![]() |
Sumber gambar: kompasiana.com |
Siapa yang tak menikmati keindahan sekuntum
bunga? Warnanya indah. Baunya harum. Bunga kerap menjadi simbol cinta dan
keindahan yang membahagiakan hati manusia.
Namun, bunga tak datang dari langit. Ia
datang dari tanah dengan berbagai macam campuran yang ada. Jika anda ingin
bunga, maka anda harus bekerja dengan tanah, dan segala campurannya, seperti
pupuk, air dan sebagainya. Anda harus berani mengotori tangan anda.
Begitu pula dengan politik. Anda ingin
tinggal di masyarakat yang adil, damai dan makmur? Anda harus mengotori tangan
anda. Anda harus bekerja dengan berbagai sistem yang ada, beserta
tantangan-tantangan kotor yang ada di dalamnya, termasuk korupsi, radikalisme,
nepotisme, kolusi dan sebagainya.
Kritisisme Politik Indonesia
Nah, salah satu tantangan kotor yang mesti
dihadapi bersama adalah kedangkalan publik di Indonesia. Kita begitu terpesona
dengan pandangan-pandangan dangkal yang dibalut filsafat, namun tanpa isi yang
berarti. Kita begitu gampang hanyut ke dalam radikalisme agama yang merusak dan
memperbodoh bangsa. Pendek kata, kita perlu melakukan “kritisisme” terhadap
kedangkalan.
Kritisisme berkembang dari filsafat Jerman,
terutama pemikiran Kant yang mengambil bentuk kritisisme transendental. Intinya
adalah upaya untuk memahami “kondisi-kondisi kemungkinan” (Bedingungen der
Möglichkeit) dari terbentuknya pengetahuan manusia. Diterapkan di
Indonesia, kritisisme bisa menjadi alat untuk memahami akar dari kedangkalan
kita sebagai bangsa, sehingga begitu mudah terpesona dengan radikalisme dan
kebodohan dalam segala bentuknya.
Pertanyaan yang mesti dijawab kemudian
adalah, apa kondisi-kondisi yang melahirkan kedangkalan kita sebagai bangsa?
Pandangan yang ingin saya ajukan adalah, bahwa kedangkalan ini terjadi, karena
kegagalan multisistemik di Indonesia, mulai dari sistem pendidikan, penegakan
hukum sampai dengan ketahanan nasional secara umum. Ini juga bersumber dari
lemahnya pendidikan filsafat di Indonesia. Jalan keluarnya adalah dengan
perombakan multisistemik, sekaligus penguatan serta perluasan pendidikan
filsafat yang bermutu tinggi di Indonesia.
Kegagalan Multisistemik
Pertama,
mari amati sistem pendidikan di Indonesia. Yang ditekankan adalah kebudayaan
keseragaman berpikir, keseragaman berpakaian, kepatuhan semu dan kemunafikan.
Ini jelas bertentangan dengan pandangan pendidikan apapun. Bahkan, ini tidak
bisa dibilang pendidikan, melainkan cuci otak yang bermuara pada pembodohan.
Budaya berpikir kritis tidak ada. Budaya
berpikir berbeda tidak ada. Pertanyaan dianggap membangkang. Tak heran, dengan
mutu pendidikan serendah ini, kedangkalan adalah buahnya. Radikalisme dan
kebodohan dalam segala bentuknya pun tersebar begitu mudah dan luas.
Kedua,
penegakan hukum di Indonesia juga amat lemah. Sudah bukan rahasia lagi, jika
hukum di Indonesia tajam ke bawah, namun tumpul ke atas. Artinya, hukum hanya
berlaku keras kepada mereka yang miskin, minoritas dan lemah. Untuk penguasa
dan orang kaya, hukum memiliki ukuran yang berbeda.
Ketidakadilan bisa menjadi pemicu dari lahirnya
gerakan radikal. Hukum pun tak lagi diilihat sebagai institusi terhormat,
melainkan sebagai institusi korup yang melindungi kaum penguasa. Ia semakin
jauh dari keadilan yang diharapkan. Hukum yang tak adil tak bisa disebut
sebagai hukum.
Ketiga,
setiap negara memiliki sistem ketahanan nasional. Sifatnya menyentuh banyak
unsur, mulai dari militer, ketahanan bencana, sampai dengan ketahanan budaya
dan ekonomi. Indonesia pun memiliki sistem semacam itu. Namun, karena lemahnya
koordinasi dan tata kelola, ia tak berjalan dengan selayaknya.
Kegagalan multisistemik di atas menjadi
tanah subur bagi lahirnya kedangkalan bangsa. Kedangkalan lalu menjadi lahan
subur bagi radikalisme dalam segala bentuknya. Permainan kata yang tak adil
dianggap sebagai “filsafat”. Di era globalisasi sekarang ini, pengaruh-pengaruh
jelek dari dunia luar, seperti radikalisme dalam segala bentuknya, dengan
begitu mudah masuk ke Indonesia.
Beberapa Kemungkinan
Ada dua hal yang kiranya penting untuk
diperhatikan. Pertama, dengan memperkenalkan filsafat ke dalam sistem
pendidikan nasional, budaya berpikir kritis, rasional dan jernih juga akan
tercipta. Kepatuhan semu, kemunafikan dan budaya mengabdi keseragaman, yang
menghancurkan dunia pendidikan di Indonesia, juga akan terkikis habis. Ini
menuntut perombakan sistemik, termasuk posisi menteri pendidikan dan menteri
riset dan teknologi (pendidikan tinggi), sekaligus filsafat pendidikan di
Indonesia.
Kedua,
filsafat juga bisa membantu memperbaiki kinerja lembaga penegak hukum sekaligus
ketahanan nasional di Indonesia. Hukum tidak lagi dilihat sebagai semata
rumusan mati, melainkan sebagai alat untuk mencapai keadilan yang sejati.
Ketahanan nasional juga dibangun atas dasar asas berpikir kritis, rasional dan
jernih, sehingga mampu secara sigap dan tepat menanggapi berbagai tantangan
yang ada.
Ini semua hanya mungkin, jika filsafat
menjalankan perannya yang sejati, yakni sebagai upaya kritis, jernih dan
rasional untuk memahami dunia yang terus berubah. Filsafat yang jatuh menjadi
alat ideologis kepentingan politik, bisnis dan agama yang sempit tidak bisa
disebut sebagai filsafat, melainkan ideologi sempit semata. Ia membenarkan
ketidakadilan, dan memberikan pendasaran bagi kemunafikan. Sudah waktunya kita
menyadari ini, dan tak lagi tertipu.
Diambil dari rumahfilsafat.com
0 komentar:
Posting Komentar