![]() |
Sumber gambar: azquotes.com |
Diskusi
tentang bagaimana mengkonseptualisasikan Islam sebagai obyek penelitian (the object of inquiry)
telah banyak menyita perhatian para pengkaji Islam dari luar (outsider). Pertanyaan
yang menjadi topik diskusi di antara mereka antara lain adalah aspek apa yang
perlu dilihat saat Islam dipelajari oleh para peneliti.
Pertanyaan
yang lebih umum adalah bagaimana memahami dan menjelaskan Islam itu sendiri.
Sejauh ini, beragam pendekatan telah banyak dirumuskan oleh para sarjana dari
lintas bidang untuk menjawab pertanyaan tersebut. Namun demikian, masing-masing
pendekatan tersebut memiliki kelemahan metodologis yang signifikan dan
cenderung berdiri secara eksklusif, terpisah dari pendekatan yang lainnya.
Adalah
Talal Asad, seorang antropolog beraliran post-strukturalis, yang mencoba
mengatasi kelemahan dari pendekatan-pendekatan tersebut. Ia mengajukan
gagasannya melalui sudut pandang disiplin ilmu yang ia tekuni, yaitu
antropologi. Namun sekalipun latar belakang dan pijakan Asad adalah satu
disiplin yang bersifat spesifik, pendekatan yang ia ajukan diakui oleh banyak
sarjana lainnya memiliki potensi untuk digunakan crossing the boundary (lintas disiplin).
Asad
meramu gagasannya dari perbagai referensi keilmuan, sehingga pendekatan yang ia
rumuskan menjadi applicable
untuk digunakan sebagai framework
penelitian di luar disiplin ilmu antropologi. Selain itu, kelebihan lain dari
pendekatan Asad adalah kemampuannya mengintegrasikan aspek-aspek tertentu dari
pelbagai pendekatan yang ia kritik tersebut sehingga masing-masing pendekatan
tidak berdiri secara terpisah dan eksklusif.
Beberapa Kelemahan
Secara
umum pendekatan untuk mengkaji Islam dapat dipetakan ke dalam tiga kategori. Pertama, pendekatan yang
paling awal digunakan adalah pendekatan teks yang mengkaji Islam dari referensi
tekstual. Islam dilihat dari sudut pandang doktrin teologisnya dan pemikiran
para sarjana (ulama)-nya. Pendekatan ini dicetuskan oleh para orientalis yang
juga disebut sebagai Islamolog.
Kelemahan
dari pendekatan ini adalah kecendrungannya untuk melakukan reduksi dan
esensialisasi Islam. Pendekatan ini mengabaikan keragaman praktek popular
berislam kaum muslimin. Islam teks dianggap sebagai universal dan ideal (orthodox), sementara
Islam di luar teks dianggap sebagai penyimpangan (heterodox).
Kedua,
sebagai respon terhadap pendekatan teks yang ingin melihat single Islam, sarjana
humaniora merumuskan pendekatan antropologi terhadap Islam. Pendekatan ini
melihat Islam dari sudut pandang keyakinan dan praktek pemeluknya, bukan dari
sudut pandang teks. Pendekatan antropologi terhadap Islam memiliki beragam
variasi. Yang paling menonjol ada dua, yaitu konsep Clifford Geertz dan Abdul
Hamid Zein.
Geertz
menekankan bahwa Islam adalah dua fenomena sekaligus: universal dan lokal.
Sebagai fenomena lokal, ada banyak perbedaan keyakinan dan praktek di tengah
umat Islam. Sebagai fenomena universal, ada dua common element dalam praktek-praktek lokal
Islam, yaitu; pertama,
Islam sebagai pengalaman beragama (religious
experience) yang terdiri dari dua komponen, yakni pandangan hidup (worldview) dan etos; kedua, Islam sebagai
tradisi makna.
Secara
singkat, pendekatan yang dirumuskan oleh Geertz berusaha mencari titik temu
atau apa yang diistilahkan pengkritiknya sebagai family resemblance di antara ragam
manifestasi lokal Islam. Geertz membuat kesimpulannya tersebut setelah
melakukan komparasi antara model Islam di Maroko dan Islam di Indonesia.
