![]() |
Sumber gambar: kompasiana.com |
Kebangkitan
al-Azhar al-Syarif tak bisa dipungkiri, salah satu indikatornya adalah peran
dari sosok pembaharu abad 21, syaikh Ali Jum’ah. Sebagaimana yang diungkapkan syaikh
Usamah al-Azhari, dalam kurun enam tahun (1998-2004), ulama kelahiran Bani Suef
itu mengajar kitab-kitab Shahih Bukhari, Muslim, Sunan Abī Daūd, Sunan
al-Tirmidzī, Sunan al-Nasāi. Al-Muwatha’, al-Asybāh wa al-Nazhāir, Jam’
al-Jawāmi’, Tasynīf al-Masāmi’, Minhāj al-Wushūl, al-Tamhīd li al-Isnāwī,
al-Sulam al-Munawraq, Kharīdah al-Bahiyyah, Jawharah al-Tawhīd, Tafsīr
al-Kasysyāf, Matn Abī Syujā’, Matn al-Zubad, al-Hikam al-‘Athāiyyah, Manāzil
al-Sāirīn, Mukhtashar Ihyā’ ‘Ulūm al-Dīn.
Salah
satu faktor keberhasilan syaikh Ali dalam membangkitkan al-Azhar tak lepas dari
kegigihannya menanamkan pentingnya peran bahasa membangun peradaban dan
pemikiran. Beliau sendiri alumni fakultas Dirasat Islamiyah wa Arabiyah, sebuah
fakultas yang mata kuliahnya paling banyak dipelajari adalah sastra dan syair
Arab, baik Jahili ataupun Islami. Ia juga menggaet syaikh Hasan Usman, pakar
bahasa yang kapabilitasnya sudah tidak perlu diragukan lagi. Cukuplah karya
beliau, I’rab Alquran
sebanyak 10 jilid menjadi bukti. Bahkan sekaliber syaikh Yusri Gabr belajar di
hadapan beliau dan menaruh rasa hormat kepadanya.
Sebagaimana
yang diriwayatkan oleh Sidi Zaeimuddin, bahwasanya syaikh Ali Jum’ah berpesan,
“Pelajarilah sastra Arab dengan tekun agar kalian memahami Islam dengan baik.
Ilmu adalah cahaya di hati, maka perbanyaklah zikir dan sucikan hati.”
Ilmu adalah cahaya di hati, maka perbanyaklah zikir dan sucikan hati.”
Mari kita diskusikan bersama pesan beliau yang pertama. Bahasa Arab adalah
jalan untuk memahami Agama ini. Imam Syathibi dalam Muwafaqat berkata:
المبتدئُ في العربيةِ مبتدئٌ في الشريعة
“Seseorang
yang pemula dalam bahasa Arabnya, dalam syariat ia juga pemula”
Jika
kita telisik lebih dalam, keberhasilan para imam-imam terdahulu di berbagai
bidang tak lepas dari peran bahasa. Sebagian masyaikh pernah mengatakan bahwa
Imam Syafi’i hafal 10000 syair Arab! Baik Jahili maupun Islami. Beliau pun
mempelajari bahasa Arab selama 20 tahun. Padahal beliau orang Arab asli, hidup
di sebuah lingkungan Arab, dan bernasab Arab. Atas kemampuan bahasa yang luar
biasa itulah, beliau mampu mengkodifikasi Ushul Fiqh, yang salah satu sumbernya
adalah pemahaman bahasa.
Imam
Nawawi, ulama kenamaan madzhab Syafi’iyah. Kemampuan beliau mengarang Minhaj
Syarah Muslim, Minhaj al-Thalibin, dan kitab-kitab yang lain, tak lepas
dari peran seorang ulama besar Andalusia, yang ditahbiskan sebagai Imam dalam
bidang Nahwu, Imam Ibnu Malik, yang merupakan gurunya. Sebagaimana yang
disebutkan Imam Ibnu Malik dalam Alfiyahnya di bab Mubtada. Wa Rajulun Min
al-Kirami Indana, Dan seorang yang mulia berada di sisi kami. Rajul
yang dimaksud di situ adalah Imam Nawawi. Sebagaimana pula Imam Nawawi memuji
Imam Ibnu Malik. “Guru kami, yang telah mencapai derajat Imam dalam bahasa Arab
abad ini.”
