 |
Sumber gambar: geotimes.co.id |
Organisasi Nahdlatul Ulama (NU) dikenal memiliki sikap yang lentur dan
fleksibel jika bersentuhan dengan budaya dan politik, namun tegas jika
berhubungan dengan nasib negara dan bangsa. Umari menyebut,
kelenturan itu menjadi vital lantaran karena menerapkan prinsip-prinsip sunnah
di dalam kehidupan masyarakat dan konteks bernegara
di Indonesia. Sebagaimana
Rasul memperkenalkan Islam dan mempraktikkannya secara gradual dan sesuai dengan si penerimanya dalam
konteks kulturnya. Dalam budaya dan apalagi politik, NU tidak mengenal kalimat menghalalkan cara untuk mencapai
tujuan (al- ghoyah tubirrir
al-washilah). Bagi NU, politik sebagai alat,
bukan tujuan. Oleh karena
itu, kedekatan mereka terhadap politik di dalam tubuh NU bervariasi. Berbeda
dengan tokoh-tokoh struktural NU, para kiai kultural NU di akar rumput lebih
berkonsentrasi melakukan Islamisasi di seluruh
pelosok tanah air sambil merajut
harmoni di kalangan ummat. NU tidak sampai disebut Hadiz
sebagai Islam politik dalam bukunya Political Islam
in post Authorian Indonesia yang kemudian memiliki
wajah Islam populis dalam
Islamic populism in Indonesia and
The Middle East, namun tindakan elit struktural
NU tidak terhindarkan menjadi sangat politis dan patriotik sekaligus. Dalam
urusan dengan nasib bangsa dan masa depan negara, elit NU berperan aktif
seakan tidak ingin terisolasi dari kehidupan politik, juga tidak hendak menjadi
marginal dalam kehidupan bangsa.
Berdasarkan jumlah anggota
NU yang sampai puluhan juta, kerap mengemuka artikulasi elit NU bahwa NU
adalah pemimpin ummat Islam di Indonesia. Sebagaimana akan dibahas
nanti, sikap politik dan patriotik elit NU telah terasah sepanjang
sejarah, bahkan sebelum Indonesia merdeka. Kombinasi cair sikap politik dan
patriotik NU ini barangkali menjadi tipikal NU, terutama – meminjam istilah
Syafii Maarif – dalam upaya membingkai peradaban.
Muktamar ke-33 NU di Jombang, Jawa Timur, 1-5 Juli 2015
mengusung Islam Nusantara sebagai tema utama dapat dibaca sebagai upaya membingkai peradaban itu. Islam Nusantara dijadikan flagship sebagai
cara para kiai yang menjadi elit
NU untuk turut aktif sebagai bagian dari komponen penentu dalam proses
membangun negara-bangsa Indonesia dalam konteks modern
demi tetap menjamin bahwa posisi ortodoksi bukan hanya
mendapat tempat yang semestinya, namun juga memiliki peran yang
sepatutnya. Peran sebagai
penjaga ortodoksi ini
tidak dadakan, tetapi merupakan sejarah panjang, terekam dalam berbagai
macam literatur di nusantara, yang
penuh variasi, transformasi, dan makna.
Penjaga ortodoksi Islam ini bukan hanya NU, tetapi juga berbagai organisasi
sosial keagamaan moderat lain seperti Muhammadiyah, Matlaul Anwar, Persatuan
Ummat Islam, Sarekat Islam, Al-Irsyad, Nahdhatul Watan, Persatuan Tarbiyah Islamiyah
(Perti), Jam’iyyah Al- Washliyah, dan lain-lain. Organisasi sosial keagamaan di
atas berdiri sebagai respons masalah-masalah kemasyarakatan, keummatan, dan kebangsaan. Pemikiran keagamaan para ulama yang berhimpun di dalam berbagai organisasi sosial keagamaan
di atas yang dipercaya sebagai landasan bersama membangun bangsa yang plural,
oleh agama, etnis, budaya, bahasa, dan adat istiadat. Untuk memastikan perannya
efektif dan koordinatif – menetes dengan sempurna dari pengurus pusat ke pimpinan daerah-daerah, juga aspirasi
dari bawah ke atas, baik NU maupun
organisasi sosial keagamaan lain memiliki struktur organisasi hingga ke desa-desa untuk membawa visi misinya. Dengan
kemampuan mengelola organisasi sosial–keagamaan seperti
ini, maka pemikiran dan praktik
keagamaan dapat dikonsolidasi.
Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, berbagai organisasi sosial
keagamaan di atas memberi
kesempatan dan dorongan kepada negara dan struktur pemerintahan untuk
bekerja mewujudkan cita-citanya. Antara struktur
birokrasi negara dengan struktur organisasi NU
mengambil bentuk dan tipikal
yang sama, dan berbagi
peran dalam pembangunan
bangsa. Jauh sebelum Indonesia
merdeka, NU berperan
menyediakan sumber daya
manusia dan pemikiran bagi negara, sementara negara menikmati dukungan politik, kultural, dan pemikiran dari organisasi- organisasi tersebut. Lembaga kesehatan yang berbagi
peran dengan rumah sakit
pemerintah dan
lembaga-lembaga pendidikan, dasar hingga
perguruan tinggi, memberikan sumbangan yang luar biasa kepada bangsa,
baik dari segi jumlahnya maupun dari segi mutunya. Kemerdekaan Indonesia
merupakan buah dan hasil perjuangan NU dan organsiasi lain, dan pada saat
Indonesia pasca-merdeka mulai membangun bangsa
maka puluhan ribu sekolah/madrasah dan pesantren
yang tersebar di berbagai
wilayah nusantara menjadi modal yang luar biasa sebagai sumber
pembangunan bangsa. NU ikut menanam pohon di taman dalam wadah keindonesiaan dan
buah lebat yang
muncul darinya
tidak saja dinikmati
oleh NU tetapi juga oleh seluruh bangsa Indonesia.
Dalam konteks NU, organisasi ini menanam dalam
konteks kebangsaan, salah satu terutama, ketika
itu para pemuda dari institusi pesantren yang tentu saja sangat dekat
dengan para kiai membentuk
lasykar yang dikenal dengan Syubbanul Wathon pada 1924. Perkumpulan ini dibentuk, tulis Anam:
“…pada saat para pemuda dari daerah lain membentuk Jong Java, Jong Sumatra,
Jong Ambon, Jong Celebes, Pemuda Betawi, dan sejenisnya yang bersifat
kedaerahan, pemuda-pemuda pesantren yang berkumpul di Surabaya ini mendirikan
perkumpulan muda yang berbeda dengan yang lain. Mereka menyebut diri Syubbanul
Wathon, Pemuda
Tanah Air. Kelak setelah NU berdiri
organisasi para pemuda pesantren ini berganti
nama menjadi Ansor Nahdlatoel Oelama (ANO) dan menyatu dalam pasukan
non regular Hizbullah di bawah komando para kiai
berada di garda depan perjuangan merebut kembali kemerdekaan Republik Indonesia”.6
Lebih lanjut Anam menulis:
“Mbah Hasyim langsung
memanggil Kiai Wahab Chasbullah, Kiai Bisri Syamsuri dan para kiai lainnya lainnya
untuk mengumpulkan para kiai
se-Jawa dan Madura atau utusan cabang NU-nya untuk berkumpul di Surabaya,
tepatnya di kantor PB Ansor Nahdlatoel Oelama (ANO) di Jl. Bubutan VI/2. Namun
pada 21 Oktober para kiai baru dapat berkumpul semua. Mbah Hasyim meminta para
kiai lainnya menunggu beberapa kiai terkemuka yang datang dari Jawa Barat
seperti Kiai Abbas Buntet, Kiai Satori Arjawinangun, Kiai Amin Babagan Ciwaringin, dan Kiai Suja’i
Indramayu. Waktu itu perjalanan ke Surabaya mengandalkan jasa kereta api
yang masih sangat sederhana. Setelah semua kiai berkumpul, segera diadakan
rapat darurat yang dipimpin oleh Kiai Wahab Chasbullah. Pada 23 Oktober Mbah Hasyim
atas nama HB. (Pengurus Besar) organisasi NU mendeklarasikan sebuah seruan jihad
fi sabilillah yang
belakangan terkenal dengan istilah Resolusi Jihad”.
Resolusi Jihad yang digagas Kiai Hasyim Asy'ari bersama para ulama NU itu disebut El-Guyanie sebagai resolusi
jihad paling syar’i. Dilihat dari tokoh-tokoh pengusungnya, di mana berlangsung dan konteks
sosial-sejarahnya, resolusi jihad atau jihad fi sabilillah itu merupakan
artikulasi sekaligus implementasi pemikiran keagamaan dalam gerakan dalam
konteks keindonesiaan. Kiprah K.H. Hasyim Asy’ari yang lebih monumental sesungguhnya adalah
peranannya dalam kebangkitan Islam di Indonesia, terutama –
tulis Misrawi - dalam pemikirannya dalam
mengedepankan sikap moderasi, peduli
dengan masalah-masalah
keummatan dan pandangan kebangsaan. Apa yang dilakukan Kiai Hasyim Asy’ari segaris dengan para ulama yang oleh Anam dikategorikan
sebagai perintis
tradisi seperti Syeikh Yusuf al-Makassari, Syeikh Arsyad
al-Banjari, Syeikh Ahmad Khatib Sambas, Syaikh Nawawi al-Bantani, dan Kiai Saleh Darat;
sebagai pejuang
melawan kolonial
seperti – di samping
peristiwa 10 Nopember
1945 di Surabaya,
juga tokoh seperti Kiai Wahab
Hasbullah, K.H. Anwar Musaddad, K.H. Abdul Halim Leumunding, dan lain-lain; sebagai
penjaga Aswaja seperti K.H. A Muhaimin bin Abdul Aziz Lasem, Kiai Bisri
Syansuri hingga K.H. Ishomuddin Hadzik; dan sebagai pengawal
bangsa seperti K.H. Hasan Gipo, K.H. Wahid Hasyim, K.H. Abdullah Ubaid, dan lain-lain.