Sebagai
respon terhadap pendekatan Clifford Geertz, Abdul Hamid Zein mengajukan gagasan
lain. Menurutnya, kelemahan dari pendekatan Geertz adalah kecendrungan
melakukan esensialisasi Islam dengan mencari kesamaan-kesamaan dari diversitas
Islam. Para antropolog tidak seharusnya mencari titik temu tersebut karena
setiap fenomena agama adalah unik. Selain itu, semua manifestasi beragama (baik
yang bersifat diskursus maupun praktek) harus diposisikan secara equal.
Zen
beragumen bahwa antropologi sebagai pendekatan keilmuan tidak boleh melakukan
hirarkisasi terhadap wacana dan praktek beragama orang Islam. Antropologi tidak
boleh membedakan antara Islam masa (folk
Islam) dan Islam elit (elite
Islam) dan mencari mana yang paling otentik dan valid dari beragam
manifestasi Islam tersebut. Antropologi tidak perlu mencari ortodoksi dalam
praktek beragama. Tugas antropologi menurutnya adalah mencari makna dari
pengalaman beragama di tingkat lokal.
Proposal
yang diajukan oleh Abdul Hamid Zein tersebut tampaknya menjadi pandangan paling
favorit yang digunakan untuk mengkaji Islam oleh para antropolog. Namun,
pendekatan ini memiliki setidaknya dua kelemahan.
Pertama,
dengan menganggap sama (dalam pengertian valid dan otoritatif) semua diskursus
dan praktek keislaman, pendekatan ini mengarah pada relatifisme reduktif. Framework ini membuat
tidak nyaman dua belah pihak sekaligus, yaitu Islamolog, yang terbiasa melihat
Islam melalui teks, dan muslim itu sendiri. Muslim dari kelompok mainstream tidak bisa
menerima ketika praktek dan keyakinan mereka dianggap sama dengan praktek dari
kelompok kecil yang biasanya dianggap sebagai menyimpang. Selain itu, dengan
menganggap sama semua manifestasi Islam, antropologi sebenarnya telah mengambil
alih tugas teologi yang berkecendrungan memberikan justifikasi.
Kedua,
pendekatan ini mengabaikan proses perubahan atau reformasi yang terjadi di
tengah lokalitas umat Islam setelah persinggungan mereka dengan bentuk Islam
yang lain. Pendekatan ini mengandaikan seolah-olah praktek lokal itu terkurung,
tidak berinteraksi, konstan (tidak berubah) saat mengalami perjumpaan dengan
manifestasi Islam yang berbeda.
Ketiga, selain pendekatan teks dan
antropologi, pendekatan yang juga banyak digunakan adalah pendekatan sosiologi
dan ilmu politik. Pendekatan ini menekankan akvitisme sosial umat Islam.
Manifestasi Islam, baik yang berupa wacana ataupun praktek, dianggap sebagai
respon terhadap kondisi material tertentu, yaitu kondisi politik ekonomi.
Pendekatan ini umumnya melihat Islam sebagai sebuah ideologi kontemporer yang
merespon tantangan liberalisme Barat. Penekanan pada pendekatan ini adalah pada
faktor struktur material yang membentuk sebuah ide. Kelemahan dari pendekatan
ini bersifat ganda, yaitu mengesampingkan pentingnya teks Islam dalam membentuk
ide dan menghilangkan agensi umat Islam. Umat Islam dianggap sebagai tawanan
dari kondisi material yang melingkupi mereka.
Islam Sebagai Tradisi Diskursif: Tawaran Konsep Talal
Asad
Talal
Asad mengajukan konsep Islam sebagai tradisi diskursif. Dalam merumuskan konsep
ini, Asad dipengaruhi oleh konsep tentang tradition
yang dirumuskan oleh filosof Katolik kontemporer, Alasdair MacIntyre, konsep discourse dari Michel
Foucault, konsep orthodoxy
(doxa) dari
Pierre Bourdieu.
Untuk
memahami Islam dan masyarakat muslim, para pengkaji, khususnya antropolog,
menurut Asad harus melihat peran penalaran khas umat Islam (Islamic reasoning), yaitu
penalaran yang berbasis pada al-Quran dan Hadis. Para antropolog dan pengkaji
Islam secara umum harus memulai studi mereka dengan terlebih dahulu memahami
cara berfikir spesifik umat Islam, yaitu berbasis pada sumber ajaran Islam.
