![]() |
Sumber gambar: jagad.id |
Manusia
sering kali terjebak hidup dalam sebuah persoalan yang mencemaskan
eksistensinya. Sebuah keadaan di mana posisinya dihadapkan pada situasi batin
yang muram. Situasi zaman yang menguras emosi dan keberadaannya sebagai manusia
utuh. Situasi zaman yang menjebak dalam rutinitas selayaknya robot yang
mekanik. Tentu saja, hidup mekanik adalah salah satu ancaman serius manusia dan
merupakan proses dehumanisasi. Maka, melawan keadaan itu—secara alamiah,
manusia membutuhkan sesuatu yang membuatnya menjadi kuat. Dan itu, bisa
diselesaikan melalui humor. Dengan humor rasa kemanusiaannya bisa bertahan.
Viktor
Frankl (1905-1997) seorang psikiater Austria yang lolos dari Holocaust,
misalnya, menulis dalam memoarnya Man’s
Search for Meaning (1946), bagaimana humor menjadi alat untuk
bertahan manusia. Humor adalah senjata jiwa, tulisnya. Humor, lebih dari apa
pun yang mampu mengatasi situasi apa pun, meskipun hanya beberapa detik.
Dalam
karya sastra, humor menjadi alat bagi pengarang, bukan karena tak terampil
menulis secara haru biru, tetapi disadari sebagai senjata jiwa untuk memerangi
proses dehumanisasi. Kepedihan ditampilkan selayaknya sesuatu yang lucu. Maka,
Anton Chekov mengatakan puncak tragedi adalah komedi. Pada setiap kepedihan
dalam tragedi, bagi Anton Chekov, ada sesuatu yang pantas untuk ditertawakan.
Kita
pun tertawa ketika membaca karya Ziarah karya Iwan Simatupang yang aneh dan
unik. Demikian pula saat kita membaca Dataran Tortella karya John Steinbeck
atau Prajurit Swichk karya Jaroslav Hasex. Kisah-kisah di dalamnya melibatkan
semua penderitaan manusia, di mana kita pun seolah tengah bercermin dan tetawa
pada akhirnya.
Kita
juga tertawa atas tokoh Lencho dalam cerpen Surat Kepada Tuhan karya Gregorio
Lopez Y Fuentez. Petani yang lugu dan religius yang menggemparkan para karyawan
kantor pos karena menulis surat kepada Tuhan. Kita tidak saja menertawai
kepolosan Lecho, tetapi juga akan realitas sosial di sekitarnya. Kita tersenyum
ketika membaca Il Postino karya Antonio Skarmeta. Kita tertawa
terbahak-bahak saat menonton film The
God Must Be Crazy. Semua humor di dalamnya itu membuat rasa
kemanusiaan kita kembali utuh, meskipun hanya beberapa saat.
Milan
Kundera, suatu saat dalam pidato kemenangannya ketika mendapatkan penghargaan Jerusalem Prize di tahun
1985, seperti juga telah banyak dikutip penulis–dan ia mengutip pepatah Yahudi,
“ketika manusia berpikir,
maka Tuhan pun tertawa.” Ia ingin mengatakan bahwa manusia terlalu
serius dengan otak (pengetahuan) terbatas, tapi selalu mencoba mencari
kebenarannya sendiri yang tak pernah sampai untuk melawan kebenaran absolut
milik Tuhan. Upaya itu membuat Tuhan tertawa. Kita pun tertawa dengan pepatah
itu.
Demikianlah,
perilaku subversif manusia yang tegang berpikir lantas membuat manusia terjebak
dalam tragedi kemanusiaan. Ia menjadi mekanik seperti robot yang pintar namun
tak berperasaan. Rasionalisme yang terus dipaksakan menjadi sebuah kebenaran
dalam naungan hukum positivisme yang modern, sejak Descarates mengatakan “aku
berpikir, maka aku ada” (Cogito
ergo sum ) adalah kelucuan tersendiri. Karena ia toh kemudian
harus mendapatkan perlawan skeptisme dari Nietzche, misalnya, yang justru
menolak rasionalisme mutlak.
