![]() |
Sumber gambar: semanticscholar.org |
Bourdieu merupakan salah satu tokoh
yang masuk ke dalam postmodernism. Pemikirannya dilatarbelakangi pertentangan
yang tajam antara dua kubu yang berseteru yaitu strukturalisme dan
eksistensialisme. Bertitik tolak dari pemikiran kedua aliran ini, Bourdieu
membuat teori campuran atau teori “gado-gado” yaitu struktural konstruktif atau
sering juga disebut teori praktik sosial. Konsep penting dalam teori praktik
Bourdieu yaitu, habitus, arena/ranah/medan (field), kekerasan simbolik (symbolic
violence), modal (capital), dan strategi (strategy).
Teori “gado-gado” Bourdieu mempunyai
pengaruh yang sangat besar dalam ilmu-ilmu sosial umumnya terlebih dalam Ilmu
Kajian Budaya. Menurut Bourdieu, subjek atau agen bertindak dalam kehidupannya
sehari-hari dipengaruhi oleh struktur atau aturan yang ada dalam masyarakat.
Namun agen dalam tindakannya bukan seperti boneka yang bergerak sesuai dengan
aturan yang menggerakkan. Sebaliknya, agen dalam tindakannya bukan bertindak
sesuka hatinya tanpa diatur oleh rambu-rambu dalam hal ini aturan atau budaya.
Agen dalam tindakannya sangat dipengaruhi oleh aturan yang berlaku dalam
masyarakat.
Individu sebagai agen dipengaruhi
oleh habitus, di sisi yang lain individu adalah agen yang aktif untuk membentuk
habitus. Agen dibentuk dan membentuk habitus melalui modal yang dipertaruhkan
di dalam ranah. Praktik merupakan suatu produk dari relasi antara habitus dan
ranah dengan melibatkan modal di dalamnya.
Kilas Balik Bourdieu
Bourdieu merupakan salah seorang
tokoh sosiologi kultural. Bourdieu juga disebut sebagai sosiolog, antropolog,
etnolog. Pemikirannya banyak dipengaruhi para pemikir: Aristoteles, Thomas
Aquinas, Hegel, Marx, Durkheim, Max Weber, Picasso, Franz Fanon, Jeane Paul
Sartre, Huserl, Sausure, Levi Strauss, Wittgenstein, Martin Heidegger, Michel
Foucault, dan lain-lain.
Dari pendapat para tokoh ini,
Bourdieu meramu menjadi suatu pemikiran baru yang disebut dengan metode
strukturalisme-konstruktif. Melalui metode ini, Bourdieu menyintesiskan antara
teori yang terlalu menekankan struktur dan objektifitas dengan teori yang
menekankan peran aktor dan subjektifitas.
Pemikiran Bourdieu sangat berpengaruh
dalam bidang ilmu sosial, terlebih dalam kajian budaya. Teori yang dikemukakan
oleh Bourdieu dikenal dengan istilah teori tentang praktik. Teori ini merupakan
perpaduan atau campuran dari teori yang berpusat pada agen atau aktor dengan
teori yang berpusat dengan struktur dalam membentuk kehidupan sosial. Teorinya
menjadi suatu teori “gado-gado” yang memberikan rasa atau pandangan baru dalam
ilmu sosial.
Berpikir Kritis Bersama Bourdieu
Pierre Bourdieu adalah seorang
pemikir Prancis yang hendak memahami struktur sosial masyarakat, sekaligus
perubahan dan perkembangan yang terjadi di dalamnya. Baginya, analisis sosial
selalu bertujuan untuk membongkar struktur-struktur dominasi ekonomi maupun
dominasi simbolik dari masyarakat, yang selalu menutupi ketidakadilan di
dalamnya. Untuk itu, ia mengembangkan beberapa konsep yang diperolehnya dari
analisis data sosiologis, sekaligus pemikiran-pemikiran filsafat yang ia
pelajari.
Pierre Bourdieu lahir pada 1 Agustus
1930 di Denguin, Prancis. Ia meninggal pada 23 Januari 2002 di Paris, Prancis.
Ia dikenal sebagai seorang intelektual publik yang lahir dari pengaruh
pemikiran Emile Zola dan Jean-Paul Sartre. Konsep-konsep yang ia kembangkan
amat berpengaruh di dalam analisis-analisis sosial maupun filsafat di abad 21.
