 |
Sumber gambar: pelayananpublik.id |
“Jika saja sejarah disampaikan dan
diajarkan dalam bentuk kisah dan cerita, maka sejarah itu akan selalu diingat.”
Demikianlah seorang penerima Nobel Sastra di tahun 1907, Ruyard Kupling,
berpandangan.
Sejarah akan lebih mudah dikenang,
diambil hikmah, jika ia sampai pada kita dalam bentuk drama, dengan plot,
karakter, dan kuat sisi human interest-nya. Sejarah, bahkan aneka peristiwa
apa saja, memang lebih mudah menyentuh hati jika ia datang dalam bentuk film,
teater, sastra, baik puisi ataupun novel.
Ilmu sejarah acapkali menyampaikan
sejarah lewat kronologi peristiwa, nama tempat, nama tokoh, riwayat pelaku, dan
konteks sosialnya. Sisi batin dan psikologis masyarakat, dan kesadaran kolektif
kurang tergambarkan melalui pendekatan keilmuan yang kering. Sisi batin dan
pergolakan kesadaran lebih bisa didapatkan inti sarinya lewat kisah dan cerita.
Kutipan ini yang saya ingat ketika selama
tiga bulan terakhir saya menghabiskan waktu membaca sejarah melalui serial docu-drama
Netflix. Mulai dari drama politik Inggris melalui film The Crown
(sudah ditayangkan 30 episode dengan masing-masing episode berdurasi 50 menit).
Saya terkesan pula dengan tragedi politik Rusia melalui kisah punahnya kerajaan
terakhir dengan datangnya komunisme lewat Vladimir Lenin (The Last Czars, 6
season).
Kerajaan Roma begitu perkasa dan
megah. Begitu banyak asal muasal perkara politik terjadi di sana, di awal
masehi. Lima belas episode docu-drama Roman Empire membawa saya seolah-olah
hidup di masa itu. Seolah saya menyaksikan dari dekat sekali kegilaan
kekuasaan, dan kearifan para raja. Saya lama pula terpana merenungkan lahirnya
peradaban dari kacamata pertarungan dan inovasi para jenius. Itu mulai dari
lahirnya jurnalisme koran, televisi, senjata, listrik, pesawat udara, hingga
komputer. Bill Gates, Steve Jobs, Thomas Alfa Edison, Nikola Tesla, Pulitzer,
hingga The Wright Brothers, hadir di sana sebagai sosok yang hidup. Tak hanya
tergambar sisi jenius sang tokoh, determinasi dan kehendak diri yang kuat.
Namun tergambar juga suasana ketika mereka sedih, putus asa, dan marah.
Saya membaca buku sejarah dan
biografi tentang sebagian peristiwa dan tokoh di atas. Namun ketika kisah
sejarah itu disampaikan melalui cerita, drama, dan kadang disertai bumbu fiksi
untuk menegaskan peristiwa, hikmah dan learning to learn lebih mudah
sampai dan tertinggal lebih lama.
Lima tahun saya menghabiskan waktu
mempelajari ilmu politik hingga tingkat Ph.D di Amerika Serikat. Namun hikmah
dari peristiwa politik lebih saya dapat bukan dari sekolah itu, tapi dari
dramatisasi sejarah dalam serial film dan buku sastra.
Sejarah memang lebih cepat sampai
pada kita jika dikatakan lewat sastra. Bahkan lebih jauh lagi, opini tentang
gagasan besar, bisa lebih masuk hingga ke tulang sumsum kita jika disampaikan
lewat sastra.
Berkisah lewat film, bercerita lewat
sastra, beropini lewat puisi, itu pula yang menjadi awal langkah saya. Di tahun
2012, saya sudah menulis lebih dari seribu kolom di aneka media massa. Saya
sudah pula menuliskan puluhan makalah riset melalui Lingkaran Survei Indonesia.
Selaku aktivis, saya disentuh oleh
banyak problem diskriminasi yang masih hadir. Padahal reformasi politik tahun
1998 sudah mengubah wajah politik Indonesia. Namun reformasi, sebagaimana semua
perubahan politik, memang lebih mudah mengubah wacana. Kultur politik yang
sudah mengakar tetap di sana. Perubahan kultur politik selalu sangat lambat.
Diskriminasi terhadap etnis, paham
agama, wanita, juga orientasi seksual terjadi di sana dan di sini. Begitu
banyak etnis Tionghoa yang berlari ke luar negeri. Mereka menjadi korban amuk
massa. Fang Yin (bukan nama sebenarnya), menjadi korban perkosaan massal hanya
karena ia Tionghoa.
Saya angkat kisah itu dalam puisi
panjang, Sapu Tangan Fang Yin. Diselipkan kisah cinta di dalamnya.
Sebagian penduduk Indonesia berpaham
Ahmadiyah. Sejak zaman pergerakan, paham Ahmadiyah itu sudah tumbuh. Selama ini
mereka nyaman saja karena dilindungi konstitusi.
Namun setelah reformasi suasana
berbeda. Terjadi huru hara di Cikeusik, Jawa Barat. Mesjid mereka dirusak.
Pemukiman mereka dihancurkan. Korban jatuh. Mati. Itu semata hanya karena
mereka berpaham Ahmadiyah. Saya ekspresikan kisah itu di balik drama cinta,
dalam puisi panjang: Romi dan Yuli dari Cikeusik.
Juga di era setelah reformasi. Begitu
banyak tenaga kerja yang tak terserap. Sebagian wanita mengadu nasib menjadi
TKW. Di antara mereka, dengan senang hati bekerja di Arab Saudi, negeri Nabi
besar Muhammad. Di sana umat Islam melabuhkan batin, untuk haji dan umroh.