Dialektika
semacam ini terus berlangsung dan Tuhan tertawa–yang bagi Nietzshe, Tuhan telah
mati. Meskipun, maksudnya adalah “kemungkinan” yang dimatikan kaum positivisme.
Maka, Tuhan semakin terpingkal-pingkal dengan pikiran ini. Karena semua itu
membuktikan bahwa tak ada kebenaran mutlak seperti yang dipikirkan manusia
setiap zaman.
Sastra
bersama humornya pada dasarnya adalah wilayah yang meliputi dunia ambiguitas.
Karena ambigu ia tak seperti berita yang berupa paparan fakta-fakta yang terang
dalam sajian berita yang kaku. Aktualitas berita adalah faktual dan
tunggal. Tapi dalam sastra yang dibutuhkan adalah relevansi batin manusia
yang bersifat polifonik dan menghibur.
Sastra
dan humor memaparkan sebuah persoalan batin kemanusiaan yang pelik dan
sekompleks pikiran manusia itu sendiri. Ia memiliki lapisan-lapisan persoalan
batin. Ada kebenaran, ada kesalahan. Ada kesedihan, ada kebahagian. Ada
keruwetan. Maka, kemampuan menertawakan diri sendiri dalam tragedi dibutuhkan
dalam sebuah karya sastra untuk melawan dehumanisasi.
Humor
adalah persoalan kemampuan menertawakan diri sendiri. Suatu cara yang
meringankan beban batin manusia. Demi itu, humor menjadi kebutuhan yang penting
dalam keterampilan bersastra. Setidaknya bila kita anggap ini sebagai mazab
Miguel de Carventes atau Francois Rabelais jauh di abad 15. Don Quixote adalah
cara Carventes mengolok-olok sejarah dan keadaan di masa itu dengan parodi yang
humoris. Seperti pula Francoi Rabelais mengarang Gargantua dan Pantagruel yang
mengolok-olok kaum yang ia sebut sebagai agelaste yang haram tertawa. Maka,
melalui humor, bagi pengarang, baik berupa potensi ataupun remahan sejarah
adalah kebutuhan esensi dalam sebuah sastra. Setidaknya di dalam sana orang
akan mudah membayangkan sebuah makna dan mendorong empati dalam kesadaran
manusia.
Novelis,
kata Milan Kundera, tidaklah bertugas sebagai pengotbah kebenaran, melainkan menemukan
kebenaran. Artinya seorang pengarang berangkat dari kesadaran untuk
membagkitkan daya empati dan simpati atas susah payahnya kehidupan, seperti
juga kredo Jean Paul Sartre dan Albert Camus yang ditandai Rolland Barthes
sebagai sastra yang terlibat dalam persoalan kemanusiaan. Atau sastra harus
kritis terhadap persoalan manusia. Humor, dengan demikian, adalah sikap kritis,
pun kemampuan menertawakan diri sendiri menjadi ramuan yang menyembuhkan atas
persoalan dan tragedi kemanusiaan yang dirasakan.
Maka
karya sastra, sebagai makna, ia adalah dunia kontemplatif, dan humor, pada sisi
lain adalah cermin yang mengungkap dan menjadi hiburan yang melengkapi. Humor,
meringankan hidup dan membuat utuh rasa kemanusian kita Akhirnya, seperti kata
François Rabelais, seperti dikutip Milan Kundera dalam Art of the Novel, bahwa
novel diciptakan bukan dari semangat teoritis tetapi dari semangat humor.
Dengan tertawa, manusia menjadi berani, demikian Rabelais mengatakan dalam
pengantarnya di dalam bukunya Gargantua
dan Pantagruel.
Maka, jadilah humoris untuk setiap keadaan.
Dikutip
dari basabasi.co
0 komentar:
Posting Komentar