![]() |
Sumber gambar: pustakapelangi.home.blog |
Jawaban
atas pertanyaan di atas ialah dari cara kita menyikapi tradisi yang kita warisi
dari masa lalu. Kata “tradisi” di sini dipahami dalam makna yang luas. Dari
bahasa Latin “traditum”,
tradisi berarti setiap yang ditransmisikan dan diwarisi dari masa lalu ke masa
kini.
Teks, keyakinan atau perbuatan yang diwariskan dari satu generasi ke generasi
berikut dan dianggap otoritatif bisa disebut tradisi. Atau, dalam pengertian
kolektif, tradisi berarti modus
vivendi masyarakat dalam arti cara mereka menyikapi kenyataan
hidup.
Dalam
pengertian di atas tradisi bersifat netral nilai, kendati dalam pandangan
modern cenderung dipersepsikan secara negatif. Penilaian negatif ini terutama
berasal dari pengaruh Pencerahan Eropa yang menganggap beban masa lalu sebagai
rintangan menuju kemajuan, modernitas, dan era sains.
Karena
itu, modernitas dan tradisi acapkali dibenturkan. Sebuah masyarakat disebut
modern bila mereka tidak lagi tradisional. Maka, tradisi masa lalu dianggap
sudah “mati” atau perlu segera dikubur.
Secara
konseptual, semestinya warisan masa Pencerahan pun sekarang harus dianggap
tradisi masa lalu. Karena itu, pemisahan “modern” dan “tradisional” secara
ketat tidak masuk akal. Hal itu mengindikasikan bahwa baik masyarakat modern
maupun tradisional memiliki “tradisi”, dan karenanya menjadi penting dibedakan
bagaimana mereka menyikapi tradisinya masing-masing.
Pengantar
yang agak konseptual ini diperlukan untuk mendiskusikan upaya-upaya yang telah
dilakukan sejumlah pemikir Muslim dalam merekonfigurasi pemikiran Islam. Proyek
rekonfigurasi ini telah diekspresikan dengan beragam istilah, seperti
“pembaharuan”, “penyegaran kembali”, “reformasi”, atau istilah klasik tajdid dan islah.
Mengapa Rekonfigurasi, Mengapa Tradisi?
Ketika
almarhum Nurcholish Madjid (Cak Nur) pertama melontarkan gagasan pembaharuan
Islam, dia menyadari pilihan yang ada di hadapannya tidak banyak:
mempertahankan kohesi umat yang stagnan atau mendobraknya. Cak Nur tahu betapa
kuatnya cengkeraman tradisi sehingga diperlukan apa yang disebutnya “psychological striking force”.
Hentakan itu dimulai dengan memperkenalkan ide-ide yang tidak umum di zamannya,
seperti rasionalisasi, liberalisasi, sekularisasi, dan seterusnya.
Kita
juga tahu bahwa Cak Nur tidak serta merta mengabaikan tradisi. Dia memilih
mereformasi tradisi dari dalam tradisi itu sendiri. Barangkali kelebihan Cak
Nur terletak pada kemampuannya menggabungkan teori-teori modern dengan
epistemologi Islam klasik sehingga menghasilkan sudut pandang progresif yang
tidak asing bagi umat Muslim.
Gagasan
Cak Nur tentang sekularisasi yang dibangun di atas doktrin klasik “tauhid”
mengilustrasikan itu. Ide bahwa hanya Tuhan yang absolut dan sacred (suci) dan
selain-Nya adalah temporal sehingga tidak boleh disakralkan merupakan suatu
pandangan tauhid yang radikal.
Dari
pandangan ini Cak Nur menekankan perlunya membedakan antara kebenaran Tuhan
yang absolut dan relativitas pemikiran manusia. Dari doktrin tauhid, ia membuka
kesadaran umat bahwa tradisi, bila dipahami secara kreatif, tidak membelenggu
kebebasan berpikir.
Itu
juga yang dilakukan oleh pemikir Iran Mohammad Syabestari (sejujurnya, membaca
Syabestasi langsung mengingatkan saya pada Cak Nur, Allahumaghfirlahu). Juga merujuk pada
doktrin tauhid, Syabestari berargumen bahwa penegasian ketuhanan atau
kesakralan terhadap semua hal selain Tuhan justru mengukuhkan kedaulatan (subjectivity) manusia.
Sebab, otoritas Tuhan sama sekali tidak berbenturan dengan otoritas manusia.
Syabestari
mengembangkan gagasan “human
subjectivity” tersebut ke bidang hermeneutika al-Qur’an yang memang
menjadi spesialisasinya. “Subyektivitas manusia” itu, menurutnya, terefleksikan
dalam ruang luas yang tersedia bagi pembaca untuk menafsirkan Kitab Suci.
Pendekatan
hermeneutika Syabestari berpijak pada konsep modern yang dikenal dengan “reader-response” yang
menekankan pembaca sebagai pelaku utama. Baginya, ayat-ayat al-Qur’an tidak
berbicara sendiri, melainkan melalui para penafsir yang mengajukan pertanyaan
tertentu dan kemudian memberikan makna. Dari mana makna tersebut diperoleh?