Telah dikenal luas oleh publik nasional
dan internasional, bahwa peranan Kiai Hasyim dan para ulama-kiai di atas bukan
hanya melalui sosial
budaya tetapi melakukan konsolidasi Islam Indonesia juga melalui
organisasi keagamaan. Di samping melakukan
konsolidasi melalui NU, Majelis A’la Indonesia (MAI), dan Masyumi, konsolidasi juga melalui pendirian lembaga
pendidikan Islam dan pembinaan
persatuan bangsa. Didirikannya Pesantren Tebuireng Jombang, Jawa Timur adalah dalam
konteks upaya peningkatan literasi agama
Islam dan usaha
penciptaan kader Islam dengan
pemahaman agama yang
tinggi dan cara
pandang yang baik tentang
Islam dalam konteks
bangsa yang lebih luas.
Meski Feillard, dalam NU vis a vis Negara
menulis bahwa NU pada era Gus Dur – sebutan K.H. Abdurrahman Wahid – pernah renggang
dengan negara, sehingga ditulis Nakamura sebagai “krisis kepemimpinan NU dan
pencarian indentitas, dan untuk itu NU disebut
kerap berada di dalam dilema, apalagi di tengah badai
pragmatisme politik, namun menurut Feillard, NU sesungguhnya sedang berada dalam proses pencarian isi bentuk,
dan makna. Sebagai organisasi sosial
keagamaan terbesar, pola hubungan
mesra–merenggang NU disebut Karim
sebagai bagian metamorfosis NU dan proses politisasi Islam di Indonesia. Dalam tulisan lain Feillard menyebut,
“hubungan NU dan negara sejatinya dipenuhi dengan
fleksibilitas, legitimasi dan pembaharuan”. Sepanjang
sejarahnya, Martin menulis, dinamika NU diupayakan untuk terus
membangun tradisi dalam menjalin relasi-relasi
kuasa dan proses pencarian wacana baru.
Melalui cara baca perspektif ini, Islam Nusantara
merupakan konsolidasi cara pandang pemikiran arus
tengah demi merawat kultur dan melindungi tanaman yang telah dirawat selama ini. Ini
juga sekaligus mempertegas warna dan posisi corak Islam yang dianggap compatible dengan cara negara menjalin relasi dan
interaksi dengan ummat Islam di NU. Fondasi
bernegara seperti Pancasila, UUD 1945,
NKRI, Bhineka Tunggal Ika, dan lain-lain
dianggap merupakan penerjemahan Islam dalam konteks keindonesiaan,
kemodernan, dalam nuansa ahl al-sunnah wa al-jama’ah. Tokoh NU yang sangat gigih
dan menonjol perannya dalam membela isu fondamen negara
adalah K.H. Achmad Siddiq, bahkan merupakan ruh pemikirannya. Oleh karena itu, Islam Indonesia adalah Islam
yang berbeda dengan Islam Yaman, Islam Saudi Arabia, Islam Iran,
Islam Irak, Islam Afghanistan Islam di Eropa, Islam di Malaysia, Islam di Brunei Darusalam, dalam konteks
budaya, orientasi pemikiran, dan varian artikulasinya.
Abdullah memberi penjelasan menarik tentang hal ini. Islam datang ke Nusantara di mana masyarakat Nusantara telah
memiliki alas dalam kanvas kehidupannya, yaitu budaya berketuhanan yang selalu ada di dalam masyarakat primitif sekalipun, dan pengaruh India. Islam di Nusantara sejak era pertama Islam awal,
sampai ke Nusantara tidak saja hadir langsung dari Timur Tengah dalam bentuk “murninya”, tetapi ia sudah
berinteraksi dengan budaya Arab sendiri, lalu kemudian
berinteraksi dengan budaya non Arab lain seperti
Persia, India, dan China. Kenyataan
ini yang memperkaya pemikiran
keagamaan di Nusantara –
terutama aqidah, syari’ah dan tasawuf – dengan
warna Islam yang dominan, lalu terbawa
serta budaya Arab, Persia, India, dan China.
