![]() |
Sumber gambar: islamindonesia.id |
Masih
terngiang di telinga kita fakta ekstremisme keberagamaan telah melahirkan
sejumlah gerakan garis keras bahkan memobilisasi massa untuk menggolkan agenda politik
mereka. Ekstremisme bagaikan gadis cantik yang dipupuk lalu disirami dan
dirawat eksistensinya oleh kalangan sebelah. Dan saat ini mereka tengah mencoba
menunggu moment yang pas (suitable moment) setelah sekian usaha dan daya
upaya mereka selama ini boleh dikatakan gagal, namun berhasil membuat efek
kejut. Dan ini merupakan ancaman bagi keutuhan NKRI sebagai rumah kita bersama.
Selama
ini, tindakan kontra terhadap ekstremisme kekerasan (violent extremism)
yang telah dilakukan pemerintah dianggap tidak cukup, bahkan banyak kajian yang
menunjukkan adanya peningkatan kegiatan atau sikap menuju ekstremisme
kekerasan. Karenanya banyak kalangan mengusulkan perlunya prioritas penanganan
aksi dan ekspresi ekstremisme kekerasan melalui pendekatan yang lunak sehingga
tidak merupakan fire with fire. Pencegahan ini perlu dilakukan agar
tidak terjadi distorsi dalam menafsirkan ajaran agama menjadi kebencian,
kekerasan maupun teror terhadap kemanusiaan karena perbedaan. Mereka yang
berpotensi terpapar secara langsung adalah kelompok atau individu yang memiliki
kecenderungan terhadap ekstremisme dengan berbagai latar belakang.
Pada
dasarnya umat manusia terlahir tidak cenderung menjadi ekstrimis dan
pro-kekerasan. Proses sosial, budaya dan politik tertentulah yang membentuk
karakter ekstremisme kekerasan. Oleh karena itu, pencegahan terhadap
ekstremisme perlu menekankan pentingnya “pelucutan senjata, penghentian
kekerasan atau teror, dan mengutamakan dialog lintas batas, dan sekaligus
memberdayakan kelompok tersebut untuk dapat memiliki akses yang berkeadilan
terhadap sumber ekonomi, sosial, pendidikan, dan politik secara inklusif.”
Perang melawan ekstremisme harus dipahami sebagai upaya untuk memulihkan
kemanusiaan, mengajak manusia kembali pada jatidiri manusiawi yang non-ekstrem
dan menolak segala bentuk kekerasan.
Pengertian
ekstremisme-kekerasan (violent-extremism) yang berkembang merujuk pada
keyakinan dan tindakan dari seseorang atau beberapa orang yang mendukung atau
menggunakan ideologi yang memotivasi kekerasan untuk menegakkan kuasa politik,
religius, dan ideologi secara radikal. Kata-kata ekstremisme dan radikalisasi
(dalam konteks ekstremisme) sejauh ini tidak terdefinisikan dengan baik dalam
wacana publik, bahkan dalam komunitas profesional dan akademis yang
mempelajarinya. Ada banyak definisi berbeda yang ditawarkan, namun tidak ada
yang diterima sebagai definisi tunggal untuk diadopsi secara universal. Dalam
beberapa tahun terakhir, definisi ekstremisme bercampur dengan ekstremisme yang
disertai kekerasan. Jauh lebih sulit dan bermasalah untuk mendefinisikan
ekstremisme di luar konteks kekerasan, terutama karena “ekstremis” adalah
istilah politik yang sering digunakan dalam konteks mainstream untuk
mendefinisikan pandangan lawan politik. Faktanya, ekstremisme memang tidak
selalu berwujud aksi kekerasan dan tidak selalu dikaitkan dengan aktor
non-negara.
Data
yang dipublikasikan Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemenkominfo)
menunjukkan adanya 814.594 situs online penyebar ekstremisme yang membawa
identitas keagamaan. Terkait dengan hal itu, Kemenkominfo telah melakukan
pemblokiran semenjak tahun 2010. Meskipun demikian, jumlah situs yang mengenalkan
ajaran yang bersifat ekstrem, dalam arti bertentangan dengan konstitusi dan
dasar negara Republik Indonesia terus bertambah. Artinya pemblokiran suatu
situs online kelompok ekstrem bukanlah cara efektif untuk mencegah ajaran
ekstrem mereka. Hal itu tampak paska bom Thamrin 14 Januari 2016, di mana
Kemenkominfo kembali merilis temuan 27 situs online penyebar paham radikal dan
kembali menutup akses terhadap situs-situs tersebut. Namun adanya teknologi VPN
memungkinkan bagi siapapun untuk membuka situs-situs online yang telah diblokir
di dalam negeri karena teknologi tersebut membuka jalur akses dari luar negeri,
yang dapat dapat dijangkai dari dalam negeri.
