![]() |
Sumber gambar: betuelulusoy.com |
Sejak jatuhnya Soeharto di tahun
1998, terjadi perkembangan di Indonesia yang banyak mengubah citra Islam
Indonesia dan anggapan tentang Muslim Indonesia yang selama ini dikenal toleran
dan cenderung mau berkompromi. Di masa jaya Orde Baru, tahun 1970-an hingga
tahun 1980-an, Islam Indonesia telah menunjukkan wajah yang tersenyum—mungkin
sudah selayaknya begitu, karena dipimpin oleh penguasa otoriter yang dikenal
sebagai “the smiling general”. Yang menonjol adalah wacana yang modernis dan
mendukung program-program pembangunan pemerintah, yang merangkul ideologi
negara Pancasila yang sebenarnya sekuler, mendukung keselarasan hubungan (dan
kesamaan hak) dengan non-Muslim yang minoritas, dan menganggap ide negara Islam
tidak cocok untuk Indonesia. Beberapa tokoh pentingnya menyebut-nyebut “Islam
kultural” sebagai alternatif dari Islam politis dan menekankan bahwa kultur
Muslim Indonesia sama saja sahnya dengan aneka rupa Islam di Timur Tengah.
Seperti senyum Soeharto, wajah ramah
para penyambung lidah Muslim terkemuka menyembunyikan beberapa kenyataan yang
tidak mengenakkan, seperti terutama pembunuhan massal terhadap tertuduh komunis
di tahun 1965–1966, yang telah direkayasa militer Soeharto tetapi sebagian
besar dilakukan oleh pasukan pembunuh yang direkrut dari organisasi Muslim
besar. Ada juga pemikiran dan gerakan Islam yang terpendam dan lebih
fundamentalis, dan ada ketakutan yang luas di kalangan Muslim—yang tidak
sepenuhnya tidak berdasar—tentang usaha orang Kristen untuk melemahkan Islam. Namun,
yang paling menonjol adalah wacana yang liberal, toleran, dan terbuka seperti
yang kita jumpai pada Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid. Wacana seperti
ini secara luas dibahas oleh pers dan terlihat pengaruhnya di
universitas-universitas, di Kementerian Agama dan organisasi-organisasi Muslim
yang besar, dan juga kalangan kelas menengah yang sedang muncul.
Era pasca-Suharto menawarkan wajah
Islam Indonesia yang amat berbeda. Selama beberapa tahun, terjadi konflik
antaragama di seluruh negeri. Gerakan jihad (didukung oleh faksi militer dan
kelompokkelompok kepentingan di daerah) membawa panji-panji Islam ke
konflik-konflik di daerah, mengubahnya menjadi medan perang untuk sebuah
perjuangan yang tampaknya akan memecah-belah bangsa. Kelompok teroris yang
tampak punya koneksi lintasnegara melakukan serangan yang menghebohkan,
termasuk serangkaian pengeboman simultan di gereja-gereja di seluruh negeri
pada malam Natal tahun 2000 dan pengeboman Bali pada Oktober 2002, yang
menewaskan sekitar dua ratus orang dan melukai ratusan orang lebih, banyak di
antara mereka adalah turis mancanegara. Jajak pendapat di awal tahun 2000-an
secara mengejutkan menunjukkan dukungan yang tinggi dari kalangan masyarakat
luas terhadap kelompok-kelompok Muslim radikal dan dukungan yang belum pernah
terjadi sebelumnya untuk ide negara Islam. Upaya untuk memasukkan acuan kepada
syariah—yang biasa disebut Piagam Jakarta—ke dalam Konstitusi ditolak oleh
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dalam sidangnya di tahun 2001 dan 2002.
Namun, di tahun-tahun sesudahnya, banyak provinsi dan kabupaten yang memakai
aturan syariah, setidak-tidaknya menjunjungnya secara simbolis.
Namun, tampaknya perkembangan tadi
kebanyakan hanyalah respons sementara atas demam perubahan politik, dan bukan
indikasi terjadinya perubahan sikap mayoritas Muslim Indonesia. Sementara itu,
baik kekerasan dalam masyarakat maupun serangan teroris telah mereda. Dan kini
menjadi jelas bahwa banyak dari aksi kekerasan itu yang berhubungan langsung
dengan perjuangan mendapatkan redistribusi sumber daya ekonomi dan politik di
Indonesia pascaSoeharto. Di sebagian besar daerah yang dilanda konflik, telah
terjadi keseimbangan kekuatan baru, meskipun dalam beberapa kasus itu hanya
terjadi setelah warga direlokasi, dan kebutuhan akan hidup rukun bertetangga
telah secara luas diakui. Sebagian besar jaringan teroris telah diungkap dan
dipetakan oleh polisi; banyak dari anggota teroris itu yang terbunuh atau
ditahan; penerimaan masyarakat pada kekerasan atas nama Islam telah jauh
berkurang. Penerbitan peraturan-peraturan daerah (perda) syariah telah
berhenti—kecuali di Aceh yang masih mengagendakan pelaksanaan syariah. Partai
politik Islam, yang pada pemilu 1999 dan 2004 telah mengumpulkan suara hingga
40% seperti yang pernah mereka kantongi di tahun 1955, mencatat penurunan yang
signifikan pada tahun 2009, kembali terjatuh ke perolehan di bawah 25 persen.