Tentu saja, Islam Indonesia memiliki hubungan yang kuat dengan Islam Timur Tengah, terutama Arab Saudi dan Mesir. Dengan menempel pada berbagai jalur
dan rute perdagangan, Islam Nusantara berhubungan dengan berbagai wilayah lain non
Saudi Arabia dan Mesir, seperti
Persia, India, dan belakangan Turki. Islam dalam konteks Nusantara adalah persentuhan
antara Islam dari Arab Saudi, Mesir dan berbagai wilayah yang disebut
di atas itu dengan beragam
budaya dalam lingkup
keindonesiaan sehingga relasi antara Islam sebagai doktrin agama dengan negara
tidak menimbulkan kegaduhan, penghayatan kultural tidak mengalami keterasingan. Transmisi Islam ke dalam nusantara
diklaim menganut pada prinsip-prinsip tasamuh, tawazun, tawasuth, dan i’tidal. Adaptasi Islam sebagai agama dalam negara
tidak memicu pergolakan dan pertentangan antar Islam di Nusantara tetapi
juga dengan pemeluk agama lain. Islam Nusantara menjamin capaian intelektual
atas Islam ortodoksi yang terakumulasi dan teresap secara kultural dalam
institusi pendidikan Islam Nusantara: madrasah, pesantren dan perguruan tinggi
memberikan kekenyalan pada ummat Islam dengan memegangi pada versi Islam ramah, kritis,
selektif secara kolektif (jama’i)
terutama dalam menghadapi krisis yang dibawa serta oleh teknologi informasi
oleh dunia modern. Respons yang diharapkan muncul oleh ummat Islam Indonesia
melalui payung Islam Nusantara tidaklah akan menampilkan Islam di Nusantara
seperti corak Islam di Pakistan, Islam di India, Islam di Arab Saudi, meski doktrin ajaran
sama dan sebangun dengan Islam di mana pun di dunia ini.
Merawat ortodoksi Islam Nusantara adalah berarti menunjukkan formula relasi,
kohesi, interaksi, dan dialog antara Islam sebagai
agama dengan ummat dalam kebudayaan dan kebangsaannya. Pola hubungan
antara Islam Nusantara oleh NU demikian juga Islam Berkemajuan oleh Muhammadiyah dengan negara adalah pola
yang harmonis komplementer. NU
dan Muhammadiyah tidak akan mendorong
struktur organisasinya merapat dan
menempel pada negara, menjadi tiang penyangga,
demikian juga tidak akan membiarkan kekuatan negara dan partai politik memasuki
bilik-bilik utama dua organisasi Islam ini. Negara merawat dua organisasi Islam
moderat ini, sementara kedua organisasi di atas juga membantu negara melalui
kiprah dan perannya sebagai organisasi sosial pendidikan keagamaan. Relasi
negara dengan organisasi sosial keagamaan NU dan Muhammadiyah berada pada
hubungan dengan titik imbang tertentu yang saling jaga, sehingga antara negara
dan organisasi sosial keagamaan tidak saling memakan
peran dan fungsinya. Dalam hubungan dengan negara, NU cenderung lebih artikulatif, decisive, dan atraktif, sementara Muhammadiyah lebih sibuk menempati garis netral,
mengedepankan kosmopolitanisme dan membangun negara dengan mengelola amal usahanya.
Dalam menggerakkan roda pembangunan, negara tidak
akan mengundang NU dan organisasi lain sebagai
representasi Islam moderat namun kemudian menjadi bergesekan peran dengan negara. Yang terjadi justru, menurut Turmudi, kerap terjadi perselingkuhan
antara NU dengan penguasa. NU sebagai organisasi sosial Islam tidak bergerak menjadi radikal sebagaimana
gerakan Ikhwan al-Muslimin di Mesir. Eksperimen
penerapan Islam dalam sistem ekonomi, politik, dan sosial yang diakomodasi
negara juga tidak seperti Pakistan. Baik Mesir dan Pakistan bukan merupakan
contoh yang baik bagaimana menempatkan Islam atas negara oleh kekuatan
sosial-politik di negara itu secara damai, demokratis, dan berkesinambungan.
Dengan Islam Nusantara, dalam jangka panjang, negara di Indonesia tidak direpotkan dengan upaya mengatasi organisasi
yang dalam menggerakkan dakwah Islam
dengan cara-cara radikal, dari segi sikap ideologi maupun gerakan.
Eksperimentasi menjadikan Indonesia
sebagai negara demokrasi dengan jumlah
penduduk Muslim terbesar di dunia selama 10 tahun terakhir membuat
Islam di Indonesia melakukan transformasi
besar-besaran dan sistematis dalam alam demokrasi dan membuat ummat Islam harus menyadari bahwa
membangun bangsa harus bersama-sama
dengan komponen agama lain. Berbeda dengan negara
Muslim lain, dengan Islam Nusantara,
bisa mendampingi Islam Indonesia dari kecenderungan taksonomi gerakan
Islam yang oleh Ayubi dikategorikan sebagai reformisme atau modernisme Islam dan bisa menghindarkannya
dari gerakan salafisme, fundamentalisme, neo- fundamentalisme, Islamisme
dan Islam politik. Taksonomi di atas penting diekspose, sebab dari
tiga corak keislaman yang
memengaruhi perkembangan sejarah politik Pakistan, bukan saja ternyata gagal dalam mewujudkan apa yang dicita-citakannya namun lebih dari itu menyisakan
citra buruk bagi Islam dan
sejarahnya di kemudian hari. Pertama
adalah upaya melakukan apa yang disebut modernisme Islam oleh Ayub Khan (1958-1969). Kedua,
mengembangkan apa yang disebut
dengan sosialisme Islam oleh Zulfikar
Ali Bhutto (1971-1977). Sedangkan ketiga, menggalakkan apa yang disebut dengan Nizam al-Islam (Islamisasi negara)
oleh Zia ul-Haq (1977-1988). Penting digaris-bawahi, pada masa Zia ul- Haq, demokrasi
Pakistan terpuruk karena
tekanan kekuatan militer, partai
politik dibekukan, kemudian mengontrol surat kabar agar tidak bergerak bertentangan dengan apa
yang dianggapnya Islam. Islam Nusantara berbeda dengan di
Brunei dan Malaysia di mana mayoritas penduduk
Muslim membuat Islam dijadikan madzhab
resmi negara; tidak pula memilih konfrontasi
dengan negara seperti di Philipina dan Thailand karena penduduk Muslim minoritas di kedua negara ini.
