![]() |
Sumber gambar: fajrifm.com |
Secara
umum, produk ulama serta cendekiawan lainnya di bidang al-Quran sementara ini
terkonsentrasi pada tafsir dan ilmu-ilmu al-Quran. Dalam perkembangannya, karya
di bidang tafsir melahirkan bentuk serta gaya baru penulisan. Ada yang menulis
tafsir secara konvensional yang dikenal dengan metode tahlîlî. Ada juga
yang menulis tafsir berdasarkan tema-tema besar dalam al-Quran yang lebih
populer dengan sebutan metode mawdlû‘î. Bahkan belakangan ini, muncul sebuah
karya tafsir yang mengkaji al-Quran berdasarkan kronologi turunnya ayat,
seperti al-Tafsîr alHadîts karya ‘Izzat Darwazah.
Di
bidang ‘Ulûm al-Qur’ãn pun demikian. Produk-produk tersebut diawali dengan
kodifikasi hadits-hadits di seputar al-Quran dan kemudian secara khusus
ditandai dengan munculnya karya khusus dalam bagian-bagian tertentu dari ‘Ulûm
al-Qur’ãn seperti al-Nãsikh wa al-Mansûkh (Abu Ubaid al-Qasim bin
Salam/w. 224 H.), Asbãb al-Nuzûl
(Ali bin al-Madini/w. 234 H.), Masykal alQur’ãn (Ibn Qutaibah/w.
276 H.), dan sebagainya.
Materi
Tãrîkh al-Qur’ãn atau Sejarah al-Qur’ãn sebagaimana yang menjadi fokus
dalam buku ini, merupakan bagian dari ‘Ulûm al-Qur’ãn. Secara
konvensional, sejarah al-Quran biasanya dikaji di bawah judul Jam‘ al-Qur’ãn,
atau Rasm al-Qur’ãn, atau Kitãbah al-Qur’ãn, atau Tashhîf
al-Qur’ãn dan berbagai istilah lainnya. Namun demikian beberapa ulama telah
menulis materi sejarah al-Quran secara khusus dalam buku tersendiri, seperti
al-Anbari (al-Mashãhif ), al-Sijistani (Kitãb al-Mashãhif ),
al-Abyari (Tãrîkh al-Qur’ãn), al-Zanjani (Tãrîkh al-Qur’ãn) dan
sebagainya yang juga banyak menjadi rujukan dalam buku ini. Bahkan, kita juga
tidak bisa melupakan karya-karya para orientalis/islami di bidang ini yang
dirintis oleh Noeldeke, Jeffery dan Bell.
Di
Indonesia sendiri, kajian-kajian tentang al-Quran dipelopori oleh Abdul Rauf
Singkel-Aceh ketika menulis tafsir al-Quran pada pertengahan abad XVII,
meskipun ada yang berkata bahwa karya Abdur Rauf Singkel ini lebih mirip
sebagai terjemahan Tafsîr alBaidlãwî. Upaya rintisan ini kemudian
diikuti oleh Munawar Chalil (Tafsir al-Qur’ãn Hidayatur Rahman), A.
Hassan Bandung (alFurqãn, 1928), Mahmud Yunus (Tafsir Qur’ãn
Indonesia, 1935), Hamka (Tafsir al-Azhar ), Zainuddin Hamid (Tafsir
al-Qur’ãn, 1959), Iskandar Idris (Hibarna), dan Kasim Bakry (Tafsir
al-Qur’ãnul Hakim, 1960). Dalam bahasa-bahasa daerah, upaya-upaya ini
dilanjutkan oleh Kemajuan Islam Yogyakarta (Qur’ãn Kejawen dan Qur’ãn
Sundawiyah), Bisyri Musthafa Rembang (al-’Ibrîz, 1960), R. Muhammad
Adnan (Al-Qur’ãn Suci Basa Jawi, 1969) dan Bakri Syahid (al-Hudã,
1972). Upaya-upaya ini bahkan ditindaklanjuti secara resmi oleh Pemerintah
Republik Indonesia. Proyek penerjemahan al-Quran dikukuhkan oleh MPR dan
dimasukkan dalam Pola I Pembangunan Semesta Berencana. Menteri Agama yang
ditunjuk sebagai pelaksana bahkan telah membentuk lembaga yang pertama kali
diketuai oleh Soenarjo. Terjemahan-terjemahan tersebut yang dicetak dalam
jutaan eksemplar, telah mengalami perkembangan yang akhirnya, atas usul
Musyawarah Kerja Ulama al-Quran ke XV (23-25 Maret 1989), disempurnakan oleh
Pusat Penelitian dan Pengembangan Lektur Agama bersama Lajnah Pentashih Mushaf
al-Quran. Sebentar lagi, tepatnya pada Ramadhan 1422 H ini, kita akan
menyaksikan hasil kreativitas beberapa alumni al-Azhar Cairo yang menerjemahkan
Tafsîr al-Muntakhab, sebuah tafsir pilihan di Mesir dewasa ini.