Sebelum meninggal, ia mengajar di lycée di Moulins (1955–58), University of
Algiers (1958–60), University of Paris (1960–64), École des Hautes Études en
Sciences Sociales (dari 1964), dan Collège de France (1982).
Di Prancis, ia mendirikan Centre for
the Sociology of Education and Culture. Dia sudah menulis beberapa buku, antara
lain Sociologie de
l’Algérie (1958; The Algerians, 1962), La Distinction (1979; Distinction,
1984), Le Sens pratique (1980; The Logic of Practice, 1990), La Noblesse d’état
(1989; The State Nobility, 1996), and Sur la télévision (1996; On Television,
1998). Tema-tema bukunya berkisar kritik terhadap konsep sekaligus
praktek ekonomi neoliberal, globalisasi, elitisme intelektual, dan televisi.
Bourdieu juga menjadi editor untuk
jurnal Actes de la recherche en sciences sociales. Pada 1989, ia
mendirikan Liber, sebuah review atas karya-karya ilmiah di Eropa. Pada 2001
lalu, untuk menghormati karya-karyanya, dipublikasikan sebuah film dokumenter
tentangnya. Judul film itu adalah Sociology is a Combat Sport. Film
tersebut disambut dengan baik di Prancis.
Habitus
Bourdieu
merumuskan konsep habitus sebagai analisis sosiologis dan filsafati atas
perilaku manusia. Dalam arti ini, habitus adalah nilai-nilai sosial yang
dihayati oleh manusia, dan tercipta melalui proses sosialisasi nilai-nilai yang
berlangsung lama, sehingga mengendap menjadi cara berpikir dan pola perilaku
yang menetap di dalam diri manusia tersebut. Habitus seseorang begitu kuat,
sampai mempengaruhi tubuh fisiknya. Habitus yang sudah begitu kuat tertanam
serta mengendap menjadi perilaku fisik disebutnya sebagai Hexis.
Saya
adalah seorang dosen filsafat politik dan filsafat sains. Sejak kecil, saya
terbiasa membaca buku. Ayah saya bekerja di toko buku, dan sering membawakan
buku komik, novel, koran, serta majalah terbaru untuk saya. Dunia bacaan adalah
dunia yang telah akrab di mata saya, sejak saya kecil.
Sewaktu
SMU, saya tinggal di asrama. Di waktu-waktu kosong, karena tidak banyak
hiburan, saya mulai membaca buku yang tebal-tebal. Akhirnya, kegiatan membaca
pun menjadi suatu kebutuhan yang amat penting untuk saya. Saya seolah tidak
bisa hidup, tanpa membaca.
Sewaktu
kuliah, saya diminta banyak menulis paper ilmiah. Saya pun mulai belajar
menulis, dan menyukai kegiatan itu. Di sisi lain, saya juga banyak ikut
kelompok diskusi di kampus. Kegiatan itu merangsang saya untuk berani
berpendapat, berargumen, dan mendengarkan pemikiran orang lain.
Dari
sudut pandang teori Bourdieu tentang habitus, saya sudah memiliki habitus yang
tepat untuk menjadi seorang pendidik, yakni habitus membaca, menulis, dan
berdiskusi. Habitus yang sama memungkinkan sama saya untuk lulus kuliah dengan
nilai yang lumayan baik, sehingga saya bisa menjadi pendidik nantinya. Habitus
tersebut saya peroleh dari penghayatan nilai-nilai yang ada di lingkungan saya,
yang kemudian mengendap menjadi cara berpikir dan pola perilaku yang saya
hayati sebagai manusia.
Kapital
Kapital
adalah modal yang memungkinkan kita untuk mendapatkan kesempatan-kesempatan di
dalam hidup. Ada banyak jenis kapital, seperti kapital intelektual
(pendidikan), kapital ekonomi (uang), dan kapital budaya (latar belakang dan
jaringan). Kapital bisa diperoleh, jika orang memiliki habitus yang tepat dalam
hidupnya.
Habitus
membaca, menulis, dan berdiskusi akan menghasilkan kapital intelektual dan
kapital budaya. Sementara, sikap rajin bekerja dan banyak jaringan bisnis akan
menghasilkan kapital ekonomi. Kapital bukanlah sesuatu yang mati, melainkan
hidup dan bisa diubah.
