![]() |
Sumber gambar: alihamdan.id |
Agama
memberikan pengajaran mengenai nilai-nilai baik dan buruk, salah dan benar,
hitam dan putih yang tersurat jelas dalam aturan-aturannya. Sebagaimana sifat
norma, agama juga mempunyai sifat hukum yang mengikat dan sanksi yang tegas.
Bahkan dalam masa sebelum abad pencerahan, hukum-hukum di negara barat tidak
lain adalah hasil perumusan dari gereja. Sedangkan, sosiologi tidak pernah
memberikan justifikasi mengenai yang benar dan yang salah. Sosiologi
mempelajari kausalitas, pola, interaksi, kronologi, sampai bagaimana dampak
sebuah fenomena sebagai jalinan yang komprehensif.
Tidak
semua yang kita alami dalam hidup dapat dibedakan dalam dikotomi hitam dan
putih atau salah dan benar. Kadang ada yang samar dan perlu negosiasi dan
kompromi. Perbedaan nilai antar agama atau antar aliran dalam agama dapat
menjadi faktor yang menggoyangkan konsensus jika tidak disikapi secara
bijaksana. Di sinilah perlunya kita mempelajari sosiologi agama. Sosiologi
agama membantu kita menelaah suatu fenomena keagamaan sebagai bagian dari
realitas sosial dengan lebih interpretatif. Jika kita terbiasa dengan cara
pandang klasik yang hanya menggunakan sudut pandang satu agama, sosiologi
menawarkan cara lain agar kita memahami cara pandang agama lain dengan nilainya
yang berbeda.
Cita-cita
semua agama pada dasarnya satu, yakni kebahagiaan dalam situasi dan damai.
Wujud cita-cita ini kadang disimbolkan dengan sebuah tempat seperti “surga‟ dan
“nirwana‟. Lalu, mengapa terjadi konflik hingga peperangan yang dikarenakan
agama? Sosiologi agama akan mengatakan karena adanya nilai yang berbeda atau
bahkan timpang. Bahkan, mungkin nilai-nilai dalam agama itu sendiri yang
kemudian ditunggangi oleh kepentingan tertentu. Pelanggengan stratifikasi
sosial tertutup, penundukan, pembodohan, semuanya pernah dilakukan atas nama
agama. Kontestasi politik juga telah lama menggunakan metode pendekatan agama
untuk memperoleh dukungan. Maka, tidak salah jika Marx melalui kritiknya
mengatakan bahwa „agama adalah candu‟; menghilangkan kesadaran.
Cara
manusia memahami makna agama berperan besar pada cara ia menempatkan diri dalam
masyarakat, khususnya masyarakat multikultur dengan beragam agama. Setiap agama
(atau mungkin penganut) tentu akan berlomba mengklaim bahwa ajarannyalah yang
paling benar. Hal ini berkenaan dengan kekuatan legitimasinya dalam sebuah
tatanan masyarakat. Kekuatan iniah yang nantinya sering dimanfaatkan untuk
kepentingan kekuasaan. Bahkan manuver politik bekerja untuk mendapat dukungan
dengan memanipulasi skenario “mempertahankan tempat ibadah‟ oleh politikus
Ariel Sharon (Kimball, 2003: 204).
Ajaran
agama yang menuntun umatnya menuju kebahagiaan gagal dan justru digunakan untuk
membuat orang lain menderita adalah menjadi paradoks atau mungkin ironi yang
harus diakui. Charles Kimball mencontohkannya melalui kebijakan agama yang
diskriminatif, terutama terhadap perempuan. Kepentingan melindungi status
quo pada akhirnya mengorbankan ajaran mulia “mencintai tetanggamu
sebagaimana kamu mencintai dirimu sendiri‟. Pembodohan yang dilakukan dengan membatasi
akses perempuan dan kalangan tertentu untuk memperoleh pendidikan, menjadi
sebuah bentuk “permusuhan‟ terhadap perempuan.
Kimball
memberikan contoh realitas sosial dalam kasus-kasus pembunuhan (atau
diantaranya menyebabkan kematian) terhadap perempuan atas nama kehormatan
perempuan. Melindungi kehormatan perempuan, dalam ajaran Islam merupakan suatu
kewajiban. Perempuan diletakkan dalam posisi yang tinggi dengan memberikan
simbol surga berada di telapak kaki seorang ibu. Lalu anehnya, demi melindungi
kehormatan perempuan dan keluarganya, 15 orang gadis harus rela mati dalam
peristiwa kebakaran di hadapan pemadam kebakaran dan perempuanperempuan belia
dihukum mati oleh keluarga tanpa melalui proses hukum yang adil. Kadang-kadang
alasan melindungi perempuan dan keluarganya menjadi benar-benar absurd (Kimball,
2003: 216-219).
Ketika
terdapat tindakan-tindakan melanggar kemanusiaan dan berpotensi merusak
perdamaian dengan menggunakan alasan agama, apakah agama itu yang kita
persalahkan? Seperti kata Durkheim, “tidak ada agama yang salah‟. Definisi-definisi
parsial dan teksual, juga terbatasnya perspektif kita tentang agama dapat
mengaburkan makna yang hadir dalam kehidupan kita. Lalu, siapa yang salah? Atau
apa? Berbagai perspektif dan pendekatan sosiologi agama mempunyai jawabannya
masing-masing.
Dikutip dari
Buku Sosiologi Agama.
Agar
pembaca dapat mengulas lebih jauh tema pembahasan di atas, maka kami lampirkan
versi luring (offline) Sosiologi Agama pdf di bawah ini.
0 komentar:
Posting Komentar