Asad menulis:
“if one wants to write an anthropology of Islam one
should begin, as Muslims do, from the concept of a discursive tradition that
includes and relates itself to the founding texts of the Qur’an and the
Hadith.”
“Jika
seseorang ingin menulis antropologi Islam, ia harus memulai, sebagaimana muslim
melakukannya, dari konsep tradisi diskursif yang selalu memasukkan dan
mengkaitkan dirinya dengan teks-teks dasar, yaitu al-Quran dan hadis.”
Asad
mengingatkan para peneliti bahwa Islam adalah tradisi diskursif. Umat Islam
dalam ruang dan waktu manapun selalu berupaya untuk melegitimasi
praktek-praktek beragama mereka dengan kembali pada rujukan otoritatif. Sebagai
tradisi diskursif, Islam memerintahkan pemeluknya untuk selalu mencari bentuk
beragama yang benar serta mencari tujuan dalam mempraktekkan ajaran keagamaan (instruct practitioners regarding the
correct form and purpose of a given practice).
Adalah
sebuah fakta yang harus dipahami oleh para peneliti, lanjut Asad, bahwa umat
Islam selalu berusaha untuk mencari legitimasi dan otentisitas dengan menemukan
ittisaliyyah
(ketersambungan) dengan otoritas di masa lalu. Bagi umat Islam, proses
pencarian inilah yang menentukan satu praktek beragama sebagai islami atau
tidak. Sebuah doktrin atau praktek beragama baru akan dianggap otoritatif dan
otentik jika telah diterima oleh masyarakat muslim beberapa generasi ke
belakang atau memiliki jangkar dari tradisi intelektual di masa lalu.
Kecendrungan
mencari legitimasi ini kemudian secara tidak langsung melahirkan apa yang
disebut fenomena ortodoksi dan ortopraksi (keyakinan yang benar dan pengamalan
yang benar) dan fenomena heterodoksi and heteropraksi (keyakinan yang keliru
dan praktek yang keliru) di tengah umat Islam. Para peneliti tentang Islam,
sebagaimana mereka tidak bisa menghindar dari tugas melihat proses penalaran
yang menjadi ciri khas Islam di atas, juga tidak bisa menghindar dari
investigasi terhadap proses terbentuknya ortodoksi dan ortopraksi. Mereka yang
menghindar dari tugas ini, karena alasan apapun (misalnya karena merasa bahwa
dirinya bukan teolog), sebenarnya telah melewatkan satu aspek inti dari Islam
sebagai tradisi diskursif.
Jangkar Tradisi Islam
Kembali
tentang pandangan Asad sebagai tradisi, selain melihat otoritas pada teks dan
preseden dari masa lalu, tradisi Islam juga memiliki jangkar ke depan. Artinya,
tradisi tidak sekedar replikasi model dari masa masa lalu.
Dalam
hal ini Asad sesungguhnya tengah mengkontraskan pandangan Islam tentang tradisi
dengan pandangan Barat. Dunia Barat, khususnya paska periode Pencerahan (the Enlightenment),
cenderung melihat tradisi sebagai sesuatu yang serba negatif. Tradisi dimaknai
sebagai “a set of
unchanging doctrinal or cultural givens” (sekumpulan doktrin yang
sudah tidak dapat berubah atau fakta kebudayaan yang sudah jadi).
Tidak
hanya itu, tradisi juga dianggap sebagai lawan dari nalar (the opposite of reason).
Bangsa yang memasuki fase modernity
(kemodernan), menurut cara berfikir ini, adalah bangsa yang memutus diri dari
tradisi.
Dalam
Islam, menurut Asad, tradisi bukan sesuatu yang statis. Tradisi dapat berubah
karena ia merespon tuntutan masa kini. Tradisi bukan berarti atavisme,
regresifisme dan penolakan terhadap perubahan. Sebagai tradisi, Islam selalu
memiliki kemampuan untuk bertransformasi menyesuaikan dengan tuntutan kekinian,
tanpa kehilangan otentisitas dan kontinuitasnya dengan masa lalu. Hal itu
disebabkan karena tradisi Islam melahirkan agency
para ulama. Mereka inilah yang melakukan negosiasi antara praktek masa lalu
sebagai referensi dan tuntutan masa kini dan masa depan.