Namun kultur di Arab Saudi agak
berbeda. Tradisi budak masih kuat tertanam pada sebagian keluarga. Tak jarang
terjadi kasus. TKW indonesia diperkosa berkali-kali oleh majikan pria. Sang
majikan merasa itu dibolehkan.
Tapi banyak TKW melawan. Itu yang
terjadi pada diri Minah (bukan nama sebenarnya). Minah diperkosa berkali-kali.
Hingga akhirnya, ia membela diri dan membunuh majikan pria.
Hukum di sana tak memihak sang
korban. TKW itu pun dihukum mati, dipancung. Saya lukiskan pula itu dalam puisi
panjang: Minah Tetap Dipancung.
Juga setelah reformasi, masih banyak
keluarga yang hilang. Diduga mereka korban penghilangan paksa rezim Orde Baru.
Di tahun 2019 ini, sudah lebih dari sepuluh tahun keluarga dari aktivis yang
hilang, berdemo.
Setiap hari Kamis, di seberang
istana, dalam diam mereka berdiri di bawah payung hitam. Mereka menunggu
pemerintah menuntaskan kasus keluarga mereka yang hilang paksa.
Saya angkat kisah itu dalam puisi
panjang: Kutunggu Di Setiap Kamisan. Saya selipkan pula drama asmara.
Di atas adalah contoh beberapa puisi
esai yang beropini. Berbeda dengan umumnya puisi lain, puisi esai sangat
panjang dan berbabak. Ia mencantumkan banyak catatan kaki di dalam puisi. Saya
memilih satu jenis puisi yang berbasis pada kisah yang sebenarnya. Ini semacam historical
fiction. Atau lebih tepat lagi fictionalized true story. Yaitu
dramatisasi dari kisah sebenarnya. Ada fakta keras yang tercantum pada catatan
kaki. Ada pula fiksi yang muncul pada teks puisi.
Awalnya puisi esai panjang dan
berbabak. Namun kemudian muncul pula puisi esai versi pendek yang disebut puisi
esai mini. Keduanya tetap dengan catatan kaki.
Pada mulanya, puisi esai murni
dramatisasi dari true story. Namun muncul pula varian lain: isinya prinsip
hidup, renungan, yang dituangkan dalam bentuk puisi esai.
Empat buku puisi esai saya sudah
diterbitkan: Atas Nama Cinta, Roti untuk Hati, Kutunggu Di Setiap Kamisan, dan
Jiwa yang Berzikir. Keempat buku itu menggambarkan puisi esai awal dan
variannya kemudian.
Munculnya puisi esai menimbulkan
kontroversi yang lumayan heboh dalam jagad sastra Indonesia di tahun 2014-2018.
Kehebohan itu sebagian besar dipicu oleh klaim puisi esai sebagai genre baru.
Juga karena terbitnya buku “33 Tokoh Yang Paling Berpengaruh dalam Sastra
Indonesia.”
Buku itu diterbitkan Gramedia untuk
PDS HB Jassin, di tahun 2014. Tebal buku itu lebih dari 700 halaman. Ia disusun
oleh 8 sastrawan dan kritikus sastra, antara lain: Jamal D. Rahman, Agus R.
Sarjono, Berthold Damshauser, Joni Ariadinata, Acep Zamzam Noor, Ahmad Gaus,
Maman S. Mahayana dan Nenden Lilis Aisyah.
Buku itu memasukkan Denny JA sebagai
satu dari 33 tokoh sastra paling berpengaruh. Denny JA dianggap masuk dalam
kategori tokoh berpengaruh karena ia membawa tradisi baru, dan ikut membuat
gelombang lahirnya puluhan buku puisi esai.
Lahirlah aneka demonstrasi di aneka
kota, malam seni, bahkan komunitas facebook, termasuk acara bakar buku,
menentang puisi esai dan Denny JA, dan buku itu.
Kini di tahun 2018, banyak sudah
ulasan yang dibuat mengenai puisi esai. Atas Nama Cinta dianggap buku pertama
yang membawa tradisi puisi esai itu.
Aneka pakar dalam dan luar negeri
mengulas soal puisi esai, terutama yang tertulis dalam buku Atas Nama Cinta dan
Roti untuk Hati. Bahkan pernah diselenggarakan seminar sehari di Malaysia, pada
tahun 2016, dengan pembicara pakar sastra dari negara-negara Asean.
Di tahun 2019, AGBSI (Asosiasi Guru
Bahasa dan Sastra Indonesia) berinisiatif menyelenggarakan lomba kritik sastra
untuk para guru, murid, dan umum. Empat buku puisi esai saya dijadikan bahan
untuk dikritik dan di-review.
Yang unik dari lomba itu, para siswa
SMA menampilkan review-nya dalam bentuk vlog, video blog. Menurut panitia, ini
lomba kritik sastra pertama di mana perserta diberi ruang pula menyampaikan
review-nya dalam bentuk oral yang direkam video.
Buku ini mewadahi aneka review dan
kritik tentang puisi esai yang tercantum dalam empat buku puisi esai saya di
atas. Tak hanya sastrawan dan kritikus Indonesia seperti Sapardi Djoko Damono,
Sutardji Calzoum Bachri, Ignas Kleden, Jakob Sumardjo, Leon Agusta, Ashadi
Siregar, Jamal D. Rahman, Agus R. Sarjono. Tapi juga kritikus negara lain
seperti Jasni Matlani dari Malaysia dan Berthold Damshauser dari Jerman.
Dikutip dari Pengantar Buku Beropini
Melalui Sastra yang ditulis oleh Denny JA.
Agar
pembaca dapat mengulas lebih jauh tema pembahasan di atas, maka kami lampirkan
versi luring (offline) Beropini Melalui Sastra pdf di bawah ini.