkan spirit Islam ini juga dapat mengalahkan perasaan
Nasionalisme Persia, sehingga
seluruh Timur Tengah pada waktu itu dapat disatukan dengan semangat Islam. Pada jilid
kedua Goldziher membahas tentang hadis serta mengungkapkan urgensi hadis bukan
dalam arti yang sebenarnya menurut Islam. Menurutnya hadis merupakan sumber
utama untuk mengetahui perbincangan politik, keagamaan dan mistisme dalam Islam.
Masalah-masalah ini terjadi sepanjang masa. Hadis dipakai senjata oleh
masing-masing madzhab. Baik kelompok politik maupun paham fiqih berupaya
menggunakan hadis sebagai alat untuk menguasai persoalan kehidupan di tengah
umat Islam. Jadi, hadis tidak digunakan sebagai alat untuk mengetahui perilaku
Nabi tetapi lebih untuk kepentingan tiap kelompok aliran, baik politik maupun
keagamaan.
Ketiga,
Vorlesungen uber den Islam, diterbitkan di Heidelberg
tahun 1910 dan edisi kedua diterbitkan tahun 1925. Buku ini sudah diterjemahkan
kedalam bahasa rusia (1911), Hongaria (1912), Perancis (1920), ke dalam bahasa
Inggris oleh Andras dan Ruth Hamory dengan judul Introduction to Islamic
Theology and law dan bahasa arab (1974) dengan judul al-Aqidah wa
al-Syariah fi al-Islam dan diterjemahkan pula ke dalam bahasa Indonesia
oleh Hersri Setiawan (1991) dengan judul Pengantar Teologi dan Hukum Islam.
Dalam buku ini, Goldziher mendeskripsikan Islam dari berbagai aspeknya antara
lain: Muhammad
dan Agama Islam, perkembangan Hukum, perkembangan Akidah, sekte-seket Islam,
Asketisme dan Dunia Mistisme Islam dan lainnya.
Keempat, Die
Richtungen der Islamischen Koran auslegung, diterbitkan
di Leiden tahun 1920. Buku ini diterjemahkan ke dalam bahasa Swedia (1915), ke
dalam bahasa Arab oleh Abd al-Karim al-Najar dengan judul Madzahib al-Tafsir
al-Islami dan kedalam bahasa Indonesia (2003) oleh M. Alaika Salamullah,
Saifuddin
Zuhri Qudsy dan Badrus Syamsul Fata dengan Judul Madzahib Tafsir: dari Klasik
hingga Modern. Buku ini terdiri dari 6 bab yang berisi penjelasan tafsir tahap
awal, tafsir bi al-ma'tsur, tafsir dalam perspektif Teologi rasional,
tafsir dalam perspektif tasawuf, tafsir dalam perspektif sekte keagamaan, dan
tafsir era kebangkitan Islam.
Qur’an dalam Definisi Ignaz
Goldziher
mempunyai pandangan yang buruk terhadap Al-Qur`an, menurutnya Al-Qur`an hanyalah
sebagai alat bagi umat Islam
untuk dijadikan senjata ampuh dalam melawan musuh-musuh, isi dari kandungan
Al-Qur`an bukanlah petunjuk yang benar, demikian Goldzher mempunyai strategi
yang baik disertai semangat yang besar untuk menghancurkan umat Islam. Dengan
beragumen bahwa Al-Qur`an telah mengcopy paste ajaran romawi. Kemudian
Goldziher juga mengungkapkan bahwa Al-Qur`an merupakan hasil cipta karya Nabi
Muhammad saw. Strategi Goldziher untuk meragukan otentisitas Al-Qur`an dengan
menggunakan pendekatan sejarah, dengan demikian beliau bisa banyak mengomentari
tentang sejarah bahkan kisah-kisah dalam Al-Qur`an. Hasil dari pemikiran karya
Goldziher dalam buku Mazhab Tafsir, dalam bukunya tersebut beliau berusaha
untuk menjelaskan sekte-sekte keagamaan dalam menafsirkan Al-Qur`an.
