![]() |
Sumber gambar: tirto.id |
Usaha Abu Nasr al-Sarraj (378 H/988 M) untuk memberi
warna baru bagi tasawuf sangat layak diapresiasi. Apa yang ia lakukan adalah
yang pertama dalam sejarah perkembangan ilmu ini. Ia telah melakukan apa yang
tidak pernah terpikirkan oleh para pendahulunya. Karena jasanya, tasawuf
memasuki era baru dan menjadi kekuatan yang layak diperhitungkan. Jasanya yang
paling utama adalah menemukan istilah-istilah baru untuk membahasakan fenomena
spiritual yang berkembang pada masanya.
Al-Luma’
karya al-Sarraj memang karya yang hebat dan fenomenal. Kitab ini mengusung
gagasan-gagasan yang belum pernah dimunculkan sebelumnya. Salah satu
kelebihannya adalah dalam memberikan sentuhan epistemologis terhadap fenomena
spiritualitas yang mulai berkembang saat itu. Istilah-istilah yang ia gunakan
dalam kitab ini sangat kuat dan berhasil menggambarkan perkembangan pemikiran
yang terjadi pada masanya.
Para pakar dan sejarawan di bidang ilmu ini meyakini
bahwa era al-Sarraj merupakan era awal menuju “kesempurnaan” ilmu tasawuf.
Belum memasuki kesempurnaan yang sesungguhnya, karena kematangan ilmu ini baru
terjadi sekitar seratus tahun kemudian di tangan al-Ghazali.
Pada sisi lain, kitab ini juga merupakan produk masa
dan zamannya. Ia mencerminkan dengan tegas ketegangan pribadi yang dialami oleh
penulisnya dan sekaligus menggambarkan adanya tarik ulur pemikiran dalam
masyarakat. Membaca kitab ini akan tergambar bahwa al-Sarraj merasa sulit untuk
melepaskan diri dari ketegangan itu dan tidak bisa mengelola emosinya agar
lepas dari rasa sentimen terhadap “musuh-musuh” tasawuf. Ia juga kesulitan
untuk tidak membela para sufi yang menurutnya sedang dihujat dan dipinggirkan.
Kesufian al-Sarraj secara otomatis membuatnya membela para sufi yang sedang
bermasalah, sekalipun mereka adalah orang-orang yang paling dihujat.
Beberapa nama yang ia bela adalah al-Hallaj dan
al-Bisthami, dua nama yang dikenal sangat kontroversial. Uniknya, ketika
menyebut nama mereka, al-Sarraj tidak pernah lupa membubuhkan kata rahimahullâh
(semoga Tuhan memberi rahmat kepadanya), sebuah kata yang menandakan rasa
hormat dan ketundukan.
Al-Sarraj membela al-Hallaj karena ia adalah seorang
Muslim. Ia percaya bahwa akidah dan keyakinan al-Hallaj tidak dapat diragukan
sama sekali sebagai seorang Muslim. Al-Sarraj menuturkan bahwa kata-kata
terakhir yang al-Hallaj ucapkan sesaat sebelum dihukum mati adalah, “Dialah
Tuhan satu-satunya”.
Sementara kepada al-Bisthami, al-Sarraj juga
membelanya karena ia adalah seorang wali yang sangat patuh dan taat beragama.
Ucapan, “maha suci aku” yang pernah ia katakan dimaknai oleh alSarraj sebagai
ungkapan yang sarat dengan nilai ketakwaan dan ketundukan. Kata-kata itu ia
tafsirkan seolah-olah al-Bisthami sedang membaca ayat al-Qur’an yang di
dalamnya ada kalimat, “saya Tuhan”. Jadi, al-Bisthami sesungguhnya sedang
mengagungkan nama Tuhan ketika berujar, “maha suci aku”. Kata “aku” di sini
sama sekali tidak merujuk kepada dirinya tapi kepada Tuhan.