Upaya-upaya
tersebut di atas, serta tuntutan masyarakat pencinta al-Quran, mengundang para
cendekia untuk menulis dan menerjemahkan berbagai karya di seputar al-Quran.
Kepustakaankepustakaan tersebut telah terisi dengan karya-karya Hasbi
AshShiddiqi (Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur‘ãn, 1980), beberapa text
book perguruan tinggi, terjemahan karya Manna’ al-Qaththan, serta beberapa karya
penulis sendiri. Khusus dalam wacana sejarah al-Quran, beberapa karya dan
terjemahan telah muncul seperti Adnan Lubis (Tãrîkh al-Qur’ãn, 1941),
Abu Bakar Aceh (Sejarah al-Qur’ãn, 1986), Mustofa (Sejarah Al-Qur’ãn,
1994) dan sebagainya. Bahkan, Tãrîkh al-Qur’ãn karya al-Zanjani (Wawasan
Baru Tãrîkh al-Qur’ãn, 1986) dan Al-Abyari (Sejarah Al-Qur’ãn, 1993)
telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Tanpa
argumentasi-argumentasi teologis, siapa pun harus mengalah dan mengakui bahwa
al-Quran telah membuktikan diri sebagai sesuatu yang mampu menciptakan
peradaban dan tradisi menulis yang sangat tinggi. Dari al-Quran, berbagai
produk dan karya telah memenuhi jutaan rak di berbagai perpustakaan. Semua ini
muncul karena adanya kebenaran dan keyakinan bahwa alQuran adalah kalam Allah
serta menjadi kitab suci umat Islam.
Harus
diakui, sampai saat ini masih ada yang gigih dan terus mengkaji berbagai hal
tentang sejarah al-Quran. Ada yang dimotivasi oleh keinginan untuk membuktikan
kebenaran alQuran, ada juga yang berangkat dari persepsi tentang misteri yang
masih menghantui sejarah al-Quran. Betapa tidak, al-Quran yang diyakini sebagai
kalam Allah yang ahistoris dan sangat transenden, akhirnya harus
“terintervensi” oleh upaya-upaya manusia yang tidak bisa lepas dari persoalan-persoalan
teologi, politik, sosial dan budaya. Mayoritas umat Islam misalnya meyakini
bahwa susunan ayat dan surat seperti sekarang ini bersifat tawqîfî. Namun,
hampir tidak bisa ditemukan berbagai riwayat yang mengatakan bahwa ayat sekian
ditempatkan setelah ayat ini dan sebagainya. Sekiranya ada, maka al-Quran
membutuhkan sekian ribu riwayat Nabi atau sahabat tentang susunan al-Quran,
mengingat ayat-ayat tersebut diturunkan secara terpisah dalam 23 tahun.
Karya-karya sedetail al-Burhãn (al-Zarkasyi) dan al-Itqãn/al-Tahbîr
(al-Suyuthi) juga tidak menukil riwayat-riwayat tersebut. Kita hanya bisa
menemukan sebuah riwayat yang isinya secara tekstual mengatakan,: “letakkan
ayat ini pada tempat ini” dan sebagainya. Karya-karya tentang asbãb al-nuzûl
juga tidak mampu menukil berbagai riwayat semua ayat al-Quran. Kasarnya, ada
sejarah yang hilang untuk menjelaskan beberapa ayat atau susunan ayat al-Quran
dari surat al-Fãtihah sampai surat al-Nãs. Hal ini lebih diperkuat dengan
adanya susunan yang berbeda pada mushaf-mushaf sahabat besar. Artinya, masih
diperlukan upaya-upaya serius untuk “mengakhiri” berbagai hal yang menyelimuti
sejarah al-Quran.
Dikutip Pengantar
Prof. Dr. Quraish Shihab dalam Buku Rekonstruksi Sejarah Alquran
Agar
pembaca dapat mengulas lebih jauh tema pembahasan di atas, maka kami lampirkan
versi luring (offline) Rekonstruksi Sejarah Alquran pdf di bawah ini.
0 komentar:
Posting Komentar