Pemikiran ulama dalam payung Islam
Nusantara meski mengadopsi demokrasi namun dengan diskusi-diskusi kritis sehingga negara tidak akan terjebak pada neo-kolonialisme. Tanpa harus mendudukkan gerakan Islam transnasional
seperti HTI sebagai organisasi terlarang, cukup dengan menyatakan secara
terbuka tidak setuju dan tidak cocok dengan budaya nusantara, Islam Nusantara masih
dengan leluasa mendorong Islam sebagai rahmatan li al-‘alamin.
Bagaimana rahmat Islam itu dirasakan oleh manusia? Muhajir menyebut
kemaslahatan (maṣlaḥah) semakna
dengan kebaikan dan kemanfaatan. Islam tentu saja mendorong
dan mendahulukan maslahat, karena itu, dimensi kebaikan dan kemanfaatan itu diikat dengan kuat yang
bernaung di bawah lima prinsip pokok (al-kulliyat al-khamsah) ajaran
Islam terpenting: hifzh al- din, hifẓh al-ʻaql, hifẓh al-nafs, hifzh
al-mal, dan hifzh
al-ʻirḍ bagi warga Negara Indonesia.
Harus ditegaskan di sini, bahwa ulama dan atau kiai dalam konteks tulisan ini, bukan tipe ulama
seperti Syaikh Ahmad Syurkati, seorang pembaharu dan pemurni Islam di Indonesia. Dengan mengusung
tema Islam Nusantara, seakan mengingatkan kembali ummat Islam Indonesia, akan berdirinya NU. Berdirinya NU, menurut Falaah, didorong
oleh tiga latar belakang:
sebagai aksi dan artikulasi kultural NU untuk bangsa. Akulturasi dipilih sebagai
strategi untuk memperkenalkan Islam,
kemudian dilanjutkan dengan melakukan Islamisasi dengan berpijak pada budaya yang berkembang di masyarakat; merupakan wadah aktivisme yang mencerminkan dinamika
berpikir kaum muda dengan identitas sebagai ahli agama; dan – ini yang kontekstual, seperti sejarah
berulang - sebagai usaha anak muda ulama NU untuk menunjukkan keprihatinan dengan berkembangnya
artikulasi keagamaan internasional. Mengemuka
dalam artikulasi pemikiran dan gerakan pada saat itu, gerakan Wahabi yang gencar
berusaha menghilangkan apa yang mereka pandang sebagai khurafat di tanah suci.
Kiai sebagai ulama memiliki kekuatan moral dan intelektual sebagai juru bicara Islam
terhadap negara, yang karena posisi
sosialnya, untuk segenap tumpah darah bangsa Indonesia, maka negara
harus tidak beragama. Jika kiai sebagai
kekuatan Islam, maka negara akan menerimanya sebagai bagian dari elemen masyarakat yang pandangan, pendirian, pemikiran, dan peran sertanya
penting diperhatikan. Artikulasi para ulama dengan model ini bukan hal
baru terkait dengan relasi ulama dengan
penguasa. Geneologi pemikiran
dalam karya-karya keislaman ulama
Melayu Nusantara di masa lalu,
yang menggambarkan hubungan
kausal harmonis antara ulama sebagai elit Islam dengan raja sebagai pemimpin
negara, laksana “dua permata dalam satu cincin” (one diamond in one ring).
Berbeda dengan eksperimen Mesir dan Pakistan, Islam Nusantara ini meminjam
Effendy, merupakan
pembaharuan teologis Islam dengan
melakukan reinterpretasi Islam dengan pribumisasi yang digagas Gus Dur, Cak Nur,
menjembatani jurang atau jarak politik antara Islam dengan
negara, sekaligus melakukan transformasi sosial kegamaan
demi membuat keragaman makna
politik Islam. Islam Nusantara merupakan transformasi lebih lanjut dari
apa yang dipikirkan Gus Dur dengan beberapa penegasan yang maju dan distingtif.