Karena
memiliki kapital intelektual (pendidikan), orang bisa bekerja sebagai pendidik,
dan memiliki uang (kapital ekonomi) untuk hidup. Kapital intelektual juga bisa
diubah menjadi kapital budaya (jaringan yang banyak), sehingga bisa memperkaya
kapital intelektual itu sendiri. Kapital ekonomi juga bisa diubah, misalnya
dengan investasi, sehingga menghasilkan kapital ekonomi dan kapital budaya yang
lebih besar.
Arena
Arena
adalah ruang khusus yang ada di dalam masyarakat. Ada beragam arena, seperti
arena pendidikan, arena bisnis, arena seniman, dan arena politik. Jika orang
ingin berhasil di suatu arena, maka ia perlu untuk mempunyai habitus dan
kapital yang tepat.
Misalnya
di dalam arena pendidikan, jika ingin berhasil, orang perlu memiliki habitus
pendidikan (belajar, menulis, berdiskusi, membaca) dan kapital intelektual
(pendidikan dan penelitian) yang tepat. Jika ia tidak memiliki habitus dan
kapital yang tepat untuk dunia pendidikan, maka ia tidak akan berhasil di dalam
arena pendidikan.
Hal
yang sama berlaku di dalam arena bisnis. Jika orang ingin berhasil dalam
bisnis, maka ia harus memiliki habitus yang tepat (ulet bekerja dan hemat)
serta kapital bisnis (uang sebagai modal usaha) maupun kapital budaya (jaringan
kenalan yang luas) yang tepat. Jika orang memiliki habitus dan kapital seorang
pendidik, dan ia terjun ke dalam dunia bisnis, maka kemungkinan besar, ia tak
akan berhasil.
Dengan
demikian, konsep habitus, kapital, dan arena terkait amat erat. Untuk bisa
berhasil dalam salah satu arena dalam hidup, orang perlu mempunyai habitus dan
kapital yang tepat untuk arena itu. Jika ia tidak memiliki habitus dan kapital
yang tepat untuk satu arena, maka ia, kemungkinan besar, akan gagal dalam arena
yang telah ia pilih tersebut.
Pendidikan
Bourdieu
juga banyak berbicara tentang pendidikan. Baginya, pendidikan adalah suatu
proses penciptaan ulang dominasi sosial yang telah ada sebelumnya. Pendidikan
menutup pintu bagi orang-orang yang tidak memiliki habitus maupun kapital
sebagai seorang pembelajar. Dan orang-orang yang ditolak ini adalah umumnya
kelas ekonomi bawah yang memang tidak memiliki habitus maupun kapital untuk
belajar secara akademik.
Dengan
demikian, pendidikan, pada hakekatnya, bersifat diskriminatif. Secara tidak
langsung, pendidikan menindas orang-orang yang memang sejak awal sudah “kalah”,
baik secara ekonomi, maupun secara habitus belajar. Secara mekanis, nyaris
otomatis, pendidikan melestarikan kesenjangan sosial antara si kaya dan si
miskin, antara si “pintar” (memiliki habitus dan kapital intelektual), dan si
“bodoh” (tidak memiliki habitus maupun kapital intelektual).
Pendidikan,
dengan demikian, menutupi sekaligus melestarikan ketidakadilan serta
kesenjangan sosial yang telah berlangsung lama di masyarakat. Argumen ini
diperoleh Bourdieu dari analisis terhadap data-data mahasiswa yang memasuki
fakultas-fakultas tenar di Prancis. Jika anda berasal dari keluarga yang cukup
kaya, dan memiliki habitus membaca, menulis, dan berdiskusi sejak kecil, maka
kemungkinan besar (tidak mutlak), anda akan belajar di fakultas-fakultas tenar
di perguruan tinggi-perguruan tinggi ternama di negara anda.
Tentang
pendidikan moral, Bourdieu berpendapat, bahwa yang terpenting bukanlah apa yang
ternyatakan (eksplisit) dalam ajaran maupun aturan moral, melainkan apa yang
tak ternyatakan (implisti), yang hanya dapat dilihat dalam perilaku
sehari-hari. Singkat kata, baginya, dalam konteks pendidikan moral, yang
terpenting adalah teladan, dan bukan perintah moral yang keluar dari mulut.