Untuk
memahami konsep tradisi yang dirumuskan Talal Asad, menarik untuk mengutip
penjelasan Ovamir Anjum, seorang Asadian tulen yang menerapkan konsep Asad
dalam penelitiannya mengenai Ibnu Taimiyah. Anjum mengibaratkan sifat tradisi
Islam seperti proses bekerjanya organisme dalam mutasi genetik. Sebuah
organisme mengalami perkembangan dengan mewariskan karakter dasarnya kepada
keturunannya. Keturunan ini berkembang mencari bentuknya sendiri tanpa menjadi
identik seperti pendahulunya, tetapi masih memiliki keterkaitan genetik dengan
mereka.
Dari
analogi di atas dapat dipahami bahwa para pengkaji Islam selain melihat
penalaran Islami yang berbasis pada upaya pencarian legitimasi dari masa lalu,
juga perlu melihat bagaimana para aktor Islam mencari bentuk baru dari tradisi
Islam untuk masa sekarang dan yang akan datang. Dalam bahasa yang lain, para
peneliti Islam harus melihat bagaimana sebuah wacana dan praktek keislaman
terhubung dengan preseden masa lalu, dan bertransformasi menyesuaikan diri
dengan tuntutan aktual dan obyektif yang melingkupinya.
Kelebihan Konsep Talal Asad
Hemat
penulis, setidaknya ada empat kelebihan dari konsep yang diajukan oleh Talal
Asad ini. Pertama,
konsep tradisi diskursif sangat bermanfaat digunakan sebagai framework untuk memahami diversity (keragamaan)
dalam pelbagai manifestasi lokal Islam serta hubungannya dengan Islam sebagai
agama global. Konsep ini tidak mengurung satu fenomena lokal dalam ruang
tertutup, tetapi menghubungkannya dengan identitas universal Islam.
Kedua,
konsep ini merekonsiliasi antara pendekatan Islamologi yang melihat teks dan
pendekatan antropologi yang berkecendrungan melakukan penelitian lapangan (fieldwork). Selama ini
keduanya diposisikan terpisah dan tidak pernah saling menyapa. Melalui konsep
tradisi diskursif, keduanya dapat diintegrasikan sekaligus.
Ketiga,
konsep ini dapat menjadi framework
untuk melihat hubungan antara dunia ide dan struktur material (ekonomi dan
politik) yang membentuk ide-ide itu. Asad memasukkan analisa tentang power (kekuasaan) dalam
perangkat konsepnya untuk melihat wacana dan praktek beragama umat Islam.
Keempat,
konsep ini bermanfaat untuk melihat transformasi atau perubahan dalam pemikiran
Islam atau budaya Islam. Asad tidak hanya menekankan tentang the past (masa lalu) saat
melihat tradisi Islam, tapi juga memasukkan unsur change yang meliputi waktu sekarang (present) dan masa depan (future).
Berikut cuplikan tulisan Talal Asad dalam Qui Parle di
bawah ini
Argumen umum saya sejauh ini adalah
bahwa tidak ada antropologi Islam yang koheren yang dapat dibangun atas gagasan
cetak biru sosial yang menentukan, atau pada gagasan totalitas sosial yang
terintegrasi dalam struktur sosial dan ideologi agama yang berinteraksi. Ini
tidak berarti bahwa tidak ada objek yang koheren untuk antropologi Islam adalah
mungkin, atau cukup untuk mengatakan bahwa apa pun yang diyakini atau dilakukan
oleh umat Islam dapat dianggap oleh antropolog sebagai bagian dari Islam.
Sebagian besar ahli biologi Islam telah mendefinisikan ruang lingkup mereka
terlalu luas, baik yang menganut prinsip esensialis maupun yang menggunakan
prinsip nominalis. Jika seseorang ingin menulis antropologi Islam, ia harus
memulai, seperti halnya umat Islam, dari konsep tradisi diskursif yang
memasukkan dan menghubungkan dirinya dengan teks-teks pendiri Al-Qur'an dan
Hadits. Islam bukanlah struktur sosial yang khas atau kumpulan keyakinan,
artefak, adat istiadat, dan moral yang heterogen. Itu adalah tradisi.
