![]() |
Sumber gambar: didaktikaunj.com |
The poet is not the “author” in the
traditional sense of the word; he is a moment of convergence of the different
voices which flow into a text.
(Octavio Paz, dalam Children of the
Mire)
Pada
dasarnya para penulis puisi-esai mempunyai beban ganda: pada satu sisi dia
harus mengasah dan mempertajam indra-indranya, persepsinya, emosiemosinya,
kecamuk perasaan-perasaannya agar dapat menghamparkan dunia pedalaman tokoh
yang dihadirkannya dengan hidup, meyakinkan dan —kalau mungkin— membetot dan
menyihir. Pada sisi lain dia juga harus punya kepekaan sebagai seorang pengamat
atau penelaah yang tajam atas masyarakatnya, sejarah dan seluk-beluknya,
problem-problem kolektif yang dihadapinya, dilema-dilemanya, kecenderungan dan
hasrathasrat manusianya.
Lantaran semangat dan watak puisi esai bergerak dan
merupakan persilangan antara dua arus pusaran: yang personal dan yang sosial.
Yang personal bisa diwedar kalau si penulis puisi esai khusuk bermeditasi
tentang pedalaman batin manusia dengan nafsu-nafsunya, ambisinya, duka
caritanya, sementara yang sosial bisa dibentangkan kalau si penulis puisi esai
terlibat dan menyisipkan diri dalam dilema-dilema masyarakat dan warkah
zamannya.
Apabila
si penulis puisi esai terlalu tergelincir ke dalam arus pusaran yang pertama
maka yang akan muncul adalah potret seorang individu yang terapung,
teralienasi, dan tercerabut dari konteksnya. Kita hanya akan menangkap
warna-warni emosinya, kontur perasaan dan ilusi-ilusinya, namun itu hanya akan
menjadi potret diri yang compang-camping bilamana konteks dan pigura sosialnya
tak dihamparkan dengan meyakinkan. Sementara kalau terjerembab kedalam arus
pusaran yang kedua maka yang akan muncul adalah penggam-baran bingkai yang
tanpa potret, masyarakat yang ma-nusiamanusianya anonim, individu-individu
tanpa nama dan riwayat. Menari lentur di antara dua arus pusaran yang
bersilangan itulah agaknya yang menjadi tantangan sekaligus godaan bagi seorang
penulis puisi esai.
Tapi
tak hanya itu. Arus persilangan dalam puisi esai juga terjadi di pelbagai ranah
lain, yang dalam genre lain biasanya dipertentangkan: ranah intelek dan ranah
imaji, ranah fakta dan ranah fiksi, ranah sadar dan ranah bawah sadar, yang
realistik dan yang fantastik, yang di sini dan yang di sana. Arus-arus yang
bersilang-an itu, persahutan dan pergantian dan gema di pelbagai ranah itu,
sebetulnya menjanjikan petualangan dan kanvas kreativitas yang lapang bagi para
penulis puisi esai, untuk menjelajah dan mengerahkan segala daya dan kemampuan
yang dimilikinya. Tak mengherankan, pada beberapa puisi esai terbaik yang
pernah ditulis sejauh ini, seperti
misalnya Konspirasi Suci dan Mata Luka Sengkon Karta atau Manusia
Gerobak, kita diga-mit bolak balik antara imaji-imaji yang terbentang indah
dan penuh kejutan dengan hamparan batu karang fakta yang terbabar dalam sejarah
yang nyaris terlupakan. Terkadang arus bersilangan itu sedemikian lembut dan
halus hempasannya sehingga kita tidak tahu lagi adakah yang sedang kita hadapi
itu fakta atau fiksi. Ada masanya kita dibawa sedemikian jauh berpetualang ke
ranah imajinal yang mustahil akan tetapi dengan sekonyong-konyong arus fakta
datang menghempang dan kaki-kaki kita pun diseret kembali ke pasir-pasir
kenyataan. Atau adakalanya yang terjadi sebaliknya: manakala kita sedang
mendaki kerikil-kerikil kenyataan yang tajam, lelah dan sedih, tiba-tiba arus
imaji mengombak dan tanpa ampun kita terhanyut bersamanya, secara tak
disangka-sangka, nun ke pantai-pantai tak dikenal. Di situlah justru godaannya,
di situlah keindahannya!