Demikian pula Ibnu Hajar, sosok ulama Azhar abad delapan yang acapkali memberi
khutbah di masjid Azhar. Pengarang Fathul Bari Syarh Shahih Bukhari itu juga
belajar kepada seorang pakar bahasa kenamaan, syaikh Fairuzzabadi, pengarang
kamus Muhith, Bashair Zawi Tamyiz Min Lathaif Kitab al-Aziz, dan lain-lain.
Karena
urgensi bahasa itulah, syaikh Ali menekankan untuk mempelajari bahasa dan
sastra Arab lebih dalam.
Dalam
al-Nibras fi Tafsir Alquran, karya syaikh beliau, dijelaskan salah satu
keunikan bahasa Arab. Yaitu pada kata Allah. Kata Allah kalau dibuang alif-nya
menjadi lillahi
yang bermakna milik Allah, kalau fungsi Lam-nya lil Milki (kepemilikan). Terus kalau dibuang
Alif dan Lam-nya menjadi lahu
yang bermakna bagi-Nya. Kalau Alif, dan dua Lam-nya dibuang tinggal huruf ha yang berfungsi sebagai
Dhamir Muzakkar Ghâib, yang berarti Dia. Coba bahasa Inggris. God. Ketika salah
satu hurufnya diambil, tak akan memiliki makna lagi.
Kegigihan syaikh Ali Jum’ah juga mengajak para kibar ulama Azhar turun gunung
mengajari santri-santrinya. Para ulama Azhar yang sebelumnya hanya diketahui
dalam kitab, sebab beliau, bisa mengajar dan menjelaskan hal-hal terperinci dan
mengeluarkan mutiara dalam turats-turats ulama terdahulu.
Bahkan
beliau meminta syaikh Azhar, Ahmad Thayyib untuk mengajar Mushtasfa karya Imam
Ghazali. Dari sini, kita bisa melihat peran besar beliau dalam mempersiapkan
kaderisasi untuk al-Azhar Syarif.
Salah
satu pesan berharga beliau, “Salah satu komponen terpenting dari sebuah ilmu
adalah validasi (penguatan) dan upaya menetaskan validasi terhadap sebuah ilmu
hingga tidak lenyap, dan menyempurnakan dengan catatan kaki dan catatan pinggir
terhadap sesuatu yang belum diketahui. Yang dimaksud upaya menetaskan validasi
terhadap sebuah ilmu yaitu tidak mencukupkan diri dengan apa yang dijelaskan
oleh pengarang/penulis, dan menambahkan permasalahan-permasalahan baru, lalu
menjelaskan hasil yang disimpulkan dari kaidah Fiqh dan bahasa.”
Dengan kaidah seperti inilah, ungkap syaikh Ali Jum’ah, para ulama terbentuk
hingga kita mampu mewarisi keilmuan dan turats mereka. Dan inilah rahasia
eksistensi Al-Azhar. Kaidah ini tidak berhenti pada ilmu syariah saja, tapi
juga berlaku terhadap beberapa macam ilmu yang berbeda. Dan tiap-tiap ilmuwan
datang untuk menyempurnakan apa yang belum disempurnakan oleh orang sebelumnya
dan menghasilkan pemikiran yang baru. Dan ilmu tidak pernah mengenal kata
akhir.
Dikutip bincangsyariah.com
Agar
pembaca dapat mengulas lebih jauh tema pembahasan di atas, maka kami lampirkan
versi luring (offline) pdf di bawah ini.
0 komentar:
Posting Komentar