Perkembangan yang lebih bertahan lama
tampaknya adalah munculnya gerakan Islam transnasional yang dinamis yang
bersaing untuk memperebutkan pengaruh dengan dua organisasi arus utama yang
sudah mapan, Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU), dan untuk memberikan
sumbangan nyata pada penentuan arah perdebatan Indonesia. Yang paling menonjol
di antara mereka, di antaranya Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan afiliasinya,
yang merupakan versi Indonesia dari Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir Indonesia
(HTI), dan kelompok nonpolitik seperti Jama’ah Tabligh dan gerakan Salafi.
Selain itu, di dalam tubuh Muhammadiyah dan NU sendiri, tarik menarik antara
kubu liberal dan progresif di satu sisi dengan kubu konservatif dan
fundamentalis di sisi lain telah bergeser ke arah yang disebut belakangan.
“THE CONSERVATIVE TURN”
Di tahun 2005 sebuah conservative
turn tampaknya telah terjadi di dalam arus utama Islam, dan tampaknya
pandangan modernis dan liberal yang selama ini mendapat dukungan luas di dalam
Muhammadiyah dan NU telah kian ditolak. Kedua organisasi ini mengadakan kongres
lima-tahunan mereka pada tahun 2004, dan pada kedua kongres ini susunan
pengurus dibersihkan dari pemimpin yang dianggap “liberal”, termasuk
orang-orang yang telah memberikan pengabdian yang besar kepada organisasi
mereka. Banyak ulama dan pemimpin Muslim lainnya tampaknya lebih sibuk dengan
perjuangan melawan sekte dan ide “sesat”.
Tanda paling jelas dari terjadinya conservative
turn barangkali bisa dilihat dari sejumlah fatwa kontroversial yang
dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tahun 2005. Salah satu
fatwa itu menyatakan bahwa sekularisme, pluralisme, dan liberalisme
agama—SiPiLis, dalam singkatan sugestif yang diciptakan oleh kaum
fundamentalis—adalah bertentangan dengan Islam. Fatwa ini—yang diyakini
terinspirasi oleh orang Islam radikal yang belakangan bergabung ke dalam MUI
tetapi juga didukung oleh banyak kaum konservatif dari arus utama—dari luar
tampak seperti serangan frontal pada kelompok kecil yang menyebut diri mereka
Muslim “liberal” dari Jaringan Islam Liberal (JIL). Namun, sebenarnya fatwa itu
berusaha mendelegitimasi kategori intelektual Muslim dan aktivis LSM yang lebih
luas, termasuk beberapa tokoh Muslim yang paling dihormati dalam dekade
sebelumnya. Fatwa lain mengutuk pelaksanaan doa bersama lintas-iman (yang telah
muncul sejak terjadi pertikaian politik dan konflik antaragama, ketika
wakil-wakil dari berbagai agama bergabung untuk memanjatkan doa bersama memohon
kesejahteraan dan kedamaian) dan fatwa yang mengharamkan perkawinan beda agama,
termasuk pernikahan seorang laki-laki Muslim dengan perempuan non-Muslim. Fatwa
terhadap Ahmadiyah tidak hanya menyatakan mazhab ini berada di luar Islam, dan
Muslim yang bergabung menjadi murtad, tetapi itu juga meminta pemerintah untuk
secara efektif melarang segala aktivitasnya. MUI didirikan pada tahun 1975
sebagai penasihat pemerintah dalam masalah kebijakan yang terkait Islam dan
sebagai saluran komunikasi antara pemerintah dan umat Muslim. Selama seperempat
abad, suaranya lebih banyak bernada mencari jalan tengah dan kompromi, jika
tidak untuk kepentingan politik; tetapi ia juga melihat dirinya sebagai
pengawas ortodoksi agama dan berkali-kali mengeluarkan pernyataan yang mengutuk
gerakan dan sekte-sekte yang menyimpang. (MUI mengutuk Ahmadiyah cabang
Qadiyani pada awal tahun 1980, tapi ini tak berpengaruh pada kebijakan
pemerintah.) Para pengkritik rezim Soeharto telah melontarkan tumpukan cemoohan
pada MUI karena ketertundukkannya pada keinginan pemerintah. Namun secara umum,
keberadaan lembaga yang dapat mewakili sudut pandang umat kepada pemerintah ini
masih dihargai (Lihat juga Bruinessen 1996). Setelah Soeharto jatuh, MUI
menyatakan dirinya mandiri dari pemerintah, dan sejak itu, ia telah menetapkan
agenda sendiri. Setidak-tidaknya, seorang analis menafsirkan bahwa MUI saat ini
lebih tegas (dan konservatif) dalam menempatkan dirinya “untuk menyekat
perannya agar lebih selaras dengan umat” menunjukkan bahwa mayoritas Muslim
Indonesia mungkin sejak awal telah menganut pandangan konservatif seperti itu
(Gillespie 2007, h. 202).