Yakni ada keberanian untuk mulai
memikirkan mempublikasikan hasil pemikiran dan kajian Islam Nusantara untuk
mewarnai dan sekaligus memberi sumbangan pada wajah dunia yang ramah dan damai.
Dalam jika dibaca
dalam konteks teori
dominan sosial
(SDT: Social Dominant
Theory), apakah NU dengan
Islam Nusantara mentransformasikan
NU sebagai kelompok dominan dengan membangun kultur ketidak- sepadanan secara struktural akan menghasilkan
ketidaksetaraan dan akan mendorong
ketidaksetaraan hidup di antara mereka dan di antara kelompok sosial?
Dengan ketidaksetaraan yang terjaga ini akan memunculkan mekanisme psikologis yang
memiliki orientasi dominan
sosial (SDO: Social Dominant Orientation). Orientasi dominan sosial ini bergerak pada pandangan nilai yang
menempatkan manusia
pada posisi tidak setara
dan dalam konteks struktur sosial
tidak sederajat dalam pola relasi di antara kelompok sosial. Pandangan nilai tersebut antara lain berupa
penghargaan, penghormatan, pemberian gelar, dan lain-lain.
Artikulator Islam Nusantara itu adalah para ulama
dan kiai atau
sebutan lain, yang dalam konteks ini merupakan gelar yang lahir dari penghargaan
dan penghormatan dari masyarakat.
Mereka sejak sebelum Indonesia
merdeka diposisikan sebagai
elit sosial dalam konteks “group-based social hierarkies” dan karena itu baik langsung maupun
tidak langsung menempati posisi sebagai kelas dominan dalam masyarakat.
Oleh karena itu, karena berlangsung
lama, varian dan bentuk transmisi dan respons ulama-intelektual
Muslim dan ummat terhadap Islam Nusantara yang terekam
dalam karya-karya tulis para akademisi-intelektual
pada masa kontemporer yang pada
dirinya dapat dibaca
merupakan salah satu bentuk
artikulasi dan mencerminkan tendensi kuasa ulama dalam
bingkai negara.
Karena terekam di dalam karya tulis, sebaran dan diaspora
pemikiran keagamaan ulama - termasuk akademisi Muslim - di era kontemporer yang menunjukkan artikulasi dan mencerminkan
tendensi kuasa ulama dalam bingkai negara, sebagai kelompok sosial
dominan yang memiliki
orientasi dominan tertentu. Lantaran pemikiran yang memiliki ciri Islam Nusantara
itu juga hidup dalam tradisi budaya, maka ia mengembang
merajut harmoni di kalangan ummat
bawah.
Substansi dan Isi
Islam itu satu, tidak berbeda-beda. Pada level konsep dasar, Islam tetap tidak dikurangi atau ditambah
seperti dalam Islam Nusantara. Rukun Islam
dan rukun Iman tidak berubah. Dimensi teologis tidak bergeser. Ortodoksi yang hendak dijaga dalam Islam Nusantara
adalah pemikiran kalam (teologi) Asy’ariyah oleh Abu Hasan al-Asy’ari, fiqh Syafi’iyah oleh Muhammad bin Idris asy-Syafi’i, dan tasawuf Abu
Hamid al-Ghazali. Yang hendak
dieksplorasi lebih lanjut dalam Islam Nusantara bukan pada level itu, tetapi
soal bagaimana menyampaikan secara terbuka ekspresi Islam ideal itu yang di
dalam istilah Azra adalah “ranah
budaya Islam (Islamic cultural spheres) distingtif ”. Secara
kategoris, Azra kerap menyebut bahwa Islam Nusantara merupakan salah satu saja
dari delapan ranah budaya yang lahir karena pengaruh nilai-nilai Islam
di wilayah itu. Karena itu, ia tidak disebut antara
Islam dengan budaya sebagai hal yang terpisah, melainkan saling mewarnai
dengan intensitas masing-masing. Delapan ranah budaya
Islam yang disampaikan Azra
tersebut meliputi ranah budaya Arab; ranah budaya Persia atau Iran; ranah
budaya Turki; ranah budaya Anak
Benua India; ranah budaya Nusantara; ranah budaya Sino-Islamic atau Asia
Timur; ranah budaya Sudanic Africa
atau Afrika Hitam atau Afrika sub-Sahara;
dan terakhir ranah budaya Belahan Dunia Barat (Western hemisphere). Bagi Azra, di samping
Islam sebagai pemberi nilai yang dominan, masing-masing ranah budaya Islam
di atas memiliki
pewarna lain yang kemudian menjadi faktor pemersatu,
antara lain, seperti bahasa yang digunakan penduduk
di wilayah itu, budaya dan tradisi sosial
yang khas, sehingga ekspresi
dalam ranah sosial-budaya dan tekanan politiknya setelah persentuhan dengan
Islam pun berbeda-beda.