Di kalangan para ahli fikih dan hadis, al-Bisthami
termasuk orang yang sangat dikecam dan dibenci. Ia dinilai tidak tahu diri
karena tidak bisa membedakan antara dirinya dengan Tuhan. Dalam sebuah
manuskrip dengan judul al-Nûr min Kalimât Ibn Taifûr, dikisahkan bahwa
dalam sebuah kesempatan ada seseorang yang mengetuk pintu al-Bisthami. Ia
bertanya, “Siapa yang engkau cari”? Orang itu menjawab “al-Bisthami”.
Al-Bisthami pun berkata, “Pergilah!, Yang ada dalam rumah ini hanyalah Tuhan.”
Sementara dalam riwayat lain dikisahkan bahwa seorang
pengikut Zun al-Nun al-Misri mencari al-Bisthami. Ia bertanya, “Siapa yang
engkau cari”? Orang itu menjawab, “Al-Bisthami”. AlBisthami pun menjawab balik,
“Bagaimana mungkin engkau mencari al-Bisthami sedang al-Bisthami sendiri sudah
mencari dirinya sendiri selama 40 tahun dan tidak menemukannya”.
Al-Sarraj sendiri dalam al-Luma’ juga menukil
sebuah kisah penolakan al-Bisthami oleh seseorang bernama Ibnu Salim yang
diyakini sebagai ahli fikih. Ibnu Salim berpendapat bahwa yang disampaikan oleh
al-Bisthami melebihi apa yang pernah diucapkan oleh Fir’aun. Fir’aun mengatakan
“Saya adalah Rabb (Tuhan) kalian yang paling tinggi”. Sedang al-Bisthami
mengatakan “Maha suci aku, maha suci aku”.4 Kata “Maha suci aku” hanya patut
digunakan oleh Tuhan, karena Dialah satu-satunya Zat yang paling suci. Sedang
kata “rabb” bisa berarti Tuhan bisa juga berarti tuan. Karena itu ucapan
Fir’aun bisa saja diartikan, “saya adalah Rabb (tuanmu bukan Tuhanmu) yang
paling tinggi”.
Al-Bisthami juga menyulut kemarahan kalangan ahli
fikih karena pandangannya yang cenderung melecehkan ibadah dalam agama. Ia
pernah berujar bahwa orang-orang yang hanya tekun beribadah telah dijauhkan
dari makrifat. Mereka tidak pantas membawa bendera agama dan makrifat.
Al-Bisthami menulis: “Tuhan telah memperhatikan hati para hamba-Nya. Di antara
hamba-Nya itu ada yang tidak mampu membawa lentera makrifat, maka Ia membuat mereka
hidup untuk ibadah saja.”
Beberapa catatan di atas adalah gambaran bahwa era
al-Sarraj dan setelahnya, yaitu al-Kalabazi, masih diwarnai oleh kekisruhan
epistemologis atau setidaknya oleh hambatan psikologis yang menghalangi ulama
terutama dari kalangan fikih untuk menerima tasawuf. Inilah yang menjadi
tantangan bagi al-Kalabazi untuk dipecahkan. Ia tahu bahwa tantangan utamanya
adalah membawa tasawuf berdamai dengan bidang-bidang ilmu lain. Karena itu ia
mencurahkan segala pikiran dan tenaganya untuk menjawab persoalan tersebut.
Inilah yang menjadi pokok pembahasan dalam tulisan ini. Gagasan dan pemikiran
al-Kalabazi dianalisis dalam konteks usaha tasawuf untuk menjadi paradigma yang
mandiri vis-a-vis
paradigma yang lain. Usaha itu bersifat berkelanjutan, dan tidak lepas dari
proses falsifikasi yang selalu identik dengan perkembangan setiap ilmu
Dikutip dari pendahuluan Abdul Kadir Riyadi, Ph.D
dalam jurnal berjudul Jalan Baru Tasawuf: Kajian Tentang Gagasan Abu Bakr
al-Kalabazi
Agar pembaca lebih mengulas lebih jauh, kami lampirkan
versi luring (offline) pada link pdf di bawah ini.
0 komentar:
Posting Komentar