Conservative turn tidak berarti bahwa suara liberal
dan progresif dari masa lalu telah tiba-tiba terbungkam. Sebenarnya banyak yang
menyuarakan protes. Mantan Pimpinan Muhammadiyah dan NU, Ahmad Syafi’i Ma’arif,
dan Abdurrahman Wahid, yang benar-benar populer bagi konstituen mereka,
berbicara secara keras dan jelas. Begitu pula beberapa anggota terkemuka dari
dua organisasi ini, serta sejumlah besar aktivis muda. Tetapi, mereka telah
kehilangan kekuasaan untuk menentukan perdebatan dan memberikan inisiatif itu
kepada kaum konservatif dan fundamentalis.
APA YANG TERJADI?
Perkembangan ini menuntut penjelasan.
Menarik untuk melihat kaitan langsung antara demokratisasi Indonesia dan
turunnya pengaruh pandangan liberal dan progresif. Namun, asumsi bahwa mayoritas
itu bersifat konservatif atau cenderung berpandangan fundamentalis tidak bisa
diyakini begitu saja. Ini berarti pemikiran Islam liberal hanya bisa berkembang
apabila dilindungi oleh rezim otoriter. Argumen lainnya adalah demokratisasi
politik telah menarik banyak dari orang-orang yang sebelumnya terlibat dalam
organisasi atau lembaga-lembaga yang mendukung perdebatan intelektual ke dalam
karier di partai politik atau institusi, sehingga melemahkan landasan sosial
bagi wacana Islam liberal dan progresif.
Penjelasan lain (yang berulang-ulang
disodorkan oleh kaum liberal yang merasa terkepung) terkait adanya pengaruh
dari Timur Tengah, khususnya Semenanjung Arab, dalam bentuk kembalinya para
lulusan dari Universitas Saudi, institut pendidikan yang didanai Arab Saudi dan
Kuwait, sponsor penerjemahan sejumlah teks “fundamentalis”, dukungan ideologis
dan keuangan untuk gerakan Islam lintasnegara. Menonjolnya keturunan Arab yang
memegang kepemimpinan gerakan radikal tampaknya mengarah kepada peran mereka
sebagai perantara proses Arabisasi Islam Indonesia. Tak bisa disangkal, pelaku
keturunan Arab dan dana Arab memang meningkat, tetapi seperti telah saya
nyatakan di bagian lain, pengaruh mereka tidak secara khusus bekerja dalam arah
anti-liberal maupun fundamentalis.
Pemunculan gerakan Islam lintas negara
di muka umum merupakan fenomena penting yang pasti telah mengubah pemandangan
Islam Indonesia, serta mengikis pentingnya peran Muhammadiyah dan Nahdlatul
Ulama dalam menentukan arus utama moderat. Terlalu dini untuk mengatakan apakah
pergeseran dua organisasi ini ke pandangan konservatif bersifat sementara;
pengamatan saya pada Musyawarah Nasional NU pada bulan Maret 2010 menunjukkan
tren antiliberal telah mereda dan bahkan mungkin telah berbalik (Bruinessen 2010).
Empat studi yang rinci yang menjadi
tubuh utama buku ini merupakan, dalam pandangan saya, sumbangan besar untuk
memahami perkembangan Islam Indonesia pasca-Soeharto. Dan karena berdasar pada
penelitian lapangan langsung, karya ini akan memberikan pemahaman tentang aspek
utama dari apa yang bisa disebut “conservative turn” di dalam tubuh Islam
Indonesia. Untuk menempatkan perkembangan ini ke dalam konteks sosial dan
sejarah yang lebih luas, bab-bab itu akan didahului dengan tinjauan luas
tentang organisasi dan gerakan Muslim Indonesia
Dikutip dari Martin Van Bruinessen dalam tulisan
Pengantar “Perkembangan Kontemporer Islam Indonesia dan “Conservative Turn” Awal
Abad ke-21
Agar pembaca dapat mengulas lebih
dalam pembahasan di atas, maka kami lampirkan versi luring (offline) pdf buku Conservative Turn:
Islam Indonesia Dalam Ancaman Fundamentalisme di bawah ini.
0 komentar:
Posting Komentar