Maka
itu, sarana pengajaran moral yang paling baik bukanlah ajaran moralitas agama
yang penuh dengan pengharusan dan larangan, melainkan melalui sastra. Di dalam
karya sastra, orang secara bebas memilih, tokoh apa yang menjadi favoritnya.
Tokoh tersebut pasti memiliki kualitas kepribadian yang khas, sehingga orang
menyukainya. Ada kebebasan di dalam memilih teladan.
Sementara,
dalam ajaran-ajaran agama, yang banyak terdengar adalah keharusan dan larangan.
Di dalam pola semacam itu, tidak ada kebebasan. Yang ada adalah paksaan, atau
dominasi. Dan dimana terdapat dominasi, selalu ada perlawanan. Itulah sebabnya,
mengapa ajaran agama tidak bisa menjadi alat yang efektif untuk melakukan
pendidikan moral.
Pembedaan
Bourdieu
juga merumuskan konsep pembedaan (distinction). Secara singkat,
pembedaan berarti tindakan membedakan diri yang dilakukan oleh seseorang untuk
menunjukkan kelasnya dalam masyarakat. Biasanya, pembedaan dilakukan oleh kelas
menengah ekonomi ke atas untuk menunjukkan statusnya yang khas dibandingkan
dengan kelas ekonomi yang lebih rendah.
Contohnya
beragam. Misalnya, orang yang berasal dari kelas ekonomi menengah ke atas akan
menggunakan pakaian ataupun mobil dengan merk yang khusus, yang harganya jauh
lebih tinggi dari apa yang bisa dicapai oleh kelas ekonomi yang lebih rendah.
Proses penempatan diri ini merupakan ciri khas kelas ekonomi menengah ke atas
yang ingin mendapatkan pengakuan dari kelas ekonomi yang lebih rendah.
Dalam
konteks pendidikan, lulusan perguruan tinggi luar negeri biasanya melakukan
pembedaan terhadap lulusan perguruan tinggi dalam negeri. Mereka merasa
“berbeda”, jika mampu membaca, menulis, ataupun berbicara dalam bahasa asing,
sesuatu yang tidak dimiliki oleh mereka yang lulus dari perguruan tinggi dalam
negerti. Inilah permainan distinction dalam konteks pendidikan.
Kelas
ekonomi menengah ke bawah juga melakukan hal yang sama. Namun, bagi Bourdieu,
tindakan tersebut bukanlah merupakan pembedaan, melainkan suatu bentuk
perlawanan. Jadi, jika datang dari atas, pengambilan posisi untuk mendapatkan
pengakuan disebut sebagai distinction. Dan jika datang dari kelas
ekonomi menengah ke bawah, misalnya dengan menggunakan pakaian-pakaian anti
kemapanan, atau justru tertarik membaca buku dalam bahasa-bahasa Sanksekerta
kuno, maka itu disebut sebagai perlawanan (resistance).
Status Bahasa
Bourdieu
juga banyak menulis soal bahasa. Baginya, bahasa bukanlah alat komunikasi yang
bersifat netral, tanpa kepentingan. Pandangan semacam itu amat naif, jika tidak
mau dikatakan sebagai picik.
Sebaliknya,
bagi Bourdieu, bahasa adalah simbol kekuasaan. Di dalam bahasa tersembunyi
dominasi simbolik serta struktur kekuasaan yang ada di dalam masyarakat. Tata
bahasa yang digunakan oleh seseorang mencerminkan kelas sosial ekonominya di
masyarakat. Dalam arti ini, sebagai sebuah simbol, bahasa adalah suatu “teks”
yang perlu untuk terus dipahami secara kritis.
Ilmu
pengetahuan modern memiliki cita-cita untuk menjadi jalan utama manusia sampai
pada kebenaran. Para ilmuwan modern yakin, bahwa bahasa ilmu pengetahuan adalah
bahasa obyektif yang terbebaskan dari prasangka maupun kekuasaan itu sendiri.
Ilmu pengetahuan adalah jalan netral dan bebas hambatan untuk sampai pada
kebenaran.
Bagi
Bourdieu, pandangan semacam ini amatlah picik. Dengan mengira bahwa bahasa yang
ia gunakan adalah netral, maka para ilmuwan secara sadar menyembunyikan
kepentingan-kepentingan dan pengaruh kekuasaan yang terkandung dalam bahasa
itu. Ini berarti mereka melakukan penipuan pada masyarakat. Jika tidak sadar
akan hal ini, maka mereka menjadi boneka dari “kekuasaan simbolik” yang tengah
berlangsung di masyarakat.