Dalam hal produktivitas karya intelektual, masing-masing ranah budaya memberi sumbangan
keilmuan berupa karya-karya tulis. Ia menjadi
rahim yang subur. Hasil pemikiran
dan kajian yang lahir di
dalam ranah budaya ini telah banyak
dipublikasikan untuk pembaca
yang lebih luas. Dalam karya Islam Nusantara: Dari Ushul Fikih Hingga Paham Kebangsaan, Sahal dan Aziz, editor buku itu, telah menunjukkan
dokumentasi berupa khazanah intelektual apa yang telah dicapai oleh kaum Muslim
Indonesia selama ini. Islam doktrinal dibedah, hingga bagaimana dialog harmonis dan respons
historis terhadap Islam doktrinal tersebut berlangsung. Tentu saja
sesungguhnya narasi yang dibangun di dalam buku ini bukan
sesuatu yang baru, tetapi sekedar membeberkan proses
Islamisasi damai dan alamiah yang terjadi di Nusantara. Dengan demikian,
bukan sesuatu yang baru. Untuk menunjukkan bahwa diskusi tentang
masalah ini bukan sesuatu yang baru, maka
penting diingatkan bahwa dalam tulisan ini dirancang dengan beberapa argumen. Pertama, jaringan dagang – di mana Islam berada
di dalamnya secara tak terpisahkan
– melalui jalur sutera telah berlangsung
lama, meski secara umum terhubung
dengan Semenanjung Malaya pada 100 SM hingga 1.300 M, namun sumber lain secara
terpisah menyebut bahwa jalur perdagangan
itu telah ada jauh sebelum abad itu.
Yang terjadi di sepanjang jalur perdagangan itu ternyata bukan semata-mata arus barang dan jasa, tetapi juga transmisi,
asimilasi dan akulturasi budaya.
Dalam konteks ini pula Islamisasi, dan pengaruh agama lain hadir
dan bekerja. Kedua, kreasi
kultural dan upaya terobosan kultural sebagai telah diupayakan oleh para ulama penyebar Islam selama
berabad-abad. Dalam menjawab pertanyaan dan kebutuhan manusia, Islam – sebagaimana disebut Gulen -
mengedepankan rahmatan li al- ‘alamin. Penyebaran Islam doktrinal di Nusantara, ditempuh secara gradual sebagai
bagian dari aktivitas perdagangan, yang kemudian terjalin pernikahan, melalui aktivitas dakwah dan pendidikan
yang mengedepankan akulturasi budaya dan dengan cara-cara damai.
Cerita Islamisasi yang paling
popular, meski tidak selalu menggambarkan secara utuh
proses Islamisasi di tempat lain Nusantara dengan melakukan Islamisasi pada
penguasa sehingga bersifat elitis-politis, di tanah Jawa dilakukan oleh para tokoh legendaris yang dikenal
dengan Wali Songo pada akhir abad ke-15 dan awal abad ke-16. Pada era dakwah Wali Songo ini, tendensi
dakwah dengan pendekatan kultural mengemuka.
Tentu saja Islam tumbuh bersemi di Nusantara lebih jauh dari abad
itu. Islam datang ke Nusantara sejak
abad ke-6 atau ke-7, namun tidak langsung mendapat sambutan
hangat dan luas dari penduduk.
Dari lima teori tentang
Islamisasi Nusantara, mulai dari teori Arab, teori Cina, teori Persia,
teori India, dan teori Turki, keseluruhannya menyebut Islam
tumbuh secara gradual. Para sarjana berpendapat, tulis Soebardi dan Woodcroft-Lee, kontak antara kaum pribumi dengan Islam dimulai sejak awal
kehidupan Nabi Muhammad saw. Namun data-data arkeologis dan data literatur menyebut belakangan. Petualang asal Maroko Ibn Batuta yang
pada 1345 singgah di Sumatera menyaksikan bahwa Islam telah dipeluk oleh
penduduk di wilayah ini. Cerita yang dapat dipercaya tentang masuknya Islam
ke wilayah Indonesia, tulis
Morgan, asal mula-mula sekali diperoleh
dari berita Marcopolo.
Diceritakan bahwa di dalam perjalanannya kembali ke Venesia pada 692
(1292 M), Marcopolo yang bekerja pada Kubilai Khan di Tiongkok, singgah
di Perlak, sebuah kota di pantai utara Sumatera. Menurut Marcopolo, pada saat
itu penduduk di Perlak telah memeluk Islam melalui para pedagang yang disebut
kaum Saracen. Para pedagang, menurut Rita, Roelofsz, Hamka, pemain utama Islamisasi di sini. Dalam waktu menunggu angin selama
lima bulan di kota Samara (Samudera) dan Basma (Pasai) yang tidak jauh dari
Perlak, Marcopolo menyaksikan wilayah itu juga telah diislamkan, meski ia
bercerita bahwa ia harus membangun benteng dari tiang pancang yang terbuat dari
kayu untuk berlindung dari orang-orang yang biadab. Dari Perlak (Aceh Timur),
Lamno (pesisir Aceh Barat) dan Samudera Pasai, Islam menyebar ke Barus, Minangkabau, Banten, Cirebon,
Demak, Jepara, Tuban, Gresik, Ampel, lalu ke Makassar,
Ternate, Tidore,
Bima dan ke seluruh
wilayah Nusantara. Sebaran Islam ini disebut Uka
kemudian memicu tumbuh kembangnya kota-kota di wilayah tersebut. Digambarkan al-Attas, juga Johns, pada kota-kota tersebut
juga tumbuh kehidupan
agama berupa gerakan dan pemikiran keagamaan yang beragam, dengan nuansa kalam, tafsir, hadist, fikih, tasawuf dan
tarekat, politik, tata bahasa dan sastra, akhlaq, pendidikan, dan lain-lain.