“Bukan dari al-Qur’an sendiri, melainkan dari berbagai sumber pengetahuan,”
kata Syabestari.
Menarik
dicatat bagaimana doktrin tauhid yang menjadi perhatian utama kaum Wahhabi
dipahami begitu kreatif oleh Cak Nur dan Syabestari untuk menegaskan kebebasan
manusia. Di mata kaum Wahhabi, tauhid menjadi senjata ampuh untuk mengkafirkan
kelompok-kelompok Muslim lain.
Dari
konsep subjectivity
tersebut, Syabestari berargumen bahwa teks al-Qur’an memang tidak berubah, tapi
kontennya terus berkembang. Pandangan ini mengantarkannya untuk membedakan
antara hal-hal yang eternal dan tetap (fixed)
dan yang terus berubah dan dinamis dalam Islam. Dengan konsep modern subjectivity ruang
fleksibilitas agama menjadi terbuka luas.
Kritik Tradisi, Kritik Diri
Rekonfigurasi
kreatif atas tradisi yang digagas oleh Cak Nur dan Syabestari bukan
satu-satunya model yang telah dikembangkan oleh para pemikir Muslim modern. Ada
kalangan, terutama dari Arab, yang memilih cara lebih radikal. Mereka
menyuarakan dan mengartikulasikan rasa frustasi terhadap budaya–dan juga
rezim–Arab yang dianggapnya menjadi hambatan kemajuan dan menyerukan
kritik-diri dan tradisi sekaligus.
Seperti
ditulis oleh Abu Rabi’ dalam Contemporary
Arab Thought: Studies in Post-1967 Intellectual Arab History
(2004), tema “modernitas dan otentisitas” atau “krisis peradaban” menjadi
sangat fovorit di kalangan pemikir Arab. Mengapa pasca-1967 sebagai starting point? Itulah
tahun di mana dunia Arab dipermalukan dalam perang enam hari oleh negeri kecil
yang baru muncul, Israel.
Kenyataan
itu menghentak kesadaran para pemikir Arab: Apa yang salah dengan warisan
tradisi Arab? Perdebatan intelektual Arab berkembang menjadi diskursus yang
lebih luas, bukan sekadar soal faktor-faktor kekalahan perang 1967 itu. Sambil
menggerutu atas impotensi rezim-rezim Arab, mereka mengembangkan diskursus
intelektual yang cukup dinamis.
Bagi
mereka, dunia Arab mengalami krisis intelektual yang akut dan perlu penyegaran
total. Maka, tidak berlebihan jika dikatakan, tiga dekade pasca 1967 itu bisa
dikatakan sebagai periode paling kreatif dalam pemikiran Islam di dunia Arab.
Tentu
saja ada beragam respons intelektual, dari yang progresif hingga tradisionalis.
Namun, ada juga respons yang sangat radikal menyerukan agar tradisi dicampakkan
dan dikuburkan. Saatnya memulai tradisi baru, karena apa yang mereka warisi
dari masa lalu ternyata tak mampu berhadapan dengan tantangan modernitas.
Ke
dalam kelompok terakhir ini kita dapat sebutkan, di antaranya, Fuad Zakariya,
Adonis (Ali Ahmad Sa’id), Mahdi Amil, Abdullah al-Arwi, dan Tayyib Tizini. Tiga
nama terakhir cukup kental dipengaruhi pemikiran Marxis. Namun demikian, dua
nama pertama tidak kurang radikalnya.
Zakariya,
misalnya, menyerukan perlunya mengadopsi sekularisme secara total. Sementara
itu, Adonis menerbitkan bukunya berjudul Fatihah
li-nihayat al-qarn: bayanat min ajl tsaqafa arabiyah jadidad
(Pengantar buat akhir abad: Deklarasi tentang [lahirnya] peradaban Arab baru).
Tidak
cukup ruang untuk mendiskusikan teborosan intelektual yang ditawarkan para
pemikir Arab di atas. Singkatnya, seruan revolusi gagasan yang dimulai dengan
kritik kognitif atas tradisi begitu bergemuruh. Seperti kata Adonis, “kita tak
mungkin bisa membangun sebuah peradaban baru bila tidak melakukan kritik dan
mengguncang struktur peradaban lama.”
Apa
yang telah dirintis oleh para pemikir di atas, termasuk Cak Nur dan Syabestari,
perlu dijadikan sebagai starting
point untuk merekonfigurasi pemikiran Islam dengan paradigma dan
etika baru. Mereka semua hidup di zaman krisis kebebasan tapi berhasil
memproduksi gagasan-gagasan cemerlang.
Kenapa
terobosan pemikiran di era kebebasan yang kita nikmati saat ini tidak lagi
berdentum? Tolong jangan katakan kreativitas gagasan hanya muncul di zaman yang
sulit!
Dikutip
dari Mun’im Sirry, Ph.D dalam geotimes.co.id
Agar
pembaca dapat mengulas lebih jauh tema pembahasan di atas, maka kami lampirkan
versi luring (offline) pdf Proceedings on The International Islam Society and
Thought UINSA 2017 di bawah ini.
0 komentar:
Posting Komentar