Orang
yang berasal dari tingkat pendidikan tertentu memilih menggunakan bahasa yang
lebih formal, daripada mereka yang lebih rendah tingkat pendidikannya. Di
masyarakat-masyarakat tertentu, orang yang berasal dari kelas sosial yang lebih
tinggi menggunakan bahasa yang berbeda dengan orang lainnya yang berasal dari
kelas sosial yang lebih rendah.
Dominasi Simbolik
Dominasi
simbolik adalah penindasan dengan menggunakan simbol-simbol. Penindasan ini
tidak dirasakan sebagai penindasan, tetapi sebagai sesuatu yang secara normal
perlu dilakukan. Artinya, penindasan tersebut telah mendapatkan persetujuan
dari pihak yang ditindas itu sendiri.
Misalnya,
guru yang otoriter di kelas, namun tidak mendapatkan perlawanan apapun dari
muridnya, karena muridnya telah menyetujui “penindasan” yang dilakukan oleh
gurunya. Atau seorang istri yang tidak dapat membela diri, walaupun telah
dirugikan oleh suaminya, karena ia, secara tidak sadar, telah menerima
statusnya sebagai yang tertindas oleh suaminya.
Konsep
dominasi simbolik (penindasan simbolik) juga dapat dengan mudah dilihat dalam
konsep sensor panopticon. Sensor panopticon adalah konsep yang menjelaskan
mekanisme kekuasaan yang tetap dirasakan oleh orang-orang yang dikuasai,
walaupun sang penguasa tidak lagi mencurahkan perhatiannya untuk melakukan
kontrol kekuasaan secara nyata.
Misalnya,
di dalam penjara, ada menara penjaga yang berdiri di tengah berbagai unit-unit
tempat tinggal narapidana. Menara penjaga itu menjadi simbol kontrol yang
bersifat permanen terhadap narapidana, walaupun tidak ada penjaga yang sungguh
menjaga di dalam menara tersebut. Sensor dan kontrol tetap terasa, walaupun
sang penjaga dan penguasa tidak lagi secara nyata melakukan sensor dan kontrol.
Dalam
konteks Indonesia, mekanisme kekuasaan Orde Baru adalah contoh yang paling
jelas. Kekuasaan Suharto pada masa itu (Orde Baru: 1966-1998) terasa sampai ke
berbagai pelosok Indonesia, walaupun ia tidak secara fisik hadir untuk
memastikan kekuasaannya. Bahkan sampai sekarang, ada beberapa kelompok
masyarakat yang mengakui legitimasi kekuasaan Orde Baru, walaupun eranya telah
lama berlalu.
Mekanisme
dominasi simbolik nantinya memuncak pada pemikiran Bourdieu tentang doxa.
Secara singkat, doxa adalah pandangan penguasa yang dianggap sebagai pandangan
seluruh masyarakat. Masyarakat tidak lagi memiliki sikap kritis pada pandangan
penguasa. Pandangan penguasa itu biasanya bersifat sloganistik, sederhana,
populer, dan amat mudah dicerna oleh rakyat banyak, walaupun secara konseptual,
pandangan tersebut mengandung banyak kesesatan.
Misalnya,
banyak penguasa otoriter di dunia ini beranggapan, bahwa pandangan mereka
mewakili pandangan rakyat, maka mereka harus dipatuhi. Biasanya, mereka
menggunakan slogan-slogan populis semacam ini, “Musuh Pemerintah=Musuk
Rakyat!”, “Pemerintah hadir untuk membawa kemakmuran untuk Rakyat!”, dan
beragam slogan-slogan lainnya.
Doxa
menunjukkan, bagaimana penguasa bisa meraih, mempertahankan, dan mengembangkan
kekuasaannya dengan mempermainkan simbol yang berhasil memasuki pikiran yang
dikuasai, sehingga mereka kehilangan sikap kritisnya pada penguasa. Pihak yang
dikuasai melihat dirnya sama dengan penguasa. Mereka ditindas, tetapi tidak pernah
merasa sungguh ditindas, karena mereka hidup dalam doxa.