Goldziher
memandang bahwa tafsir memiliki kepentingan teks suci Al-Qur`an bukan lagi
sebagai sumber agama tetapi lebih dari itu, Al-Qur`an menjadi salah satu aliran
keagamaan tertinggi bagi suatu kelompok ajaran tertentu. Bahkan beberapa
golongan aliran mazhab mengklaim bahwa kebenaran Allah adalah suatu
bukti yang tidak bisa diganggu gugat. Hasil pemikiran karya Goldziher daam buku madzhab
tafsir, Goldziher berusaha untuk menjelaskan sekte-sekte keagamaan dalam
menafsirkan Al-Qur’an. Dalam karyanya beliau telah mengklasifikasikan serta
menyeleksi berbagai sekte aliran secara ringkas. Terdapat 5 sekte aliran dalam
tafsir yakni: tradisionalis,
dogmatis, mistik, sekretarian dan modernis. Perbedaan itu menjadi keniscayaan
tinggal bagaimana menyingkapi perbedaan tersebut.
Ignaz Mendefinisikan Nabi Muhammad saw.
Goldziher
adalah seorang pakar yang telah jauh menela’ah tradisi keilmuan Islam, khususnya
ilmu Al-Qur`an, tafsir, dan hadis Nabi. Kontribusi yang telah diberikan oleh Goldziher
untu khazanah keilmuan dunia Islam
juga begitu besar. Walaupun Goldziher seorang orientalis tetapi sumbangsih
karya pemikiran yang diberikannya memberi warna tersendiri bagi Islam. Menurutnya
agama Islam
adalah keprasahan seorang hamba kepada Tuhannya (Allah), hal ini merupakan
salah satu ajaran dari Nabi Muhammad untuk menyatukan hamba dengan Tuhannya,
keprasahan hamba kepada Tuhannya merupakan salah satu pendidikan istimewa dalam
ajaran agama Islam.
Kemudian menurutnya Islam
hanya sebagai agama yang bisa menyerap unsur-unsur dari agama lain dengan
membungkusnya secara rapi melalui cerita sejarah sehingga seolah-olah Islam adalah agama
yang sangat murni. Padahal Islam
mengambil ajaran dari judaisme. Dunia Islam tanpa ilmu tidak akan mengenal pengetahuan
pemikiran yang spesifik. Artinya Agama Islam dalam menyebarkan agama selalu
berlandaskan ilmu. Ketika Islam menyebarkan ajarannya tanpa ilmu, maka akan
dipertanyakan identitas utusan Allah, yakni Nabi Muhammad sebagai pembawa
risalah.
Sangat
berbeda dengan pandangan kaum muslim yang mendudukan Muhammad dalam posisi yang
teramat penting statusnya sebagai Nabi dan Rasul, dalam pandangan orintalis
citra Nabi Muhammmad
secara garis besar dipahami dalam dua posisi, yang pertama Muhammad sebagai
Nabi dan Rasul yang telah membebaskan dari kezhaliman, dan posisi yang lain
dipahami sebagai paganis dan penganut Kristen dan Yahudi murtad yang akan
menghancurkan ajaran-ajaran Kristen dan Yahudi, Intelektual yang pintar yang
memiliki imajinasi yang kuat dan pembohong, tukang sihir yang berpenyakit gila
dan ayan.
Visi
Orientalis dalam memahami Muhammad ternyata beragam, bagi kaum rivalis,
terkadang semena-mena mereka melukiskan Muhammad tidak lebih sebagai penipu dan
pemimpin keji, terlebih lagi hal itu terjadi setelah terjadinya Perang Salib.
Misalnya D’Herbelot melukiskan Nabi Muhammad ialah penipu yang terkenal dan
pendiri serta pencipta suatu bid’ah yang telah diberi nama agama. Yang kita
sebut dengan Muhammadisme. Para penafsir Al-Qur`an dan doktor-doktor hukum Islam
telah memberikan suatu
penghormatan dan pujian kepada Nabi Palsu itu yang tidak pernah diberikan oleh
para pengikut Aria, kaum
Paulusia dan Paulunis. Dan kelompok bid’ah lainnya kepada Yesus Kristus. Lain dari itu
seorang Dante Alighieri (1265-1321) walaupun dalam beberapa wacana lain
menyadari hutang Eropa terhadap Islam, karena kesombongan intelektualnya, ia
menyatakan
bahwa Muhammad adalah pemuka dari jiwa-jiwa terkutuk yang membangkitkan
perpecahan dalam agama dan mengembangkan agama palsu.