Nah,
sekarang, perkenankan saya menyorot sedikit tentang tipikal penyair seperti
apakah idealnya seorang penulis puisi esai itu? Friedrich Schiller, dalam
esainya yang sangat indah dan terkenal On Naïve and Sentimental Poetry,
membedakan dua macam tipe penyair. Pertama, tipe penyair naïve, yakni
para penyair yang menyatu bulat-utuh dengan alam, dan menjadi seperti alam itu
sendiri — tenang, subur, bijak, tak terduga. Mereka biasanya menulis
sajak-sajak secara spontan, nyaris tanpa berpikir, dan tak memedulikan
konsekwensi-konsekwensi etis atau intelektual dari kata-katanya dan tak
memedulikan apa yang akan dikatakan orang-orang tentangnya. Mereka merasa
dirinya bagian dari alam, dan puisi-puisinya datang dari situ, dari universum
alam itu. Mereka percaya bahwa puisi bukanlah ciptaan pikiran yang disengaja oleh
para penyair, namun alih-alih merupakan kreasi yang ditulis begitu saja secara
alamiah, seolah-olah diwahyukan oleh Alam dan Tuhan sendiri. Keyakinan semacam
ini mendapat pendukungnya yang paling kuat dikalangan para penyair romantik,
seperti Coleridge dan Keats. Mereka, para penyair Naïve ini tak pernah
ragu-ragu dengan kata-katanya, dengan gemerlap makna yang dipancarkan oleh
sajak-sajaknya. Mereka percaya pada kepolosan, pada keriangan dan keagungan
jiwa kekanakan yang tak pernah hilang dalam dirinya.
Kedua, tipe
penyair sentimental (atau reflektif). Kata Sentimental di sini
agak berbeda artinya dengan kata sentimental yang kita kenal selama ini. Kata
sentimental yang dimaksud Schiller berasal dari kata sentimentalisch
yang digunakannya untuk menggambarkan tipe penyair yang menyebal dari
kesederhanaan dan kekuasaan alam, dan telah menjadi terlampau terkurung dalam universum
emosi-emosi dan pikiran-pikirannya sendiri. Mereka telah kehilangan jiwa
kekanakannya yang polos bersih, dan oleh karena itu mereka sangat berhati-hati
dan awas dalam menggunakan kata-katanya, menimbang dan mengasah betul-betul
setiap sajaknya agar sesuai dengan yang diinginkannya. Dengan demikian para
penyair reflektif menyadari betul — kadang terlampau sadar— atas sajak-sajak
yang ditulisnya, metode-metode dan teknik-teknik yang digunakannya,
perkakas-perkakas persajakan yang dikerahkannya. Mereka sangat menimbang
–meneroka dimensi etis, edukatif dan intelektual saat mereka menaruh kata dan
makna ke dalam sajak-sajaknya.
Dengan
plastis dan sederhana, novelis besar Turki Orhan Pamuk, mengilustrasikan kedua
tipe penyair yang didedahkan Schiller itu bak seorang pengendara mobil. Kalau
seorang mengendarai mobil dengan tanpa terlalu menyadari bahwa dia menekan
tombol-tombol, menginjak pedal, membelokkan setir secara hati-hati dan
menyelaraskannya dengan pelbagai aturan, mem-baca dan menerjemahkan tanda-tanda
jalan dan memerhatikan lalu lintas, maka dia seperti seorang penyair naïve. Dan
sebaliknya, apabila seorang mengendarai mobil seraya memperhitungkan betul cara
menyetir, dengan kalkulasi-kalkulasi yang terukur atas setiap
manuver-manuvernya, seraya sadar benar bahwa dia sedang menggunakan rem,
tombol-tombol, atau tanda jalan, maka ia termasuk tipe reflektif.