Pemikiran keagamaan ini dapat dilacak pada karya-karya ulama klasik nusantara. Ketiga, dimulai dari
karya intelektual ulama klasik nusantara seperti kitab Mir’at al-Thullab fî Tasyil Mawa’iz al-Badî’rifat al-Ahkâm al-Syar’iyyah
li Malik al-Wahhab (bidang fiqh, ditulis
atas permintaan Sultanah Safiyatuddin,
Aceh), kitab Tarjuman al-Mustafid
(naskah pertama Tafsir Al-Qur’an yang lengkap berbahasa Melayu),
kitab Mawa’iz al-Badî’ (naskah tentang nasehat dan hikmah dalam
pembinaan akhlak), kitab Tanbih al-Masyi
(naskah tentang bidang tasawuf yang memuat ajaran tentang martabat
tujuh), Kifayat al-Muhtajin ilâ Masyrah al-Muwahhidin al- Qâilin bi Wahdatil Wujud
(naskah tentang penjelasan lebih lanjut tentang konsep wahdatul
wujud), dan kitab Daqâiq al-Hurf karya Abdur Rauf al-Sinkili, karya
Nuruddin al-Raniri, karya Syaikh Abdus Shomad al- Palimbani, Sabil
al-Muhtadin karya Syaikh Arsyad al-Banjari; kitab Fath al-Majid, Tijn al-Darari, Kasyfatus Syaja’, al-Nahjah al-Jadidah, Dazari’at
al-Yaqin ‘Alaumm al-Barahil, ar-Risalah al-Jami’ah baina Ushuluddin
wa al- Fiqh wa al-Tasawuf, ats-Tsimar al-Yani’ah, dan Nur
al-Dhulam karya Syaikh Nawawi
al-Bantani. Di samping kitab fikihnya al-Tausyeh,
Salamut Munajah, Nihayatuz Zain, Mirqat al-Shu’ud al-Tashdiq, Uqud al-Lujjain fi Bayani Huquq al-Zaujain, Qut al-Habib al-Gharib dan
kitab-kitab tasawufnya
seperti Salalim al-Fudhala, Misbah al-Dhuln ‘ala Manhaj al-Atam fi Tabwib al-
Hukm, dan kitab tafsirnya seperti
Tafsir al-Munir
li Ma’alim al-Tanzil
yang dikenal dengan Tafsir Marah
Labid. Penting disebut juga karya-karya
ulama modern seperti Bustan al-Katibin, Muqaddimah fi Intizam Waza’if al- Malik dan Thamarat al-Mahammah karya Raja Ali Haji, dan lain-lain.
Pada zaman Indonesia kontemporer upaya Prof. Dr.
Hasbi As-Shiddiqi dan juga Nurouzaman Shiddiqi yang menggagas
fikih Indonesia; Munawwir Sjadzali mengetengahkan tentang
pemikiran politik hukum Islam;
Prof. Dr. K.H. Ibrahim Hosen
menggagas tentang pembaharuan dalam hukum Islam di Indonesia; Prof. Nurcholish
Madjid mengetengahkan Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan – yang memberi ilham bagi pengkajian Islam berbagai perguruan
tinggi Islam ternama tanah air; K.H. Abdurrahman Wahid mengedepankan
pribumisasi Islam dan K.H. Sahal Mahfudz menulis tentang
fikih sosial; Prof. Dr. H. M. Quraish Shihab memajukan gagasan tentang
pribumisasi Al-Qur’an; dan masih banyak
lagi contoh lain yang dapat dikemukakan di sini. Terlepas
corak dan varian bidang ilmu masing-masing, tokoh-tokoh di atas
mencerminkan geneologi intelektual yang distribusinya memanfaatkan jejaring guru-murid, melengkapi jejaring perkawanan, perkawinan, dan
kekeluargaan, di mana berbagai varian
jejaring itu pula yang kemudian menjadi aliran transmisi
pemikiran Islam di nusantara.
Pada akhir bab ini, penting ditekankan bahwa karena keterbatasan dalam
banyak hal, tidak dicantumkannya karya-karya di atas tidak dimaksudkan untuk menganulir atau
mengabaikan karya yang lain, namun hanya merupakan contoh untuk memperjelas
arah narasi.