Dalam sebuah artikel yang bermanfaat,
"The Study of Islam in Local Contexts," Eick elman baru-baru ini
menyatakan bahwa ada kebutuhan teoritis utama untuk mengambil "middle
ground" antara studi tentang desa atau Islam suku dengan studi Islam
universal. Mungkin memang demikian, tetapi kebutuhan teoretis yang paling
mendesak untuk antropologi Islam adalah masalah tidak banyak menemukan skala
yang tepat tetapi merumuskan konsep yang tepat. "A discursive tradition"
hanyalah konsep semacam itu.
Apa itu tradition? Sebuah tradisi
pada dasarnya terdiri dari wacana yang berusaha untuk mengajari para praktisi
mengenai bentuk dan tujuan yang benar dari latihan tertentu yang, justru karena
didirikan, memiliki sejarah. Wacana-wacana ini berhubungan secara konseptual
dengan a past (ketika praktik dilembagakan, dan dari mana pengetahuan
tentang titik dan kinerja yang tepat telah ditransmisikan) dan a future
(bagaimana titik praktik itu dapat diamankan dalam jangka pendek atau jangka
panjang, atau mengapa harus dimodifikasi atau ditinggalkan), melalui a
present (bagaimana itu terkait dengan praktik, lembaga, dan kondisi sosial
lainnya). An Islamic discursive tradition hanyalah sebuah tradisi wacana
Muslim yang membahas konsepsi pas and future Islam, dengan mengacu pada
praktik Islam tertentu di masa kini. Jelas, tidak semua yang dikatakan dan
dilakukan umat Islam milik tradisi diskursif Islam. Tradisi Islam dalam
pengertian ini juga tidak boleh meniru apa yang dilakukan di masa lalu. Bahkan
ketika praktik tradisional tampak bagi antropolog sebagai peniru dari apa yang
telah terjadi sebelumnya, itu akan menjadi konsep para praktisi tentang apa itu
kinerja yang tepat, dan tentang bagaimana masa lalu terkait dengan praktik-praktik
yang ada, yang akan sangat penting bagi tradisi, bukan pengulangan yang tampak
dari bentuk lama.
Maksud saya bukanlah, seperti yang
dikemukakan oleh beberapa antropolog Barat dan intelektual Muslim Barat, bahwa
"tradition" saat ini adalah fiksi masa kini, sebuah reaksi terhadap
kekuatan-kekuatan modernitas? bahwa dalam kondisi krisis saat ini, tradisi di
dunia Muslim adalah senjata, tipu muslihat, pertahanan, yang dirancang untuk
menghadapi ancaman dunia, bahwa itu adalah jubah lama untuk aspirasi baru dan
gaya perilaku yang berbeda. bahwa ide-ide kontemporer dan pengaturan sosial
benar-benar kuno ketika mereka tidak dengan sendirinya tidak lebih penting
daripada kepura-puraan bahwa ide-ide baru telah diinjak-injak padahal
sebenarnya tidak. Berbohong pada diri sendiri, juga kepada orang lain, tentang
hubungan masa kini dengan masa lalu adalah hal yang biasa dalam masyarakat
modern seperti halnya dalam masyarakat yang biasanya dipelajari oleh para
antropolog. Poin penting tentang tradisi adalah bahwa semua praktik yang
dilembagakan berorientasi pada konsepsi masa lalu.
Oleh karena itu bagi ahli antropologi
Islam awal teoretis yang tepat adalah praktik yang dilembagakan (ditetapkan
dalam konteks tertentu dan memiliki sejarah tertentu) di mana umat Islam
dilantik sebagai Muslim. Untuk tujuan analitis, tidak ada perbedaan mendasar
dalam hal ini antara Islam "klasik" dan "modern". The discourses
di mana pengajaran dilakukan, di mana kinerja yang benar dari praktik
didefinisikan dan dipelajari, adalah intrinsik untuk semua praktik Islam. Oleh
karena itu agak menyesatkan untuk menyarankan, seperti yang telah dilakukan
beberapa sosiolog, bahwa itu ortopraksi dan bukan ortodoksi, ritual dan bukan
doktrin, yang penting dalam Islam. Ini menyesatkan karena pertikaian semacam
itu mengabaikan sentralitas gagasan "the model yang benar" yang
merupakan praktek dilembagakan? termasuk ritual? Seharusnya sesuai, model yang
disampaikan dalam formula otoritatif, dalam tradisi Islam seperti yang lain.