Adapun
pandangan Goldziher tentang Nabi Muhammad sebagai pelopor pembawa Islam,
Goldziher mengira bahwa Nabi Muhammad telah menerima ajaran dari unsur agama
kristen, umumnya melalui jalan tradisi serta bid’ah yang bertebaran didalam
Gereja Timur. Dengan bid’ah dalam Gereja Timur maka Nabi Muhammad mendapatkan pemberitaan suci. Dalam
pandangannya Nabi Muhammad memperoleh hubungan lahiriah urusan perdagangan
ketika beliau belum diangkat menjadi Rasul. Untuk memperkuat argumentasinya
agama Kriten dan Yahudi menyediakan unsur-unsur pokok dan takaran yang sama.
Lima pokok unsur yang dikenal dengan rukun Islam sudah diperkenalkan oleh Nabi
pada periode Makkah memperolah bentuknya yang pasti pada periode Madinah. Jadi
menurut beliau unsur-unsur ajaran dalam Al-Qur`an sebenarnya banyak menyerap
unsur atau tradisi sebelumnya. Ditambah lagi dengan meluasnya ekspansi
perluasan umat Islam ini mengindikasikan bahwa hadirnya Islam ternyata belum
mampu menjawab segala problematika yang ada, karena penyempurnaan baru ada
setelah diperoleh hasil Ijtihad generasi selanjutnya.
Hadis dan Sunnah Versi Ignaz
Menurut Goldziher, kata hadis mengandung pengertian
tutur atau kisah, dan pengabaran, baik yang menyangkut kehidupan secara umum,
sejarah, maupun keagamaan. Pemahaman ini dapat dibaca melalui pernyataan
berikut,
The word
hadith means tale, communication. Not only are communication among those who
have embraced the religious life called whether of times long past or of more
recent events”.
“Kata hadis berarti tutur, perkabaran. Bukan hanya perkabaran
diantara orang-orang yang menganut kehidupan keruhanian yang disebut hadis itu,
tetapi data sejarah baik yang berupa duniawi maupun yang bersifat keagamaan,
demikian pula baik yang berasal dari masa silam maupun tentang kejadian-kejadian
dari masa yang paling mutakhir”.
Dalam pandangan Goldziher, perbedaan hadis dan sunnah
tetap dipertahankan. Ia menyatakan bahwa hadis bermakna suatu disiplin ilmu yang
teoritis dan sunnah adalah compendium
aturan-aturan praktis. Satu-satunya kesamaan sifat diantara keduanya adalah
bahwa keduanya berakar secara turun temurun. Dia menyatakan bahwa
kebiasaan-kebiasaan yang muncul dalam ibadah dan hukum, yang diakui sebagai
tata cara kaum muslim pertama yang dipandang berwenang dan telah pula
dipraktikkan dinamakan sunnah atau adat/kebiasaan
keagamaan. Adapun bentuk yang memberikan pernyataan atau tata cara itu
disebut hadis atau tradisi.
Goldziher juga menyinggung mengenai perbedaan hadis dan sunnah. Ia
cenderung membuat perbedaan antara
keduanya. Ia menggunakan analisa empiris dan tidak menggunakan analisa yang
digunakan ahli hadis dalam memahami suatu hadis sehingga menghasilkan
rumusan yang berbeda dengan mereka.
Goldziher berpendapat, bahwa pengertian hadis dan
sunnah harus dibedakan. Menurutnya, hadis adalah berita lisan yang bersumber
dari Nabi saw. sedangkan sunnah adalah hal yang menunjukkan pada permasalahan
hukum atau keagamaan, dengan tidak memandang ada atau tidak adanya berita
mengenai permasalahan tersebut. Hal ini dapat kita pahami dari penyataan
kutipan ini:
“The
difference which has to be kept in mind is this: hadith means, as has been
shown, an oral communication derived from the prophet, where as Sunna, in the
usage prevailing in the old muslim community, refers to a religious or legal
point, without regard to wether or not there
an oral tradition fot it.”
“Perbedaan
yang harus diingat adalah: Hadis, seperti telah diutarakan, berarti berita
lisan yang bersumber dari Nabi, sedangkan Sunnah menurut penggunaaan yang
lazim di kalangan umat Islam kuno
menunjukkan persoalan hukum atau kegamaan, tanpa memperhatikan ada atau Selanjutnya,
dia menambahkan bahwa ada satu persamaan antara hadis dan sunnah, yaitu
keduannya merupakan pengetahuan yang berakar secara turun-temurun.