Jadi
tipe penyair manakah dari keduanya yang cocok bagi penyair puisi esai? Meskipun
agak lebih dekat dengan tipe penyair reflektif, akan tetapi menurut hemat saya,
seni puisi esai akan memungkinkan mencapai karya-karya pun-cak apabila
menggabungkan dua tipe penyair itu: yakni bergerak di antara penyair naïve dan
penyair reflektif, berosilasi di antara kepolosan dan kesadaran, keriangan
lepas jiwa anak-anak dan kerumitan seorang pemikir. Setiap tipe penyair itu ada
bahayanya bila diimani dengan terlalu ekstrim: penyair naïve bisa terjerumus
menjadi penyair yang tercerabut dari akar-akar masyarakat, teralienasi dari
konteks sosial dan persoalan-persoalan zamannya, sementara itu penyair
reflektif dapat saja menjadi terlalu mekanis, terlalu kering dan kehilangan
pesona alam serta kejutan-kejutannya yang sering tak terduga. Kembali lagi, di
sini, di persimpangan puisi esai ini, arus itu bersilangan: antara yang naïve
dan yang reflektif , keselarasan alam dan kepelikan manusia, jagat alit dan
jagat besar, yang interior dan yang eksterior.
Mencari Puncak Puisi Esai
Puncak-puncak
puisi esai agaknya masih belum tergapai. Tentu saja, kemungkinan bahwa puisi
esai sebagai sebuah genre sastra
tenggelam begitu saja dalam lalunya waktu bisa saja terjadi. Meski
demikian, tetaplah penting untuk melihat fakta bahwa puisi esai ini, dengan
segala kontroversi dan polemik yang me-nyertainya, terus berkembang ke pelbagai
arah dan manifestasi baru. Dan dalam rentang waktu beberapa tahun setelah
kelahirannya, sudah melahirkan cukup banyak puisi esai yang ditulis oleh
pelbagai kalangan dengan variasi tema, gaya, aksentuasi, nada, serta tendensi-tendensi
yang puspa ragam dan puspa warna. Buku ini hendak meneroka sejauh mana
pencapaian-pencapaian pelbagai puisi esai yang sudah diterbitkan itu dan apa
saja yang sudah dan belum diraihnya, de-ngan mengujinya melalui pelbagai
kriteria yang sedikit banyak saya kuasai. Tentu saja batu uji yang paling
sa-hih atas karya-karya sastra adalah waktu. Namun, tak ada yang tahu apa kata
waktu, selain waktu itu sendiri.
Tentu,
saya tak mungkin membeberbentangkan seluruh puisi esai yang sudah terbit itu
—semuanya lebih dari tiga puluh buku. Apa yang saya lakukan terka-dang bak
seorang yang memanjat ke sebuah puncak bukit dan memandang lanskap di bawahnya
dengan jeli atau terpukau, sembari merenung-renungkannya, atau
membanding-bandingkannya dengan aneka lanskap lainnya yang terhampar di tempat
lain, menakik persamaan dan perbedaannya, keluasan dan kesempitannya, dan
sebagainya. Terkadang, saya berlaku laksana seorang yang memandang dari sebuah
jendela mobil; hanya mengilaskan ini sedikit atau itu sedikit, melukiskan
bagian sana sedikit dan bagian sini sedikit dalam bingkai dan sudut dari mana
saya melihat. Tapi terkadang di beberapa puisi esai saya harus berhenti cukup
lama, terpaku beberapa jenak, bagai seorang yang — untuk memandang seluruh
pohon dan menghayati keindahannya— tak cukup dengan melihat pohon itu dari
kejauhan, melainkan mencermati wujud pohon itu secara penuh seluruh: menyingkap
lembaran daun demi daunnya, menghayati dahan demi dahannya, dan bah-kan memetik
serta memakan buah-buahnya. Puisi esai-puisi esai tertentu saya kutip dan kutip
lagi di pelbagai tempat, seperti seorang yang kembali ke sebuah terminal
berulang kali karena tahu bahwa dari terminal itu bis akan membawanya ke
pelbagai arah lain yang dia inginkan.