Dan saya merujuk di sini terutama bukan pada wacana terprogram dari
gerakan-gerakan Islam "modernis" dan "fundamentalis",
tetapi pada praktik-praktik mapan dari umat Muslim yang tidak berpendidikan.
Suatu praktik adalah islami karena disahkan oleh tradisi Islam yang berbeda,
dan diajarkan kepada umat Islam? Apakah dengan ‘alim, khatib, seorang
syekh sufi, atau orang tua yang tidak terpelajar. (Mungkin perlu diingat di
sini bahwa secara etimologis "Doktrin" berarti mengajar, dan karena
itu doktrin ortodoks menunjukkan proses pengajaran yang benar, serta pernyataan
yang benar tentang apa yang harus dipelajari).
Ortodoksi sangat penting untuk semua
tradisi Islam. Tetapi pengertian di mana saya menggunakan istilah ini harus
dibedakan dari pengertian yang diberikan oleh sebagian besar orientalis dan
antropolog. Para antropolog seperti El Zein, yang ingin menyangkal makna khusus
apa pun terhadap ortodoksi, dan mereka yang seperti Gellner, yang melihatnya
sebagai seperangkat doktrin khusus "di jantung Islam," keduanya
kehilangan sesuatu yang vital: bahwa ortodoksi bukan sekadar tubuh pendapat tetapi
hubungan yang khas? hubungan kekuasaan dengan kebenaran. Di mana pun umat Islam
memiliki kekuasaan untuk mengatur, menegakkan, mewajibkan, atau menyesuaikan
praktik yang benar, dan untuk mengutuk, mengecualikan, melemahkan, atau
mengganti yang salah, ada wilayah ortodoksi. Cara kekuatan ini dijalankan,
kondisi yang memungkinkannya (sosial, politik, ekonomi, dan lain-lain), dan
hambatan yang mereka hadapi (dari Muslim dan non-Muslim) sama-sama menjadi
perhatian antropologi Islam, terlepas dari apakah objek langsung penelitiannya
adalah di kota atau di pedesaan, di masa sekarang atau di masa lalu. Argumen
dan konflik tentang bentuk dan signifikansi praktik ada di sana sebagai bagian
alami dari tradisi Islam.
Dalam representasi mereka tentang
"tradisi Islam," orientalis dan antropolog sering memarginalkan
tempat argumen dan alasan seputar praktik tradisional. Argumen secara umum
direpresentasikan sebagai gejala "tradisi dalam krisis," dengan
asumsi bahwa tradisi "normal" (apa yang disebut oleh Abdallah Laroui
"tradisi sebagai struktur" dan berbeda dari "tradisi sebagai
ideologi" [CJ, 33]) tidak termasuk penalaran sama seperti itu membutuhkan
kesesuaian yang tidak terpikirkan. Tetapi kontras dan persamaan ini sendiri
adalah karya dari motivasi historis, bermanifestasi dalam oposisi ideologis
Edmund Burke antara "tradisi" dan "alasan," sebuah oposisi
yang dielaborasi oleh ahli teori konservatif yang mengikutinya, dan
diperkenalkan ke dalam sosiologi oleh Weber.
Alasan dan argumen harus terlibat
dalam praktik tradisional setiap kali orang harus diajari tentang poin dan
kinerja yang tepat dari praktik itu, dan setiap kali pengajaran bertemu dengan
keraguan, ketidakpedulian, atau kurangnya pemahaman. Ini sebagian besar karena
kita memikirkan argumen dalam hal debat formal, konfrontasi, dan polemik yang
kita anggap tidak memiliki tempat dalam praktik tradisional. Namun proses
mencoba untuk memenangkan seseorang atas kinerja yang rela dari praktik
tradisional, yang berbeda dari upaya untuk menghancurkan posisi intelektual
lawan, adalah suatu keharusan. bagian dari tradisi diskursif Islam seperti yang
lainnya. Jika alasan dan argumen intrinsik pada praktik tradisional, dan bukan
sekadar "tradisi dalam krisis," itu harus menjadi tugas pertama
antropolog untuk menggambarkan dan menganalisis jenis-jenis penalaran, dan
alasan untuk berdebat, yang mendasari praktik tradisional Islam.