Menurut Goldziher, perkataan sunnah-sebagaimana yang
dikenal umat Islam hingga saat ini semula adalah istilah animis yang sudah
dikenal masyarakat sejak masa pra Islam dahulu. Dia menganggap bahwa istilah
tersebut telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan orang-orang
animis jauh sebelum kedatanggan Islam jadi konsep sunnah pra Islam tersebut
pada gilirannya seperti sangat populer dalam kehidupan umat Islam.
Dalam pandangan Goldziher, umat Islam seharusnya tidak
perlu menciptakan konsep dan pentinggnya sunnah dalam praktek hidup. Karena hal
tersebut sudah lama akrab pada
masyarakat Arab sebelum Islam. Bagi mereka (masyarakat Arab) sunnah berarti
seluruh peraturan yang sesuai denga tradisi-tradisi Arab dan warisan-warisan
nenek moyang, serta adat kebiasaan. Karena dalam pemahaman bangsa Arab kuno,
sunnah adalah “aturan emas”, yakni apa saja yang telah menjadi adat adalah
benar dan patut; apa saja yang dilakukan nenek moyang mereka adalah pantas
untuk ditiru.
Dengan demikian, terminologi sunnah sebagai sumber
hukum pada mulanya adalah masalah-masalah ideal atau norma yang dikenal dalam
masyarakat, yang kemudian pada masa belakangan pengertian tersebut terbatas
hanya untuk perbuatan-perbuatan Nabi saw. saja.
Pendapat Goldziher di atas bahwa sunnah adalah istilah
animis yang dipakai oleh Islam, sesungguhnya tidak benar sama sekali. Bahkan
bertolak belakang dengan kenyataan dan logika yang ada. Menurut Azami, kata
sunnah sudah dipakai dalam syair-syair Jahiliyah, Al-Qur`an, dan kitab-kitab
hadis, yaitu untuk menunjuk kepada arti tata cara, jalan, sikap hidup, syari`at
dan jalan hidup. Dan ini adalah arti yang sebenarnya. Kalaupun orang-orang Jahiliyah atau
orang yang menganut aliran animis menggunakan sebuah kata dalam bahasa Arab
untuk arti yang etimologis (harfiah, lughawi), maka hal itu tidak berarti
istilah itu menjadi milik Jahiliyah atau animis. Kalau hal ini dibenarkan, maka
bahasa Arab pun seluruhnya juga istilah Jahiliyah, dan tentu saja hal ini sulit
diterima oleh akal sehat.
Mengenai tuduhan Goldziher yang menyebutkan bahwa
sunnah adalah sebagai tradisi nenek moyang atau adat istiadat masyarakat
Jahiliyah. Perlu penulis kemukakan bahwa sejak awal, terminologi sunnah memiliki pemahaman yang
beragam. Hal ini dapat dipahami dari penegasan Ibn `Umar ketika dia dituduh berbeda dengan ayahnya, `Umar
dalam persoalan haji Tamattu, dimana Ibnu `Umar menyatakan bahwa haji Tamattu`
itu ada berdasarkan Al-Qur`an dan Rasulullah saw. sendiri melakukannya. Untuk menegaskan
keyakinannya Ibnu `Umar mengajukan
sebuah pertanyaan diplomatis, “Manakah
yang berhak diikuti,
sunnah Rasul atau sunnah `Umar?”. Tampaknya hal itu sudah tampak membuktikan adanya perbedaan makna antar kedua istilah
tersebut, dimana apabila terjadi perbedaan, sunnah Rasulullah yang wajib
diikuti. Dengan demikian jelaslah bahwa sunnah yang wajib diikuti adalah sunnah
Nabi saw. apabila tradisi atau adat istiadat diartikan sebagai sunnah, maka apa
maksud ucapan Ibnu `Umar tadi?.
Dikutip
dari Abstrak Aris Hilmi Hulaimi dalam Jurnal Studia Quranika dan makalah Maria
Ulfa, IIQ, Jakarta tentang Orientalis Ignaz Goldziher.
Agar
Pembaca dapat mengulas tema di atas lebih dalam, kami lampirkan versi luring
(offline) pdf Muslims Studies karya Ignaz Goldziher
pada link di bawah ini.