Pada
tahun 2016 LIPI melaporkan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa 76,2% guru
menyatakan setuju penerapan syariat Islam dan mengganti Pancasila dengan
syariat Islam. Temuan ini mengejutkan, karena para guru ini berada di lembaga
pendidikan sehingga berpotensi untuk menyebarkan ajaran yang mengarah kepada
ekstremisme keagamaan di sekolah-sekolah. Sementara itu riset Wahid Institute
yang bekerja sama dengan LSI pada tahun 2016 terhadap 1.520 siswa di 34
Propinsi menunjukkan bahwa 7,7% siswa SMA bersedia melakukan aksi-aksi radikal.
Penelitian Setara Institute menunjukkan hasil 7,2% responden mereka setuju
dengan dan tahu tentang paham Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). Hasilhasil
kajian di atas menunjukkan adanya fakta lapisan masyarakat yang terpapar
informasi dan pandangan aktivitas ekstremisme agama, termasuk dalam urusan
kepentingan sosial dan politik.
Di
Indonesia, terdapat 2 macam bentuk ekstremisme, yaitu ekstremisme non-kekerasan
(non-violent extremism) seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) atau
Khilafatul Muslimin (KM) dan ekstremisme dengan kekerasan (violent-extremism)
seperti Front Pembela Islam (FPI) dan kelompok-kelompok pro-ISIS (misalnya
Jamaah Islamiyah, Jamaah Ansharut Daulah dan Jamaah Ansharut Tauhid).
Organisasi-organisasi tersebut merupakan aktor non-negara (non-state actor)
yang membawa ‘bendera’ agama dalam aksi-aksi ekstremisme mereka. Fenomena ini
menjadi semacam waralaba ekstremisme dengan kekerasan yang dilakukan oleh aktor
non-negara di era demokrasi yang seharusnya dapat merayakan pluralisme.
Jika
ditelusuri lebih jauh, kecenderungan sikap, aksi dan ekspresi ekstremisme yang
terjadi di negara demokrasi seperti Indonesia memiliki banyak sebab, antara
lain:
1. Ketimpangan sosial ekonomi di tingkat nasional dan
global yang panjang telah menyebabkan ketidakpuasan sebagian masyarakat, lalu
memilih menanggapi berdasarkan ‘pandangan ajaran agama’. Ajaran ini meyakini bahwa sistem
dunia yang selama ini dijalankan oleh banyak negara tidaklah mampu menciptakan
kesejahteraan sosial, dan justru menghasilkan ketimpangan sosial ekonomi yang
dalam. Sehubungan dengan hal tersebut mereka berkeyakinan bahwa dengan ajaran
agamalah persoalan tesebut dapat diselesaikan. Dalam konteks ini muncul tafsir
tunggal ‘negara agama’ yang mengubah tafsir yang selama ini telah menjadi
gramatika berfikir keagamaan yang ada, sehingga tafsir tunggal tersebut menjadi
bersifat ekstrem terhadap tafsir yang ada maupun tatanan yang berlaku.
2. Terfasilitasinya kelompok ekstrem untuk menyebarkan
pengaruh. Ada
Berbagai metode yang digunakan oleh kelompok ekstrem dalam menyebarkan ide dan
gagasannya. Salah satunya adalah penggunaan ruang-ruang publik untuk melakukan
kampanye. Riset International NGO Forum on Indonesian Development
(INFID) dengan P3M (2018) menunjukkan bahwa 27 dari 30 masjid di Jakarta dan
sekitarnya merupakan masjid intoleran. Sementara 15 dari 30 masjid merupakan
masjid radikal. Artinya di samping masjid tersebut menyebarkan narasi yang
berisi kebencian dan politik identitas, ia juga terafiliasi dengan
kelompok-kelompok ekstrem. Yang menjadi perhatian khusus adalah, 8 dari 15
masjid yang dianggap radikal merupakan masjid BUMN.
3. Adanya infiltrasi ekstremisme di dunia Pendidikan. Riset “Api dalam Sekam” yang
dilakukan oleh PPIM UIN Jakarta pada tahun 2017 dan menyasar pada pengajar dan
murid di sekolah dan universitas di Indonesia menemukan bahwa 91.23% responden
setuju bahwa syariat Islam perlu diterapkan dalam bernegara. Pada Juni 2018
Tempo mengeluarkan liputan khusus mengenai “Paham Radikal di Kampus Kita”,
mengangkat munculnya “Duo Siska”, mahasiswi yang ditangkap oleh Detasemen
Khusus Antiteror karena ingin melakukan jihad di markas Komando Brigade Mobil
(Mako Brimbob) Polri. Ini merupakan tamparan tersendiri bagi dunia pendidikan.