Di sinilah analis dapat menemukan
modalitas pusat kekuasaan, dan perlawanan yang ditemuinya - untuk proses
berdebat, menggunakan kekuatan nalar, sekaligus mengandaikan dan merespons
fakta perlawanan. Kekuasaan, dan perlawanan, dengan demikian merupakan
intrinsik bagi pengembangan dan pelaksanaan praktik tradisional apapun.
Konsekuensi teoretis dari hal ini adalah bahwa tradisi tidak boleh dianggap
sebagai sesuatu yang pada dasarnya homogen, bahwa heterogenitas dalam
praktik-praktik Muslim belum tentu merupakan indikasi tidak adanya tradisi
Islam. Keragaman praktik tradisional Muslim dalam waktu, tempat, dan populasi
yang berbeda menunjukkan perbedaan pemikiran Islektik yang dapat atau tidak
dapat dipertahankan oleh kondisi sosial dan historis yang berbeda. Gagasan bahwa
tradisi pada dasarnya homogeneous memiliki daya tarik intelektual yang
kuat, tetapi keliru. Dalam akta, homogenitas yang tersebar luas adalah fungsi,
bukan tradisi, tetapi pengembangan dan kontrol teknik komunikasi yang merupakan
bagian dari masyarakat industri modern.
Meskipun tradisi Islam tidak homogen,
mereka bercita-cita untuk koherensi, seperti semua tradisi diskursif lakukan.
Bahwa mereka tidak selalu mencapainya adalah karena kendala kondisi politik dan
ekonomi yang terkait dengan tradisi-tradisi itu, juga keterbatasan-keterbatasan
yang melekat padanya. Dengan demikian, di zaman kita sekarang ini, upaya
tradisi Islam untuk mengatur ingatan dan keinginan secara koheren semakin
dibuat kembali oleh kekuatan sosial kapitalisme industri, yang menciptakan
kondisi yang menguntungkan bagi pola keinginan dan kelupaan yang sangat
berbeda. Antropologi Islam akankah karena itu berusaha memahami kondisi
historis yang memungkinkan produksi dan pemeliharaan tradisi diskursif
tertentu, atau transformasi mereka? dan upaya para praktisi untuk mencapai
koherensi.
Saya telah berargumen bahwa para
antropolog yang tertarik dengan Islam perlu memikirkan kembali objek studi
mereka, dan bahwa konsep tradisi akan membantu dalam tugas ini. Saya sekarang
ingin menyimpulkan dengan poin singkat terakhir. Menulis tentang suatu tradisi
berarti berada dalam hubungan naratif tertentu dengannya, suatu hubungan yang
akan bervariasi menurut apakah seseorang mendukung atau menentang tradisi
tersebut, atau menganggapnya sebagai netral secara moral. Koherensi bahwa
setiap pihak menemukan, atau gagal menemukan, dalam tradisi itu akan bergantung
pada posisi historis khusus mereka. Dengan kata lain, jelas tidak ada, juga
tidak ada, hal seperti itu yang secara universal dapat diterima dari tradisi
yang hidup. Setiap representasi tradisi dapat diperdebatkan. Bentuk apa yang
diambil oleh kontestasi, jika itu terjadi, akan ditentukan tidak hanya oleh
kekuatan dan pengetahuan yang disebarkan oleh masing-masing pihak, tetapi juga
oleh kehidupan kolektif yang mereka cita-citakan? Atau untuk kelangsungan hidup
siapa mereka cukup acuh tak acuh. Deklarasi netralitas moral, di sini seperti
biasa, tidak ada jaminan kepolosan politik.
Dikutip dari Muhammad Rofid dalam ibtimes.id/ dan
tulisan Talal Asad dalam Qui Parle
Agar pembaca dapat mengulas lebih
dalam pembahasan di atas, maka kami lampirkan versi luring (offline) pdf The
Idea of An Anthropology of Islam di bawah ini.
0 komentar:
Posting Komentar