Doxa
juga berlaku di dalam ranah ilmu pengetahuan. Paradigma positivisme kontemporer
(realitas dilihat sebagai sesuatu yang bisa diukur dan dihitung, seperti
menghitung “uang belanjaan”) dan empirisme dogmatis (terjebak hanya pada apa
yang dapat dilihat oleh panca indera) menjadi pandangan penguasa (komunitas
ilmiah) yang dianggap sebagai pandangan seluruh ilmuwan (yang dikuasai).
Banyak
ilmuwan modern terjebak pada doxa penguasa di bidang penelitiannya. Mereka
menerima begitu saja pandangan penguasa sebagai pandangannya. Mereka kehilangan
sikap kritis. Pada akhirnya, mereka hanya mengabdi pada kepentingan penguasa,
dan kehilangan sentuhan dengan kebutuhan manusia yang nyata di dunia.
Perubahan Sosial dan Kebebasan
Bourdieu
juga berbicara soal perubahan sosial. Menurutnya, perubahan sosial bisa
dilakukan, jika orang memiliki habitus, kapital, dan mampu menempatkan keduanya
dalam konteks yang tepat di suatu arena. Prinsip ini berlaku untuk semua arena,
mulai dari arena pendidikan, arena budaya, dan sebagainya.
Misalnya,
anda ingin membuat perubahan sosial di dalam arena politik. Hal pertama yang
anda lakukan adalah mendapatkan habitus yang tepat sebagai seorang politikus
(mampu mendapatkan dukungan, mampu memperluas dan mempertahankan jaringan,
mampu bernegosiasi, tingkat pendidikan yang sesuai). Habitus tersebut akan
menghasilkan kapital yang tepat (kapital budaya, kapital intelektual, kapital ekonomi)
yang akan membuat anda memiliki posisi yang bagus untuk membuat perubahan
sosial di arena politik.
Namun,
itu semua belum cukup. Anda harus bisa menempatkan diri anda (positioning)
dalam arena politik yang terkait. Jaringan luas dan kepintaran akademik bisa
menjadi bumerang yang menghancurkan karir politik anda, jika anda tidak bisa
menempatkan diri secara tepat pada arena politik yang ada. Kemampuan
menempatkan diri ini misalnya mampu berbicara dengan tema yang tepat, nada yang
tepat, pada orang yang tepat, dan pada waktu yang tepat. Pada hemat saya, ini
adalah bagian dari kapital intelektual yang amat diperlukan untuk berhasil
membuat perubahan sosial dalam satu arena tertentu.
Perubahan
sosial hanya mungkin, jika manusia bukan merupakan “budak” dari sistem sosial
yang mengitarinya. Dengan kata lain, perubahan sosial hanya mungkin, jika ada
kebebasan. Sejauh saya pahami, Bourdieu tidak berbicara spesifik tentang
kebebasan. Namun, kita bisa menafsirkan arti kebebasan yang tersembunyi di
balik tulisan-tulisannya.
Bagi
Bourdieu, kebebasan adalah suatu bentuk improvisasi yang menghasilkan variasi.
Artinya, kebebasan adalah perubahan, atau faktor X, yang membuat seluruh konsep
habitus, kapital, arena, dan doxa menjadi relatif; tidak mutlak. Dalam arti
ini, manusia bukan hanya merupakan produk dari sistem-sistem yang mengitarinya,
melainkan mahluk yang mampu membuat improvisasi, dan, dengan demikian, membuat
perubahan sosial.
Pada
hemat saya, ketika mencoba memahami pemikiran Bourdieu, ada satu poin penting
yang penting untuk kita renungkan bersama; bahwa ilmu pengetahuan sosial dan
filsafat harus mampu mengangkat dan menganalisis berbagai situasi di masyarakat
yang menciptakan ketidakadilan dan penindasan sosial. Ia menyebutnya sebagai
sosiologi reflektif dan sosiologi kritis.
Dikutip dari Mangihut Siregar,
Universitas Udayana dalam Jurnal Studi Kultural, “Teori Gado-Gado Pierre-Felix
Bourdieu”; Reza A.A. Wattimena dalam rumahfilsafat.com
Agar pembaca dapat mengulas lebih
dalam pembahasan di atas, maka kami lampirkan versi luring (offline) pdf Teori
Praktis Pierre Bourdie dan derivasinya di bawah ini.
0 komentar:
Posting Komentar