Mesti
saya utarakan di sini bahwa, dalam menerangjelaskan tiap-tiap bab di buku ini,
adakalanya terjadi saling melimpahi dan melampiasi antar bab yang satu dengan
bab-bab yang lainnya. Adakalanya satu puisi esai saya kutip lebih dari sekali
untuk ditakik. Adakala-nya saat saya membahas satu pokok, misalnya tentang tema
epifani gelap, muncul juga sepintas kilas peneroka-an ihwal karakter atau
bahasa. Saya berpendapat bah-wa hal demikian sah dan seringkali tak terhindarkan,
lantaran tiap-tiap bab yang dicandra dalam buku ini sebetulnya berjalinan dan
berpagutan satu sama lain. Tiap-tiap bab dalam buku ini tak ubahnya seutas
dawai dalam sebuah harpa yang, apabila satu dawai dipetik maka dawai-dawai yang
lainnya juga akan ikut bergetar.
Mencari Sumber Inspirasi Puisi Esai
Darimanakah
datangnya seluruh inspirasi? Jawaban untuk soal ini banyak dan beraneka, dan
salah satunya adalah: dari Catoblepas, binatang mistis yang datang kepada
Saint Anthony dalam karya Flaubert The Temptation of Saint Anthony dan
yang nantinya direvisi Borges dalam buku fantastis bertajuk The Books
Imaginary Beings.
Catoblepas
adalah makhluk ajaib yang memakan dirinya sendiri, yang dimulai dengan kakinya.
Demikian juga seorang penulis, dia memakan pengalamannya sendiri sebagai bahan
mentah untuk karya-karyanya. Si penulis melakukan hal ini tak semata-mata untuk
menciptakan kembali karakter-karakter, adegan atau anekdot dan cukilan lanskap
atau panorama alam benda dari ingatannya itu, melainkan juga sebagai bahan
bakar baginya yang memungkinkannya bertahan dalam proyek panjang kehidupannya
sebagai seorang kreator.
Dan
seperti saya katakan di muka, bahwa dalam hal puisi esai, pengalaman personal
itu, biografi kehidupan diri sendiri itu, tidaklah cukup; seorang penulis puisi
esai mesti membentangkan dan meluaskan dirinya mencakup orang-orang di
sekitarannya, masyarakatnya, negaranya, kosmosnya, beragam manusia dengan
problem-problem dan paradoks-paradoksnya, universalitas dan partikularitasnya,
keriangan dan kedukaannya, hasrat-hasrat kolektif sekaumnya yang luhur atau
hina dina, yang bersipongang dan berpantulan dengan lanskap-lanskap alamnya,
bentuk-bentuk meganya yang biasa atau yang ajaib, kebiruan atau kehijauan
langit-nya, keheningan atau kepastian pepohonannya, bintang-bintangnya.
Seluruhnya
itu dibiarkan hadir dan mengalir dalam puisi esai, menggeraikan momen
konvergensi antara pelbagai suara yang berbeda-beda dan beraneka, membentuk
arus-arus bersilangan.
Dikutip
dari Tia Setiadi, Penulis Buku Arus Bersilangan Yang Mungkin dan Yang Mustahil
Dalam Puisi Esai
Agar
pembaca dapat mengulas lebih jauh pembahasan di atas, maka kami lampirkan versi
luring (offline) pdf buku Arus Bersilangan Yang Mungkin dan Yang Mustahil Dalam
Puisi Esai di bawah ini.
0 komentar:
Posting Komentar