Kedua Siska ditangkap karena diduga hendak melakukan penyerangan terhadap
polisi. Mereka juga mengaku bersimpati kepada teroris dan mendukung ISIS serta
juga peperangan terhadap thogut.1
4. Maraknya kampanye ekstremisme di internet dan media
sosial. Di dalam
wawancaranya, duo Siska mengaku mempelajari ekstremisme melalui internet dan
media sosial. Fenomena ini menunjukkan bahwa anak muda sebagai kelompok
pengguna terbesar memang memiliki posisi yang sangat rentan. Kampanye jaringan
radikal yang dilakukan di internet dan media sosial bersifat massif dan menarik
banyak massa. Kampanye itu dilakukan melalui berbagai bentuk, dari artikel,
video maupun 2-way conversation melalui grup-grup di chat platform seperti
WhatsApp dan Telegram. Munculnya Saracen dan Moslem Cyber Army (MCA)
juga merupakan fakta tersendiri bahwa strategi ini dilakukan dengan matang dan
menjadi komoditas ekonomi dan politik.
Empat
faktor di atas sesungguhnya merupakan faktor-faktor yang terkait dengan salah
satu akar permasalahan utama ekstremisme, yaitu ketimpangan sosial dan ekonomi
sebagai akibat perkembangan nasional, yang tidak terlepas dari konteks global.
Kelompok ekstrem menggunakan ‘ajaran agama’ untuk menanggapi ketimpangan sosial
ekonomi, melalui cara yang mereka pahami, kemudian disebarkan melalui media
seperti ruang publik keagamaan yang telah mereka kuasai; ruang pendidikan yang
juga telah mereka dapatkan; serta ruang publik internet dan sosial media yang
dengan mudah di akses semua kalangan. Semua itu terjadi dalam konteks
masyarakat Indonesia yang sedang berproses dalam dinamika demokratisasi, yang
memungkinkan kelompok-kelompok ekstrem ikut memanfaatkan ruang kebebasan dalam
demokrasi. Ekstremisme yang telah tersebar luas tersebut kemudian berpotensi
untuk menghasilkan kekerasan, sehingga menjadi ancaman serius bagi kehidupan
bernegara dan berbangsa, berdemokrasi, menjalankan Hak Asasi Manusia (HAM) dan
kestabilan sosial dan ekonomi. Lebih dari itu juga berakibat kepada kondisi
politik dan keamanan masyarakat. kebebasan dan hak warga negara terkait agama
dan perbedaan (rights to differ) dijamin oleh konstitusi sebagaimana yang
termaktub di dalam, (i) Pasal 18 ayat (1) ICCPR 1966, (ii) Pasal 28E ayat (1)
dan ayat (2) UUD 1945, (iii) Pasal 175 KUHP, (iv) Pasal 156 KUHP, dan (v) Pasal
157 ayat (1) KUHP.
International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) sebagai organisasi
masyarakat sipil yang turut memberi sumbangan dalam upaya untuk pemenuhan HAM
dan demokrasi di Indonesia semenjak 1985 merasa penting mendorong pemerintah segera merumukan kebijakan dan
program pada aspek pencegahan ekstremisme kekerasan dengan pendekatan yang yang
tepat sasaran, sesuai kebutuhan dan selaras dengan prinsip-prinsip HAM dan
demokrasi serta prinsip negara hukum.
Kajian
ini memfokuskan pada fenomena ekstremisme dalam konteks demokrasi dan
kemajemukan di dalam masyarakat Indonesia. Ranah reproduksi nilai-nilai
ekstremisme terdapat di berbagai ruang masyarakat. Terkait dengan ruang sosial
tersebut kajian ini memfokuskan kajian pada lokus utama seperti ruang religius
(seperti komunitas yang juga berbasis di kampung-kampung dan perkotaan), dunia
pendidikan, dan media sosial.
Dikutip
dari pendahuluan Buku Urgensi dan Strategi Efektif Pencegahan Ekstremisme di
Indonesia karangan International NGO Forum on Indonesia Developmentt (INFID)
Agar
pembaca dapat mengulas lebih jauh tema pembahasan di atas, maka kami lampirkan
versi luring (offline) pdf Urgensi dan Strategi Efektif Pencegahan Ekstremisme
di Indonesia di bawah ini.
0 komentar:
Posting Komentar